19. Coming Home

Dua hari di Bali, cukup memberi kesan tersendiri bagi Cindy. Rasanya tidak sabar menunggu awal bulan, saat di mana Cindy dan tim benar-benar bertugas di Bali. Ia sangat menantikannya.

Namun, sebelum memulai tugas di sana, ada tugas yang mesti Cindy selesaikan terlebih dahulu, pekerjaannya di sini. Dan yang paling terpenting dari tugasnya yang lain adalah, membujuk Claudya untuk melakukan bone marrow puncture (BMP) atau biasa disebut aspirasi sumsum tulang.

Taksi online sudah membawa Cindy membelah jalanan ibu kota. Sengaja dari bandara Cindy langsung menuju rumah, bukan ke apartemennya.

Bermalam satu malam di rumah tidak ada salahnya. Toh, besok juga weekend.

Taksi sudah memasuki halaman rumah. Ayah, bunda, dan Claudya mengetahui Cindy berada di Bali beberapa hari kemarin, tapi mereka tidak tahu jika Cindy akan pulang ke rumah hari ini.

"Assalamualaikum, bunda ini Cindy," teriaknya.

Ditekannya bel berulang saat pintu belum juga ada pergerakan untuk dibuka, seperkian menit berikutnya, rungunya menangkap suara pintu bergerak terbuka.

Cindy berniat memeluk orang di balik pintu itu, entah bunda, ayah, Claudya atupun Bude Yanti. Karena memang ... Cindy sangat merindukan mereka.

Daun pintu semakin terbuka lebar. Namun ... niatnya terhenti, saat sadar yang ada di balik pintu itu bukan salah seorang yang ada dalam ekpektasinya.

"Lo?! Kok, di sini?" teriak Chandrika.

"Gue yang harusnya nanya, ngapain lo ada di rumah gue," sungut Cindy.

Chandrika hanya menyengir, menampilkan deretan gigi rapinya, menggaruk tengkuknya.

Cindy menatapnya yang masih berdiri di ambang pintu. "Lo, kalo nggak ngebucin, nggak bisa ya, Chan? Hidup lo, nggak bisa bermanfaat sedikit."

"Astagfirullah, Cin. Nyebut, ya Allah. nista amat hidup gue di mata lo," protesnya.

Cindy hanya berlalu, menarik kopernya masuk ke dalam rumah.
Cindy berbalik menoleh ke arah Chan lagi.

"Bunda dan Claudya, mana?" tanyanya.

"Di atas. Di kamar Cla, dia lagi nggak enak badan katanya tadi," tutur Chan.

"Cla, sakit?"

Pertanyaan Cindy belum mendapat jawaban, Chan bergerak mendekat Cindy, menarik gagang koper yang sudah terlepas dari genggaman Cindy. Tangannm Chan bergerak mengelus puncak kepala Cindy. "Sini, gue bantuin bawa," tawarnya.

Pipi Cindy rasanya seperti menghasilkan peningkatan suhu. Hanya karena puncak kepalanya diusap oleh tangan Chandrika.

Cindy sudah menaiki undakan anak tangga, langkahnya sudah terhenti di depan pintu kamar Claudya. Cindy mengetuk pintu kamar Claudya.

"Apaan sih, Chan. Pake ngetuk segala, tadi juga nyelonong masuk," ujar Claudya dari dalam kamarnya. Dia masih belum mengetahui bahwa yang mengetuk pintu barusan adalah Cindy, bukan Chandrika.

"Loh? Cindy ...," teriak bunda dan Claudya kompak.

Cindy masuk, mendekati tempat tidur Claudya. Netranya memperhatikan tubuh Claudya.

"Kok, mau ke sini nggak bilang-bilang, 'kan bunda bisa masakin buat kamu." Bunda tersenyum seraya menyambut uluran tangan Cindy untuk menyalaminya.

"Cindy sengaja biar suprise, Bun."

