♥ 7. Aku Tidak Wajib Menjelaskan Apapun!♥

Chapter 7 :
Aku Tidak Wajib Menjelaskan Apapun!

Leon tidak tahu mengapa ia seberuntung itu seharian ini. Siang itu ia baru saja mendapatkan tender yang cukup penting sehingga ia berjanji akan mengajak para pegawainya ke coffeeshop yang baru saja dibuka oleh salah satu temannya di pusat kota. Desain dari coffeeshop itu dikerjakan oleh salah seorang pegawai Leon, lokasinya tak jauh dari sekolah di mana Lily dan Dara mengajar namun Leon urung mengajak keduanya karena jam mengajar Lily dan Dara sudah lewat. Keduanya mungkin sudah pulang karena jam mengajar mereka hanya sampai jam 14.30.

Leon mengirimkan pesan kepada kedua sahabatnya kalau ia menunggu keduanya minum bersamanya di coffeeshop . Harris, pilot pesawat itu muncul tak lama kemudian, disusul oleh Bima lima belas kemudian. Bima hanya praktek di pagi hari di rumah sakit ibu dan anak. Pada hari Selasa dan Kamis, di sore hari ia bergabung dengan dokter-dokter lainnya membuka praktek untuk anak-anak kurang mampu tanpa memungut biaya.

Ketiga sahabat itu duduk bersama di satu meja sementara asisten Leon, Andre duduk bersama para pegawai lainnya di meja yang lain. Leon baru saja bercakap-cakap dengan sang pemilik ketika tak sengaja matanya menangkap tiga orang perempuan berjalan masuk ke dalam coffeeshop. Bukan karena perempuan maka Leon tertarik tetapi karena perempuan yang berada paling depan itu adalah Dara. Ia tersenyum pada temannya yang ada di sampingnya, Raisa.

Senyum Dara masih sama memikatnya seperti yang diingatnya. Di belakang Raisa ada Lily.

"Permisi," pamit Leon pada sang pemilik lalu mendekati pintu kaca dan membantu Dara membuka pintu namun Dara masih belum menyadari Leon ada di sana karena ia masih menoleh pada Raisa. Raisa menunjuk ke depan, memberi kode pada Dara tapi Dara bingung dan tak mengerti sampai Lily menyapa, "Kak Leon!"

Dara membeku bahkan sebelum ia sempat menoleh.

"Hai, Dara," sapa Leon dengan suara rendahnya yang seksi.

Darah Dara berdesir mendengar namanya disebut Leon. Ia menoleh pada Leon dan pria itu sedang tersenyum menggoda padanya.

Hai, Dara. Aku merindukanmu.

"Hai, apa kabar?"

Tidak baik. Aku kurang tidur karenamu.

"Silakan teruskan basa-basinya. Kami mau duduk," tukas Raisa tanpa basa-basi dan langsung mengamit lengan Lily. Lily melambaikan tangannya pada Leon.

Namun Raisa bingung karena coffeeshop itu baru buka jadi ramai pengunjung, tidak ada meja kosong lagi. Ketika matanya mencari-cari meja kosong, tatapannya bertemu dengan tatapan mata, mantan suaminya. Harris mengedipkan sebelah matanya, seakan memberinya ijin untuk duduk di meja mereka.

Lily tanpa canggung lagi melepaskan lengannya dari Raisa dan duduk di samping Bima.

"Kok bisa kebetulan ke sini?" tanya Bima sambil mencubit pipi Lily. Gerakan seperti itu membuat jantung Lily berdetak lebih cepat dari biasanya. Namun ia berusaha bersikap normal dengan tersenyum pada Bima.

Dara berjalan bersama dengan Leon. Leon menarik sebuah kursi untuk Dara. Setelah Dara duduk, Leon duduk di sampingnya jadi tidak ada alasan Raisa untuk tidak semeja dengan Harris. Lagi pula minum kopi di tempat ini merupakan usulnya, masa ia harus meninggalkan kedua temannya hanya karena semeja dengan Harris. Kisah Harris dan dirinya sudah lewat dan tidak happening lagi. Akhirnya Raisa duduk di antara Dara dan Harris.

Harris memberi kode pada Bima yang duduk di depan Raisa.

Siapa dia?Pacar baru Leon?

Bima tersenyum jail.

"Har, kau pasti belum berkenalan dengan Dara. Dia teman Lily," tukas Bima sambil menekankan nada pada nama Dara karena seringnya Harris mengatakan judul film Thailand untuk nama Dara.

