21. Jangan Takut, Ada Aku.
Chan dan Cla masih dalam perjalanan pulang. Sejak meninggalkan rumah sakit tadi, Claudya masih belum mau membuka suara.
Meskipun Chan sudah berusaha mengajak berbicara, tapi sepertinya sekarang ia lagi menerapkan silence is gold.
"Cla ...," panggil Chan berusaha membuka pembicaraan kembali.
Diam! Ya, diam lagi yang Claudya lakukan.
"Princess-nya Chan, ngomong dong. Gue nggak betah nih, didiamkan kayak begini," ujar Chan, dengan suara sengaja dibuat-buat terdengar lucu. Sedikit usaha membujuk Claudya agar mau membuka suara.
Namun, apa yang Chan dapat? Claudya yang masih bertahan dengan mulutnya terkunci rapat, Chan jadi frustrasi sendiri jadinya.
"Ah! Fuck."
Umpatan kecil lolos begitu saja dari mulut Chan. Sadar dengan apa yang baru saja dia lakukan, Chan menoleh sedikit ke kursi penumpang di samping.
Claudya, sudah mengalihkan tatapannya ke Chan.
Oh, Tuhan ... tatapan mata itu membuat gue lemah.
Lain Claudya, lain Cindy. Jika Cindy akan melotot tajam saat mendengar Chan mengumpat, bahkan tidak segan menegur dengan kata-katanya yang terkadang tak kalah tajam. Namun, tidak dengan Claudya. Ia akan menatap Chan dengan tatapan seperti anak kucing minta dikasihani. Dan itu ... berhasil membuat Chan lemah.
tatapan Claudya sekarang sudah berkaca-kaca. Dengan sigap Chan menepikan mobil di sisi jalan yang cukup aman dari kendaraan lain.
"Eh, sorry ... sorry ... nggak seharusnya gue tadi ngomong kayak gitu," ujar Chan, tapi rasanya terlambat, satu butiran bening dari pelupuk mata Claudya jatuh begitu saja.
Entah keberanian dari mana, Chan melepas seatbelt yang dia dan Claudya pakai. Meraih bahu Claudya, lalu ... menariknya ke dalam pelukan.
Oke Chan, setelah ini siap-siap pipi lo dapat tamparan pedas. Sepedas seblak bi siti yang dagang di perempatan kompleks. Atau bahkan kepala lo, kena penggal.
Namun, apakah kali ini Chan harus berterima kasih dengan diamnya Claudya? Ya, Claudya hanya diam saja saat Chan bawanya ke dalam dekapan. Mematahkan ekpektasi-nya.
"Maaf, ya, gue nggak sengaja tadi, jangan nangis, oke?" ucap Chan, masih dengan posisi memeluknya, mengusap punggungnya.
Claudya mengangguk kecil dalam pelukannya. Tubuh Claudya sedikit Chan jauhkan, meneliti matanya yang tadi sempat mengeluarkan air mata. Meski pelukan sudah terlepas, tapi jarak antara mereka cukup dekat. Chan bisa merasakan embusan napas Claudya.
"Kita mau ke mana? Langsung pulang, ke mall, beli es krim atau ... serah lo mau ke mana, gue siap antar kemana pun."
"Gue mau ke toko buku," ucap Claudya, akhirnya membuka suara.
"Oke, siap komandan. Laksanakan," tandas Chan.
***
Chan dan Cla sudah berada di salah satu toko buku di kawasan kelapa gading. Claudya? Tetap, masih dengan mode diamnya.
Dari tadi Chan hanya mengikuti langkah kakinya. Mondar-mandir dari rak buku satu ke rak buku lainnya. Chan masih belum berani menanyakan perihal apa saja yang Claudya bicarakan saat di ruang praktik dokter Bisma.
Claudya tiba-tiba berhenti, berbalik menatap Chan. Cukup membuanya terkejut.
Ada apa? Kenapa dia tiba-tiba berhenti? Apa Claudya bisa mendengar isi pikiran gue?
"K-kenapa, Cla? Udah selesai? Mau gue bawain buku-bukunya?" tawar Chan, gugup awalnya. Cepat-cepat dia netralkan.
Diam lagi! Nggak jawab lagi saat ditanya.
Chan mengembuskan napas kasar. Claudya melanjutkan langkah kakinya, Chan melanjutkan kegiatan yang sempat tertunda—mengekori Claudya.
