♥ 6. Aku Menemukan Banyak Alasan Untuk Menemuimu.♥

Chapter 6 : The Reason

Minggu pagi itu, Leon sudah berada di kompleks perumahan Dara. Ia mengenakan pakaian olah raga berupa t-shirt tanpa lengan berwarna merah dengan logo Liverpool dan celana training panjang warna hitam. Ia akan mengemukakan alasan ingin joging di kompleks itu jika Dara bertanya padanya mengapa ia muncul di rumahnya sepagi itu. Padahal bila ingin sekedar berkeringat atau berolah raga, gedung apartemennya lengkap dengan fasilitas fitness dan kolam renang.

Leon hanya ingin bertemu Dara dan mengetahui keadaan Anggraini. Ia tak bisa tidur nyenyak setelah semalaman memikirkan wanita itu dan anaknya. Setelah memikirkannya selama beberapa jam, Leon sampai pada satu keputusan kalau ia harus mulai bersikap jantan dengan meminta maaf kepada Dara tentang pernyataannya kalau ia tidak suka anak-anak karena rengekan dan tangis mereka supaya wanita itu tidak lagi memusuhinya. Itu sama sekali tak berlaku bagi Anggraini karena gadis kecil itu tidak membuatnya merasa alergi padanya. Kalau Leon jujur, ia bahkan nyaman memeluk anak itu dulu. Tapi ia baru bertemu Anggraini sekali, mungkin saja gadis kecil itu juga tukang merengek parah.

Leon mengerutkan kening sambil melirik arloji Swiss Army-nya yang masih menunjukkan pukul 07.14 pagi  ketika mobilnya berhenti di depan rumah Dara. Rumah itu tampak lebih mungil di pagi hari dibanding kemarin malam ketika Leon datang bersama Lily. Seorang gadis kecil sedang duduk di kursi kayu sambil minum dari gelas. Wajah gadis itu tampak cerah meskipun rambut panjangnya masih kusut dn ia mengenakan piyama.

Leon langsung turun dari mobilnya untuk menyapa Anggraini.

Gadis kecil itu agak terkejut melihat Leon ketika pria itu turun dari mobilnya. Ia meletakkan gelas minumannya dan turun dari kursinya seolah tahu kalau Leon memang ingin menemuinya.

"Oom Ganteng!" sapa Anggraini.

Leon tersenyum meski ia sadar diri kalau senyumnya itu biasanya tak membuat anak-anak nyaman.

"Selamat pagi, Anggra. Apakah kau sudah sehat?" tanya Leon.

Ia hanya berdiri di luar pagar rumah sebab ia kuatir bila ia membuka pintu pagar, orang akan mengira ia adalah penjahat atau penculik anak-anak meskipun Anggraini tampak tidak takut padanya.

Anggraini menatapnya heran.

"Oom tahu aku demam kemarin malam?" tanyanya.

Gadis itu maju dan membuka pintu pagar tapi Leon sungkan untuk masuk terutama bila Dara belum keluar dari rumah.

Ke mana wanita itu? Mengapa ia membiarkan anaknya sendirian di luar?

"Oom datang kemarin malam tapi kau sudah tidur," jawab Leon. Ia sengaja mengeraskan suaranya berharap agar Dara mendengarnya dan segera ke luar. Ia tak suka berdiri di luar pagar terus.

"Oom, apa Oom kehabisan kertas sampai harus menggambar di lengan sendiri?" tanya Anggraini sambil menunjuk lengan Leon. Leon ikut melirik lengannya yang bertatto kemudian tergelak. Tatto ini ia dapatkan ketika Bima menantangnya di Bangkok setahun setelah ia lulus kuliah. Sialnya, Leon terlalu serius menanggapi tantangan Bima dengan mentatto lengannya sementara Bima mentatto lengannya dengan tatto temporary.

"Ah, ya, Oom menggambar di lengan sendiri," aku Leon. Anggraini cekikikan, matanya menghilang tinggal segaris.Leon suka dengan suara centil anak itu.

