♥ 4. Anak Perempuan Dengan Nama Anggraini ♥

By the way! Kalian sombong, mau baca, taruh di library tapi ogah ngefollow. Apa karena Cici bukan penulis femes, ya? Sedih Cici.

Chapter 4 : Flying Without Wings

Senin pagi itu Leon terpaksa mengantar Lily ke sekolah. Lily merengek minta masuk kerja dan ia bosan berada di apartemen Leon tanpa mengerjakan apa-apa. Leon mengusulkan agar gadis itu nonton drama Korea tapi Lily malah makin sewot. Lewat perdebatan yang alot akhirnya Leon mengijinkan Lily masuk kerja dengan banyak persyaratan yang harus dipenuhi oleh Lily, salah satu di antaranya adalah Lily harus mau diantar oleh Leon lalu mereka akan sarapan di sekolah bersama karena Leon tidak bisa memasak. Lily menyanggupi semua persyaratan yang diusulkan Leon.

Jadi sepagi itu Leon sudah berada di sekolah tempat Lily mengajar sementara gadis itu mengisi absensi di mesin absensi lalu keduanya akan sarapan di kantin. Leon cukup janggal berada di lingkungan seperti itu. Penampilannya cukup mencolok di lingkungan sekolah dengan kemeja pas badan warna kelabu, dasi slim hitam, dan celana panjang model lurus warna hitam yang membuat kakinya makin terlihat panjang dan berotot membuat beberapa ibu-ibu tanpa malu-malu menatapnya penasaran. Ditunjang dengan wajah tampannya yang unik. Tampan tetapi menakutkan. Beberapa anak-anak sampai mewek karena melihat sosok raksasa itu berjalan di selasar sekolah TK itu. Mata Leon memang sangat tidak bersahabat.

Ke mana bocah itu? Aku jadi makhluk aneh di sini.

Leon berjalan keluar dari gedung sekolah. Ia muak diperhatikan terus. Ia juga tidak ingin bertemu dengan Nuri, teman Lily yang sejak pernah Lily kenalkan padanya setahun lalu dan masih tergila-gila padanya. Leon menyukai wanita tapi ia menetapkan peraturan kalau teman adiknya adalah terlarang baginya.

Kecuali Dara.

Dara?Kenapa harus dia?

Leon berjalan tanpa tujuan. Kaki panjangnya membawanya menuju taman bermain anak-anak yang berada di belakang gedung TK tersebut. Taman yang penuh dengan mainan seperti merry go round, perosotan, ayunan, dan jungkat-jungkit.

Sial!

Suara anak-anak cukup membuatnya pusing. Ia benci anak-anak. Oke, usianya berbeda delapan tahun dengan Lily, dulu ketika Lily lahir ia cukup senang karena berpikir ia akan memiliki teman bermain sampai usianya sepuluh tahun dan sadar kalau ternyata Lily lebih menyukai bermain boneka daripada mobil-mobilan.

Dulu ia menikah bukan karena ia menginginkan anak dalam pernikahannya. Hanya karena ia tidak ingin hidup free dan menikah dengan Cat adalah pilihan yang tepat karena Cat tahan menjadi pacarnya selama setahun sementara yang lain hanya bertahan dua atau tiga bulan, itu karena Cat tidak protes meski ia kencan dengan gadis lain lagi.

Perut Leon bergolak seperti habis ditinju Bima dan ditendang oleh Leo dalam latihan karate padahal belum tentu dalam latihan yang sebenarnya Bima atau Leo bisa mengalahkannya jika mereka tidak maju bersama.

"Hei, Oom!"

Leon agak terkejut melihat seorang gadis kecil memanggilnya. Gadis itu bermata sipit itu sedang duduk di atas patung batu berbentuk kuda. Leon membalikkan badannya mencari orang lain yang mungkin sedang diajak bicara oleh gadis kecil ini namun ia tidak menemukan siapa pun.

"Oom tahu tidak kalau Mars memiliki dua satelit yang dinamakan Phobos dan Deimos?"

Mati aku!

Leon masih mencari orang lain, siapa tahu orang tua gadis itu ada di sekitarnya dan ia bisa mengabaikan anak ini.

Help me!

"Oom! Ke sini dong," panggil anak itu.

Leon menelan ludah sambil berpikir jernih, masa ia harus ketakutan menghadapi seorang anak kecil. Percakapan alot dengan pemilik tanah yang sama sekali tak ingin menjual tanahnya saja sudah pernah ia lewati, kenapa hanya anak kecil membuatnya ketakutan. Karena pemikiran itu Leon maju selangkah.

