1. Kenapa?

Jakarta,
Kalandra's Hospital

***

Masih lengkap mengenakan snelli-nya, Cindy berlari tergopoh di lorong rumah sakit setelah mendapat panggilan. Bukan panggilan darurat dari teman sejawat meminta bantuan saat ada pasien dalam keadaan genting, melainkan telepon dari sang ayah, menyapa dan memberi kabar bahwa adik kembarnya sudah berada di IGD Rumah Sakit Kalandra.

Setelah dua puluh meni Cindy menunggu di depan sebuah pintu ruangan bertuliskan IGD. Seorang dokter muda keluar dan menyapa dengan ramah. Dokter tampan yang diketahui dari name tag yang terpasang pada setelan jas khas dokternya adalah dokter Bismaka. Senior, sekaligus cucu dari pemilik Rumah Sakit Kalandra, tempat Cindy bekerja.

"Dokter Cassidy, kok di sini? bukannya jam kerjanya sudah selesai?"

"Panggil Cindy aja, Dok. Saya keluarga pasien."

Dokter Bisma hanya mengangguk mengerti, ia mengisyaratkan agar Cindy mengikutinya menuju ruangannya.

Cindy mengikuti langkah lebar dokter Bisma, berhenti di depan sebuah ruangan yang bertuliskan dr. M. Bismaka Kalandra, Sp.PD-KHOM pada pintu bercat putih itu.

Dokter Bisma mempersilakan Cindy masuk dan duduk pada kursi yang telah disediakan, hanya ada meja sebagai pembatas antara mereka.

"Oke. Tell me, dia siapanya kamu?" tanya dokter Bisma.

"Dia yang ada di dalam ruangan itu, yang baru saja dokter tangani adalah saudara kembarku," jawab Cindy.

"What? your twin? Seriously?"

Gelak tawa dokter Bisma menggema pada seisi ruangan praktiknya, mengisyaratkan reaksi tidak percaya pada apa yang baru saja dia dengar.

Cindy termangu sejenak, untuk pertama kalinya Cindy melihat dokter Bisma tertawa dengan puas.
Mata kecilnya yang tertelan gelak tawa menyisakan garis melengkung bulan sabit, seolah sedang menertawakan lelucon pada acara komedi di televisi yang sangat sayang untuk tidak ditertawakan.

Sosok dokter Bisma yang Cindy ketahui selama ini adalah sosok yang hanya menyapa dengan senyum simpulnya. Bahkan first impression Cindy terhadap dokter Bisma, tidaklah begitu berkesan.

Cindy sempat berpikir dokter Bisma adalah sosok yang kaku, tidak akan pernah menunjukkan senyum lebarnya. Namun, ternyata dokter Bisma bisa tertawa selepas ini.

Benar kata pepatah 'jangan menilai buku dari sampulnya.'

"Memangnya kenapa, Dok? Apakah ... segitu tidak miripnya kami berdua?"

"Ekhem." Dokter Bisma berdeham sesaat.

"Tidak! Saya tidak bilang kalian berdua tidak mirip. Kalian berdua sama-sama memiliki kulit putih, hidung yang mancung, mata yang kecil, meski matamu terlihat lebih sipit. Kalian terlihat seperti keturunan orang Tionghoa. Or Im right, you guys are still bleeding Chinese?" sanggah dokter Bisma sembari melemparkan tebakan kecil.

"Nggak. Dok, orangtuaku berdarah Palembang," jawab Cindy mengoreksi tebakan dokter Bisma.

Cindy berkata jujur, kulit dan mata sipitnya mewarisi dari kedua orang tua mereka yang berdarah asli Palembang. Meski tidak adanya darah Tionghoa mengalir di darah mereka.

Cindy mengingat cerita ayah sewaktu dia kecil.

"Kalau orang Palembang itu kebanyakan bermata sipit dan berkulit putih, itu wajar saja. Karena pada zaman dahulu, di masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I, beliau menikahi putri Tionghoa.

