10. Keluarga
Family is a place where you will always be accepted even if the world rejects you.
.
.
Cindy terbangun karena suara nyaring dari benda kecil di atas nakas.
Sungguh benda kecil bernama alarm itu memekakkan gendang telinga, jika tidak segera dihentikan.
Cindy beringsut dari tempat tidurnya, meraih ponselnya di atas nakas. Jarinya lincah di atas touchscreen handphone-nya. Ada pesan teks yang selalu dia dapatkan, tak pernah terlewatkan barang satu hari pun. Pesan dari bunda.
Sejak kuliah jauh dari keluarga, bunda selalu rajin mengirimi Cindy pesan walau sekadar menanyakan kabar, mengingatkan untuk menjaga kesehatan.
Bunda :
Kak Cindy sudah subuhan, nak?
Begitulah pesan yang dikirim Bunda beberapa saat lalu.
Dari sekian orang yang ada di rumah cuma bunda yang memanggil Cindy dengan embel-embel 'kak Cindy'. Kata bunda karena sudah terbiasa sejak Cindy masih bayi panggilan kakak tersemat di namanya.
Membicarakan tentang bunda, Cindy sangat merindukan wanita berharga baginya. Ingin segera bercerita panjang lebar tentang apa pun. Padahal sebentar lagi juga bakal bertemu dengan bunda.
***
Cindy sudah berada di dalam mobil, terjebak macet sejak ... entahlah dia tidak tahu pasti sudah berapa lama terjebak di sini.
Jalan Industri menuju Kemayoran memang adalah salah satu titik jalan yang rawan macet setiap harinya.
Ingat setiap hari. Itu berarti weekend seperti ini pun tanpa pengecualian.
Suara klakson dari kendaraan lain di luar sana terdengar bersahutan. Seolah seperti anak sekolah menengah, sedang melakukan pertunjukan terbaik mereka di atas panggung di hari kelulusan.
Dering dari ponsel Cindy berteriak-teriak meminta untuk disambut kehadirannya.
Cindy memasang earphone berwarna putih miliknya di telinga sebelah kiri, guna menyambungkan dengan panggilan di seberang sana.
Layar ponsel sempat diliriknya, menampilkan foto sosok wanita anggun dengan senyum teduhnya pada layar handphone miliiknya.
"Halo, Kak."
"Cindy, di mana?" tanyanya lembut.
"On the way rumah, Kak. Lagi macet nih, di Kemayoran."
"Oh, yaudah kamu hati-hati ya nyetirnya."
"Iya, Kak."
Panggilan telepon diakhiri dari pihak sana. Cindy kembali memfokuskan pandangan dan kerja otaknya pada jalanan. Tangannya meraih tombol play pada radio mobilnya, mendengarkan semua musik yang disajikan penyiar berharap membunuh kebosanan.
Empat puluh lima menit, akhirnya sampai juga. Mobil Cindy telah memasuki perkarangan rumah. Terparkir di sebelah mobil Bang Cakka. Langkah pasti Cindy ayunkan pada pintu besar rumah, yang sisi setengahnya sudah terbuka sempurna.
"Asalamualaikum ... Cindy datang," salam yang Cindy ucapkan saat memasuki ruang depan menuju ruang keluarga.
"Wa'alaikumussalam," balas mereka hampir dengan nada berbarengan dari ruang keluarga.
Cindy meraih satu per satu tangan ayah, bunda, oma Chan, bang Cakka untuk dicium punggung tangannya.
"Claudya mana, Bunda?" tanya Cindy.
"Ada di kamarnya, sama Kak Ina dan Nafisah."
"Eh, ada Nafisah, Bun?"
Nafisah adik sepupu Kak Ina yang berkuliah di Jakarta.
"Iya. sana gih. Sama mereka aja. Di sini orang dewasa semua."
"Cindy kan udah dewasa juga, Bun."
"Masa sih? Kok Bunda ngerasa kamu masih bayi, sih. Masih suka cengeng. Masih suka manj—"
"Bundaaa," rengek Cndy pada bunda agar tidak melanjutkan acara mari membongkar aib Cindy.
Bunda, ayah, bang Cakka serta oma Chan turut tersenyum melihat interaksi Cindy dan bunda.
Pandangan Cindy beralih pada sosok oma Chan.
"Oma apa kabar?" sapa Cindy.
"Alhamdulillah baik, Nak Cindy. Nak Cindy sendiri gimana kabarnya? Pasti berat ya Nak, pekerjaan Dokter."
"Alhamdulillah Cindy baik juga oma. Iya gitulah oma. Doakan Cindy ya, oma. Biar diberi kelancaran kerjaannya."
"Oh, iya. Chan mana oma?" tanya Cindy basa basi. Meski terasa agak kelu lidahnya mengucapkan nama orang yang belakangan sering mondar di pikirannya.
"Chan katanya masih ada kerjaan. paling nanti agak terlambat."
"Oh, gitu. Ya, udah semuanya, Cindy ke kamar Cla dulu, ya."
Sekilas Cindy menatap ayah dan bang Cakka yang entah apa yang diobrolkan, tampak begitu serius.
Cindy melangkahkan tungkainya, menapaki anak-anak tangga menuju kamar Claudya. Kamar yang tepat bersebelahan dengan kamarnya. Cindy berdiri di depan kamar Claudya, di sisi pintu tergantung hiasan pintu bertuliskan Claudya's room.
Tangan kirinya diayunkan mengetuk pintu, sebelum akhirnya tangan kanannya memutar handle pintu dan mendorong sedikit agar pintu terbuka. Kepalanya masuk terlebih dahulu memantau apa yang ada di dalam ruangan tersebut. Namun, yang didapat malah teriakan cempreng dari pemilik kamar.