"Oom, apa anakmu tidak takut melihatmu?"

"Apaa?"

Leon mendelik. Dalam waktu bersamaan keningnya juga berkerut, heran mengapa anak sekecil ini sampai bisa berpikiran seperti ini. Pria itu mengusap-usap kumis dan dagunya yang berjenggot tipis seolah tahu kalau yang membuat anak-anak takut padanya adalah kedua fitur ini di wajahnya dan kalau ada lagi itu karena matanya yang kelam.

"Bisa bantu aku turun, Oom?" tanya gadis kecil itu.

Tangannya menggapai lengan Leon sedangkan Leon tampak mundur karena takut disentuh oleh anak itu.

"Mau apa kau?" raungnya.

"Aku mau turun tapi tidak bisa," sahutnya masih terus berusaha menggapai lengan Leon.

Leon pucat dan tegang. Tapi ia juga kasihan pada anak itu, bagaimana kalau sampai ia jatuh. Kakinya yang kecil belum bisa sampai ke tanah.

Sial! Mengapa orang tuanya tidak menjaganya di sini?

Leon menyumpah-nyumpah dalam hati tapi ia mengulurkan tangannya dan meraih pinggang anak itu dan menggendongnya turun dengan salah satu tangannya menjepit pinggang anak itu. Harum wangi yang asing tercium dari tubuh gadis kecil yang memakai jepit berwarna merah itu. Meskipun Leon alergi bau-bau aneh tapi ia merasa nyaman mencium bau itu dari anak itu. Leon ingin memeluk anak itu lebih lama tetapi anak itu langsung berlari setelah mengucapkan terima kasih.

"Mom! Mommy!"

Dan ibu macam apa yang meninggalkan putrinya sendirian bermain kuda-kudaan?

Leon melongo ketika ia melihat gadis kecil itu menyongsong seorang wanita dan memeluknya. Wanita itu mengenakan seragam merah muda dengan rok hitam seperti yang dipakai Lily tapi ia juga menambahkan sweater longgar berwarna putih. Wanita itu, Dara.

Leon menelan ludah.

Apa ia tidak pernah mengenakan pakaian yang lebih menonjolkan kelebihannya sendiri?

Tapi mengapa rok selutut itu malah membuatku makin penasaran dengan kakinya?

Mendadak Leon merasa dasi yang dipakainya terlalu mencekik lehernya. Dengan gerakan refleks ia melonggarkan dasi slimnya yang berwarna hitam. Ada satu bagian lain yang terasa sempit yaitu celananya tapi ia tak bisa melonggarkan celananya sekarang.

"Mom, Oom ganteng itu membantuku turun dari kuda," tukas gadis kecil pada Dara.

Dara menoleh pada Leon. Ia agak terkejut tapi demi kesopanan ia mengangguk pada Leon.

Aku? Oom ganteng?

"Sudah mengucapkan terima kasih pada Oom itu?" tanya Dara lembut.

Gadis kecil itu mengangguk.

"Mom, may I play with Jonah?" tanya gadis kecil berkepang satu itu.

Dara mencari sosok anak yang dimaksud dan menemukan Jonah di jungkat-jungkit dan anak itu tidak memiliki teman untuk menjadi pasangannya bermain permainan yang membutuhkan dua orang itu.

"Of course," tukas Dara memberi izin.

Anggraini tertawa lalu berlari menuju permainan jungkat-jungkit.

"Anggra!" panggil Dara.

"Yes Mom!"

"Ya?"

Baik Leon maupun Anggraini sama-sama menjawab. Leon sendiri terkejut karena Dara memanggil panggilan kecilnya. Hanya kedua orang tuanya yang memanggil Leon dengan Angga.

"Walk slowly, Honey," pesan Dara.

"Oke Mom!"

Walk slowly, Honey.Do it slowly, Honey.

Oh damn!

Leon suka suara itu. Leon bahkan membayangkan wanita itu membisikkan kata provokatif itu di telinganya dalam keadaan....

Leon mengumpat dalam hati. Celananya makin terasa kecil.

"Trims," tukas Dara pada Leon ketika Anggraini sudah bermain jungkat-jungkit bersama temannya.

"Kenapa kau meninggalkan anakmu bermain sendiri tadi?" tanya Leon.

Dara memandang pria itu sebal tapi ia tak akan terpancing emosi oleh Leon.