Bunda hanya tersenyum menanggapi penjelasan Cindy. "Kamu udah makan?" lanjut bunda.

"Belum, Bun," jawabnya singkat.

Bunda berdiri dari posisi duduknya, dan berkata, "Bunda siapin, ya." sebelum akhirnya berlalu meninggalkan Cindy dan Claudya.

Cindy mengalihkan pandangannya pada Claudya yang masih duduk bersandar pada sandaran tempat tidurnya. "Lo, sakit lagi?"

Claudya membuka mulutnya, hendak mengeluarkan sepatah kata. Sebelum ... Chandrika masuk dan menginterupsi semuanya. "Cin, koper lo udah gue masukin ke kamar lo, ya."

Cindy menoleh ke sumber suara, lalu mengangguk sebagai respon.

"Gue ... gue, cuma demam biasa kok, Cin." Suara Claudya terdengar sumbang, kentara sekali ia sedang bersikap—sok baik-baik saja.

***

Bunda menepuk-nepuk pelan sisi sofa yang kosong di belahnya. Cindy menuruti permintaan Bunda. Setelah makan siang, mereka berdua duduk di halaman samping rumah, menghadap ke kolam kecil yang berisi ikan-ikan peliharaan ayah.

"Kak," panggil Bunda.

"Ya, Bun."

"Gimana, kerjaannya? Bali, enak nggak? Kak Cindy, nggak kesulitan, 'kan ketemu sama orang-orang baru."

Selain Claudya, bunda adalah orang yang sangat paham akan Cindy yang kerap kali kesulitan dengan orang baru.

Cindy menggeleng pelan, "Alhamdulillah, Cindy nggak kesulitan kok, Bun."

Posisi duduk Cindy sudah menyerong menghadap bunda. "Kesehatan Claudya belakangan ini ... baik-baik saja, 'kan?"

Bunda terlihat gusar, jemarinya sudah memilin ujung baju yang sedang ia kenakan. Bunda membasahi bibirnya sebelum berujar, "Kak Cindy ... bisa bujuk Cla? Bujuk Cla, agar mau melakukan pengobatan lebih lanjut."

Cindy meraih tangan bunda, mencoba menenangkan wanita di hadapannya ini. Bahu bunda bergetar kecil, ia menumpahkan sedikit air matanya. Bunda mendongak, menatap lurus ke arah Cindy. Sebelum akhirnya kembali menunduk.

"Bunda ... bunda, sayang banget sama kalian. Bunda sayang Claudya, meski bukan anak—" Bunda mengatupkan bibir, menghentikan ucapannya.

"Bukan anak?" ulang Cindy.

"Maksudnya, meski Claudya bukan anak yang benar-benar terlihat kuat, tapi Bunda yakin, Claudya bisa melalui semua ini, kita semua akan selalu ada di sampingnya, 'kan? Memberinya kekuatan. Iya, 'kan?"

Aku mengangguk pelan. "Iya, kita akan selalu memberikan semua yang terbaik."

"Bunda ... sudah berusaha membujuk Claudya, bunda juga sudah minta bantuan Chan, Bang Cakka dan Kak Ina. Tapi, Claudya masih bersikeras nggak mau melakukan pengobatan itu."

Bahu bunda tidak lagi bergetar kecil. Kini getaran dan suara parau sudah bersatu, seakan mendeklarasikan bahwa mereka menang, mereka berhasil mengalahkan pertahanan bunda untuk tidak menangis. Pada akhirnya ... bunda menangis. Menumpahkan segala emosional yang terhentak, yang menjadikan dada sesak.

"Cindy, akan bujuk Cla. Janji," ucap Cindy pada bunda.

***

Cindy putar-putar pelan ponselnya di atas meja riasnya. Cindy membuka aplikasi chat. "Sudah tidur, Cla?" Pesan yang Cindy kirim ke kontak Claudya.