"Perkawinan sang Sultan di ikuti oleh para bangsawan kesultanan dan menyebar hingga ke masyarakat biasa. Perkawinan berbeda suku dan ras tersebut membuat fisik anak keturunannya mirip etnis Tionghoa."

Cerita singkat tentang kesultanan palembang yang sampai sekarang masih lekat di benak Cindy, bahkan bundanya memiliki gelar Nyimas di depan namanya. Bukti masih adanya keturunan darah bangsawan Palembang.

"Ehm ... dan kalian sama-sama ...."

Dokter Bisma menggantungkan kalimatnya, membuat rasa penasaran Cindy mencuat. "Sama-sama apa, Dok?" tanya Cindy kemudian.

"Sama-sama cantik." Dokter Bisma memberikan jawaban itu yang diiringi dengan senyum khasnya.

Pipi Cindy sudah menghangat, berubah merah merona. Bagaimana tidak, dipuji cantik oleh dokter Bisma yang terkenal di rumah sakit ini, bahkan di rumah sakit lain, siapa juga yang tidak akan tersipu.

"Hanya saja ... kalian lebih mirip sebagai adik kakak, bukan sebagai saudara kembar," tutur dokter Bisma melanjutkan.

Cindy hanya terdiam, pandangannya menatap lurus pada dokter Bisma.
Ini bukan kali pertama pendapat orang-orang tentang kemiripannya dengan Claudya.

"Ekhem ...." Dokter Bisma berdeham kembali, menyadarkan Cindy dari lamunannya.

"Oh, sorry ... sorry. Dokter Cass, hmm ... maksud saya, Cindy! Ya Dokter Cindy. Saya cuma bercanda. Maaf jika ucapan saya menyinggung."

"Hmm ... Its oke, Dok."

Cindy memasang senyum terbaik yang dia punya. Karena memang pada dasarnya, Cindy tidak merasa tersinggung. Tidak ada yang mesti di khawatirkan tentang ucapan dokter Bisma. Dia cukup sering mendengar pendapat orang tentang 'mereka lebih mirip adik kakak bukan anak kembar'.

"Oke.. Dokter Cindy. Now listen to me."

Dokter Bisma sudah dengan tatapan seriusnya.

"Apakah kamu tahu, jika saudaramu sering mengalami hal ini?"

"Cla memang menderita Anemia, Dok. sejak ia kecil, tapi semenjak aku kuliah di Bandung dan Cla tetap di Jakarta, aku tidak mengetahui secara detail kesehatan Cla. Terlebih setelah aku bekerja dan tinggal terpisah dari orang tua."

Cindy menarik napas sejenak. Mengembuskannya pelan, sebelum akhirnya kembali berucap, "Paling pulang juga akhir pekan satu bulan sekali, itupun kalau jadwal longgar. Apa ini ada kaitannya dengan anemia-nya, Dok?"

"Apakah ... sudah melakukan tes lebih lanjut?"

Cindy menggelengkan kepala pelan. Bukan atas jawaban pertanyaan dokter Bisma apakah Cla belum melakukan pemeriksaan lebih lanjut, tapi sebagai reaksi rasa bingung dengan yang sedang terjadi.

"Aku tidak tahu, Dok. Karena sudah dua bulan aku tidak pulang ke rumah. Apa ada hal yang lebih serius, Dok? Dari anemia-nya?"

"Saya sudah melakukan pemeriksaan secara fisik. Dari gejala-gejala yang sering dialami oleh Claudya, seperti gejala Anemia Aplastik, tapi selain itu harus dilakukan tes darah dan Biopsi sumsum tulang serta peninjauan riwayat kesehatan keluarga pasien.

"Untuk memastikan diagnosa saya ini benar atau tidaknya. Kita akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut saat pasien siuman dan dipindahkan ke ruang inap."

"Baik, Dok," sahut singkat Cindy yang paham akan penjelasan dokter Bisma.

