2. Tentang Mereka.
Cindy dan Kak Ina masuk dengan langkah perlahan. Tatapan Cindy nanar memperhatikan keadaan. Di sana sudah ada Claudya, berbaring di bed pasien dengan infus di tangan kirinya. Panel oksigen dan call nurse yang terletak tidak jauh di atas bed. Ada ayah dan bunda duduk di kursi tunggu.
Cindy mengayunkan kakinya, lebih mendekat ke arah keberadaan Claudya, duduk di samping bunda. Tidak berapa lama kemudian ayah beranjak dari tempatnya. Memberi isyarat pada bunda, lalu melangkah ke luar ruangan. Karena masih ada yang mesti diurus mengenai administrasi Claudya.
"Kak Cindy di sini dulu, ya. Bunda sama ayah masih ada yang mesti diurus," perintah bund untuk Cindy turuti.
Tatapan Cindy beralih pada seseorang pria yang beranjak dari posisinya lebih mendekat ke arahnya. Chandrika Alterio atau biasa dipanggil Chan; tetangga sekaligus teman kecil.
Sejak kecil mereka sudah bersahabat, tetapi jika urusan menjaga. Chan selalu ... mengutamakan Claudya.
"Hai, Cin. Apa kabar?" Sapa Chan.
"Alhamdulillah. Sehat, Chan. Lo gimana kabarnya? Katanya, lo mau tinggal di Singapur ikut nyokap lo. Kok, bisa di sini?" Cindy bertanya.
"Gue juga baik, Cin. Rencananya sih begitu, gue udah satu setengah bulan tinggal di sana, balik lagi ke sini," jelas Chan.
"Loh, kenapa? Bukannya enak lo bisa tinggal sama nyokap lo. Lagian, kalo cuma satu setengah bulan, bukan netap tapi niat cuma liburan doang."
"Nggak enak, Cin. Singapore nggak ada ketoprak, nggak ada nasi padang, dan nggak ada kerak telor."
"Kan, lo bisa minta masakin sama nyokap lo."
"Dari kecil lidah gue udah biasa dengan masakan oma. Jadi aneh aja rasanya kalo nggak makan masakan oma."
"Tapi di sana banyak cewek cantik, Chan. Ya siapa tau aja, pas pulang lo udah bawa satu buat dikenalkan ke kita sebagai calon Mrs. Alterio," timpal Claudya
Inilah Claudya, meskipun sedang sakit, dia tidak akan menunjukkan diri sebagai orang pesakitan.
"Gue, udah punya Princess Claudya," seloroh Chan santai.
Cindy dan Cla kompak memutar bola mata. Malas mendengarkan penuturan Chan yang sudah sangat sering diucapkan. Namun, jauh di hati salah satu dari mereka, ada yang merasa tercubit.
Chandrika, sosok pribadi yang hangat, baik dan, humoris. Pandai menjadi penghibur bagi orang yang tengah bersedih. Seperti sudah jadi prinsip hidupnya, akan membuat orang sekitarnya bahagia. Tapi di balik itu semua, Chandrika adalah sosok yang cukup banyak menyimpan cerita pedih dalam hidupnya.
Chandrika satu tahun lebih tua dari Cindy dan Cla, Chan kecil pindah ke Jakarta saat usia enam tahun. Dari lahir Chan kecil sudah tinggal di Singapore bersama orang tuanya. Ibu Chan bekerja di Kedutaan Besar Republik Indonesia Singapura. Sedangkan ayahnya, pengusaha yang cukup sukses di bidangnya.
Kedua orang tua Chan bercerai saat Chan berusia lima tahun. Ayah Chan berselingkuh dengan rekan bisnisnya, dan hingga sekarang memilih menetap di Sydney Australia. Bersama keluarga barunya.
Di Singapura Chan sudah duduk di bangku sekolah dasar, Chan yang harusnya seperti anak-anak lainnya. Pergi ke sekolah dan bermain dengan teman-temannya yang lain, tetapi kemalangan menghampiri Chan kecil, hingga semua yang anak-anak lain lalui dengan sukacita tidak terjadi pada Chan kecil.
Pertengkaran kedua orang tuanya yang hampir setiap hari harus dia dengar. Hingga berujung perpisahan kedua orangtuanya di meja hijau, berdampak pada psikis Chan, itu sebabnya Chan jarang pergi ke sekolah, hingga sang oma menjemput Chan pindah ke Jakarta.
Saat di Jakarta, Chan tidak langsung melanjutkan pendidikannya yang sempat tertunda, tapi justru mengulang dari awal di tahun berikutnya bersama Cindy dan Claudya. Trauma mendalam yang terjadi pada Chan kecil, membuat Chan harus mendapatkan perawatan dan terapi dari psikiater selama kurang lebih satu tahun.
