♥ 2. Kutahu Namamu Bahkan Sebelum Bertemu ♥


Dara menunggui Lily di rumah sakit. Gadis itu duduk di bangku di selasar sambil menunggu dokter memeriksa Lily. Ia telah meminta ijin Lily untuk menghubungi keluarganya namun karena orang tua Lily sudah berimigrasi ke Singapura dua tahun lalu dan Lily hanya tinggal sendiri di rumah yang ditinggalkan orang tuanya, maka satu-satunya yang bisa dihubungi sekarang hanyalah kakak laki-laki Lily.

Setahun ini berteman dengan Lily Gayatri, Dara belum pernah bertemu dengan kakak laki-lakinya yang bernama Leon Airlangga. Lily sangat menyayangi kakaknya itu meskipun kakaknya itu pernah bercerai dua kali dan sekarang masih saja tetap playboy. Orang tua Lily begitu menguatirkan kehidupan anak laki-lakinya ini walaupun ia tergolong pria yang sukses. Menurut Lily, Leon memiliki perusahaan agen property dan developer.

Dara ragu-ragu menekan nomor-nomor di ponsel tuanya S608. Ponselnya ini memang tidak sesuai dengan perkembangan zaman lagi tapi ia terlalu sayang membuangnya, lagipula ia tidak terlalu menyukai gadget-gadget canggih. Ponsel buatnya hanya sekedar untuk menelepon.

"Halo," suara di seberang sana terdengar rendah dan dalam. Dara menelan ludah. Ia tak menyangka kalau suara kakak laki-laki Lily bisa serendah ini.

"A-apakah i-ini Leon Airlangga?" tanya Dara agak gagap.

"Ya, benar," jawab pria itu lugas.

"B-begini, s-saya r-rekan Lily, s-saya...."

"Maaf, saya sibuk!"

Tut tut tut.

Terdengar suara telepon diputus oleh kakak laki-laki Lily. Dara merasa jengkel. Ia merasa Leon sangat keterlaluan. Bagaimana ia bisa mengatakan ia sibuk sementara adiknya sedang berada di rumah sakit? Ia menggeram. Ia masih berpikir untuk menghubungi nomor Leon tapi kemudian diurungkannya karena ia masih memiliki nomor kedua yang bisa dihubungi.

Ia melihat catatan nomor telepon yang diberikan Lily, memutuskan kalau ia harus menghubungi Dr. Bima Sakti, seorang dokter anak kenalan keluarga Lily, tepatnya sahabat Leon.

Dara menekan nomor-nomor lain di ponselnya. Telepon di seberang diangkat pada deringan ketiga.

"Halo, Dr. Bima di sini."

Suara ini jauh lebih menyenangkan daripada suara kakak laki-lakinya Lily.

"Halo, Dr. Bima, saya Dara, teman Lily Gayatri. Ia memberikan nomor ponsel Anda kepadaku. Sekarang ia berada di UGD. Bisakah Anda datang ke RS Gleni sekarang?"

"Lily kenapa? Kau sudah menghubungi Leon?"

"Uh, sudah tapi ia bilang sedang sibuk," tukas Dara.

"Baiklah. Terima kasih sudah menghubungiku. Bisakah kau menunggu di sana sampai aku datang. Setengah jam," janjinya.

"Ya," jawab Dara.

Dara bertemu Dr. Bima Sakti setengah jam kemudian di ruang UGD. Dokter yang tampan dan masih muda. Dara memperkirakan umurnya 35 tahun. Ia memiliki mata lebar, bibir yang tebal serta kulit kecokelatan.

"Kau yang bernama Dara?" tanyanya. Dara mengangguk.

"Lily masih di ruang UGD. Dokter bilang penyakit maagnya kambuh," tukas Dara. Dr. Bima menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Bocah itu memang selalu lupa waktu makan," tukasnya. Dara mengangguk. Ia sudah sering mengingatkan Lily. Kalau mereka sedang berada di sekolah Dara selalu mengingatkannya, mengajaknya makan siang bersama di kantin sekolah. Gadis itu mendesah mengingat Lily tinggal sendiri jadi mungkin saja jadwal makannya tidak teratur karena tidak ada yang mengingatkannya. Dan kakak laki-lakinya itu sama sekali tak bisa diharapkan.

