22. Diagnosa
Hari ini adalah hari yang telah ditentukan untuk Claudya menjalani perawatan. Beberapa jam lagi Claudya akan melakukan BMP.
Claudya masih berada di ruang inapnya. Ada bunda, ayah, serta Chan menemani Claudya.
Pintu ruangan inap Claudya terbuka, menampilkan dokter Bisma yang berdiri di ambang pintu. Dokter Bisma mendekat pada bed pasien di mana Claudya masih terbaring di sana.
"Gimana, sudah siap?" tanya dokter Bisma.
"Iya, siap, Dok," jawab Claudya lemah.
"Sebentar lagi, kamu akan dipindahkan ke ruangan operasi," jelas dokter Bisma.
Dokter Bisma mengalihkan pandangannya ke arah Cindy. "Dokter Cindy, dan wali pasien, bisa ikut saya?"
Cindy menoleh ke arah ayah dan bunda. Mendapati ayah mengangguk sembari menggenggam tangan bunda.
Ayah dan bunda sudah mengikuti langkah dokter Bisma menuju ruangannya. Cindy menghampiri Claudya sejenak. "Gue tinggal dulu ya." Claudya hanya mengangguk.
"Chan, gue titip Cla sebentar ya," ujar Cindy pada Chandrika, sebelum akhirnya ke luar ruangan menyusul kedua orang tuanya.
Mereka sudah berada di ruang praktik dokter Bisma, sejak sepuluh menit lalu dokter Bisma menjelaskan proses pra analitik, meminta izin wali pasien atau pasien itu sendiri untuk menandatangani informed consent.
"Dok, apakah tindakan ini berisiko?" tanya ayah, pada dokter Bisma.
"Tindakan ini cenderung aman, tidak memiliki risiko yang membahayakan bagi pasien. Hanya saja ... seperti tindakan medis lainnya, BMP akan tetap ada risiko dari tindakan tersebut. Ibu dan bapak, tidak perlu khawatir. Pasca melakukan tindakan ini, saya akan memantau kondisi pasien secara berkala agar cepat kembali pulih," terang dokter Bisma.
Ayah dan bunda menghela napas lega, yang terdengar hampir bersamaan.
"Dokter, Cindy?" panggil dokter Bisma.
"Ya, Dok"
"Kamu, bisa mendamping pasien di ruang tindakan."
"Boleh, Dok?"
Dokter Bisma tersenyum. "Iya, boleh."
***
Claudya, sudah berada di ruang tindakan, mengenakan pakaian khusus. Tubuhnya sudah berbaring miring, dengan dokter Bisma berada di belakangnya dan ... beberapa dokter koas lainnya yang membantu.
Cindy teringat dulu saat masih menjadi dokter koas, dia pun pernah ikut serta dalam tindakan ini dengan pasien yang diduga leukimia.
Dokter Bisma mengenakan sarung tangan steril, meraba beberapa ruas di tulang belakang dari tulang ekor.
Dahi dokter Bisma sempat berkerut mencari-cari lokasi yang pas. Kerutan dahinya terlihat menghilang, sesaat setelah ia yakin menemukan lokasi yang tepat untuk menyuntikkan anestesi. Suntikan anestesi pada tindakan ini adalah anestesi lokal.
Suntikan anestesi sudah dilakukan beberapa saat lalu, dokter Bisma mencubit kecil bagian tubuh Claudya. "Sakit?"
"Nggak, Dok," sahut Claudya.
Dokter Bisma membersihkan area yang akan dilakukan tindakan dengan antiseptik, lalu menusuknya dengan menggunakan jarum yang cukup besar. Persis seperti proses pengeboran. Jarum besar itu menembus tulang belakang.
Claudya seperti merasakan ketidaknyamanan, saat dokter bisma menarik dan menekan jarum itu. Meskipun daerah tersebut sudah kebas.