"Ah, Oom ingin bertemu Mommy?"

Leon menyeringai. Bahkan anak kecil saja tahu ia ingin bertemu dengan Dara.

Di mana dia?

Seorang membuka pintu samping dan membuat Leon menoleh. Tapi ia agak kecewa karena bukan Dara yang muncul, melainkan seorang perempuan yang sudah agak tua tetapi memiliki raut wajah seperti Dara dengan mata kecil dan tulang pipi yang tinggi. Leon menduga kalau ia adalah ibunya Dara. Pria itu mengangguk hormat.

"Selamat pagi," sapa Leon. Ia bahkan tidak tahu harus memanggil wanita ini dengan sebutan apa.

Wanita itu melemparkan pandangan ke arah Leon dari kaki hingga kepala.

"Kau adalah ...."

"Teman Dara. Saya hanya kebetulan lewat dan sekalian menanyakan kabar Anggraini," tukas Leon.

Kebetulan lewat? Bagus sekali alasanmu!

Kau bersiap sejak dini hari hanya untuk datang ke sini.

"Ah, teman Dara. Saya neneknya Anggraini. Mari masuk. Jangan hanya berdiri di luar," tukas Ibunya Dara mempersilahkan Leon masuk.

Leon baru saja hendak melangkah masuk ketika Anggraini memberitahu, "Mommy sedang pergi ke luar, membeli buah di pasar buah di dekat bundaran itu."

"Tunggu saja di dalam, Nak," tukas Ibu Dara lagi.

"Ia pergi berjalan kaki?" tanya Leon. Ia ingat kalau kemarin saat ia datang, di depan rumah Dara sama sekali tidak ada mobil diparkir di depan kecuali mobilnya dan mobil Bima yang artinya Dara memang tidak memiliki mobil. Membayangkan wanita itu berjalan kaki sampai ke luar kompleks tahap 2 sambil membawa belanjaan membuatnya tidak nyaman.

Ibu Dara mengangguk.

"Katanya sambil olah raga. Anak itu agak takut bila kudesak ia belajar nyetir. Ia trauma sejak .... Ah, sudahlah. Aku kira ia pasti keberatan jika aku mulai mengungkit-ungkit soal itu," tukas Ibu Dara.

Leon menghembuskan nafasnya.

"Akan kususul dia, Nyonya," tukasnya. Ibunya Dara langsung tersenyum. Senyum yang benar-benar mirip dengan senyum Dara, tenang dan membuat nyaman.

"Terima kasih, Nak," ucapnya tulus. Leon mengangguk kemudian ketika ia hendak berbalik ke mobil Pajeronya, Anggraini memanggilnya.

"Oom, boleh aku ikut?"

Leon tidak keberatan tapi ia menunggu Sang Nenek memberikan ijin. Ibunya Dara mendekati Anggraini dan merangkul anak itu.

"Jangan sekarang ya, Sayang. Kau baru sembuh," bujuk Sang Nenek. Anggraini tampak mengerti.

"Oke. Lain kali ya, Oom. Janji mau membawaku dengan mobil Oom," ujar Anggraini pada Leon. Leon tersenyum dan mengangguk. Lalu masuk kembali ke mobilnya dan menjalankannya meninggalkan rumah Dara menuju bundaran yang disebutkan oleh Ibunda Dara.

Bundaran yang dimaksud oleh Ibunda sebenarnya masih berada di dalam komplek perumahan itu, letaknya di tengah komplek, tempat para penghuni joging di pagi hari, berjualan di sepanjang kolam, dan di Minggu pagi juga penghuni yang mengajak anjing peliharaannya jalan-jalan. Komplek bertokoan berada di dekat pintu masuk komplek sebelum bundaran itu.

Leon mengambil jalur kiri sambil mencari toko buah yang dimaksud Ibunda Dara. Yang ia ingat ada toko buah di sebelah restoran seafood yang cukup terkenal di sana. Bima sering mengajaknya dan Leo makan di sana.