Harris menatap Dara melewati punggung Raisa sambil tersenyum jenaka.

"Halo, aku Harris, senang akhirnya bisa mengenalmu setelah sering mendengar tentangmu. Harus kuakui kalau kau berbeda dengan sosok yang kubayangkan," tukas Harris.

Leon menatapnya dengan tatapan membunuh dan Bima mendehem. Keduanya tahu pasti Harris membayangkan film Jan Dara.

"Kau... sering mendengar tentangku?" tanya Dara ragu-ragu.

Lagi-lagi Bima mendehem.

Diam Harris!

"Selera humornya aneh. Abaikan saja dia," tukas Leon sambil memberi Harris tatapan membunuhnya.

Harris menyeringai tajam.

"Ya, Har. Lebih baik kau diam," dukung Raisa dengan nada jengkel meski ia tak mengerti mengapa Leon dan Bima tampak aneh.

"Di mana Anggra?" tanya Leon tiba-tiba teringat gadis kecilnya Dara. Tiba-tiba ia merindukan anak itu. Kangen dengan pertanyaan-pertanyaannya yang kritis, kangen cerewetnya.

"Anggra sedang les melukis. Tadi aku sedang menunggunya di tempat les ketika Raisa menghubungiku dan mengajakku ke sini," jawab Dara.

"Siapa Anggra?" tanya Harris. Raisa menggeserkan menu ke Harris.

"Apa menu pilihan di sini?" tanyanya. Ia sengaja bertanya pada Harris supaya Harris tak perlu cerewet bertanya-tanya pada Dara. Siapa yang tidak tahu kalau Leon sekarang sedang tertarik pada Dara? Meskipun Raisa masih tidak tahu bagaimana perasaan Dara terhadap Leon. Berteman dengan Dara selama beberapa bulan ini membuat Raisa sampai pada suatu kesimpulan kalau sebenarnya Dara tidak punya keinginan untuk menikah lagi. Keinginan dalam hidup adalah membesarkan Anggraini dan membahagiakan gadis kecilnya itu. Tapi siapa yang tahu? Leon memiliki pesona yang tak bisa ditolak wanita mana pun meskipun ia tidak termasuk dalam kelompok wanita itu.

Raisa sendiri, ia menyukai anak-anak. Dulu sewaktu masih berstatus istrinya Harris, ia pernah memiliki keinginan punya tiga anak. Tapi semua keinginannya sirna karena satu kejadian terkelam dalam kehidupannya. Ia tetap berharap Harris tidak tahu kalau ia kehilangan bayi ketika ia melihat foto Harris bersama seorang pramugari di kokpit pesawat. Pramugari itu mengirimkan foto itu langsung ke ponsel Raisa. Raisa syok dan kehilangan bayinya bahkan sebelum ia sempat mengatakan pada Harris kalau mereka akan memiliki bayi. Jadi jika sekarang ia ditanya apakah ia dan Harris masih memiliki kemungkinan untuk rujuk maka jawabannya adalah tidak!

Ketiga gadis itu memilih menu yang sama yaitu mocca latte. Tak berapa lama kemudian pelayan membawakan pesanan mereka. Harris mengeluarkan ponsel dan mengetik chat untuk Bima.

Harris : Bukankah Jan Dara incaranmu, Doc?

Bima membaca chat lalu tersenyum dari meja seberang. Ia mengetik di ponselnya.

Bima : Kalau Leon sampai tahu kau memanggilnya Jan Dara, kau bakal berakhir di UGD, Cap.

Harris : Cepat katakan padaku, Brengsek! Mengapa Leon seperti ksatria berbaju zirah begitu bertemu dengan Jan Dara?

Bima menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menahan senyum membaca chat dari Harris.

Bima : Tidak perlu dijelaskan lagi :)

Bima langsung menyimpan ponselnya dan tidak berniat membalas chat dari Harris lagi. Bima yakin Harris tidak sebodoh itu dan tidak menyadari kalau Leon tertarik pada Dara.

Dara baru tahu kalau Harris yang berprofesi sebagai pilot itu adalah mantan suami Raisa. Ia merasa heran karena keduanya masih bisa berteman setelah bercerai. Tapi ia akhirnya menyadai kalau hal itu mungkin saja terjadi karena dari gerak-gerik Harris menunjukkan kalau pilot itu masih berharap untuk bisa rujuk dengan Raisa.

Dara mengaduk-aduk latte-nya ketika Lily tiba-tiba bertanya pada Leon,"Kak, sudah tahu kalau Ta Lau Pan[1] dan Lau Pan Niang[2] akan melaksanakan pesta ulang tahun pernikahan di sini?"