"Oh, ya, Dokter Cindy. Apakah dari keluargamu ada yang mempunyai riwayat menderita hal serupa, seperti yang pasien derita? Karena ini bisa saja dari faktor keturunan juga."

"Setahuku ibu dulunya punya riwayat Anemia juga, Dok. Seperti yang dialami Claudya. Tapi rasanya ... mustahil. Jika itu menurun ke Claudya?"

"Why is impossible?" Dokter Bisma bertanya dengan tatapan bingung dan serius.

"Karena ibu ... bukan ibu kandung kami. Aku dan Claudya berbeda ibu dengan kakak tertua kami, mendiang
Ibu meninggal karena Anemia."

"Oh, harusnya sih, begitu."

Cindy bingung, khawatir, takut, merasa bersalah karena sebagai kakak tidak bisa menjaga adik kembarnya. Meski bukan seorang dokter spesialis penyakit dalam. Namun, Cindy tetaplah seorang dokter, yang sedikit banyaknya mengetahui apa itu Anemia Aplastik.

Anemia Aplastik merupakan penyakit langka di mana adanya kelainan darah yang terjadi ketika sumsum tulang berhenti memproduksi sel darah baru, baik sel darah merah, sel darah putih maupun trombosit.

Cindy melangkah dengan gontai. Jas putih khas dokter miliknya sudah tersampir di lengan kanannya. Hingga suara seseorang menginterupsi langkahnya.

"Cindy ...."

Itu suara yang sangat Cindy kenali, menyapanya dengan penuh sayang khas seorang kakak terhadap adiknya. Cakka meraih tubuh Cindy, memeluknya sekilas dan mengusap puncak kepala Cindy dengan lembut.

Netra Cindy beralih pada seseorang di samping bang Cakka, sosok wanita yang dua bulan lalu Cindy lihat pada acara pernikahan Bang Cakka.

Nizrina Aalona Chaniago adalah istri Bang Cakka. Wanita cantik, berambut panjang hitam dan berkulit khas orang minang.

Kak Ina perempuan asli minang yang merantau ke Jakarta, sejak ia kuliah dan sekarang bekerja di perusahaan perpajakan. Satu perusahaan, tapi berbeda departemen dengan bang Cakka.

"Sejak kapan Cla ngalami hal ini, Bang?" tanya Cindy to the point.

"Kita juga baru tau, tiga bulan lalu keadaan Cla lebih sering drop, tapi Cla bersikeras nggak mau kasih tau kamu tentang keadaannya. Cla bilang dia hanya nggak mau kamu khawatir."

"Kenapa, Bang? Cindy juga kakaknya Cla. Jadi wajar dong, kalo Cindy khawatir sama adik Cindy sendiri."

Suara Cindy sulit untuk keluar, seakan ada sesuatu yang menghalangi di pangkal tenggorokan.

"Cla cuma nggak mau merepotkan kamu."

"Kenapa? Cindy nggak merasa direpotkan dengan keadaan Cla."

Sungguh sesak yang dirasa Cindy, seakan kian menghimpit dadanya. Dia ingin meluapkan emosi pun tak tahu harus dengan apa. Dengan cara bagaimana.

"Cla cuma nggak mau, kejadian waktu awal kalian masuk kuliah terulang lagi. Kamu maksain buat pulang hari itu juga dari Bandung ke Jakarta. Hanya karena Cla opname. Dan ... Cla juga nggak mau pergi ke rumah sakit," lanjut Bang Cakka menjelaskan.

"Kenapa lagi?" decak Cindy dengan pertanyaan frustasi.

"Katanya, dia bosan dengan bau obat dari rumah sakit."

Tangis Cindy hampir pecah, Kak Ina yang tadi di sebelah Bang Cakka bergegas memeluk dan mengusap punggung Cindy. Memberikan usapan penenang. Cindy yang selalu bersama Cla sejak kecil, hanya beberapa tahun terakhir mereka jarang bertemu. Cindy merasa sangat terpukul menerima keadaan Cla seperti Ini. Rasa bersalah seakan terus menyeruak dari dalam dirinya.