Leon memutuskan memarkirkan mobilnya di depan restoran seafood itu, lalu turun dari mobilnya. Dengan tergesa-gesa ia berjalan menuju toko buah. Beberapa restoran sudah penuh di pagi itu. Sebagai orang yang tahu seluk beluk perumahan Leon sadar kalau berinvestasi dalam bentuk properti di komplek ini pasti menguntungkan. Komplek ini sudah menjadi kota mandiri. Para penghuninya tak perlu keluar dari komplek hanya untuk belanja, makan, atau sekedar ngopi. Jadi Leon tahu mengapa Dara meskipun tidak memiliki mobil tapi memilih komplek ini sebagai kediamannya meskipun jauhnya jarak dari komplek ke sekolah.

Leon mengelak ke samping ketika sebuah mobil lewat dengan kecepatan tinggi. Ia menyumpah-nyumpah dalam hati karena hampir saja ia terserempat. Ia menyalahkan pikirannya yang terus melayang-layang pada Dara.

Ia menatap pintu masuk toko buah ketika seorang wanita berjaket putih mendorong pintu kaca dari dalam. Kedua tangannya penuh dengan kantong belanjaan yang kelihatannya berat.

Tanpa sadar bibir Leon menyunggingkan senyum melihat sosok itu yang tak lain adalah Dara. Dara kelihatan kepayahan menahan pintu dengan bahunya sementara kedua tangannya penuh dengan kantong belanjaan. Dengan langkah panjang Leon menuju ke sana, menarik pintu kaca, dan sebelum  Dara sadar, Leon sudah mengambil alih kantong belanjaan itu dari tangannya.

Dara terkesiap, tak siap mental sepagi itu harus bertemu dengan Leon. Leon masih menahan pintu untuknya ketika ia mengerjap beberapa kali untuk memastikan kalau pria di hadapannya bukanlah sekedar fatamorgana.

Mengapa jersey merah itu tampak begitu pas di tubuhnya?

"Ayo, Dara," tukas Leon sambil menelengkan kepalanya.

Awalnya pria itu ingin menggoda Dara dengan bertanya apakah Dara memimpikan dirinya semalam sampai Dara menatapnya dengan sorot mata intens tapi ia mengurungkan niatnya karena tidak mau membuat Dara kesal padanya. Ia sudah berencana  mengajak Dara sarapan bersama baru mengantarnya pulang.

Dara melangkah ke luar, baru Leon melepaskan tangannya yang menahan pintu. Pintu tertutup otomatis.

"Trims," ucap Dara.

"Ayo," ajak Leon. Dara bingung tapi ia mengikuti langkah Leon juga sampai ke mobilnya. Leon membuka pintu belakang mobilnya dan meletakkan barang belanjaannya.

"Leon."

"Sebagai ucapan terima kasih, traktir aku sarapan."

"Apaa!!"

Dara mendelik menatap pria di hadapannya. Leon menekan kunci kontak mobilnya sampai berbunyi beep sekali. Lalu sebelum Dara bisa menolak, ia menggandeng tangan Dara dengan posesif.

"Kau mau makan apa? Di sini banyak makanan yang enak kan?" tanya Leon. Suara seraknya begitu dekat di telinga Dara sampai Dara bergidik. Bukan karena jijik tapi karena ia kuatir suara itu akan menyihirnya sehingga melakukan sesuatu di luar akal sehatnya.

Seperti apa misalnya?

Diajak ke mana saja tanpa bisa menolak.

"Leon, aku..."

"Food court yang itu kelihatan ramai. Ayo!" ajak Leon. Dara menggerakkan tangannya berusaha melepaskan jarinya yang digenggam Leon dan Leon merasakannya tapi ia tidak ingin melepaskan tangan Dara. Jadi ia sengaja menggandeng Dara menyeberangi jalan. Dengan alasan itu Dara terpaksa harus mengikutinya. Ia tak akan memberi kesempatan bagi wanita itu untuk menolaknya hari ini.

