17. She
"Baby, are you sure you don't want to come with us?"
"Mommy, please. I have been 33 years. Not a child anymore."
"Bagi kami, kamu tetaplah bayi kami, Bee," ujarnya dengan senyum khas seorang ibu.
"Mom, panggilan bee itu sangat kekanak-kanakan." Kembali dokter Bisma memprotes panggilan yang sering ia dengar sewaktu masih kecil.
Bali, pulau dengan begitu banyak pesonanya. Membuat siapa saja menyukai pulau ini tak terkecuali kedua orang tua dokter Bisma.
Bali juga adalah tempat bersejarah bagi hidup dokter Bisma. Kedua orang tuanya dipertemukan di sini.
Setelah menghadiri pertemuan di hotel tadi siang, kedua orang tua dokter Bisma mengajaknya untuk bertemu dengan salah satu teman bisnis ayahnya. Yang kebetulan menjadi salah satu investor untuk Kalandra Hospital.
Pertemuan ringan yang hanya berkenalan dan berbincang seputar bisnis itu sudah selesai beberapa saat lalu, dokter Bisma memutuskan untuk berjalan-jalan sendirian menyusuri jalanan ubud, Bali. Orang tuanya? Tentu saja mereka sudah memiliki rencana sendiri, bernostalgia di tempat ini.
Di sepanjang perjalanan yang dokter Bisma lalui, dia membidik beberapa objek dan diabadikan pada kamera yang sengaja dia bawa.
Anak-anak berlarian dengan riang, suasana jalanan yang ramai dengan wisatawan asing maupun domestik, toko di pinggir jalan yang menjual pernak pernik khas Bali, tak luput dari bidikan kameranya.
"She?" gumam dokter Bisma.
Matanya tidak salah lihat, 'kan? Yang dilihatnya seorang gadis yang tidak asing lagi baginya, tengah menikmati makanannya di sebuah kafe.
Apakah ia tahu, sebenarnya ia sangatlah menggemaskan. Seperti sekarang ini, ia menggigit garpu kecil, dibiarkannya begitu saja garpu itu menggantung di mulutnya.
Kamera sudah siap, dokter Bisma tidak akan menyia-nyiakan objek ini. Objek sudah tertangkap sempurna dengan kamera, dokter Bisma menatap hasil dari layar kamera.
Dia sangat lucu, dan juga ... cantik.
Entah sudah berapa banyak foto yang diambil dokter Bisma, Cindy masih belum menyadari keberadaan dokter Bisma.
Sampai akhirnya dokter Bisma putuskan untuk menghampirinya. Matanya yang kecil membesar saat melihat kearah dokter Bisma. Namun, ada sirat bingung terselip di mata indahnya.
Dokter Bisma sudah berada tepat di depan mejanya, tetapi Cindy masih bergeming menatap dokter Bisma dengan wajah polosnya. Meja kayu ini diketuk untuk menyadarkan ia dari lamunan.
"Kamu ... kok, di sini?!" serunya.
Namun, tak lama menutup mulutnya, mungkin sadar dengan apa yang baru saja ia ucapkan.
Dokter Bisma hanya tertawa, tanpa sadar Cindy memanggil dengan kata sapaan 'kamu' tanpa embel-embel dokter yang biasa ia ucapkan.
"Boleh, saya duduk dan bergabung di sini?" tanya dokter Bisma.
"B-boleh, Dok," jawabnya sembari menyimpan garpu ke piring kecil.
Lagi-lagi Cindy seakan terbata, padahal beberapa saat lalu ia dengan lantang mengucapkan kalimat sebelumnya.
"Dokter, kok bisa di sini?" ulangnya.
"Kebetulan tadi habis bertemu dengan rekan kerja ayah saya, di sekitar sini juga."
"Oh, aku pikir, dokter mengikutiku," gumam Cindy yang masih bisa didengar jelas.
Dokter Bisma tersenyum mendengar penuturan Cindy.
"Mau banget, diikuti oleh saya? Nanti saya ikutin kemana saja Dokter Cindy pergi, boleh?" ucap dokter Bisma sambil membolak balik daftar menu yang ada di atas meja.