"Astagfirullah, Cla. Kasih kode ngapa, kalo mau berhenti," protes Chan, Claudya mendadak berhenti dan berbalik lagi, gue hampir menabrak tubuhnya yang berdiri diam didepan gue sekarang.
"Udah selesai," ucapnya, singkat, padat, jelas.
Chan meraih buku-buku yang Claudya bawa. "Oke, ayo ke kasir," ajak Chan.
Chan dan Claudya sudah berdiri pada antrian di kasir. Chan melirik Claudya yang berada di sisi kanan. Claudya menunduk, mengetuk-ngetuk ujung sepatunya pada lantai.
"Cla, kalo lo capek. Biar gue aja yang ngantri," bisik Chan.
Claudya hanya menoleh dengan malas.
"Lo duduk di sana aja," tunjuk Chan, ke sebuah bangku panjang di sudut ruangan, yang sengaja disediakan pihak toko untuk pengunjung yang datang.
Tanpa kata, Claudya berbalik menuju bangku itu. Chan sudah selesai di kasir, dia berjalan menghampiri Claudya. Claudya berdiri saat netranya menangkap yang kian mendekat.
"Mau ke mana lagi?" tanya Chan.
"Pulang," jawabnya.
Singkat banget sih, Cla. Gue pengin nguyel-nguyel lo jadinya saking gemasnya. Dari tadi irit banget ngomongnya. Udah kaya emak-emak menghemat uang belanja demi skincare.
"Oke, siap laksanakan. Princess Claudya."
***
"Assalamualaikum," ucap Chan, saat memasuki rumah kediaman keluarga Joanne.
"Walaikumsalam," sahut bunda dari arah ruang tengah. "Udah pulang?"
Claudya berjalan berlalu begitu saja, menapaki anak tangga ke lantai atas menuju kamarnya.
"Ada apa?" tanya bunda, terlukis sedikit rasa bingung di raut wajahnya.
"Chan juga nggak ngerti, Tan. Dari rumah sakit sampai perjalanan pulang Cla diem aja, nggak mau ngomong apalagi cerita," jelas Chan ke bunda.
Chan tatap lamat bunda, ada kekhawatiran tergambar di sana. Chan tepuk-tepuk pelan bahu bunda. "Tante, jangan khawatir, ya. Chan yakin Cla cuma capek. Nggak ada sesuatu yang serius," imbuh Chan menenangkan bunda.
"Tan, Chan boleh minta izin buat nemani cla, nggak?" ucap Chan meminta izin kepada wanita lembut yang masih berdiri di hadapannya.
Bunda mengangguk. "Tante titip cla, ya. Hibur cla."
Chan melangkahkan kaki menuju pantry dapur, membuka salah satu kabinet meraih satu mug kemudian mengisinya dengan air minum.
Chan menyusul Claudya ke kamarnya, mengetuk pelan pintu dihadapannya. "Cla, gue boleh masuk nggak?"
"Masuk aja," sahut Claudya dari dalam.
Chan masuk, Claudya duduk di pinggir tempat tidurnya.
"Minum dulu obatnya," ucap chan mengangsurkan air minum yang dia bawa tadi.
Claudya meraihnya. Membuka laci nakas, tempat di mana ia menyimpan obat-obatnya. Menenggak satu per satu butiran berbagai warna itu.
"Mau istirahat, tidur?" tawar Chan.
Claudya hanya menggeleng. Menunduk menatap ... entah apa yang menarik dari lantai itu, hingga Claudya enggan mengalihkan pandangannya dari sana.
"Chan," panggil Claudya.
Alhamdulillah, ya Allah. Akhirnya Claudya membuka suara lebih dahulu.
"Ya? Butuh sesuatu."
Diam lagi. Tapi kali ini, bahu Claudya bergetar. Isakan terdengar jelas.
Chan panik. "Eh, kok nangis."
Chan duduk, bersisian di samping Claudya. Meraih bahunya, memeluknya. "Kenapa? Lo ada sesuatu yang mau diceritakan? Cerita sama gue."
Getaran dari Isak tangis Claudya semakin menjadi dalam dekapan Chan. "Sudah ... lo tenang ya, jangan nangis lagi."
"Chan, gue takut," lirih Claudya.
