28. Love Song

"Cla, lo baik-baik aja, kan?"

Bahu Claudya dirangkul Chan, mungkin Chan khawatir. Claudya yang sejak awal masuk ke ruang musik dokter Bisma, sampai alunan piano yang dimainkan dokter Bisma berakhir. Dia tidak menunjukkan reaksi apa pun, hanya membungkam mulutnya.

"Iya, gue nggak kenapa-kenapa, Chan," sahut Claudya. Dia tidak mau membuat Chan khawatir.

"Beneran? Lo nggak sakit, kan?" Chandrika menyimpan telapak tangannya di dahi Claudya.

Claudya menarik garis senyum tipis, "Gimana? Baik-baik aja, kan? Gue nggak demam, kan. Nggak percayaan dibilangin."

Chandrika tersenyum lega. "Iya, Princess. Gue cuma khawatir sama lo."

Tatapan Claudya beralih pada Cindy dan dokter Bisma, mereka masih asik saling melempar candaan satu sama lain.

"Chan sini," ajak Cindy.

Chan menggenggam tangan Claudya, menghampiri Cindy.

"Chan, dokter Bisma juga bisa nyanyi lagu love song. Itu loh, yang dulu pernah lo nyanyiin di acara pensi kita waktu SMA," papar Cindy.

Chandrika hanya mengangguk, yang sebelumnya terlihat seperti berpikir mengingat lagu yang di maksud Cindy.

"Oh, iya. Gue ingat, terus?" sahut Chan.

Claudya tersenyum sebelum berkata, "Lo, kan bisa main gitar? Mainin lagi dong, Chan. Dokter Bisma yang nyanyi. Itu gitarnya," tunjuk Cindy pada gitar di pojok ruangan.

Chan mengangguk, menuruti permintaan Cindy. Dokter Bisma dan Chan sudah duduk sejajar di kursi masing-masing. Memakai headset, dokter B sudah memegang sebuah mic dan menghadap book stand. Sementara Chan sudah memegang sebuah gitar akustik dan bersiap untuk memetik senarnya.

Suara dokter Bisma terdengar merdu dan lembut saat menyanyikan lagu tersebut. Cindy menatap dokter Bisma dan Chan secara bergantian, seolah sangat menikmati pertunjukan mereka berdua.

So I want you to be my lady
You’ve got to understand my love.

Saat bagian lirik lagu itu dinyanyikan, dokter Bisma terus menatap Cindy. Seperti sedang menghayati dalam menyampaikan isi pesan lagu tersebut.

Sampai lagu mencapai lirik terakhir pun, dokter Bisma masih menatap Cindy dan menghadiahinya dengan senyum terbaik. "Wah, keren. Keren banget." Cindy bertepuk tangan, mengacungkan kedua jempolnya yang terangkat keatas.

"Ekhem." Dokter Bisma berdeham, menghampiri Claudya dan Cindy. Ia melirik jam tangan di pergelangan tangannya. "Sudah waktunya makan malam, bahkan ini sudah sedikit terlambat, ayo ke ruang makan," ajak dokter Bisma.

Mereka sudah berada di ruang makan, banyak tersedia makanan di meja makan tersebut.

Cindy terlihat mengotak-atik ponselnya. "Makan dulu," tegur dokter Bisma, yang masih belum di respon oleh Cindy.

Claudya masih menatap Cindy. "Ada masalah, Cin? Sama pekerjaan lo," tanya Cindy.

"Bukan masalah, sih. Ini ada dokter besok mendadak ke luar kota. Jadi otomatis semua pasien gue yang handle. Besok, gue bisa nemenin kalian cuma sore," keluh Cindy.

"Ya, udah, santai aja lagi, Cin. Gue sama Cla bisa jalan-jalan sendiri," sambung Chan.

"Iya, bener kata Chan. Kita bisa pergi sendiri kok, tenang aja kita nggak akan hilang, nggak ada yang mau nyulik Chan," canda Claudya, berusaha menghibur Cindy dan ... dirinya sendiri.

Tangan Cindy sudah memegang garpu dan pisau, sebelum akhirnya Dokter Bia meraih piring Cindy, memotong beef steak milik Cindy.

"Terima kasih," ucap Cindy, yang hanya direspon dengan senyuman.

Claudya yang masih memperhatikan interaksi dokter Bisma dan Cindy, tanpa sengaja tatapan mereka beradu. Dokter B mengulurkan tangannya, hendak meraih piring milik Claudya.

"Biar gue aja," ujar Chan, yang membuat Cindy menoleh ke arahnya.

Entah sejak kapan piring steak milik Claudya yang semula berada di hadapannya, kini berubah posisi menjadi di depan Chan. Ia memotong daging panggang itu untuk Claudya, persis seperti yang dilakukan dokter Bisma untuk Cindy.

***

"Cla, are you ok?"

"Emangnya gue kenapa?"