Lily dan Leon memanggil kedua orang tuanya Ta Lau Pan dan Lau Pan Niang yang artinya bos dan bos wanita dalam bahasa Mandarin.

Leon meringis. Tentu saja ia sudah tahu. Ia ditugaskan untuk mencari event organizer yang menangani pesta itu. Untung saja kedua orang tuanya menerima usulan event organizer karena sebelumnya orang tuanya ingin Leon yang menangani semuanya. Leon tak akan sempat mengurus segala tetek bengek pesta. Leon benci pesta. Satu-satunya yang menarik dari pesta adalah wanita.

Bima tersenyum melihat wajah Leon tampak masam. Orang tua Leon sama seperti orang tua lain pada umumnya yang kuatir dengan kehidupan putra sulungnya yang sudah pernah bercerai. Meskipun kedua orang tua Leon sudah tinggal beberapa lama di Singapura tetap saja mereka masih memiliki pemikiran kolot tentang anak laki-laki yang akan menjadi penerus keluarga.

Bima bisa membayangkan betapa pusingnya Leon menghadapi pesta ulang tahun pernikahan orang tuanya. Tapi kali ini mungkin Leon tak akan sepusing tahun-tahun kemarin karena Leon bisa memperkenalkan Dara menjadi pasangannya. Kalau saja Dara bersedia.

Belum tentu Dara bersedia.

Sebagai sahabat Lily, Dara pastilah sudah tahu bagaimana sepak terjang Leon. Selain duda, Leon juga playboy. Lily tak sejahat itu membiarkan sahabat terbaiknya jatuh ke pelukan kakaknya hanya untuk disakiti. Kecuali Dara bisa menyeret Leon dalam suatu pernikahan. Tapi apa mungkin Dara yang hidupnya sederhana bisa mengikat Leon sementara Leon sendiri sudah kenyang dengan hubungan romantis baik itu dengan atau tanpa komitmen.

"Ah, Kak Dara . Ini undangan pesta ulang tahun orang tuaku. Kak Dara datang ya, bersama Anggra," tukas Lily sambil menyodorkan undangan berwarna dan berpita senada juga. Dara agak ragu-ragu menerimanya. Ia tidak pernah tertarik pada pesta. Tak jarang ia mengabaikan pesta pernikahan, pesta pertunangan beberapa orang kenalannya dengan berasalan ia tidak ingin merepotkan orang tuanya menjaga Anggraini tapi itu hanya sekedar alasan saja. Dan sekarang Lily malah mengatakan datang bersama Anggraini.

"Rais, kau tak perlu menatapku seperti itu. Aku tahu kau pasti sudah menerima undangan dari Kakakku jadi buat apa aku memberikan jatah undanganku untukmu," tukas Lily pedas. Raisa terkikik geli.

"Atau aku tidak memberinya undangan karena ia pasti datang bersama Harris," tukas Leon tajam. Raisa menyipitkan matanya, menatap Leon. Leon terkekeh sambil melirik Harris.

"Jangan senang dulu, Bos. Aku tahu seperti apa penderitaanmu setiap Oom dan Tante melaksanakan pesta seperti ini," goda Raisa. Kali ini Leon meringis. Harris terkekeh.

"Yup, seperti kata sambutan yang luar biasa. Sungguh kami merasa sangat terkejut kalau kami sudah menikah selama berapa lama, menyaksikan putra kami Leon..."

"STOPPPP!!!" raung Leon.

Leon berteriak sambil memijat-mijat keningnya. Bima sampai terkekeh.

"Atau sindiran seperti, ehem Leon memang anak yang sangat berbakti bahkan sampai kami berdua masuk liang kubur, ia tak pernah meminta kami menjaga cucu," sambung Bima.

"Brengsek kalian!!!"

"Jangan kuatir, Kak. Aku juga mengundang Nuri," ujar Lily santai. Leon menghentikan pijatan di keningnya dan menatap adiknya.

"Apa maksudmu?"

Lily mengedikkan bahu.

"Kalau kau sampai begitu frustasi pada Lau Pan Niang karena masalah ini, kau tinggal mengaku padanya kalau Nuri adalah pacarmu," tukas Lily.

Bahu Leon tampak melorot turun.

"Dasar adik durhaka!"

