12. Kisah Mariposa
"Layaknya kupu-kupu, terkejar namun tak tercapai"
~Mariposa~
.
.
.
Sudah tiga bulan sejak terakhir kalinya Cindy kembali ke rumah.
Kesibukan pekerjaan membuatnya semakin jarang pulang. Jika bukan permintaan bunda, mungkin Cindy sekarang sudah berada di apartemennya sendiri, bergelut kembali dengan berkas-berkas pekerjaan.
Di sinilah Cindy sekarang—rumah. Di mana tempat dia benar-benar kembali. Cindy duduk pada bangku kecil meja riasnya, acara syukuran yang diadakan Bang Cakka dan Kak Ina sudah selesai beberapa jam lalu, semua tamu sudah pulang ke rumah mereka masing-masing.
Cindy sudah selesai membersihkan diri, hendak ke luar dari kamarnya dan turun ke lantai bawah. Kakinya menapaki anak-anak tangga satu demi satu. Langkanya terhenti, di pertengahan tangga. Indera penglihatannya menangkap sosok gadis dengan piama peach. Duduk di karpet berbulu sembari bersandar di sisi sofa, menatap serius layar laptopnya yang dia letakkan di meja. Sesekali jari lentiknya menari di atas keyboard. Membolak-balik buku yang berserakan di sekitarnya.
"Ekhem." Cindy berdeham sesaat. "Lagi ngapain, lo?"
"Dagang cilok," jawab Claudya asal, yang sukses membuat Cindy terkekeh.
Cindy mengambil tempat duduk di sofa. Karena posisi Cindy yang lebih tinggi dari Claudya dan berada dibelakangnya, Cindy bisa leluasa memperhatikan apa yang sedang Claudya kerjakan.
Claudya, sedang menerjemahkan sebuah buku.
Inilah pekerjaan Claudya, jika tidak menerjemahkan buku, ia akan menulis. Topik yang akan dia bahas pun, seputar politik, kebudayaan, hubungan antar negara.
"Lagi banyak ya kerjaan lo, Cla?"
"Ya, begitulah, Cin."
"Kalau lo capek, jangan memforsir diri untuk kerja berat, Cla. Nanti lo bisa sakit."
"Udah biasa kok, Cin. Santai aja."
"Kerjanya?"
"Sakitnya," celetuknya, yang sudah berbalik menatap Cindy lengkap dengan cengiran khas Claudya.
Cindy menatapnya dengan tatapan tajam. "Jangan ngomong sembarangan, Cla."
Claudya tertawa renyah. "Maaf," tandasnya.
Lamat Cindy memperhatikan Claudya, ponsel yang sedari tadi tergeletak di sisi kanannya tiba-tiba bergetar. Notifikasi pop up pada ponselnya menampilkan nama Chanchan. Cindy tahu siapa itu.
Jarinya menarik ke bawah pop up chat, netranya menangkap sebuah percakapan. Dengan jari yang lincah, Claudya membalas semua pesan chat yang Chan kirimkan.
"Cindy ...," panggil Claudya.
"Ya?"
"Besok. Chan ngajak kita jalan, ikut ya," ajak Claudya. Namun, pandangannya masih menatap layar handphone-nya.
"Mau ke mana?"
"Nonton," ujarnya
"Bertiga?"
"Berempat, kalau lo mau ajak dokter B buat gabung," jawabnya dengan
semangat.
"Nggak akan! Gue, nggak akan nuruti lo lagi," tegas Cindy.
Cindy berdiri di depan lemari pendingin, menuangkan segelas air dingin lalu meneguknya hingga tandas.
"Jangan minum air dingin, Kak. Masih pagi," tegur bunda.
Cindy menghampiri bunda, memeluknya dari belakang. Bunda terlihat cantik, jika sedang masak. Mengenakan apron berwarna coklat muda, rambut digelung asal ke atas.
"Bunda, masak apa?" tanya Cindy.
"Nasi goreng sosis. Kesukaan Kak Cindy, 'kan?"
Cindy hanya mengangguk, dengan posisi masih memeluk bunda.
"Ya sudah, mending panggil Cla sama ayah, kita sarapan," pinta bunda.
Cindy melepaskan pelukan, meski rasanya enggan. Dia menuju kamar ayah dan bunda, hendak membangunkan pria kesayangannya, cinta pertamanya.
Belum sempat tangannya mengetuk, handel pintu sudah bergerak ke bawah. Ayah membuka pintu kamar.
"Loh? Ayah sudah bangun?"
"Ayah selesai subuhan nggak tidur lagi, Nak." Ayah mengusap puncak kepala Cindy.
"Ya, sudah, Ayah duluan aja ke ruang makan, Cindy mau panggil Cla."
Tungkai Cindy diayunkan menuju kamar Claudya. Langkahnya sudah sampai di depan pintu kamar Claudya. Cindy mengetuk pintu kamar Claudya, tidak ada sahutan dari dalam.
"Cla, gue masuk ya?"
"Masuk aja, Cin. Gue lagi ribet," sahutnya dari dalam kamar
Cindy melangkah masuk, duduk di tepi tempat tidur Claudya.
"Cla, ngapain sih lo?" tanya Cindy yang sedari tadi memperhatikan pergerakannya, mencari sesuatu di laci nakas.
"Ketemu ...," teriak Claudya.
"Apaan?"
Claudya menunjukan bungkusan bening, di tangannya.
"Ini hadiah dari Chandrika, oleh-oleh dari Bogor satu bulan yang lalu," ucap Claudya.
Kening Cindy berkerut. "Pin?"
"Yes, ini akan gue gunakan untuk menjepit foto-foto kita itu." Claudya menunjuk barisan foto polaroid tergantung, foto kebersamaan mereka.
