23. You Are a Butterfly
Sudah bulan ke dua Claudya menjalani perawatan. Meski jauh dari Claudya, Cindy tidak pernah melewatkan kabar tentang Claudya setiap hari.
Jika ditanya, Cindy lebih memilih bertugas di Jakarta agar lebih dekat. Bisa menemani Claudya menjalani transfusi darah tiap bulannya dan memantau kesehatannya.
Namun, tuntutan pekerjaan harus menjadikannya profesional dalam bekerja.
Sabar Cindy, bulan depan sudah waktunya berganti dengan rekan yang lain. Kamu akan betugas di Jakarta kembali setelah itu.
Cindy sudah selesai dari pekerjaannya, ia melirik jam pada pergelangan tangan kirinya, sudah menunjukkan pukul 16.45 WITA.
Cindy masih enggan beranjak meninggalkan ruang kerjanya, meraih ponselnya. Mencari kontak nama Claudya. Cindy menyentuh ikon bergambar sebuah kamera video, ia melakukan panggilan video.
Sambungan terhubung, ada foto Claudya pada layar ponsel. Ia berpose dengan manis, menatap ke arah kamera. Foto saat kami liburan tahun lalu. Butuh nada sambung ke lima sampai panggilan benar-benar terhubung.
"Chan?"
Sosok yang memenuhi tampilan layar benda pipih persegi tersebut bukan Claudya, melainkan Chandrika.
"Kok, lo yang angkat?"
"Cla lagi ke dapur, lagian juga dia yang ngizinin gue buat angkat telepon dari lo." Chan menjelaskan apa yang Cindy tanyakan tadi.
Cindy hanya mengangguk. "Lo apa kabar, Chan?" Dari tampilan video call, Cindy meneliti wajah Chandrika.
Tanpa bertanya pun, rasanya sudah tahu jika ia baik-baik saja tanpa kekurangan apa pun. Dasar basa basi sekali.
"Gue? Alhamdulillah baik, Cin." Chandrika menatap layar ponsel. "Lo gimana kabarnya? Masih jam kerja lo, Cin?"
"Gue juga sehat, alhamdulillah. Gue udah selesai, kok. Cuma masih males aja mau pulang." Netra Cindy teralih pada sosok gadis yang sudah berada di belakang Chandrika.
"Hai, Cindy," sapa Claudya, sembari mendekat di sisi Chan.
Sekarang mereka berdua terlihat memenuhi tampilan layar handphone.
"Gimana kabar lo hari ini?"
"Gue baik-baik aja, kok."
"Tenang aja, Cin. Gue jagain Cla dengan baik, nggak akan gue biarin debu setitik nyentuh Cla," potong Chan.
"Iya. Iya. Gue percaya." Cindy mencebikkan bibir menanggapi ucapan Chan.
"Cin, lo kapan pulang? Gue kangen lo," ungkap Claudya.
"Bulan depan, maybe."
Claudya tampak murung, entah apa yang menganggu pikirannya. Padahal sebelumnya ia masih ceria.
"Cin, gue mau nyusul lo," ucap Claudya tiba-tiba, membuat Cindy tersentak.
"Nggak usah aneh-aneh, Cla. Lagian gue juga akan ditugaskan ke Jakarta lagi, kok."
"Gue mau liburan, Cin. Mumpung masih ada kesempatan," lirihnya.
"Iya, nanti kita liburan bareng. Lo konsultasi sama dokter Bisma, sebaiknya gimana."
Mata Claudya berbinar. Mendengar penuturan Cindy. Cindy melirik pergelangan tangannya, sudah semakin sore.
"Cla, udah dulu ya. Nanti gue sambung lagi."
"Oke, bye Cindy," ucap Claudya dengan semangat empat lima.
"Hmm ... lo jaga kesehatan, ingat jadwal lo kontrol jangan sampai telat," tegas Cindy memperingatkan.
Cindy mematikan sambung telepon. Melirik jam pada sisi dinding, sudah 17.28 WITA. Cindy menyimpan ponselnya di tas kerja, beranjak ke luar ruangan
***
Cindy sudah meninggalkan rumah sakit, berjalan menapaki jalan setapak. Entah mengapa hari ini Cindy enggan cepat sampai asrama.
Selama bertugas di Bali, mereka semua difasilitasi tempat tinggal oleh Kalandra Hospital. Dokter yang berasal dari Jakarta tinggal di wisma dokter yang disediakan. Letaknya pun tidak jauh dari rumah sakit. Bahkan bisa di tempuh hanya dengan berjalan kaki.
Cindy menghentikan langkahnya, keindahan warna senja menyapanya. Seolah meminta untuk singgah, hanya sekadar untuk menikmatinya.
Cindy mendudukkan tubuhnya pada sebuah kursi panjang berwarna putih, menghadap ke pantai langsung. Kursi yang sengaja disediakan oleh pengelola setempat. Untuk menikmati sunset atau sekadar bersantai, menikmati semilir angin yang dengan jahilnya menerbangkan helaian rambut panjangnya.
Cahaya berwarna jingga di ufuk barat kian tenggelam keberadaannya. Pantas saja, jika orang-orang sangat menyukai melihat sunset, sungguh indah ciptaan Tuhan.
"Halo, dokter cantik." Cindy mendongakkan kepala, menoleh ke sumber suara. Dia terlonjak kaget saat netranya menangkap dua sosok pria yang sudah berdiri di belakangnya.
"Dokter Jian, Dokter Bisma," teriaknya.
"Boleh bergabung?" tanya dokter Bisma.