Setelah bercerai dua kali, ia sering gonta-ganti pacar tapi ia belum pernah mengakui memiliki hubungan khusus dengan seorang wanita di depan ibunya. Leon yakin kalau ibunya yang terkenal otoriter itu pastilah akan mengatur-atur pesta pernikahan bahkan sebelum ia sempat mengajukan lamaran.

Ah, ia tak perlu mengaku. Ia hanya perlu terlihat bersama Dara di pesta itu sehingga ibunya tidak perlu menyodorkan wanita-wanita putri kenalannya padanya.

Kalaupun ibunya sibuk mengatur pernikahan, lalu...

Ia akan memikirkan hal itu nanti.

Leon mengangkat bahunya agar kembali tegak dan menatap Dara yang ada di sisi kirinya.

"Kau akan datang kan?"

"Apa? Aku..."

Bima melirik Leon.

Nah, entah mengapa aku yakin bukan Dara yang akan tergila-gila padanya.

Mulut Raisa membentuk gumaman wah tanpa suara. Kening Harris berkerut berusaha menyelami apa yang sedang dipikirkan sahabatnya begitu juga Lily.

"Oh, akan kuusahakan," jawab Dara tanpa menjanjikan apa-apa.

"Bos, ada e-mail dari klien penting nih. Mau dibaca sekarang?"

Leon menaikkan alisnya menatap asistennya, Andre yang tiba-tiba menginterupsi sambil menyodorkan tablet ke mejanya. Asistennya itu bermata segaris, berhidung mancung, dan berahang tegas, melambai tanpa kentara pada Lily. Lily tersenyum membalasnya.

"Bawa pergi. Aku sedang malas membaca e-mail apapun sekarang," tukas Leon datar. Andre mendelik karena tidak biasanya Leon bersikap tak peduli dengan masalah pekerjaan. Bahkan tengah malam atau dini hari sekalipun, bosnya itu tetap mau saja diganggu tentang masalah pekerjaan.

Andre mendehem karena masih tak percaya apa yang didengarnya.

"Bawa pergi," ulang Leon datar.

"Ah," desah Andre sambil mengambil kembali tabletnya. Alisnya bertaut berusaha memikirkan apa yang sedang dipikirkan oleh Leon sekarang. Ia melirik Dara yang berada di sebelah Leon sedang mengobrol dengan Raisa, pengacara Leon.

Andre mulai menebak-nebak kalau wanita ini yang membuat bosnya begitu. Lalu ia balik ke mejanya sambil menahan rasa penasaran yang belum terpuaskan.

Setelah mengobrol sambil minum kopi selama satu jam, Dara sadar kalau ia harus segera menjemput Anggraini di tempat lesnya. Ia agak sungkan meminta Raisa mengantarkannya kembali karena kelihatannya Raisa masih nyaman berada di sana. Tapi menjemput Anggraini memang tak bisa ditunda lagi. Ia pun berbisik pada Raisa, "Rais, aku harus pergi sekarang. Anggra sudah selesai."

"Ah, kuantar Kak," tukas Raisa sambil meraih tas tangannya yang diletakkan di meja. Dara tampak tidak enak.

"Biar aku saja yang mengantarnya," tukas Leon sambil melirik arlojinya. Dara membeku di tempatnya. Apa yang baru saja ia dengar tidak salah? Leon menawarkan diri mengantarnya.

Dara menggigit bibirnya.

Tolak dia.

"Aku ada janji dengan klien di restoran di dekat kompleks. Biar kau bersamaku saja," tukas Leon lagi.

Well, aku bohong. Tidak ada klien. Hanya aku tidak suka kalau aku keduluan Bima.

Leon memamerkan senyum yang bisa melumerkan gunung es, Dara hanya bisa terbengong. Ia pasti akan sesak nafas lagi jika pria itu tersenyum sekali lagi. Dara tidak ingin berdekatan dengan Leon. Ia tahu kalau daya tarik Leon terlalu kuat, ia terlalu kuatir dirinya akan jatuh dalam pesona pria itu. Dara terlalu menyayangi hatinya sendiri hingga ia takut Leon akan mematahkan hatinya bukan hanya menjadi dua tapi menjadi berkeping-keping. Ia tidak ingin hancur lagi karea pria.

Dara masih terlalu bingung mencari alasan menolak ajakan Leon sampai tidak sadar kalau ia digiring begitu saja oleh Raisa dan Lily ke dalam mobil Pajero milik Leon. Ia baru saja hendak memprotes namun Raisa langsung berkata, "Jangan menolak, Kak. Bos lagi berbaik hati. Biasanya dia tak begitu."

Lily ngikik.