"Jangan takut. Gue ada di sini."
C
han mengeratkan pelukan, mengusap punggungnya. Membiarkan Claudya menumpahkan segala sesuatu yang menggangu perasaannya—yang Chan juga tidak tahu itu apa.
Tangisnya mulai mereda. Chan menguraikan pelukan, menghapus air matanya di permukaan pipinya.
"Mau istirahat?" tawar Chan, Claudya mengangguk. Beringsut menaiki tempat tidurnya.
"Chan," panggil Claudya, dengan posisi bersandar pada sandaran kepala tempat tidurnya. Menepuk sisi kosong di sebelahnya. "Sini, temenin gue."
Ini gue nggak salah, 'kan ya? Claudya nawari gue?
Chan masih bingung. Menatap pergerakan Claudya.
"Lo nggak mau nemenin gue?" gumamnya.
"Hah? I-iya, gue temani."
Dengan senang hati princess. Demen nih gue, kalo Claudya udah manja kaya anak paud begini.
Chan dan Claudya duduk bersisian, bersandar pada sandaran tempat tidur. Selimut berwarna pink biru muda miliknya menutupi sebatas lutut.
"Cla, yakin nggak mau cerita?"
"Nggak, gue baik-baik aja, kok."
"Baik-baik aja gimana, sih Cla. Lo tiba-tiba nggak mau ngomong, lo tiba-tiba nangis, tanpa gue tahu karena apa. Itu yang dibilang baik-baik aja," sindir Chan.
Claudya merendahkan sedikit tubuhnya, gusar. Kembali Chan raih tubuhnya kedalam dekapan. "Kalo ada yang mengganjal, dan lo udah siap cerita. Gue siap dengerin," tandas Chan.
Eh, apa ini? Claudya membalas pelukan gue.
Claudya membenamkan wajahnya di dada Chan. Dengan posisi Chan masih setengah duduk bersandar di sandaran tempat tidur.
"Chan, kalo gue nggak ada. Lo mau nggak, janji ke gue."
Chan menunduk, menatap Claudya. "Lo ngomong apaan, sih Cla," protesnya.
"Ya, lo mau nggak janji ke gue?" tanyanya, sedikit mendongak ke atas.
"Janji seperti apa dulu."
"Janji, lo bakal jagain bunda, jagain Cindy. Janji bakal masih jadi bagian rumah ini, meski ... gue nggak ada."
Sakit! dada Chan serasa sesak saat ucapan itu lolos dari bibirnya. Seolah itu salam perpisahan.
"Iya, gue janji masih akan jadi bagian rumah ini, janji akan jagain Cindy, Tante Salma, jagain Kak Ina," tandas Chan.
"Kak Ina nggak usah. Kak Ina udah ada bang Cakka yang jagain," potongnya.
"Bunda lo? Kan udah ada bokap lo juga yang jagain?"
"Tapi, ayah sering kerja. Bunda kadang nggak punya teman di rumah."
"Gimana dengan Cindy? Nanti juga dia bakal ada suami, yang bakal jagain dia," protes Chan lagi.
"Gimana, kalo lo aja yang jadi suaminya?"
Aduh... Ini cewek enak bener ngomong. Dikira jadi suami anak orang tinggal tunjuk aja. Gimana dengan hati gue, Cla. Yang udah stuck nggak bisa kemana-mana lagi dari lo.
"Lo ngomong apa sih, Cla. Istirahat sana, udah ngelantur gini ngomongnya."
Chan masih memikirkan ucapan Claudya beberapa saat lalu, Claudya sudah terlelap—di pelukan Chan.
Chan membaringkan tubuhnya, membenarkan posisi tidurnya. Menarik selimutnya hingga dadanya.
Menyingkirkan anak-anak rambut yang menutupi dahinya.
Chan, hari ini sudah banyak banget perbuatan lancang yang lo lakuin. Persiapkan diri kalo besok lo kena cambuk karena perbuatan lo.
Chan bergerak mendekat akan bibirnya, mengecup dahi Claudya.
"Jangan takut, ada gue. Gue sayang lo, Cla," cicit Chan, sembari beranjak meninggalkan Claudya.
.
.
.
.
Bersambung....
Tanjung Enim, 08 Juni 2020
Revisi : 11 Des 2020
.
.
Salam Sayang ❤️
RinBee
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top