"Bima sering mengajakku makan di sini. Kau mau pesan apa?" tanya Leon ketika mendapatkan meja kosong. Ia berlaku jantan dengan menarik kursi untuk Dara. Ia tahu dengan bersikap demikian Dara tidak akan mempermalukan dirinya dengan menolaknya.

"Aku mau lontong sayurnya dan segelas teh panas," jawab Dara.

"Oke!"

Sambil bersiul-siul pria itu meninggalkan Dara untuk memesan makanan. Dara mendesah mengapa ia mau-mau saja digiring Leon ke food court.

Sementara itu di seberang jalan, Bima memarkirkan mobilnya. Ia menurunkan kaca mobilnya supaya ia bisa memastikan kalau memang dua sosok yang ia perhatikan sejak menyeberang jalan. Ia tidak salah lihat kalau Leon memang menggandeng lengan Dara.

Bima baru saja menelepon Lily untuk mengabarkan kalau ia dalam perjalanan menjemput gadis itu. Setelah sarapan, Lily minta ditemani belanja bulanan. Seperti biasa Bima selalu menyanggupinya. Rencananya ia akan mengajak Lily menjenguk Anggraini lagi sehabis belanja.

Bima melepaskan kaca mata hitamnya lalu tersenyum menatap Leon dan Dara.

Kena kau, playboy!

Bima mencari nomor ponsel Leon dan menghubunginya. ia masih memperhatikan gerak-gerik Leon yang sedang berada di  food court itu.

Leon mengangkat teleponnya tak lama kemudian.

"Aku lihat mobilmu terparkir di kompleks pertokoan."

Aku lihat kau menggandeng lengan Dara.

"Ah, ya. Aku joging di bundaran. Mobilku kuparkir di depan restoran seafood."

Bima terkekeh.

"Kau? Joging di sini? Sementara apartemenmu berfasilitas lengkap," sindirnya. Ia masih memandangi Leon yang berada di rumah makan  itu. Untung baginya karena mobilnya tidak berada tepat di depan rumah makan.

"Ganti suasana," jawab Leon asal.

"Baiklah. Aku sekarang mau jemput Lily. Breakfast. Mau ikut?"

"Tidak."

Sudah kuduga.

"Lalu belanja bulanan."

Leon mendengus.

"Lebih baik berikan kartu kredit padanya daripada menemaninya belanja."

Bima terbahak.

"Dengar Sobat, aku rasa nasibmu akan lebih parah ke depannya."

"Apa maksudmu?"

Tut tut tut.

Bima memandang sahabatnya yang menatap ponselnya di seberang jalan sambil tersenyum. Tangannya mencari nomor ponsel Lily dan mengirimkan chat di BBM.

Kakakmu punya pacar baru.

Bima tak ingin merusak kejutannya dengan mengatakan kalau pacar Leon adalah Dara. Biarlah Leon nanti yang mengatakannya. Ia tersenyum puas meski bayangan wajah Leon ketika mengaku pada Lily itu masih berupa bayangan di benaknya.

***

Leon menatap ponselnya yang baru saja diputus oleh Bima. Ia lega karena Bima hanya melihat mobilnya. Ia tidak bisa membayangkan jika Bima sampai tahu ia dan Dara sedang bersama, lalu Bima ikut sarapan bersama. Ah, ia tidak suka jika waktu yang sengaja ia cari agar bisa bersama Dara malah harus terganggu oleh kehadiran Bima.

Leon tersenyum lega menatap punggung Dara yang duduk membelakanginya. Setelah memesan menu pada pelayan, Leon kembali ke meja itu. Ia menarik kursi di depan Dara.

"Tadi aku bertemu dengan Anggra. Dia sudah tampak sehat," tukas Leon. Ia duduk dengan santai dengan menjulurkan kedua kakinya ke depan. Dara tersenyum mendengar nama putrinya disebut dan  Leon merasa beruntung karena memulai percakapan tentang Anggraini. Ia merasa kalau membicarakan Anggraini pastilah membuat Dara senang.