"Bos, jangan lupa jemput Anggra juga ya. Bye!" pesan Raisa sambil menutup pintu mobil. Lily melambaikan tangannya dengan riangnya.

"Seat belt, Mam."

Dara menarik sabuk pengamannya dengan perasaan bingung sampai tangannya agak gemetar. Sabuk itu tak bisa ia masukkan ke colokannya. Leon meliriknya dan tersenyum melihat wanita itu tidak berhasil menarik karet sabuk hingga karet itu tak pernah sampai ke colokannya.

Tangan Leon terulur untuk membantu Dara, secara otomatis tubuhnya condong ke arah Dara. Dara terkejut karena Leon begitu dekat dengannya. Ia bisa mencium wangi parfum Leon bercampur dengan keringat dan juga asap rokok. Ia tidak akan salah mengenali bau yang sebenarnya membuatnya alergi itu.

Dara tak berani bergerak meskipun ia ingin bersin sampai Leon berhasil memasang sabuk itu.

"Hatsyi!!!"

Leon memejamkan matanya. Masih untung Dara sempat menutup mulutnya dengan tangannya sedetik sebelum ia bersin.

"M-pmaap..."

"Maaf."

Suara Leon dan Dara saling bertabrakan. Keduanya saling bertatapan. Leon sadar kalau dialah penyebab Dara bersin dan ia merasa bersalah tapi Dara malah nyengir. Selama mengenal Dara, baru pertama kali ia melihat gadis itu tersenyum dengan cara demikian jail. Leon ikut tertawa dan menyodorkan kotak tisu pada Dara.

"Kita buka saja kacanya," tukas Leon. Tanpa menunggu jawaban dari Dara, ia menekan tombol otomatis. Kaca jendela di samping Dara dan di sampingnya turun dalam waktu bersamaan.

"Oke, katakan di mana alamat putri dari Mars itu?" tanya Leon sambil melihat ke GPS.

"Putri dari Mars? Maksudmu Anggraini?" tanya Dara bingung. Leon meringis. Sambil menggerakkan persnelling, ia lalu menjelaskan kepada Dara awal pertemuannya dengan putri Dara ketika di taman bermain anak-anak di sekolah itu. Anggraini menanyakan kepadanya tentang satelit Mars dan Leon bingung menjawabnya. Dara tertawa mendengarnya.

"Darimana ia tahu satelit Mars? Apa di sekolah sudah belajar itu?" tanya Leon penasaran. Masa pengetahuannya harus kalah dibandingkan anak kecil. Dara menggeleng.

"Anak itu belajar dari buku. Dia sudah bisa membaca kalimat panjang. Jadi ia membaca dari buku-buku," jawab Dara.

"Berapa usianya? Bukankah anak-anak baru lancar membaca waktu kelas satu SD. Dulu aku begitu," aku Leon. Tapi ia tidak ingat secara jelas kelas satu atau sebelumnya.

"Empat tahun. Ya, ia terus bertanya. Waktu anak-anak lain sibuk bermain, ia sudah sibuk dengan buku walaupun ia belum bisa membacanya. Waktu anak-anak belajar abjad, ia sudah bisa membaca kalimat. Sekarang kalau aku bicara padanya harus hati-hati karena ia kritis dan siap memprotes," tukas Dara sambil tersenyum. Matanya ikut tersenyum bila sedang membicarakan putrinya itu. Leon melirik wanita itu dengan ekor matanya.

"Ia membaca di surat kabar tentang alasan mengapa anak-anak tidak boleh dipukul dan ia mengemukakan hal itu ketika ia melihat orang tua temannya mencubit anaknya di sekolah," tukas Dara. Leon tertawa. Putri Dara itu benar-benar anak yang cerdas dan kritis.

"Bisa kubayangkan kejadian itu," tukas Leon masih sambil tertawa. Dara cemberut.

"Aku ditegur Kepsek karena sifat kritisnya," ujarnya. Leon menoleh sekilas lalu kembali berkonsentrasi pada jalan di depannya lagi.

"Mengapa? Dia tidak salah kan?" tanyanya. Dara mengangguk.

"Tidak salah. Tapi dia kan baru empat tahun dan tidak sopan berkata seperti itu pada orang tua. Kepsek kira aku yang mengajarinya," jawab Dara. Leon menyeringai.

"Memangnya bukan?"

Dara mendelik.

"Sudah kubilang dia membaca dari surat kabar," protes Dara. Leon tertawa.