Dokter Bisma sedikit menekan jarumnya dan menarik plunger, menyedot sampel yang dibutuhkan.
Terlihat jelas cairan sumsum tulang berwarna putih masuk kedalam tabung suntikan. Dokter Bisma meneteskan sampel pada permukaan kaca slide, kemudian dibuat apusan dan diwarnai sesuai tujuan pemeriksaan lebih lanjut.
Dokter Bisma menutup permukaan kulit daerah tindakan menggunakan perban steril.
"Ini harus dijaga, agar tetap kering. Selama 48 jam," jelas dokter Bisma.
***
Claudya dialihkan ke atas brankar, untuk dipindahkan ke ruang rawat inap. Brankar didorong oleh beberapa suster, Claudya sempat tersenyum manis saat brankarnya melewati Cindy.
Cindy mengikutinya hingga ke luar ruangan BMP. Di luar ruangan sudah ada ayah, bunda, Chandrika serta ... Kak Ina dan Bang Cakka yang keberadaannya baru Cindy lihat.
Mereka sudah berada di ruang inap, posisi Claudya tidur dengan tengkurap karena harus berhati-hati menjaga luka akibat tusukan jarum aspirasi agar tetap kering selama 48 jam untuk mempercepat pemulihannya.
Bunda adalah orang yang pertama kali menghampiri Claudya, mengelus belakang kepalanya. Mengecup pipi kiri Claudya. "Anak bunda hebat."
Bergantian dengan ayah yang hanya mengusap rambutnya dengan lembut tanpa sepatah kata pun.
Bang Cakka dan Kak Ina melakukan hal serupa. "Maaf abang telat datangnya," ujarnya.
"Nggak apa-apa kok, Bang," sahut Claudya.
"Cepat pulih ya, Cla." Kak Ina mengusap puncak kepala Claudya.
Sekarang giliran ... Chandrika.
Chan menarik kursi di sisi kanan Claudya, mendudukkan tubuhnya pada kursi itu, tangannya terulur meraih tangan Claudya, menggenggamnya dan mengusapnya pelan. "Nggak apa-apa, 'kan? Nggak ada yang perlu lo takuti."
Claudya hanya tersenyum menanggapi tutur Chandrika. Pintu ruangan rawat inap terketuk beberapa saat, mereka menoleh ke arah pintu. Rupanya dokter Bisma sudah masuk ke ruang inap Claudya.
"Gimana ada keluhan?" Suara dokter Bisma terdengar menyapa rungu.
"Nggak ada, Dok. Tapi ini agak terasa ngilu." Claudya menyampaikan apa yang ia rasakan.
"Itu wajar, karena biusnya sudah mulai hilang, nanti akan ada suster yang akan memberikan obat penghilang rasa sakitnya," tukas dokter Bisma.
"Dok, ini hasilnya berapa lama akan selesai?" tanya Cindy pada dokter Bisma
"Hmm, hasil BMP akan selesai dalam beberapa hari kedepan, sampai satu minggu. Dan akan kita diskusikan kembali pada pertemuan berikutnya."
***
Sudah terhitung empat hari, sejak Claudya melakukan BMP. Hasil dari laboratorium sudah keluar, dan hari ini adalah pertemuan yang sudah di jadwalkan.
Cindy masih berada di ruang praktiknya, pasiennya masih ada yang belum ditangani. Ponselnya bergetar, menampilkan caller id bunda.
Bunda :
Bunda sudah sampai Rumah sakit. Sebentar lagi ketemu dokternya.
Isi pesan yang dikirimkan bunda kepada Cindy. Cindy hanya bisa membacanya, belum sempat untuk membalasnya.
"Sus," panggilnya pada suster Erika.
"Ya, Dok?" jawabnya, yang telah berdiri di depan meja kerjanya.
"Di luar, berapa pasien lagi?" Cindy sangat ingin cepat menyelesaikan pekerjaannya, berharap pasien di luar hanya tersisa satu orang saja.