"Dari tadi lo ngerasa nggak, sih? Gue perhatiin lo banyak diem, Cla. Tumben," beber Chan.

Cindy hanya tersenyum simpul. "Gue baik-baik aja, Chan. Mungkin kecapekan aja."

Makan malam bersama di apartemen dokter Bisma sudah selesai dari satu jam yang lalu, Cindy dan Chan sudah kembali ke hotel—di kamar Claudya.

Claudya melirik jam digital pada nakas tempat tidur. "Chan, udah jam sebelas, loh."

"Iya terus? Kalo udah jam sebelas mau ngapain?"

Chandrika yang duduk di sofa, masih sibuk mengganti saluran televisi, mencari acara yang menarik buat ia tonton.

"Lo nggak mau balik ke kamar lo?" tanya Claudya.

Chan menyeringai menatap Claudya yang sudah duduk di sofa yang sama dengannya. Menyimpan remote televisi. "Gue masih kangen lo," akunya.

Claudya mendorong kening Chan dengan telunjuk. "Kangen apaan, hah?"

Chan terkekeh, ia menyimpan dagunya pada bahu kiri Claudya. Embusan napasnya menerpa sisi kiri leher Claudya.

"Cla," panggilnya dengan suara rendah.

"Hmm."

"Lo belum jawab pernyataan gue tadi."

Claudya menelengkan kepala, "Pernyataan? Yang mana?"

"I want you to be my lady," ulangnya.

Chan sudah memeluk Claudya dari samping, menusuk-nusuk pipi kiri Claudya dengan jari telunjuknya.

"Lo kenapa, sih? Ngedusel-dusel kayak anak kucing gini."

Chandrika mempererat pelukannya, Claudya masih berkecamuk dalam hati dan pikirannya. Masih belum bersedia memberikan jawaban untuk Chan.

Aku masih bimbang, Chan. Bingung dengan perasaanku sendiri.

Claudya melepaskan pelukan Chan. "Minggir, gue mau ke toilet."

Claudya menyelesaikan urusanku, menghapus makeup-ku, mencuci muka, sikat gigi dan mengganti pakaianku dengan piyama. Claudya keluar dari kamar mandi.

"Chan?" Tidak ada sahutan dari Chandrika.

Apa udah balik ke kamarnya?

Claudya berjalan ke arah sofa, televisi masih menyala. "Astaga."

Claudya berdecak melihat apa yang ia temukan di sofa. Chandrika yang sudah tertidur, kaki dan tangan sebelah kanan menjuntai ke lantai.

Claudya berjongkok di depan wajah Chan. Memperhatikan wajah damainya saat tertidur. Claudya bangkit dari posisinya, membenahi posisi tidur Chan. Menaikkan kaki dan tangannya yang terjuntai.

Baru saja Claudya hendak meraih tangannya, membenarkan posisinya. Tubuh Claudya sudah ditarik terlebih dahulu, jatuh di atas tubuh besar Chan.

Chan membenarkan posisinya, ia sedikit menyamping. Sedangkan Claudya berada di depan tubuhnya. Chan memeluk dari belakang.

"Chan ngapain sih, lo. Sana balik gih, ke kamar lo sendiri," gumam Claudya.

"Bentar lagi. Lima menit aja kaya gini, gue kangen lo," bisiknya, embusan hangat napasnya mengenai tengkuk Claudya.

Claudya memutar posisi tubuhnya menjadi menghadapnya. Mata Chan yang semula sedikit terpejam kini sudah terbuka lebar, tangannya refleks memegang pinggang Claudya. Takut Claudya terjatuh, karena keadaan sofa yang tidak begitu luas.

Claudya mendongakkan sedikit wajah menatap Chan. Rahang tegasnya hal pertama kali dilihat. "Chan, besok pagi kita mau ke mana?"

Chan menunduk. "Katanya mau beli oleh-oleh, buat orang di rumah. Nggak jadi?"

"Jadi, maksudnya ke mana gitu."

"Terserah lo aja, gue siap nemenin kemana lo mau. Ikhlas lahir batin gue, Cla."

"Chan, lo nggak capek?"

"Gue kan cuma peluk lo. Nggak ngapa-ngapain," bisiknya sembari mengeratkan pelukannya.

"Maksudnya, kan kita seharian jalan-jalan tuh, lo ngga capek gitu. Nggak mau istirahat gitu," jelas Claudya yang sebenarnya mengusir secara halus.

Chan menyeringai. "Lo ngantuk?"

Claudya hanya mengangguk, matanya sudah berat tak sanggup menahan kantuk.

"Ya, sudah. Lo tidur aja, nanti gue pindahin ke tempat tidur."

Chan menepuk-nepuk pelan bahu Claudya.

"Selamat istirahat," ucapnya. Sebelum mendaratkan satu kecupan hangat di kening Claudya.
.
.
.
Bersambung.

Tanjung Enim, 20 Juni 2020
Revisi 18 Desember 2020

Salam
RinBee 🐝

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top