Cindy belum menjawab, dokter Jian sudah duduk di sisi yang kosong pada bangku yang sama dengannya. Baru saja dokter Jian duduk, suara nyaring dering ponselnya menyita perhatian.
Dokter Jian merogoh saku celananya, mengambil benda pipih yang dia simpan di sana. "Maaf aku angkat telepon dulu," ucapnya.
Cindy hanya mengangguk, melihat dokter Jian yang sudah menjauh dari keberadaan nya dan dokter Bisma.
"Boleh duduk di sini?" Suara berat dokter Bisma menyapa gendang telinga Cindy.
"Ha? B-boleh, Dok."
Cindy menatap lurus ke depan saat dokter Bisma sudah duduk di sampingnya.
"Suka sunset?" Suara berat itu kembali menyapa.
Cindy menoleh, memperhatikan wajah dokter Bisma dari samping.
Ganteng!
"Suka ... hanya sebatas suka aja."
Dokter Bisma menoleh saat mendengar penuturan Cindy, netra mereka bertemu. Cindy pihak yang memutus pandangan terlebih dahulu.
"Kok begitu," tanyanya.
Tanpa repot-repot memalingkan wajah, Cindy menjelaskan alasannya.
"Aku suka sunset, tapi bukan jadi pihak yang selalu menantikan momen itu. Jika dibandingkan sunset, aku lebih menyukai sunrise, aku selalu menantikan warna kekuningan yang baru muncul dari timur," ungkapnya.
"Saya pikir kamu akan sama seperti Claudya, ternyata orang kembar juga ada yang bertolak belakang dari apa yang mereka sukai," ucap dokter Bisma, yang sukses menarik perhatian Cindy saat dokter Bisma menyebut nama Claudya.
Cindy menoleh kearahnya. "Kenapa dengan Claudya?"
Dokter Bisma berdeham sebelum akhirnya ia berucap, "Bulan lalu ... saat jadwal rutin Claudya, dia sempat bertanya kabar kamu. Dia bercerita sangat menyukai pantai, matahari tenggelam. Dan dia juga sangat ingin berlibur di sini ... bersama kamu."
Cindy menarik seulas senyum. "Dok, terima kasih, ya," ucap Cindy.
Dokter Bisma mengerenyitkan dahinya. "Terima kasih? Untuk apa?"
"Terima kasih sudah mau repot-repot menangani Claudya."
"Itu sudah jadi kewajiban saya, bukankah itu sudah menjadi tugas kita untuk melayani pasien?"
Dokter Bisma menekan kata 'kita', seakan mengingatkan Cindy tentang sumpah seorang dokter.
"Iya. Maksudku, Dokter sudah bersedia repot-repot mengosongkan jadwal di sini. Dan terbang ke Jakarta setiap kali Claudya harus menjalani transfusi darah tiap bulannya," ujar Cindy.
Cindy menarik napas dalam, mengembuskannya pelan. Sebelum kembali berucap, "Bisa saja, kan. Dokter meminta rekan yang lain untuk menangani Claudya untuk menggantikan Dokter Bisma."
"Untuk yang satu ini, kalian ... sama," potong dokter Bisma.
Cindy mengerutkan dahi. "Sama? Dalam hal?"
"Ya, kalian sama. Punya rasa sayang yang begitu besar satu sama lain."
"Dokter tahu? Sejak kecil aku selalu ingin seperti Claudya. Aku ingin menjadi anak yang pintar seperti Claudya. Aku ingin bisa seperti Claudya, yang punya karakter selalu ceria. Aku ingin seperti Claudya yang mudah akrab dengan orang baru, sepertinya sangat menyenangkan menjadi seorang Claudya yang punya banyak keistimewaan."
Melalui ekor mata, Cindy melirik dokter Bisma sudah mengubah posisi duduk dengan menyerong menghadapnya. Cindy sedikit menoleh menghadapnya.
"Dokter Cindy, you are like a butterfly!"
Kupu-kupu? Terkejar, tapi tak tergapai? Atau persahabatan bagai kepompong, merubah ulat menjadi kupu-kupu?
Beberapa opsi pertanyaan yang muncul dibenak Cindy saat kata butterfly disebut dokter Bisma. Dokter Bisma semakin mengembangkan senyumnya.
"Kupu-kupu sangat cantik, bukan? Terbang dengan sayap mereka yang indah."
"Ya. They are very beautiful," sahut Cindy menanggapi ucapan dokter Bisma.
Dokter Bisma melanjutkan ucapannya . "Tapi ... seindah apa pun itu, kupu-kupu tidak bisa melihat sayapnya sendiri. You are a like butterfly. Kamu cantik, kamu punya pesona dan keistimewaan tersendiri. Kamu hanya tidak bisa melihatnya, orang lain lah yang bisa melihatnya."
Cindy dan dokter Bisma sudah beradu pandang, menarik garis senyum masing-masing.
You are a like butterfly.
Kalimat itu masih memenuhi pikiran Cindy. Tanpa dia sadari dan tanpa penolakan. Cindy membiarkan saat tangan dokter Bisma terulur, membenahi rambutnya yang tertiup angin, membawanya ke belakang telinga. Dan berakhir ... mencubit pipi kirinya dengan gemas.
"Ekhem ...." Suara dehaman keras dokter Jian, yang entah sejak kapan sudah berdiri di sana. Menghentikan kegiatan mereka
Cindy meringis, merasakan panas di pipinya. Entah karena cubitan dokter Bisma atau ... karena malu—terciduk dokter Jian.
.
.
.
To be continued
Palembang, 14 Juni 2020
Revisi : 14 Desember 2020
Salam
RinBee
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top