Hanya butuh dua menit pesannya sudah mendapat balasan. Belum, Cin. Kenapa?"

Cindy melirik jam yang tertampil di layar atas pada ponselnya. Menunjukkan angka 8:13 PM. Pesan singkat Claudya tidak ingin Cindy balas, Cindy melangkahkan kaki menuju kamar sebelah.

"Cla ... boleh gue masuk?" tanyanya di balik pintu yang tidak tertutup dengan rapat.

"Masuk aja, Cin. Nggak gue kunci, kok."

Cindy mendorong pelan daun pintu hingga terbuka, menutupnya kembali saat tubuhnya sudah berada di dalam kamar Claudya.

Aku merangkak menaiki tempat tidur, mendekati Claudya yang duduk bersandar pada sandaran tempat tidur.

"Lagi apa?" tanya Cindy. Saat posisiny sudah sejajar seperti Claudya.

"Lagi baca buku." Claudya mengangkat sedikit tangannya, memperlihatkan buku yang sedang ia baca.

"Gue ...," ucap Cindy tergantung di udara. Masih memilih kalimat yang akan diutarakan. "Gue, mau ngomong sesuatu sama lo Cla."

"Soal ... pengobatan itu?" tebaknya.

Cindy mengangguk membenarkan.

"Menurut lo, gue harus gimana, Cin?" cicitnya, yang terdengar ada rasa takut.

"Percaya sama gue. Nggak ada yang mesti lo takuti."

Claudya menutup bukunya, menyimpan di atas nakas sebelahnya.

"Tapi ... gue benar-benar takut, Cin," ucapnya sambil tertunduk, telunjuk kanannya sudah bergerak membuat pola acak di atas punggung tangan kirinya.

Cindy bergerak meraih bahunya, memutar posisi tubuhnya agar menghadap Claudya.  Ditariknya tubuh Claudya, memeluknya erat. Mengusap-usap punggungnya yang sudah bergerak naik turun, terdengar isakan kecil.

"Lo tahu? Gue, bunda, ayah, Bang Cakka, Kak Ina, serta ... Chandrika. Sayaanngg banget sama lo, kita semua khawatir sama lo. Terutama bunda. Lo ... mau ya menjalani semuanya?"

Hening. Sesaat Claudya mengendurkan pelukannya, menatap Cindy lamat. Tangan Cindy bergerak, dengan kedua ibu jarinya menghapus jejak air mata yang sempat tercipta di pipinya yang Cindy rasa sudah ... agak tirus.

"Gue ... gue, mau menjalaninya," tandasnya.

Mata Cindy seakan berkabut, mendengar kalimat yang sangat ia harapkan akhirnya didapatkan.

Cindy menarik kembali tubuhnya ke dalam pelukan. "Makasih, ya. Sudah menjadi Claudya yang penurut."

Claudya berdecak pelan. "Cin," panggilnya.

Ia menjauhkan tubuhnya, lalu berkata, "Tapi sebelumnya, boleh gue berdiskusi terlebih dahulu, sama ... dokter B?"

"Boleh, mau gue temani," tawar Cindy.

Claudya menggeleng. "Nggak usah, gue sama Chan aja."

Cindy mengangguk. "Kebetulan, dokter Bisma juga udah balik dari Bali. Kayaknya Senin beliau ada, deh."

"Cin ...," panggil Claudya lagi.

"Hmm ...."

"Mau ... nemani gue, tidur di sini?"

Cindy mengerenyitkan dahinya.

"Gue ... rindu tidur bareng sama lo, kayak kita masih kecil dulu."

Kalimat penutup Claudya, sebelum akhirnya Cindy sudah berbaring di samping Claudya, dalam selimut yang sama. Seperti ... saat mereka kecil dulu.
.
.
To Be Continue
.
.
.
.
Tanjung Enim, 1 Juni 2020
Revisi 7 Des 2020


Bye-bye
RinBee 🐝

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top