29. Pulang
Chandrika tahu ini dalam keadaan warning, pasalnya kemarin-kemarin dia sudah berjanji pada Claudya, hari ini akan menemaninya membeli oleh-oleh untuk orang-orang dirumahnya sebelum pulang sore nanti.
Chan bukan tidak menepati janji, hanya saja ... sedikit terlambat dari jam yang disepakati, yaitu pukul delapan. Sementara sekarang ... sudah pukul sembilan lewat dua belas menit.
Chan bergegas menuju kamar sebelah. Sebenarnya kamarnya dan Claudya tidak benar-benar bersebelahan. Ada space satu kamar lagi. Chan memutar gagang pintu, membukanya dengan tergesa.
Astagfirullah, Claudya.
Chan kaget, mendapati Claudya sudah berdiri di depan pintu kamarnya. Tatapannya datar dengan tangan di lipat didepan dada. Jika dilihat dari penampilannya, sepertinya Claudya sudah siap pergi.
Chan berusaha menenangkan gemuruh jantungnya. Dia gugup. Iya, karena Claudya yang tiba-tiba sudah berada di depan kamarnya. Iya, karena sadar diri dia salah—tidak tepat waktu.
"Morning," sapa Chan, berusaha mencairkan suasana.
"Udah siang!" jawabnya dengan ketus.
Claudya berbalik, Chan hanya bisa pasrah. Mengikuti langkah Claudya menuju kamarnya lagi, mungkin mengambil sesuatu yang ketinggalan.
Chan menghampiri Claudya yang sedang sibuk memasukkan—entah apa saja—kedalam tas kecilnya.
"Cla," panggil Chan, ingin berniat membalikkan tubuhnya agar melihat ke arahnya. Dari tadi Chan diacuhkan Claudya.
"Nggak usah pegang-pegang!" hardiknya.
Lagi! Chan cuma bisa pasrah. Chan melangkah ke arah sofa. Duduk di sofa yang sama—tempat di mana untuk pertama kalinya Chan mencium Claudya kemarin malam.
Keindahan yang terjadi tadi malam, kenapa sangat bertolak belakang dengan pagi ini, ya Tuhan.
Chan menarik napas, mengembuskannya kasar. "Maaf, Cla. Gue salah," ujar gue, yang duduk di sofa dengan posisi membelakangi Claudya.
Hening, tidak ada jawaban dari Claudya. "Habis balik dari sini, gue nggak bisa tidur lagi. Subuh baru tidur, makanya bangunnya telat." Chan mencoba menjelaskan. Dia jujur, memang itu yang terjadi.
Suara langkah kaki Claudya mendekat, ia berdiri di depan Chan. "Semalem, jam berapa lo balik ke kamar lo?" tanyanya dengan penuh penekanan.
"Jam dua," jawab Chan mantap. Ia ingat, karena sebelum tidur ia sempat men-charge ponselnya.
"Selama gue tertidur, lo nggak ambil kesempatan, kan?"
Astaga, mulut adiknya Cindy. Beda tipis sama kakaknya. Suka tajam kalo ngomong. Untung sayang.
"Nggak, Cla. Gue masih sadar batasan," ucap Chan, yang sudah berdiri di hadapannya.
Chan sudah bersiap meraihnya, menarik ke dalam pelukan. "Jangan dekat-dekat!" Peringatan keras dari Claudya.
Oh, oke! Jangan dekat-dekat.
Claudya masih diam, di dalam lift pun ia enggan untuk di dekat Chan.
Chan berdiri di belakang, jarak antara ia dan Claudya dihalangi satu orang perempuan—wisatawan asing. Pintu lift terbuka, Claudya sudah melangkah ke luar.
"Maafkan saya. Hmm, saya b-buru? Buru-buru," ucap perempuan itu dengan bahasa Indonesia yang masih kaku.
"It's oke," jawab Claudya.
Saat ke luar dari lift, perempuan itu tidak sengaja menabrak bahu Claudya. Tidak sampai terjatuh. Hanya saja cukup membuat Claudya terhuyung, karena perbedaan postur tubuh mereka.
"Masih mau jauh-jauh dari gue?" bisik Chan di telinga kiri Claudya. Claudya mendongak menatap Chan dengan tatapan minta dikasihani. Claudya meraih lengan Chan, merapatkan sedikit tubuhnya pada Chan.
Chan merangkul pundaknya, membawanya ke dalam pelukan. "Lo kenapa?" tanya Chan di sela-sela mengeratkan pelukan.
"PMS," ujarnya polos.
Chan terkekeh mendengar pengakuannya yang begitu jujur. "Ya, udah. Sekarang mau maafin gue, kan? Nggak marah lagi, kan?"
Claudya mengangguk seraya mengembangkan senyumnya. Chan dan Claudya melangkahkan kaki ke luar pelataran hotel. Bergandengan tangan tentu saja.
***
"Chan buruan," teriak antusias Claudya.
Chan dan Claudya sudah berada di salah satu outlet terkenal yang menjual oleh-oleh khas Bali. Terletak di Tuban—kuta.
Claudya sangat bersemangat ke sana ke mari, membeli semua apa yang ia inginkan. Mulai dari aksesoris khas Bali, kerajinan tangan, camilan, pakaian, sampai sandal pun ia beli.
Di Jakarta juga banyak Cla kalau cuma sandal jepit.
Chan sudah protes dengan kalimat itu. Tapi yang dia dapat? Claudya memberinya tatapan tajam.
Katanya beda, yang Chan juga tidak tahu letak bedanya di mana. Kalau cewek sudah belanja, kadang-kadang otaknya suka tidak berfungsi.