"Wait ... why butterfly?" tanya Cindy.
Ya. Dari sekian banyak bentuk karakter, kenapa Chan memilih kupu-kupu. Atau karena sebuah lagu? 'persahabatan bagai kepompong, merubah ulat menjadi kupu-kupu'. Kenapa bukan bentuk hati, lebih melambangkan perasaannya terhadap Claudya. Mungkin.
"Kata Chan, kupu-kupu ini persis gue."
Cindy semakin bingung. Chan memilih kupu-kupu bukan atas persahabatan, melainkan karena Claudya.
"Terkejar. Namun, tak tergapai," jelas Claudya.
Mendengar penuturan Claudya, membuat Cindy terdiam sesaat. Sampai ketukan pintu membuyarkan lamunannya.
"Kak Cindy, Cla. Kenapa belum turun, Nak. Ayo turun, udah ditunggu ayah loh!" panggil bunda.
Acara sarapan pagi tadi, tidak banyak perbincangan serius di antara mereka, hanya sesekali pertanyaan ayah, tetep tentang pekerjaan, dan nasihat bunda yang masih sama—jaga kesehatan.
Cindy sedang mematut diri di depan cermin, sedikit terngiang ucapan Claudya tentang alasan Chan memberikan pin berbentuk kupu-kupu. 'Terkejar. Namun, tak tergapai'.
Cindy paham, itu adalah salah satu potongan kalimat dalam sebuah novel karya penulis terkenal, yang diangkat ke layar lebar. Namun, kalimat itu cukup mewakili perasaannya terhadap Chan. Atau Chan terhadap Claudya.
Cindy menghela napas berat, suara gaduh di balik pintu kamarnya terdengar jelas.
"Cindy ... Cin, udah selesai belum?" Suara ketukan, ah, tidak. Itu tidak bisa lagi dikategorikan ketukan. Claudya kembali menggedor pintu kamar Cindy. "Cindy, buruan. Chan sudah nunggu di baw—"
"Iya, ini gue sudah selesai," potong Cindy yang sudah membuka pintu.
"Kita mau nonton, apa?" tanya Claudya.
Ya. Kami sudah berada di dalam mobil Chan, Chan mengemudikan mobilnya menuju daerah Menteng.
Cindy duduk di kursi penumpang belakang, sedangkan Claudya di depan samping Chan.
"Mariposa," sahut Chan yang sekilas melirik Claudya.
"Tapi, itu, 'kan film remaja, Chan?" sahut Cindy.
Chan melirikku melalui kaca spion di atasnya.
"Nggak apa-apa, 'kan. Siapa tahu aja film ini memberikan kita inspirasi, untuk tetap gigih mengejar orang yang dicintai," jelas chan.
***
Tiket, popcorn porsi besar, dan tiga cup minuman cukup sebagai bekal mereka di dalam bioskop.
Mereka sudah duduk sejajar dalam sebuah ruang yang cukup luas, ruangan yang dipenuhi kursi menghadap sebuah layar lebar di depan.
Filmnya sebentar lagi akan diputar, ruangan seketika gelap, hanya ada pencahayaan dari layar di depan yang tertampil. Claudya duduk di tengah antara Cindy dan Chan, memeluk popcorn.
Tidak ada yang aneh selama hampir lima belas menit pemutaran film, sampai ... saat tangan Cindy bersinggungan dengan tangan Chan, di dalam wadah besar berisi popcorn.
Jantung Cindy seketika bekerja lebih cepat. Beruntung suara sekitar lebih lantang terdengar. Jika tidak, debaran jantungnya mungkin bisa didengar.
Cindy gugup, berusaha menetralkan keadaan, melirik ke samping kiri, Chan masih dengan santainya mengunyah popcorn yang dia raup barusan. Sikapnya biasa-biasa saja.
Dia tidak tahu, karena ulah tangan besar itu, hampir membuat anak orang kena serangan jantung.
Sepuluh menit sebelum film berakhir, saat adegan sedih dipertontonkan, sang tokoh utama wanita, menangisi tokoh utama pria, Cindy mendengar sayup isakkan kecil dari sisi kirinya.
"Kenapa lo?" tanya Cindy.
"Ketawa," jawabnya. Cindy mengerutkan dahinya. "Sedih tahu, nggak, Cin. Lo nggak ngerasa sedih?" cicit Claudya.
Claudya menatap Chan, sukses membuat Chan bergerak mengambil tindakan.
"Eh, kok nangis?" tanya Chan, sembari menghapus jejak air mata pada pipi Claudya. Tanpa babibu, kepala Claudya dibimbing bersandar pada bahu kanannya.
Menyaksikan perlakuan Chan terhadap Claudya. Lagi, jantung Cindy berulah. Kalau tadi, bekerja dua kali lipat, berdebar. Kali ini serasa jantungnya sesak, seperti terhimpit. Menimbulkan rasa sakit.
Film pun selesai, mereka bergegas ke luar. Jika tadi perlakuan Chan layaknya kapas—lembut. Kali ini, Chan melindungi Cla dari desakan penonton yang lainnya, layaknya kristal, yang jika tidak dijaga secara benar akan jatuh dan pecah berhamburan.
Cindy semakin berpikir, jika dia memilih menjadi Acha mariposa.
Gigih, tanpa kata menyerah mengejar pria yang dicintai. Sanggupkah dia menaklukkan hati Chandrika Alterio.
Haruskah dia berjuang lebih lagi? Sampai bisa meraih cintanya, layaknya Acha? Atau menyerah saja? Karena rasanya percuma, hati Chan sudah terpatri sempurna pada Claudya.
.
.
.
.
.
To Be Continue
Post : Tanjung Enim, 9 April 2020
Revisi : 21 NOV 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top