Pria itu menyukai keadaan seperti ini. Ia dan Dara bisa mengobrol dengan nyaman dan wanita itu seakan lupa kalau ia pernah mengatakan kalau ia tidak menyukai anak-anak.

"Ah, dari sini belok ke kanan kemudian lurus saja. Lewat persimpangan itu tempat lesnya," beritahu Dara. Leon mengangguk.

Lalu lintas tidak begitu padat sore itu tapi Leon memang sengaja melambatkan mobilnya.

"Mengapa kau tidak menyetir sendiri?" tanya Leon membuat Dara terdiam agak lama sampai Leon menyadar ada sesuatu yang dipikirkan Dara. Wanita itu menyelipkan rambutnya di belakang telinganya, gerakannya tampak canggung.

"A-aku t-tidak pernah mahir belajar nyetir," jawab Dara dengan suara serak. Leon mengerutkan keningnya dengan alasan yang diberikan Dara.

Bukan itu.

Leon teringat Ibunda Dara pernah mengatakan kalau Dara enggan menyetir setelah sebuah kejadian.

Kejadian apa?

"Tempatnya di sebelah kiri," tukas Dara. Leon menepikan mobilnya disebelah kiri dan ia bisa melihat sebuah ruko yang di depannya terdapat papan bertuliskan Coloring Kids di depannya.

Dara membuka sabuk pengamannya ketika mobil Pajero itu benar-benar berhenti.

"Sebentar ya. Tidak akan lama," pesannya pada Leon lalu turun dengan buru-buru. Ia sama sekali tak menyangka kalau Leon juga akan ikut turun. Pria itu mengikutinya masuk ke tempat les melukis Anggraini. Sosoknya yang tinggi mempesona dengan wajah tampan yang unik membuat beberapa kelompok ibu dan guru berbisik-bisik.

"Bukankah dia janda?" bisik ibu yang memakai kacamata.

"Ssttt, jangan kuat-kuat. Iya, janda," bisik ibu yang mengenakan baju batik.

"Jadi ini pacarnya? Wah, hebat sekali janda itu bisa dapat pria seperti ini. Lihat mobilnya!"

"Padahal wajahnya tidak cantik. Dia pakai pelaris kali," tukas ibu yang lain membuat ibu-ibu lainnya tertawa.

"Aku juga mau minta pelaris supaya bisa dapat pria seperti itu."

"Atau itu suami orang ya. Masa sih sekeren itu masih sendiri?"

Leon meringis mendengar bisik-bisik yang didengarnya dengan jelas itu. Ia tidak suka Dara digosipkan begitu. Tapi ia tidak wajib menjelaskan pada kelompok ibu-ibu itu kalau ia juga duda dan bebas mengejar Dara.

Leon mendesah. Dara pastilah sudah kenyang dengan hal-hal seperti ini. Leon sendiri berstatus duda tapi perbedaan mereka jelas, sebagai pria bercerai ia masih bebas melakukan apa saja sedangkan Dara, sebagai guru dan sebagai ibu ia wajib menghindari hal-hal yang bisa menimbulkan gosip. Bahkan dengan seorang pria yang mengantarkannya saja sudah menjadi bahan gosip apalagi kalau Dara benar-benar berkencan dengannya.

Ia benar-benar harus berhati-hati dan menjaga nama baik Dara.

Leon menghela nafas tepat ketika Dara keluar sambil menggandeng Anggraini dan wanita itu baru menyadari kalau Leon berdiri di ruang tunggu para orang tua. Pria itu melambai pada Anggraini. Gadis kecil berkepang dua itu langsung melepaskan tangan Dara dan berlari menyongsong Leon.

"Oom Ganteng!"

Leon berjongkok dan entah untuk alasan apa ia membuka kedua lengannya. Gadis kecil itu memeluknya tanpa sungkan sampai membuat mulut Dara menganga.

Anggraini memeluk Leon?

Leon merasa nyaman memeluk gadis kecil itu, harum lembut masuk ke dalam rongga paru-parunya. Ia selalu menyukai harum Anggraini dan ia tidak mengerti apakah itu berasal dari sampo atau sabun yang dipakai gadis kecil itu.

"Oom datang untuk membawaku jalan-jalan?" tanya Anggraini sambil melepaskan pelukannya untuk menatap mata Leon.

"Anggra!"

"Ya, kita jalan-jalan."

Dara mendelik menatap Leon, Leon tidak menoleh padanya tapi menatap Anggraini sambil tersenyum riang.