"Anggraini sudah biasa bermain sendiri di taman ini. Aku mengantarkan seorang anak yang ingin ke toilet," alasan Dara.

Leon mengangguk-angguk.

"Jadi namanya Anggraini? Kau memanggilnya Angga?" tanya Leon.

Tangannya dengan refleks lagi menarik dasinya. Sekarang ia lebih berantakan dari yang seharusnya dan tetap saja memesona. Dara ingin mengacak rambutnya supaya menambah efek bad boy yang melekat dalam diri pria itu. Tetapi ia tak akan melakukannya. Seribu kali tidak. Ia tak akan terlibat dengan pria seperti Leon.

"Sebenarnya panggilannya Anggra," jawab Dara sambil memperhatikan Anggraini yang sekarang mengajak temannya Jonah bermain ayunan.

Dara melangkah mengikuti Anggraini dan Jonah, Leon menjejeri langkahnya padahal otaknya memerintahkan ia untuk segera pergi dari wanita ini.

"Jadi, Lily sudah sehat?" tanya Dara basa-basi.

Ia sudah bertemu Lily sewaktu berada di depan ruangan kelas karena kelas mereka berdua berdampingan. Ia bertanya hanya karena tidak tahu harus bicara apa kepada Leon.

"Ya, dia keras kepala. Aku memintanya untuk istirahat sampai hari Kamis tapi ia bersikeras untuk mengajar. Jadi aku mengantarnya hari ini untuk memastikan ia sarapan dengan baik," tukas Leon.

"Ah, sudah berubah menjadi kakak yang penuh kasih sayang sekarang?" sindir Dara.

Ia menyesalkan ucapannya yang sinis tapi pria di sisinya malah terkekeh.

"Maaf soal itu. Aku benar-benar tidak tahu kalau kau menghubungiku karena Lily masuk rumah sakit," tukas Leon dengan nada khasnya.

Seorang pria yang angkuh dan sombong seperti Leon meminta maaf pada seorang wanita yang bukan siapa-siapa baginya. Ini benar-benar kejadian langka. Harus ia akui kalau ia salah mengira Dara adalah Nuri dan dengan tidak sopan memutuskan hubungan telepon padahal gadis itu berniat baik jadi ia merasa minta maaf adalah jalan terbaik baginya saat ini. Ia tak ingin Dara bersikap memusuhinya lagi setelah hari ini. Entah untuk alasan apa ia tidak nyaman karena keadaan ini.

"Dara," panggil Leon dengan nada rendah.

Dara menoleh, sekarang ia berdiri berhadapan dengan Leon. Leon menunduk dan memajukan wajahnya namun Dara ingat kalau sekarang ia berada di kompleks sekolah dan gerak-geriknya diperhatikan semua orang tua. Wanita itu memundurkan wajahnya namun gerakan itu tidak menghalangi Leon mengintimidasinya.

"Terima kasih karena kau telah menjaga Lily selama ini. Aku tenang karena kau berteman dengannya," tukasnya setengah berbisik.

Nafas Dara tercekat. Leon baru saja berterima kasih padanya dengan nada yang tulus.

"I-itu b-bukan apa-apa," balas Dara.

Hatinya berharap Leon segera pergi dan tidak mengusiknya lagi. Ia butuh ruang yang besar walaupun sekarang ia berada di taman bermain terbuka. Rasanya jika Leon berada sedekat ini dengannya pasokan oksigen menjadi berkurang. Eksistensi Leon mengambil semua oksigen yang tersedia.

"Aku sudah menyimpan nomor teleponmu yang kau pakai kemarin untuk meneleponku," tukas Leon lagi.

Kali ini ia menjaga jarak dengan menarik kembali wajahnya yang sebelumnya dekat dengan Dara.

Untuk apa?

"Ternyata Kakak adadi sini!" seru Lily yang tiba-tiba muncul di taman bermain.

Dara menarik nafas lega dengan kehadiran gadis itu.

"Eh, kebetulan Kak Dara di sini. Ayo, sarapan bersama kami," ajak Lily sambil mengamit tangan Dara.

Wanita itu menggeleng.

"Aku sudah sarapan di rumah tadi bersama Anggraini," tolak Dara.

Sayang sekali.

Leon menatap wanita itu intens. Pria itu berpikir sarapan apa yang disediakan wanita itu di rumah, membayangkan Dara mengenakan apron dan sedang sibuk di dapur menggelitik perasaannya namun ia buru-buru menggeleng dan tidak membiarkan pikirannya terlalu jauh mengkhayal.