Cindy mengingat jelas saat pertama kali Cla membawa Chan ke rumah mereka, memperkenalkan Chan sebagai teman barunya.
Cindy mengakui, Cla sejak kecil memang mudah akrab dengan orang baru, berbanding terbalik dengannya. Cindy cukup kesulitan untuk mengakrabkan diri terhadap orang baru.
Chan yang lahir di Singapura, terbiasa sejak kecil hingga berusia enam tahun berbahasa Inggris, meski orangtuanya tidak lupa mengajarkan bahasa Indonesia terhadapnya. Lucu memang, anak usia enam tahun berbicara menggunakan bahasa Indonesia, tapi sesekali bercampur bahasa Inggris. Claudya sejak kecil sangat menyukai belajar bahasa asing. Itu sebabnya Chan dan Cla bisa lebih akrab.
Lama mereka saling bertukar kabar dan cerita, sesekali mengenang dan menertawakan masa konyol saat kecil. Lebih tepatnya Cindy dan chan saja yang bertukar cerita ini. Karena Cla sudah terlelap—pengaruh obatnya.
Ayah dan bunda sudah pulang ke rumah. Sebelum akhirnya, suara Bang Cakka mengalihkan atensi mereka.
"Sayang, kamu lapar nggak?" Bang Cakka melontarkan pertanyaan ke Kak Ina—istrinya.
"Belum begitu lapar, sih, sebenarnya. Tapi ... Cindy?" Seketika Kak Ina melirik Cindy.
"Abang bawain makan siang, ya. Kamu pasti belum makan, kan?" tawar Bang Cakka sembari berbalik menatap Cindy.
"Terserah Abang aja, emang Abang tahu Cindy mau makan apa?"
"Tau dong, paling juga nggak jauh-jauh dari makanan sehat," sahut Bang Cakka yang paham adiknya ini sangat memperhatikan asupan yang masuk pada tubuhnya.
"Eh ... eh, Cin. Gue penasaran, lo masih ingat nggak makanan kesukaan gue?"
"Batu bata saos padang," jawab Cindy meledek.
"Sialan, lo kira gue apaan," protes Chandrika.
"Hei! Tolong bahasa di kondisikan," protes Cindy ke Chan.
"Maaf, Cin. Kelepasan," katanya. Lengkap dengan cengiran khas Chan jika melakukan kesalahan.
Iga bakar dan ice americano. Gue masih ingat makanan dan minuman kesukaan lo.
Chandrika sangat menyukai makanan olahan daging seperti steak, iga bakar. Bahkan saat Chan mengetahui Kak Ina berasal dari Padang, ia begitu antusias. Seketika itu juga dendeng batokok dan rendang masuk kedalam daftar makanan favoritnya.
Untuk minuman Chan sangat menyukai minuman dengan olahan kopi. Dan favoritnya jatuh pada ice americano yang paling disukainya dan yang kedua adalah espresso.
Cindy megulurkan tangannya mencari benda pipih—yang tidak dia ingat simpan di mana.
Kak Ina yang seakan tahu apa yang sedang dicari Cindy, tiba-tiba menyuarakan suaranya. "Cari apa, Cin?"
"HP Cindy, mana ya, Kak." Cindy masih dengan ekspresi mengingat-ingat di mana terakhir dia melihat benda itu.
"Ini, kakak simpan di sling bag kamu, di bagian dalam. Tadi hampir ketinggalan. Kamu letakkan gitu aja di sofa ruangan kamu," jelas kak sembari menggerakkan dagunya menunjuk keberadaan tas tersebut.
Cindy meraih tas kecil berwarna nude yang diletakkan di atas meja sofa, tepat berada di depan kak Ina.
"Makasih, Kak," ucap Cindy. Saat keadaan panik tadi keberadaan kak Ina sangat membantu.
Kak Ina memutar tubuhnya sedikit menghadap Cindy. Tak lupa senyum teduh ciri khas Kak Ina ujuk eksistensinya
Astaga ... senyumnya sungguh bikin melting. Pantas aja bang Cakka jatuh cinta dengan wanita ini. Hanya butuh waktu kurang dari tujuh bulan bang Cakka memantapkan hati dan akhirnya melamar Kak Ina.
"Cin ...," panggil lembut kak Ina pada Cindy.
"Ya Kak."
"Kalian emang deket banget, ya, sama ... Chan?"
Kak Ina memang belum banyak mengetahui hubungan pertemanan Cindy, Claudya, Chan. Terhitung kak Ina dekat dengan bang Cakka, hingga sekarang. Kak Ina hanya dua kali bertemu Chan. Pertama di acara lamaran, dan yang ke dua sekarang ini. Bahkan acara pernikahan bang Cakka dan Kak Ina dua bulan lalu, keberadaan Chan pada saat itu sudah berada di Singapura.