Dara geram mengingat kejadian di telepon itu.

"Dr. Bima," panggil Dara. Dokter muda itu menoleh. Tatapan keduanya bertemu. Dr. Bima memiliki mata yang bersinar cerdas, alisnya lebat menaungi matanya.

Dokter muda itu juga mengagumi wajah keibuan Dara, matanya sipit dan bersahabat membuat orang yang menatapnya merasa sejuk dan tenang.

"Ya?"

"Aku penasaran seperti apa kakak laki-laki Lily," tukas Dara. Dr. Bima tersenyum, senyum yang jail. Membicarakan sahabatnya sejak SMA itu tak akan ada habisnya. Leon Airlangga mungkin adalah duda paling keren di kota ini. Dua kali pernikahan dan keduanya berakhir dengan perceraian.

"Aku hanya tidak mengerti mengapa ada kakak laki-laki yang begitu tak peduli dengan adiknya sendiri," kilah Dara.

"Kau tak perlu penasaran dengannya karena dia, ada di belakangmu sekarang," tukas Dr. Bima sambil menunjuk ke depan, Leon Airlangga berada tepat di belakang Dara. Dara menyelipkan rambut di telinganya lalu berbalik. Ia harus mendongak menatap Leon Airlangga karena pria itu lebih tinggi satu kepala darinya. Pria dengan wajah sangar, mata yang kelam, kumis dan janggutnya sengaja dicukur berantakan. Ia dan Dr. Bima yang tampak ramah bagai kutub yang saling bertolak belakang.

"Sedang membicarakan diriku?" tanyanya sambil meninggikan alisnya. Kenyataannya ia sedang menilai perempuan di hadapannya. Wanita di hadapannya bukanlah seleranya, jelas sekali bukan. Ia memiliki wajah tenang, memiliki mata yang sipit, tulang pipi tinggi dan bibir yang tipis. Selera pakaiannya jauh dari kesan modis, kemeja lengan panjang dan rok hitam di bawah lutut dengan model konservatif dengan sepatu hak datar berwarna hitam justru makin membuatnya wanita itu kelihatan lebih tua dari umur aslinya.Tapi Leon tahu bahkan kemeja lengan panjang yang sopan itu tak bisa menyembunyikan kemolekan tubuh wanita itu.

"Kau Leon Airlangga?" tanya Dara sambil mengibaskan rambutnya dengan anggun.

"Ya, itu namaku," jawab Leon santai. Dara tampak menggeleng-gelengkan kepalanya kemudian berbalik dan tak mau berurusan dengan Leon yang tampaknya memang menyebalkan. Dalam pandangan Dara, pria yang berpenampilan seperti Leon dengan wajah tampan, tubuh tinggi, dan karir bagus, yang menganggap dirinya terlalu menarik bagi para wanita pastilah hanya pria dengan pemikiran dangkal. Itu sebabnya ia bisa kawin-cerai dua kali dalam waktu kurang dari sepuluh tahun. Dara heran bagaimana Lily yang baik dan perhatian bisa memiliki kakak laki-laki yang bengal seperti ini.

"Aku mau pamit pada Lily. Karena kau sudah ada di sini, kurasa aku sudah bisa pulang," tukasnya pada Bima dan mengabaikan Leon. Itu membuat Leon kesal, sebab tidak ada seorang wanita pun yang pernah mengabaikannya.

Bima mengangguk dan mengucapkan terima kasih.

"Aku akan menemui dokter yang menanganinya," sahut Bima juga. Dara mengangguk kemudian melangkah ke ruangan UGD.

Leon memperhatikan punggung wanita itu sampai menghilang di balik ruangan sampai Bima berdehem dan menyadarkannya.

"Dia kesal karena ia meneleponmu dan kau mengatakan kau sedang sibuk," tukas Bima sambil menepuk bahu Leon. Kedua pria itu hampir sama tinggi.

"Aku pikir dia teman Lily yang menyukaiku," tukas Leon sambil menyeringai. Bima meringis.