"Huh? Boleh," jawabnya enteng, kemudian sadar dengan ucapannya sendiri. "Ma-maksudku, bukan seperti I-itu."
Pupil mata Cindy yang kecil membesar, efek dari terkejut. Suaranya tiba-tiba terbata. Dokter Bisma tertawa kecil melihatnya.
"Dok," panggilnya menyentak fokus dokter Bisma.
"Iya?"
"Bagaimana keadaan Claudya? Cla, tidak merepotkan Dokter, 'kan?
Dokter Bisma tersenyum, Cindy sangat memperhatikan saudaranya.
Seorang dengan seragam khas kafe ini datang menghampiri. Menyimpan pesanan di atas meja.
"Thank you," ucap dokter Bisma kepada pelayan tadi.
Pelayan itu hanya membalas dengan senyum ramah, sembari berlalu.
Dokter Bisma melanjutkan pembicaraan yang tadi sempat terhenti. "Claudya, ia pasien yang baik. Sejauh ini masih bisa saya tangani. Oh, iya, Dokter Cindy?"
"Ya, Dok?"
"Hmm, sebelumnya maaf. Boleh kita bahas di sini? Tentang Claudya."
Cindy mengangguk, memberikan izin kepada dokter Bisma.
"Tentang Claudya, saya pernah bilang, 'kan. Saya menduga ia mengidap anemia aplastik. Hanya saja diagnosis saya tidak akan bisa dikatakan benar jika tidak dilakukan biopsi sumsum tulang belakang, untuk menyingkirkan dugaan penyakit lainnya."
"Lalu?" tanya Cindy penasaran.
"Claudya ... masih belum mau melakukan itu. Bisa, dokter Cindy selaku saudaranya membujuk agar Claudya bersedia. Karena, semakin cepat penyakitnya diketahui, semakin cepat penanganan, akan lebih bagus untuk kesehatan Claudya."
Cindy hanya tertunduk, ini berat juga baginya. Dokter Bisma menepuk pelan kepalan tangannya di atas meja. Menyalurkan sedikit rasa tenang.
Cindy mendongakkan kepalanya, sebelum akhirnya mengucapkan kalimat dengan tersendat. "B-baik, Dok. A-aku akan bujuk Claudya. Maaf, sudah merepotk—"
Ucapan Cindy terpenggal begitu saja, ia menarik tangannya yang sejak tadi digenggam dokter Bisma, lagi-lagi matanya yang kecil itu membesar, pandangannya fokus ke arah belakang dokter Bisma. Ia berdiri dari tempat duduknya yang sontak membuat dokter Bisma mengerenyitkan dahi.
"Ekhem ...," deham seseorang.
"Bee, jadi ini alasannya. Kamu tidak mau ikut bersama Mommy dan Papi."
Dokter Bisma menoleh ke belakang, mendapati kedua orang tuanya sudah berdiri sejajar.
Dokter Bisma mengalihkan tatapan ke Cindy. Ia masih berdiri mematung, kaku.
"Dokter, Cindy. Ini kedua orang tua saya."
Cindy tersenyum, meski terasa canggung. Mengulurkan tangannya.
Ibu dokter Bisma orang yang pertama menyambut tangan Cindy.
"Saya, Cassidy Zea Joanne, tapi biasa dipanggil Cindy."
"Saya, Ibu Bee. ah, maksud saya Bisma. Dan ini, Ayahnya Bisma."
Cindy menyambut uluran tangan papi. "Selamat siang, Pak. Saya Cindy."
"Mom, Pap, dokter Cindy ini salah satu tim medis Kalandra Hospital, yang tadi di pertemuan." Dokter Bisma menjelaskan kepada kedua orang tuanya.
Kedua orang tua dokter Bisma hanya mengangguk. Ibunya mendekatkan kepalanya ke telinga dokter Bisma.
"Bee, dia cantik dan juga manis. Mom suka," bisik ibunya yang tidak didengar oleh Cindy.
Dokter Bisma hanya tersenyum simpul, menanggapi bisikan sang ibu.