Terlebih setelah menikah kak Ina dan bang Cakka langsung menempati rumah mereka sendiri, tidak tinggal satu rumah dengan Cindy dan Claudya yang bertetangga dengan rumah oma Chan.
"Ya gitu, Kak. Kita temenan sama Chan dari kita masih bocah, Kak. Dari kita yang masih cengeng. Pergi ke sekolah bareng, belajar bareng, main bareng. Pokoknya kemana-mana selalu bertiga."
Cindy mengingat kembali masa kecilnya bersama Claudya dan Chandrika. Dia kembali melanjutkan ceritanya.
"Sampai-sampai, pernah pas liburan sekolah Chan ikut kita liburan ke Bandung, cuma karena nggak mau pisah dari kita. Padahal saat itu, mamanya Chan datang jauh-jauh dari Singapura jemput Chan untuk liburan di sana."
Cindy yang masih mengingat masa kecil yang mereka habiskan bersama, tiba-tiba tersadar dengan kalimat yang selanjutnya keluar dari kak Ina.
"Oh, berarti sudah paham, ya. Satu sama lain. Pantas saja ...." Kak Ina menggantungkan kalimatnya.
"Kenapa, Kak?"
"Nggak, kenapa-kenapa. Kakak cuma merhatiin ekspresi panik Chan. Dia khawatir banget sama Cla. Bisa tenang waktu Cla udah mulai siuman." Kak Ina melirik Cindy. "Hmm ... pasti gitu juga ke kamu?" tanya kak Ina selanjutnya.
"Hmm ... maybe." Pertanyaan mendadak Kak Ina seakan mencekik tenggorokan Cindy.
Cindy mengayunkan tungkainya menuju ruang inap Claudya. Dia melirik pergelangan tangan kirinya, sudah menunjukkan pukul 16:45 wib.
Tadi siang Cindy menyempatkan untuk pulang ke apartemennya, sekedar beristirahat sejenak. Perlahan Cindy membuka pintu. Manik matanya terpaku pada dua sosok anak manusia yang sedang bercanda.
"Ekhm ...." Cindy berdeham guna memecah kegiatan mereka.
"Eh, Cindy," ucap Chan dengan cengiran tanpa dosa, lagi-lagi terpasang di mukanya.
"Kenapa lo, Chan? Udah kayak kena ciduk habis berbuat yang nggak-nggak."
"Nggak ... cuma kaget aja. Tiba-tiba lo udah masuk. Kapan datangnya."
CK! Dasar ... kalo lagi bucin ya begini. Keberadaan orang nggak pernah disadari.
Cindy berjalan sembari menjatuhkan tubuhnya di sofa. "Chan," panggilnya pada sosok yang masih duduk di kursi samping tempat tidur Claudya.
"Y-ya?" jawabnya dengan kikuk.
"Nggak pulang, lo? Ntar oma nyariin, lho."
Cindy yang memperhatikan air muka Chan ingin rasanya menarik garis bibir melengkung ke atas lebar-lebar. Lucu sekali memang ekspresi Chandrika jika sedang kikuk seperti sekarang ini. Mata bulatnya semakin melebar.
"Ah ... lo, Cin. Ganggu orang bermesraan aja, tau nggak."
"Jangan bermesraan, deh. Ini rumah sakit bukan tempat kencan," cibir Cindy sebal. "Lagian berduaan nggak baik. Ntar yang ke tiga se—"
"Setan?" potong Chan. "Kan, yang ke tiga lo cin. Lo juga nggak tau kapan masuk. Tiba-tiba, udah muncul aja, di depan muka. Berarti lo ... set—"
"Berani lo ngomong begitu, gue panggil security buat nyeret lo keluar," ancam Cindy pada Chan.
Chandrika hanya membungkam mulutnya, tidak berani menyela dengan kalimat apapun.
"Kalian ini, semakin gede semakin kayak Tom Jerry, deh. Biasanya jodoh, lho." Claudya menimpali perdebatan antara Cindy dan Chan.
"Cla ... tapi, kan. Gue maunya jodoh sama lo."
Chandrika menampilkan tingkah laku layaknya anak kecil menggemaskan. Saking gemasnya, ada rasa keinginan mencubit pipinya—dengan capitan lobster tentunya.
"Udah deh, gue mau lanjutin kerjaan gue aja. Kalo mau bermesraan lagi silahkan, lanjutkan. Asal jangan berisik ganggu gue kerja."
"Wah ... Cindy yang terbaik! Lo emang sahabat terbaik gue, Cin. Ntar kapan-kapan gue traktir, ya."
Chandrika dengan tawa riangnya menyambut baik apa yang Cindy utarakan barusan.