"Hm, kemarin malam aku sempat pusing waktu tidak dapat menghubungi dokter anak. Untung aku masih menyimpan nomor Bima," tukas Dara.

Bahu Leon melorot mendengar nama Bima disebut.

Mengapa harus ada Bima lagi?

"Apa kau masih menyimpan nomorku?" tanya Leon. Matanya menatap lurus ke dalam mata Dara sampai jantung Dara berdetak tak karuan. Ia terus menyalahkan dirinya yang terlalu lemah bila mendengar suara Leon dan menatap matanya yang mengandung sihir. Membalas tatapan Leon sama artinya dengan menjatuhkan dirinya ke dalam jurang yang terjal.

"B-buat a-apa aku menyimpan nomormu?" tanya Dara berusaha mematahkan sihir yang terpancar dari mata gelap Leon. Bibir Leon yang sensual menyunggingkan senyum. Ia tahu benar kapan harus tersenyum seperti itu.

"Supaya aku berada dalam daftar pertamamu ketika kau membutuhkan pertolongan," jawabnya serak. Ia berbisik rendah di dekat telinga Dara. Hembusan nafasnya panas menerpa pipi Dara.

Dara baru saja hendak menyahut ketika pelayan membawakan pesanan mereka berupa dua piring lontong sayur, secangkir teh, dan secangkir cappuccino panas. Dara mengucapkan terima kasih dan tersenyum ramah kepada pelayan. Sang pelayan membalas dengan anggukan.

Leon belum pernah berkencan dengan wanita yang selalu mengucapkan terima kasih untuk hal-hal sepele bahkan mengucapkan terima kasih kepada pelayan. Leon menyukai senyuman tulus itu. Senyuman itu memberikan rasa nyaman dalam dirinya seperti perasaan ketika ia sangat capek bekerja kemudian pulang ke apartemennya dan menemukan tempat tidurnya yang besar dan ia langsung melompat ke ranjang itu.

Rumah.

Dara bagai rumah.

Sial!

Apa aku benar-benar sudah tua sampai aku memikirkan hal seperti itu?

Ia bisa membayangkan wajah kedua sahabatnya jika ia mengakui hal ini. Harris dan Bima akan menertawainya selama seminggu penuh. Ia juga bisa membayangkan wajah kedua orang tuanya yang mungkin akan langsung memberi kabar kepada seluruh keluarga kalau putra sulungnya akan segera menikah padahal keluarga lainnya sudah tidak begitu peduli mengingat Leon sudah pernah menikah dua kali dan bercerai dua kali.

Apa aku sedang memikirkan pernikahan?

Leon bergidik. Dara sampai heran karena mata Leon sedang menatap makanan yang dipesannya.

"Leon, kau tidak menyukai rasanya?" tanya Dara.

Suara Dara yang tenang itu membuat Leon mengangkat wajahnya menatap Dara. Kalau dulu ia pernah mengatakan kalau Dara tidak cantik, ia akui ia telah salah.

Dara adalah wanita paling cantik dengan porsi yang pas. Matanya bening tapi memancarkan sinar cerdas, hidungnya mancung, bibirnya memiliki bentuk yang proporsional. Bahkan sekarang ketika ia sedang tidak memoles wajahnya dan rambutnya agak berantakan, pakaiannya juga tidak berkelas, Dara tampak bersinar seperti bunga dandelion di padang rumput.

Warna kulit Dara putih bersinar, Leon bisa membayangkan betapa kontrasnya kulit Dara dibanding kulitnya dengan warna gelap karena seringnya ia beraktifitas di luar ruangan. Membayangkan kulit Dara telanjang membuatnya kepanasan.

Leon tersendak ketika berusaha menelan lontong sayurnya. Dara tampak kuatir dengannya. Ia mendorong cangkir tehnya kepada Leon.

"Sebaiknya minum teh," tukasnya. Leon menerimanya dan mengucapkankan terima kasih.

♡tbc♡

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top