"Ketahuilah, tidak semua perempuan menyukaimu," bisiknya mencemooh. Leon menggertakkan giginya.

"Apalagi yang satu itu tadi," tambah Bima. Sambil terkekeh ia meninggalkan Leon yang masih memikirkan kata-katanya. Ia merasa Bima menyukai wanita itu.

Ya, wanita itu tipenya Bima. Bima menyukai wanita lembut dan keibuan yang membuatnya betah di rumah. Bukankah dulu almarhum istri Bima juga begitu?

***

Lily yang sudah dipindahkan ke ruangan biasa, memaksa Leon mengantarkan Dara pulang karena kesalahannya menutup telepon dari Dara ketika gadis itu meneleponnya untuk mengatakan Lily masuk rumah sakit. Dara menolak, ia berdalih kalau ia masih harus menjemput Anggraini yang masih berada di sekolah. Leon yang merasa bersalah pada adiknya tidak bisa mengatakan apa-apa selain diam dan menerima apapun yang diinginkan Lily.

Tapi akhirnya Bima masuk ke ruangan itu dan iseng menanyakan alamat rumah Dara dan baru sadar kalau mereka berdua tinggal di kompleks yang sama.

"Jadi kau di tahap dua. Kalau aku di tahap satunya. Biar aku saja yang mengantarmu," tukas Bima. Leon hampir tertawa. Sahabatnya itu tidak tahu kalau ternyata Dara sudah memiliki anak. Ia telah salah menyukai wanita berkeluarga. Tapi ia membiarkan hal itu, ia senang bebas dari tanggung jawab mengantar tante-tante beserta anaknya. Ia alergi anak-anak.

"Ya, Kak Dara. Pulanglah, jangan biarkan Anggraini menunggu terlalu lama," tukas Lily. Lily memanggil Dara dengan panggilan Kakak jika mereka tidak berada di lingkungan sekolah.

Dara awalnya agak ragu dengan tawaran itu akhirnya setuju karena Lily juga memaksanya menerima ajakan Bima.

"Bye, jaga dirimu," tukas Dara. Lily mengangguk.

"Antar Kak Dara sampai di rumah ya, Dr. Milkyway," pesan Lily saat Bima pamit padanya. Bima tersenyum-senyum saja meninggalkan Lily dan Leon, sahabatnya yang sedang duduk santai di kursi di kamar executive room itu.

"Dia tidak tahu kalau gadis itu sudah berkeluarga?" tanya Leon ketika Dara dan Bima sudah meninggalkan ruangan itu.

"Kau kakak paling brengsek!" teriak Lily sebal. Tampaknya Dara sudah menceritakan Leon menutup telepon darinya sewaktu ia menghubungi Leon. Lily mencoba menahan diri untuk tidak melempar Leon dengan bantal. Sementara Leon mengupas jeruk untuk dirinya sendiri.

"Aku tidak tahu kalau itu urgent. Aku kira tadi itu telepon dari salah satu penggemarku," tukas Leon memberi alasan.

"Dengar Kak, Dara berbeda dengan wanita-wanita yang pernah menjadi mantanmu. Kalau kau kira ia akan mengejar-ngejar dirimu, kau salah. Ia bahkan tak akan melirikmu!"

"Sama! Aku tidak melirik wanita yang sudah bersuami. Masih banyak wanita lain!"

Lily mendehem lalu menarik selimutnya dan bersandar di sandaran ranjang rumah sakit yang sudah dinaikkan Dara sebelum ia pulang. Leon memasukkan jeruk ke dalam mulutnya.

"Dara itu single parent," tukasnya.

Leon melongo. Biji jeruk itu tak sengaja tertelan olehnya.

***

Raisa berusaha berjalan dengan mantap di lantai marmer rumah sakit itu. Suara stilettonya menimbulkan bunyi berirama meskipun hatinya mendadak ciut bertemu dengan paramedis berpakaian putih. Selain membenci terbang, pilot, dan pramugari, Raisa takut dengan rumah sakit. Hal itu mengingatkannya dengan kejadian tiga tahun lalu saat ia kehilangan bayinya.