Satu hal lagi yang membuat Cindy dan Cla seperti bukan anak kembar, yaitu system imuns mereka.
Sejak kecil Cla memang sangat gampang sakit sementara Cindy sangat jarang sakit.

Cindy dan kakaknya masih berkumpul menunggu di ruang tunggu.
Seorang pria paruh baya dengan kepala yang telah dihiasi rambut putih yang terlihat di beberapa bagian, datang menghampiri Cindy.

Ayah!

Cindy menyalami dan mencium punggung tangan yang sudah tak kencang lagi pada kulitnya. Seketika Cindy masuk kedalam pelukan hangatnya, bulir air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya pecah juga, dalam dekapan pria yang sangat dia sayangi sekaligus dia rindukan.

"Bunda mana, Yah?" Masih dalam isakan Cindy membuka suaranya.

"Bunda udah nemani Cla. Cla udah sadar dan udah pindah juga ke ruang inap. Yuk kita jenguk Cla," ajak Ayah dengan suara baritone penuh ketegasan. Namun, tetap lembut.

"Tapi, rapikan dulu keadaan kamu, Cin. Kamu nggak mau, 'kan Cla lihat kamu dalam keadaan kacau gini," sela kak Ina.

"Hmm ... Cindy ke toilet dulu aja, Kak."

"Kakak temenin, ya?" tawar kak Ina, Cindy hanya mengangguk mengiyakan.

Masih dalam keadaan bingung, Cindy berdiri di depan wastafel menghadap cermin besar. Banyak pertanyaan di benaknya menuntut jawaban. Dia Kembali mengingat ucapan dokter Bisma bahwa kemungkinan Claudya mengidap Anemia aplastik.

Dan hal tersebut bisa terjadi karena faktor keturunan.
Tetapi yang Cindy ketahui keluarganya tidak ada penderita penyakit langka ini. Mustahil rasanya jika anemia yang diderita claudya menurun dari almarhumah ibu.

Kenapa ini bisa terjadi pada Cla?
Kenapa Cla menyembunyikan ini dari gue?

Banyak sekali rasanya pertanyaan 'mengapa' yang menyesakkan kepala Cindy. Yang entah harus di mana dia cari jawabannya.

Cindy beranjak keluar dari ruang kecil itu, menghampiri kak Ina yang sedari tadi menunggunya. Sebelum akhirnya menarik napas dalam dan mengembuskan kasar.

"Udah selesai, Cin?" tanya kak Ina.

"Iya, Kak," sahut Cindy diiringi dengan anggukan pelan kepalanya.

"Yuk. Kita ke ruangan, Cla."

Kembali Cindy menganggukan pelan dari kepalanya, pertanda menyetujui titah kak InRasa bersalah ketidakmampuan menjadi pelindung dan menjaga dengan baik adik satu-satunya yang dia miliki berputar di ujung benak, seolah menjadi bahan olok-olokan yang terus menikam ulu hati Cindy.

Sakit!

"Nggak apa-apa, ayo," ucap Kak Ina sembari tangan sebelah kirinya menepuk bahu Cindy.

Cindy menarik napas dalam, mengembuskan perlahan.
Cindy gugup, khawatir, seolah pintu ini akan mengantarkannya pada alam berbeda.

Cindy mengetuk pintu di hadapannya sebelum akhirnya memutar gagang pintu dan mendorong dengan sedikit perlahan.

"Asalamualaikum ...," ucap Cindy sedikit sumbang karena rasa gugup menyeruak berdesakan keluar.

"Walaikumsalam ...," balas orang-orang yang sejak tadi sudah menjadi penghuni ruang inap itu.

Semua netra menangkap keberadaan Cindy yang berdiri di ambang pintu.
.
.
.
.
*** Bersambung ***

Start writing : 22 oktober 2019
Re-publish : 15 September 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top