"Tapi kau harus tanya Mom dulu, apakah kita boleh jalan-jalan," tukas Leon sambil melirik Dara. Anggraini juga menatap Dara dengan tatapan memohon. Dara menelan ludah. Ia tak ingin ke mana-mana dengan Leon.

"Mom, can we?"

Dara serba salah namun ia maju mendekati Leon yang sudah bangkit dan tangannya menggenggam jemari mungil Anggraini. Pemandangan itu tampak indah di mata Dara. Ia teringat pada Ferry. Ferry mungkin bukan suami yang baik tapi ia ayah yang baik, hanya saja ia tidak beruntung menyaksikan Anggraini belajar merangkak, berjalan, berbicara.

Dara mendesah, bingung dengan perasaannya. Ferry sudah meninggal dan harusnya ia sudah memaafkan Ferry karena telah menghianatinya. Namun bila saja perselingkuhan Ferry ia ketahui sebelum kecelakaan itu, apakah ia masih tetap akan mempertahankan pernikahan mereka?

Dara mengerjapkan matanya berusaha agar tidak menangis di tempat umum. Yang kini ada di hadapannya adalah Leon, bukan Ferry.

"Bukankah kau ada janji dengan klien?" tanya Dara. Leon menyeringai.

"Dibatalkan oleh klien," dustanya. Dara tampak tak percaya. Leon mulai merasa kemampuan berbohongnya menurun.

"Mom, please," rengek Anggraini.

Anggra mulai merengek. Leon pasti jengkel dengan rengekan.

Dara baru saja berpikir demikian ketika Leon langsung menggendong Anggraini dan berbisik pada Dara, "Kalau kau tak ingin digosipkan yang macam-macam, sebaiknya kau segera naik ke mobil."

Dara segera melirik kelompok ibu-ibu yang sedang berbisik-bisik menatap Leon dan dirinya dengan penuh minat. Ia menggigit bibirnya. Benar yang dikatakan Leon, ia harus segera pergi.

Akhirnya Dara juga yang meninggalkan tempat itu juga dengan wajah tertunduk tak berdaya. Leon menahan senyum memperhatikan Dara.

"Trims, Oom," bisik Anggraini. Leon menaikkan jempolnya untuk gadis itu.

Kalau sebelumnya Dara percaya kalau Leon tidak menyukai anak-anak karena suara rengekan dan tangisan membuatnya pusing, Leon mungkin sangat pintar berbohong.

Leon sangat luwes menghadapi Anggraini. Pria itu menggendong Anggraini dan sebelum Dara memutuskan di mana ia dan Anggraini akan duduk, Leon sudah membuka pintu di depan dan mendudukkan Anggraini di sana. Ia lalu memasang sabuk pengaman. Hati Dara berdenyut melihat pemandangan itu.

"Kita mau ke mana, Oom Ganteng?" tanya Anggraini.

Mengapa anak itu memanggilnya Oom Ganteng?

Dara bahkan tidak bisa berhenti tersenyum ketika ia membuka pintu di kursi belakang.

"Tanya Mommy. Mom, kita mau ke mana ya?" tanya Leon dengan suaranya yang jail.

Mom?

Oh Tuhan!

Wajah Dara memerah, darahnya berdesir, dan jantungnya berdetak lebih cepat daripada ia joging di pagi hari. Mengapa Leon harus menggodanya dengan panggilan sedekat itu?

Dara menyelipkan rambut sebahunya di belakang telinga lalu mengerjap menatap Leon yang ada di depannya. Pria itu tersenyum nakal padanya.

"Putri dari Mars suka makan es krim ngak?" bisik Leon ke telinga Anggraini. Anggraini cekikikan. Dara heran mengapa gadis kecilnya bisa secentil itu pada orang asing.

"Suka! Anggra suka. Mom juga suka. Tapi Mom sukanya rasa kopi, Anggra suka rasa cokelat," sahut Anggraini cepat.

"Ah, Anggra boleh pesan yang cokelat dan Mommy akan mendapat rasa kopi. Setuju?"

Stop memanggilku Mom!

"Oke!"

Leon menutup pintu mobilnya lalu berjalan mengitari mobil dan membuka pintu di samping kemudi sementara jantung Dara masih berdentam tak karuan.

"Berangkat!"