"Temani saja aku," tukas Lily sambil menyeringai.

"Aku piket di taman pagi ini," Dara lagi-lagi menolak.

"Ah begitu. Baiklah. Nanti saja kita makan siang bersama," tukas Lily.

"Tidak bisa. Aku masak di rumah. Sudah janji sama Anggra."

Lily cemberut. Leon dalam hati juga kecewa.

"Kak Leon!"

Leon mendengus mendengar suara manja itu. Ia tahu kalau sekarang saatnya melarikan diri.

"Ah, Nuri. Selamat pagi," sapa Lily.

Nuri tersenyum sekilas pada Lily kemudian memandang Leon yang tampak ingin melarikan diri. Salah satu alasan Leon enggan muncul di tempat Lily mengajar adalah ini, Nuri. Teman Lily ini menyukai Leon sejak dikenalkan oleh Nuri tahun lalu.

"Sudah lama tidak bertemu. Bagaiman kabarmu, Kak?" tanya Nuri.

Lagi-lagi suaranya tampak seperti dibuat-buat sampai Lily melengos mendengarnya.

"Permisi," pamit Dara karena melihat Anggraini sudah bosan bermain ayunan dan menuju ke merry go round.

"Aku agak sibuk sekarang," jawab Leon.

Lily menyeringai.

"Kakak punya pacar sekarang," tukas Lily asal sampai Leon harus mendelik padanya tapi Lily mengedipkan sebelah matanya memberinya kode agar diam saja.

Ekspresi Nuri menunjukkan kalau ia kecewa dengan berita itu tapi itu tak membuatnya putus asa karena ia sudah tahu kalau Leon memang sering gonta-ganti pacar.

"Benarkah?" tanyanya masih dengan suara manis pada Leon.

Leon mengangguk-angguk sambil menatap punggung Dara yang sedang membelakanginya dan tidak tahu alasan yang jelas mengapa ia harus menatap wanita itu. Ia hanya merasa nyaman, itu saja.

"Permisi, Nuri. Kami akan sarapan dulu di kantin. Kami tidak mengajakmu karena kau piket kan hari ini? Bye bye!" pamit Lily sambil mengamit tangan Leon meninggalkan Nuri yang masih kecewa mendengar kabar kalau Leon punya pacar dan ia tahu kalau mata Leon memandang Dara. Ia mulai curiga kalau pacar Leon adalah Dara.

"Mengapa kau membohonginya?" bisik Leon pada adiknya ketika mereka menuju kantin sekolah. Kantin yang terletak di gedung SD yang juga masih berada satu kompleks dengan sekolah itu tapi terpisah oleh lapangan dengan gedung TK. Sedangkan gedung SMP dan SMU berada di alamat yang lain.

"Aku kira itu ide yang bagus agar ia tak lagi mengejar-ngejarmu, Kak," jawab Lily dengan cerdas.

Leon terkekeh.

"Kakak lihat betapa kecewanya dia kan? Sekarang setelah ia tahu, Kakak tak perlu menghindari dia lagi," tambah Lily.

Yang artinya Leon bisa setiap hari mengantarnya ke tempatnya mengajar tanpa kuatir akan Nuri.

"Apa yang Kakak bicarakan dengan Kak Dara sebelum aku datang?" tanya Lily usil.

Leon berdehem dengan jengkel.

"Aku rasa itu bukan urusanmu!" semburnya.

Lily terkikik geli.

"Apa Kakak suka padanya?" pancing Lily.

Leon tertawa dengan nada aneh. Ia tidak tahu mengapa darahnya berdesir dan perutnya sperti disapu badai tornado.

"Aku pasti kehilangan akal sehat jika menyukai wanita seperti itu," tukas Leon.

Sudut bibir Lily melengkung lalu ia mengangguk-angguk.

"Ya, benar sekali. Kau sama sekali tidak pantas buat Kak Dara."

"Adik durhaka!"

Meski mengumpat, Leon menoleh ke belakang melihat ke arah Dara dan gadis kecilnya Anggraini. Dara tidak melihatnya tapi Anggraini sedang melihat ke arahnya, gadis kecil berkepang itu tersenyum padanya.

Leon yakin benar kalau anak perempuan mungil yang harum itu sedang tersenyum padanya.

***

Note : Di novel Cinderella Janda ada beberapa part yang saya ubah.

Kamu bisa pesan novelnya di sini

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top