Gadis berambut ikal dan panjang itu menelan ludah, menatap ujung stiletto kesayangannya. Kalau saja bukan Lily yang masuk rumah sakit, ia tidak akan menginjakkan kakinya ke rumah sakit.

Tangan kanan Raisa memencet tombol lift rumah sakit sementara tangan kirinya menjinjing sekeranjang buah-buahan. Ia baru saja pulang dari makan siang bersama bekas teman kuliahnya ketika Andre, asisten Leon mengatakan kalau meeting mereka batal karena adik Leon, Lily masuk rumah sakit. Dan kebetulan Raisa memang mengenal Lily jadi ia mengambil keputusan untuk menjenguk gadis itu.

Ting tong.

Raisa mengangkat wajahnya menatap penunjuk lift. Pintu terbuka.

"Raisa," sapa Bima begitu pintu lift terbuka.

Raisa tidak terkejut bertemu Bima di rumah sakit, selain Bima berprofesi dokter, Bima juga adalah sahabat Leon selain Harris, mantan suami Raisa.

"Hai, Bim! Menjenguk Lily?" tanya Raisa.

Bima mempersilahkan gadis di sebelahnya keluar lebih dulu. Raisa tidak merasa aneh, Bima selalu bersikap manis dan ramah kepada siapa saja. Ketiga duda itu memang selalu manis.

Harris yang paling parah.

Karena sikap manisnya yang luar biasa itulah yang menyebabkan aku meninggalkannya.

Gadis itu keluar dari dalam lift. Raisa menatapnya sekilas. Wajahnya manis dan tenang, ia sempat tersenyum dan mengangguk pada Raisa.Gadis itu merasa ia pernah melihat gadis itu entah di mana.

"Leon ada di atas bersama Lily," tukas Bima sambil menahan pintu lift agar Raisa bisa masuk.

"Kau mau pulang?" tanya Raisa sambil melangkah masuk ke lift. Bima menunjuk gadis di luar lift yang ternyata sedang menunggunya.

"Mau mengantar Dara pulang. Dara, kenalkan, ini Raisa, pengacara Leon. Raisa, Dara teman Lily," tukas Bima memperkenalkan keduanya.

Karena posisi Raisa sudah berada di dalam lift, ia tidak bisa mengulurkan tangannya menyalami Dara. Keduanya hanya bisa saling tersenyum. Bima keluar dari lift menyusul Dara.

"Bye!"

Raisa mengerjapkan matanya.

Mengapa ia tampak familiar?

Ketika pintu lift hampir tertutup, mata Raisa terbelalak, ia ingat wanita itu, wanita yang bersama Bima itu adalah orang yang memberikan minyak telon ketika berada di pesawat ketika ia terbang bersama Leon dari Jakarta ke Medan. Raisa memencet tombol untuk membuka pintu kembali.

Pintu kembali terbuka padahal Bima dan Dara sudah hampir pergi.

"Tunggu!"

Bima dan Dara menoleh. Raisa meringis menatap Dara.

"Itu, terima kasih atas pertolonganmu di pesawat waktu itu," tukas Raisa cepat.

Dara mengerjap-ngerjapkan matanya, berpikir, lalu tersenyum.

"Ah, kau yang waktu itu," tukasnya.

Raisa mengangguk ketika akhirnya Dara mengingat kejadian beberapa waktu lalu itu.

"Trims," ulang Raisa lagi.

Wanita itu mengangguk. Kemudian pintu lift tertutup kembali.

"Kau pernah bertemu dengan Raisa sebelumnya?" tanya Bima ketika keduanya berjalan ke parkiran mobil Bima.

Dara mengangguk.

"Dia mabuk udara. Aku memberikan minyak telon putriku kepadanya," tukas Dara.

Bima berhenti dan mengeluarkan kunci mobilnya lalu membuka pintu dengan kunci itu. Dara tidak perlu bertanya mobil yang mana karena mobil Bima langsung mengeluarkan bunyi beep ketika pria itu menekan kuncinya.

"Dia memang selalu mabuk udara. Dia benci terbang meskipun Harris adalah pilot," tukas Bima sambil memamerkan senyumnya yang khas.

"Siapa Harris?" tanya Dara.