"Gue nggak lo traktir, Chan. Cuma Cindy, doang nih?" Claudya mengerucutkan bibirnya seolah sebal dengan Chan.
"Uluh ... uluh ... Princess ngambek. Tenang, Especially for you. Jangankan traktir makan. Membahagiakan lo seumur hidup pun, gue sanggup."
Cindy sudah mendudukkan tubuhnya pada sofa yang tersedia, segera melarutkan pikirannya ke dalam map berwarna biru, embar demi lembar diteliti dengan seksama.
Chan dan Cla masih asik dengan dunia mereka berdua masing-masing.
Claudya dengan gadget-nya, acap kali tersenyum.
Chan tidak begitu jauh berbeda dengan Claudya. Asik bermain game online dengan benda canggih persegi itu. Suara dari game yang sedang dia mainkan sedikit mengganggu pendengaran Cindy. Namun, tetap Cindy abaikan.
"Nggak, dong! ganteng oppa Kim ...." Nama salah satu oppa Korea yang Claudya sebut.
"Ganteng juga gue. Coba, deh. Lihatnya pakai mata hati."
"Apaan sih, Chan."
Bisa ditebak pembahasan mereka seputar oppa Korea kesukaan Claudya. Chan pasti dipihak yang tidak mau kalah, jika bahasanya mengenai visual.
Cindy sibuk dengan handphone-nya, satu per satu inbox pada aplikasi bergambar surat tersebut Cindy buka, mengecek email-email yang masuk.
"Cla ... gue ada job, nih. ke Bogor."
Lagi-lagi suara baritone Chandrika seolah memang sudah ditakdirkan memecah keheningan.
"Terus, lo mau ke Bogor?" Pertanyaan yang terlontar dari Claudya.
"Hmm ... sepertinya. Soalnya kita udah terlanjur terikat kontrak."
"Kapan berangkat?" Lagi suara Claudya terlontar hanya untuk sebuah pertanyaan.
"Minggu depan. Cuma belum tahu kapannya." Chan tampak ragu melanjutkan ucapannya. "Atau gue nggak usah pergi aja kali, ya. Biar dari team lain aja yang gantiin gue."
"No! You have to go, I don't like irresponsible people."
"But who will take care of you."
"Kan, ada ayah, bunda, kak Ina, dan bang Cakka. Terlebih lagi kita punya Dokter Cindy."
"Kenapa?" tanya Cindy yang masih belum mengerti maksud mereka menyebut namanya.
"Gue mau ke Bogor, ada kerjaan. Gue titip Cla, ya."
"Gue kirain apa, Chan. Iya tenang aja tuan Putri Claudya akan aman di tangan gue. Gue ini kakaknya, kalau lo lupa, Chan."
Claudya terkekeh mendengar penuturan Cindy. Chan berbalik kembali menatap Claudya. Mengulurkan tangannya menyentuh surai hitam Claudya.
"Nanti ... kalo gue di Bogor, lo baik-baik ya. Nurut apa kata Cindy dan yang lainnya. Minum obatnya yang teratur. Makannya yang banyak, istirahat yang cukup."
Claudya menarik garis sudut bibir, senyumnya begitu tulus hingga menampakkan eye smile berbentuk bulan sabit
"Yaelah ... lo 'kan belum tau kapan berangkatnya. Udah banyak banget pesannya buat Cla. Bisa aja, kan. Sebelum lo berangkat Cla udah di bolehin pulang," sela Cindy pada Chan.
"Lo kenapa sih, Cin. Dari tadi demen banget ganggu momen kita."
"Tapi, Chan. Benar juga kata Cindy. Siapa tau, gue bisa cepet pulang. Gue udah nggak nyaman berlama-lama bau obat."
"No. You can't go home before you fully recover."
"Terus gimana kalo dokternya yang beri izin pulang. Hayo?"
"Boleh pulang, asal dokter yang izinin. Jangan lo yang minta pulang kayak lo yang sudah-sudah."
Claudya seketika meredupkan pandangan. Sedikit menekuk garis melengkung ke bawah.
"Hei, Princess. Jangan sedih gitu, ini demi kebaikan lo. Gue cuma nggak mau lo sakit."
"Mau, kan? nurutin permintaan gue."
Lagi!
Chan menyuarakan apa yang ia mau.
"Iya. Iya. Gue paham," jawab singkat yang keluar dari mulut Claudya yang tadi bungkam sesaat.
"Anak. Pintar," puji Chan, mengacak-acak poni Cla dan sukses mendapat pukulan kecil di lengan kanan Chan.
Sementara Cindy hanya bisa mengepal tangannya erat, melihat interaksi Cindy dan Chandrika.
TBC
"Jangan lupa COMENT dan VOTE"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top