"CINDY!" teriak Claudya dengan girang.
Astaga ... Tuhan. Ini benar anak yang selama 9 bulan 10 hari berada dalam rahim bunda bersamaku?
Kenapa aku merasa berbeda.
"Wey. Nggak usah pake teriak juga kali. Gue ada disini," sindir Cindy pada Claudya.
Cindy menarik tangan kanan Kak Ina untuk dicium punggung tangannya, selanjutnya tangannya disambut hangat oleh Nafisah. Melakukan hal sama. Namun, kali ini punggung tangannya yang dicium.
"Gue kangen, Cin, sama lo."
Jangan lupakan jika dalam keadaan seperti ini Claudya selalu menampilkan cengiran konyolnya tanpa dosa.
"Ehm ... dasar."
Kak Ina dan Nafisah tertawa kecil melihat tingkah absurd Claudya.
Lama mereka berbincang-bincang dan bercanda, Nafisah yang sedikit pendiam hanya menyimak dan sesekali menyimpulkan senyumnya.
Sampai pintu kamar Claudya diketuk.
Pintu kamar terbuka menampilkan bunda dengan titahnya, menginterupsi kegiatan mereka.
"Anak-anak turun, yuk. Tamunya bentar lagi udah mau sampai tuh."
"Siap, Bunda!" Lagi-lagi Claudya berteriak.
"Cla ...." Cindy menyebut namanya sembari melayangkan sedikit tatapan tajam.
"Maaf."
Claudya menyamakan langkahnya dengan bunda yang berjalan mendahului mereka, sambil bergelayut manja pada bunda.
Claudya langsung paham ini adalah cara Cindy menegur jika ada yang tidak dia sukai. Contohnya teriakan Claudya sepeti sekarang ini. Ya, walaupun nanti bakal terulang lagi. Dasar si bungsu Joanne.
***
Mereka semua sudah berada di lantai bawah. Sejenak netra Cindy menangkap sosok tinggi yang sedang bersenda gurau bersama Claudya, mengacak-acak rambut dan menangkupkan telapak tangannya pada kedua belah pipi Claudya.
Chandrika!
Netra Cindy dan Chan bertemu untuk beberapa detik, sebelum akhirnya Cindy putuskan secara sepihak.
"Wih ... dokter Cindy yang sibuk akhirnya pulang ke rumah," gurau Chan sembari melangkah ke arah Cindy yang berdiri bersebelahan dengan Nafisah.
Cindy hanya bergeming, rasanya canggung sekali setelah apa yang terjadi di kafe beberapa waktu lalu, setelah Cindy mengungkapkan perasaannya.
"Jangan sering-sering, Cin. Nggak pulang. Padahal, 'kan lo masih seputaran Jakarta. Ikut bang Toyib atau gimana lo?"
"Emang kalo gue mau ngikutin Bang Toyib lo mau apa?"
"Eh, ini siapa?" tunjuk Chan menggunakan dagunya pada Nafisah.
"Adik sepupu Kak Ina," ujar Cindy singkat masih berusaha tidak terlibat banyak pembicaraan dengan Chandrika.
"Naf, kenalan dulu gih. Ini Kak Chan tetangga sebelah kita," ucap Cindy pada Nafisah.
"Cantik ... cute, gemesin lagi," bisik Chan. Sejujurnya itu tidak bisa disebut bisikan karena ucapannya masih bisa didengar Nafisah.
Nafisah hanya tersenyum manis menanggapi perkataan Chandrika. Pantas saja Chandrika bisa terpesona sejenak. Kalian bisa lihat senyumnya teduh. Sebelas dua belas dengan senyum Kak Ina yang mengandung candu penenang.
Mereka beriringan keluar menyambut kedatangan anak-anak dari panti asuhan yang sengaja diundang.
"Dokter Cindy," panggil salah satu anak perempuan berbaju pink berusia 7 tahun yang beberapa hari lalu Cidny temui di rumah sakit.
Cindy berjongkok menyamakan tinggi badannya dengan anak itu. "Hei, Devina udah sehat?" tanya Cindy penuh perhatian.
"Udah, Dok," jawabnya.
"Obatnya diminum habis, nggak?"
"Habis, Dok," jawab Devina lagi, sambil menggerakkan kepalanya keatas dan kebawah dengan semangatnya.
Devina, anak perempuan yang sejak usia dua tahun telah ditinggalkan orang tuanya, memang sudah Cindy kenal dengan baik. Sebelum Cindy menjadi seorang dokter.
"Ayo masuk," ajak Cindy.
Semua anak-anak yang lain pun turut masuk. Sudah sejak lama tradisi seperti ini di keluarga Joanne. Saat mendapatkan berkat, hal yang dilakukan adalah membagi dengan orang kurang beruntung. Rasanya sangat bahagia jika kita bisa membagi bahagia yang kita punya.
Atensi beberapa orang beralih pada mobil audi hitam yang memasuki perkarangan rumah. Cindy yang masih di luar pun ikut turut memperhatikan, menunggu sosok yang akan keluar dari dalam mobil tersebut.
Cindy mengerjapkan matanya berulang, memastikan benar tidaknya apa yang ditangkap oleh penglihatannya.
Benar!
Sosok yang keluar dari mobil mewah tersebut adalah dokter Bisma.
.
.
.
To Be Continue.
.
.
Jangan lupa tanda VOTE COMENT. Di sentil, ya.
.
Thank you.. 😁🥰
Salam sayang ♥️
RinBee
Revisi. Nov, 05. 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top