Mobil Leon meluncur menuju pusat perbelanjaan yang baru dibuka di kota itu yang dulunya hanya berupa lahan yang tak pernah laku untuk dijual namun sekarang tanah di sekitar pertokoan itu sudah naik berkali-kali lipat. Leon sendiri memiliki dua ruko yang masih kosong di sana. Satu dibelinya atas nama ibunya dan satu lagi atas namanya. Ia membelinya hanya untuk investasi bukan untuk ditempati, meskipun Bima mengejeknya kalau tinggal di apartemen sama sekali tak ada asyiknya, ia tidak peduli. Ia tak punya waktu mengurus rumah. Rumah perlu dibereskan sedangkan kalau apartemen, meskipun ia tipe pria yang rapi dan bersih, ia hanya perlu membereskan apartemen dua kali seminggu. Itu pun menyewa jasa pembantu.

"Oom!" panggil Anggraini ketika mobil Pajero Leon sudah memasuki area parkir pusat perbelanjaan itu.

"Ya, Anggra?"

"Kenapa Oom tidak mencukur kumis Oom?"

"Anggra!" tegur Dara malu. Leon malah terbahak. Diraihnya jemari mungil Anggra dan digenggamnya.

"Apa aku terlihat lebih tampan tanpa kumis?" tanya Leon. Matanya melirik kaca di depannya untuk melihat ekspresi Dara. Gadis itu sedang mengusap poninya ke samping.

"Anggra tidak tahu, Oom karena tidak pernah melihat Oom tanpa kumis," jawab Anggraini jujur.

Aku rasa kau tetap tampan dengan atau tanpa kumis.

Wajah Dara memerah. Kalau ia memilih, ia lebih suka Leon berkumis karena itu menambah keunikan wajahnya. Hanya saja ia terlihat lebih menyeramkan dengan kumis dan janggut yang berantakan.

Mobil Leon berhenti tepat di depan pintu masuk karena kebetulan sewaktu mereka mencari parkir, sebuah mobil hendak keluar. Leon membuka sabuknya sementara Dara mengulurkan tangannya membantu Anggraini melepaskan sabuknya. Leon bermaksud membantu Dara dan mencondongkan tubuhnya, wajah mereka berdekatan. Leon bisa merasakan harum yang berasal dari rambut Dara. Harum yang tidak menusuk hidung karena Dara tidak mengecat rambutnya, rambutnya cokelat gelap, bukan hitam. Harumnya hampir sama dengan harum Anggraini.

Apakah mereka memakai shamppo yang sama?

Kalau saja tidak ada Anggraini di mobil, Leon akan mengambil segala resiko untuk mencium Dara. Ia mungkin saja bisa bercinta dengan Dara di mobil atau bisa juga Dara akan menamparnya. Tapi ia penasaran dengan rasa bibir wanita itu.

Leon agak sebal ketika Dara berhasil melepaskan sabuk pengaman Anggraini karena ia kembali mundur dan harum itu menjauh dari hidungnya.

"Mom, apa itu pacaran?" tanya Anggraini ketika Dara membantunya turun. Saat itu Leon sudah ada di sampingnya.

"Heh?!"

Dara kaget. Wajahnya memerah lagi. Ia tak mengerti mengapa wajahnya jadi sesensitif itu sekarang.

Pacaran?

Leon terkekeh geli.

"Darimana kau tahu kata pacaran?" tanya Dara sambil menggandeng tangan Anggraini dengan tangan kanan sementara tangan kirinya menyampirkan tas di bahunya.

"Jonah bilang ia ingin pacaran denganku kalau sudah dewasa," jawab Anggraini polos.

"Tapi Anggra kan masih kecil," tukas Dara. Leon menggandeng Anggraini juga dan mereka menyeberang bersama.

"Kan Anggra bilang kalau sudah dewasa. Seperti Mommy dan Oom," tukas Anggra ketika memasuki pintu kaca. Ia melepaskan tangan Dara tapi tetap menggandeng tangan Leon.

"Anggra!"

Dara ingin mengatakan kalau ia dan Leon tidak pacaran tapi ia tidak mungkin bisa mengatakannya sekarang di tempat umum yang ramai seperti ini, jadi ia hanya bisa menelan kembali kata-katanya dan berjanji dalam hati kalau ia akan segera meluruskan hal ini.

Leon menggendong Anggraini dengan satu tangan dan berbisik padanya. Dara ingin mencuri dengar apa yang dibisikkan pria itu pada putrinya tapi urung karena ia tidak mau terlalu dekat dengan Leon.

"Mom, kita makan malam dulu, ya. Oom dan Anggra lapar," tukas Anggraini.

Ah, bagus! Sekarang putrinya berkomplot dengan Leon.

***

[1] Bos besar dalam bahasa Mandarin

[2] Bos wanita dalam bahasa Mandarin

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top