Chan menghela napas kasar. Tangan kanannya sudah membawa satu kantung plastik besar, sementara tangan kiri sudah ada dua kantung plastik berukuran sedang. Semua kantung-kantung ini penuh dengan belanjaan Claudya.
Gue curiga, ini Claudya jangan-jangan mau dagang begitu sampai Jakarta.
Claudya dengan santainya berjalan berlenggak lenggok di depan Chan sembari memakan pie susu yang tadi ia beli. Jika Chan tertinggal di belakangnya agak jauh, kalimat andalannya keluar. 'Chan, buruan. Chan lambat ih.'.
Claudya menghentikan langkahnya, ia berbalik menatap Chan. Jantung Chan berdegup dua kali lipat. Ini jangan-jangan mau teriak bilang cepat lagi. Langkah Chan dipercepat, agar cepat menghampirinya.
"Buka mulut lo," perintahnya.
Chan mengernyitkan dahi. Masih bingung dengan perintah Claudya.
"Mau nggak?" lanjutnya, sembari menunjukkan potongan pie susu di tangannya.
Tanpa komando selanjutnya, Chan membuka mulutnya lebar. Claudya menyuapi Chan potongan pie susu.
"Enak?" tanyanya seraya membersihkan sisa pie di sudut bibir Chan menggunakan tisu.
Chan mengangguk. "Lain kali, kalo ngebersihin bibir gue jangan pake tisu. Pake bibir lo aja," desis Chan.
Wajah Claudya bersemu merah, ia malu. Tulang rusuk Chan dihadiahi sikutan olehnya.
***
"Chan, koper gue nggak muat," keluhnya.
"Ya, gimana mau muat, sih. Semua lo beli. Nggak sekalian aja itu semuanya lo bawa pulang."
Chan dan Claudya sudah berada di hotel selesai berbelanja, Claudya sibuk memasukkan semua belanjaannya kedalam koper.
"Chan, bantuin," rengeknya.
Chan berjongkok dekat kopernya. "Ini semua kalo melebihi kapasitas bagasi, lo yang gue tinggal, ya. Gue cuma pulang sama kopernya doang," canda Chan.
Mana mungkin juga gue ninggalin Claudya.
"Ya, udah, ya. Kalo nggak mau bantuin, gue bisa sendiri, kok! Biarin gue bisa pulang ke Jakarta sama Cindy," ketusnya.
Chan hanya bisa menghela napas. Membiarkan sejenak apa yang Claudya lakukan. Claudya memasukkan semuanya ke dalam koper, tanpa menyusunnya.
Tidak lama Claudya melemparkan sesuatu yang tadi di tangannya. Ia berusaha memasukkan benda itu ke dalam koper yang sudah padat, tapi tidak berhasil ia lakukan.
"Bodo ah, sebel gue," geramnya terdengar di telinga Chan.
Claudya bangkit, menuju tempat tidur. Berbaring menghadap jendela—membelakangi Chan.
Chan mengambil alih apa yang tadi Claudya kerjakan. Membongkar kopernya, menyusun barang-barangnya dengan teratur. Ada sebagian tidak bisa masuk di kopernya.
Chan menghampiri Claudya. Ia berjongkok di pinggir tempat tidur menghadap Claudya, menyingkirkan poni yang menutupi dahinya. Namun, Claudya justru berbalik agak menjauh membelakangi Chan.
Aduh, ngambek lagi ini Kanjeng Ratu.
Chan merangkak naik ke atas tempat tidur, tangan Chan merengkuh tubuh Claudya dari belakang.
"Barang lo udah gue susun ulang, itu ada yang nggak masuk ke koper lo. Biar masuk ke koper gue aja," saran gue ke Claudya.
Claudya berbalik menghadap gue, kepalanya mendongak menatap Chan dengan tatapan yang sulit dimengerti.
"Kenapa? Gue salah lagi? Iya, maaf ya. Tadi gue cuma bercanda."
Claudya tidak menjawab, tangannya terulur melingkar di pinggang Chan.
Gini nih, kalo cewek lagi PMS. Manja, iya. Ambekan, iya. Sensitif, iya. Emosian, iya. Pokoknya banyak-banyak istiqhfar aja deh, biar selamat dunia akhirat.
***
Saatnya pulang, Chan dan Claudya sudah di airport sejak setengah jam lalu. Pesawat mereka satu jam lagi berangkat. Cindy dan dokter Bisma yang mengantarkan mereka.
Cindy berkali-kali minta maaf, karena tidak bisa menemani sebelum mereka pulang. Seperti yang ia katakan semalam, rekannya mendadak ke luar kota, hari ini ia pasti terlalu sibuk menanggani pasien sendirian.
Ia mengantarkan mereka ke bandara saja masih mengenakan pakaian kerjanya, belum sempat pulang dan berganti.
"Padahal gue masih kangen lo, Cin," keluh Claudya.
Dua anak kembar ini sudah seperti teletubies ... berpelukan.
"Dua minggu lagi gue balik, gue tugas di Jakarta lagi," sahut Cindy.
Cindy melepaskan pelukannya. Cindy menatap ke Chan. "Gue titip Cla, ya Chan," imbuhnya.
Chan hanya menanggapinya dengan senyum simpul. Chan mengulurkan tangan ke puncak kepala Cindy. Mengusap rambutnya.
Bagi gue, Cindy bukan sekedar sahabat. Sudah gue anggap seperti adik perempuan gue.
Aksi tangan Chan mengusap rambut Cindy, mendapat dehaman keras dari bapak dokter di sampingnya.
"Batuk, Pak Dokter?"
.
.
.
.
TBC
Tanjung Enim, 21 Juni 2020
Revisi : 19 Des 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top