"Mommy, Pap. Mau bergabung di sini?"
"Ah, sepertinya tidak. Kami tidak mau mengganggu waktu kalian." Ayahnya menimpali.
Mereka berlalu, meninggalkan meja Cindy dan dokter Bisma. Helaan napas lega tertangkap gendang telinga dokter Bisma. Ia melihat Cindy yang sudah duduk kembali, dengan tarikan napas yang sedikit terengah.
"Gugup ya?" tanya dokter Bisma.
"Gugup banget, siapa yang tidak akan gugup, Dok. Bertemu dengan atasan."
"Oh, jadi gugupnya karena itu atasan. Bukan karena itu orang tua saya."
"Hah? Maksudnya, Dok?"
Gelak tawa dokter Bisma akhirnya pecah, melihat wajah polos Cindy.
"Tidak, bukan apa-apa."
Dokter Bisma kembali duduk, Cindy mencondongkan badannya, mengaitkan jemarinya lalu menyimpan dagunya di atasnya, sikunya bertumpu pada kokohnya meja.
"Dok," panggilnya dengan tatapan tepat ke arah mata dokter Bisma.
"Hum."
"Dokter Bisma, dipanggil Bi?"
Dokter Bisma hanya tersenyum merespon.
"Oh, pantas saja ... saat Cla manggil dengan panggilan Dokter B, Dokter tidak menolak. Ternyata sama seperti panggilan kedua orang tua, Dokter!" serunya dengan semangat.
Lagi-lagi dokter Bisma hanya tersenyum. Di membiarkan saja Cindy dengan pikirannya, tanpa menjelaskan bahwa sebenarnya panggilan dari Claudya saudaranya tidaklah sama dengan panggilan dari ibunya, meski pengucapannya sama.
Panggilan dari Claudya, ia mengambil huruf awal dari nama, B. Yang jika pelafalannya menggunakan abjad Inggris, Bi. Itu Claudya sendiri yang menjelaskan saat dokter Bisma menanyakan perihal itu.
Sementara dari ibunya, bee. Yang artinya lebah. Katanya, sewaktu kecil. Dokter Bisma anak yang lincah dan aktif, mirip seekor lebah kecil yang terbang kesana kemari tanpa kenal lelah.
Biarlah tidak perlu dijelaskan panggilan kekanak-kanakan itu.
"Dok, kok malah bengong."
Suara panggilan Cindy menyentak dokter Bisma dari lamunan.
"Hmm. Tidak apa-apa." sahut dokter Bisma. "Dokter Cindy, mau kemana setelah ini?"
"Hum ... pulang, Dok."
"Ke Jakarta?" goda dokter Bisma.
"Hah? Ke hotel, lah, Dok. Masa ke Jakarta. Kejauhan."
"Ya, udah, ayo," ajak dokter Bisma.
"Kemana, Dok?"
"Katanya mau pulang ke Hotel. Ayo saya anterin."
"Eh, ng-nggak usah, Dok. Aku bisa sendiri, kok."
"Ayolah, kita, 'kan ke tujuan yang sama. Apa salahnya?"
"Ba-baiklah, Dok," ucapnya terbata.
***
Dokter Bisma sudah mengendari mobilnya menuju tempat Cindy menunggu, sengaja ia menyuruh Cinsy untuk menunggu di sina, mengingat dokter Bisma parkir mobil sedikit agak jauh dari kafe ini.
Baru saja dokter Bisma akan menekan klakson mobil untuk memberi kode keberadaannya. Namun, niatnya terhenti. Melihat Cindy berdiri di depan kafe, cat dinding di belakangnya seakan selaras dengan outfit-nya, dan candid menyempurnakan keadaan.
Kamera yang sejak tadi dokter Bisma letakkan pada dashboard mobil, ia raih kembali sebelum akhirnya menangkap objek ini, seperti candu baginya untuk menyimpan lebih banyak lagi fotonya.
"Cantik ...." Dokter Bisma bergumam sendiri.
.
.
.
.
Tanjung Enim, 17 Mei 2020
Revisi : 5 Desember 2020
Jangan lupa Vote dan Coment.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top