"Tiga pasien lagi, Dok" tukasnya.
Cindy melepaskan stetoskop yang menggantung di lehernya agak tergesa. Pasien terkahir sudah selesai baru saja. Cindy meraih ponselnya dalam laci meja kerja, melangkah meninggalkan ruang praktiknya menuju ruang praktik dokter Bisma.
Semoga saja mereka masih ada di sana.
Cindy sudah berdiri di depan ruang praktik dokter Bisma, ada suster yang baru saja keluar dari ruangan itu.
"Eh, dokter Cindy. Mau masuk, Dok? Keluarganya masih ada di dalam. Silakan, Dok," ujarnya sembari memberikan senyuman terbaik. Meraih gagang pintu membukanya untuk Cindy.
Cindy mengangguk. "Terima kasih, Sus."
Tungkainys memasuki ruangan, netra Cindy menangkap sosok dokter Bisma yang tengah duduk di sofa, ada ayah, bunda dan ... tentu saja Claudya, yang duduk pada sofa panjang.
Ruang praktik dokter Bisma memang cukup berbeda dibanding ruangan dokter lainnya—lebih luas.
"Dokter Cindy, silakan," ucap dokter Bisma.
Cindy mendudukkan tubuhnya di samping Claudya. Sadar keberadaannya sedikit agak terlambat. "Gimana, hasilnya?" Bisiknya pada Claudya.
"Positif anemia aplastik," jawab singkat Claudya.
Cindy meraih tangan Claudya, menggenggam erat menyalurkan kekuatan. "Nggak apa-apa, lo pasti kuat," ucap Cindy.
Mereka masih mendengarkan penjelasan dokter Bisma, penjelasan tentang penyakit anemia aplastik.
"Jadi, Dok, Claudya harus mejalani transfusi darah setiap bulannya?" tanya Cindy.
Dokter Bisma mengangguk. "Iya, untuk saat ini kita akan melakukan tindakan tersebut lebih dahulu." Dokter Bisma menjeda ucapannya, mengalihkan pandangannya ke arah Claudya. "Untuk pasien, jangan terlambat ya, setiap bulannya. Tidak perlu khawatir. Kamu akan baik-baik saja," tandas dokter Bisma menyakinkan.
"Baik, Dok," sahut Claudya, terdengar sedikit lemah.
Pertemuan dengan dokter Bisma sudah selesai. Rasanya tidak ada lagi yang harus ditanyakan. Mereka semua beranjak dari posisi duduk, dokter Bisma menyerahkan sebuah amplop besar ke ayah. Amplop coklat yang sejak tadi berada di hadapan dokter Bisma, Cindy bisa menerka isinya. Seputar catatan medis dan hasil laboratorium pemeriksaan Claudya.
Penjelasan dokter Bisma lebih dari cukup, rasanya tak perlu lagi Cindy melihat hasil yang tertulis pada lembaran kertas di dalam amplop tersebut.
Mereka sudah ke luar dari ruangan dokter Bisma. "Cindy kembali kerja lagi, Bun, Yah," ujar Cindy.
"Jaga kesehatan ya."
Jika biasanya kalimat itu akan keluar dari bunda. Lain halnya sekarang, kalimat itu keluar dari mulut ayah.
"Baik, Yah. Kalian hati-hati pulangnya," pesan Cindy.
Cindy bergerak memeluk gadis di depannya. "Lo jaga kesehatan, jangan capek-capek," bisiknya, Claudya hanya mengangguk.
Mereka berlalu meninggalkan Cindy yang masih termangu, menatap mereka yang akhirnya hilang di balik tembok koridor.
Lo ... pasti bisa Cla, lo pasti sehat kembali.
.
.
.
.
To be continued..
.
Tanjung Enim, 10 Juni 2020
Revisi 12 Des 12
Salam
RinBee 🐝
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top