Bima tak menjawab tapi hanya tersenyum tipis sambil membuka pintu mobil Toyota Altis berwarna hitam. Dara juga tak bertanya lebih lanjut, ia mengikuti Bima dan duduk di sebelah Bima di dalam mobil itu.

***

"Aku tidak peduli, pokoknya Kakak harus minta maaf pada Kak Dara!"

Raisa mendengar teriakan Lily dari luar kamar. Ia tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan Lily tapi ia agak penasaran karen Lily mengucapkan nama Dara. Ia tergerak untuk terus menguping tetapi pintu kamar itu tidak tertutup dan Leon sudah terlanjur menyadari kehadiran Raisa.

"Hai, Raisa," sapa Leon merasa terselamatkan oleh kehadiran pengacaranya itu.

Pria itu memasang senyum terbaiknya. Raisa selalu merasa sebal jika pria itu memasang senyum seperti itu.

Awas kau, Leon!

Raisa masuk ke kamar itu dan menyapa Lily.

"Aku dengar dari Andre kau masuk rumah sakit," tukas Raisa sambil meletakkan keranjang buah itu ke meja di samping tempat tidur Lily berusaha mengabaikan rasa mualnya terhadap keadaan di sekitarnya.

Lily yang bersandar di kepala tempat tidur menggumamkan terima kasih.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Raisa.

Lily memaksakan seulas senyum, maagnya sakit tapi ia lebih sebal melihat kakak laki-lakinya itu berada di ruangan yang sama dengannya.

"Ia harus menginap selama dua hari. Maag akut," jawab Leon.

"Duduklah Rais," tukas Lily.

Raisa menggeser kursi agar bisa duduk di samping Lily. Lily dan Raisa sama-sama berusia 27 tahun, mereka saling mengenal sejak Raisa bekerja pada Leon, saat itu Raisa sudah bercerai dari Harris.

"Melihat waktu makannya tidak heran kalau ia bisa masuk rumah sakit," gerutu Leon. Raisa melotot pada pria itu. Ia juga turut menyalahkan Leon atas penyakitnya Lily.

Andai saja kau lebih memperhatikan adikmu.

Lily mengerti kalau Raisa kesal dengan Leon memberikan senyuman pada Raisa.

"Tadi aku bertemu dengan Bima sewaktu di lift. Dia bersama seorang wanita bernama Dara," beritahu Raisa.

Lily kembali memandang sebal pada kakak laki-lakinya. Bibirnya cemberut.

"Ya, Kak Dara menghubungi Bima karena satu-satunya keluargaku yang dapat dihubungi menutup telepon dari Dara dengan alasan sibuk!" tukas Lily dengan ketus.

Leon menyeringai. Tidak ada gunanya mendebat Lily sekarang karena adiknya itu sedang emosi.

"Aku sudah minta maaf," ucapnya.

"Kau benar-benar melakukan itu?" tanya Raisa juga dengan jengkel.

Lagi-lagi Leon menyeringai. Ia merasa diserang oleh dua orang dekatnya, adiknya dan pengacaranya. Kapan pertolongan itu datang? Harusnya ia tidak membiarkan Bima pergi mengantar wanita itu.

Sial!

"Hai!"

Raisa berjengit mendengar suara berat di balik pintu. Tanpa menoleh, ia tahu siapa yang baru saja muncul. Seorang pria berkaki panjang, berbahu bidang dengan wajah melankolis baru saja masuk dan menebarkan bau parfum jantan yang khas.

"Harris? Bukankah kau sedang berada di Singapura?" tanya Leon sambil berdiri dan menyambut sahabatnya itu yang juga mantan suami Raisa.

"Aku baru tiba siang ini dan langsung kemarin setelah mendengar kabar dari Bima. Kau baik-baik saja, Lily?" tanya suara berat itu.

Lily membalas dengan senyuman. Ia selalu menyukai Harris, bahkan kalau bisa ia memilih, ia lebih memilih Harris menjadi saudara laki-laki baginya daripada Leon yang cuek dan egois. Dan juga Bima, pria dengan kulit cokelat eksotis itu lebih ramah daripada Leon. Tapi khusus untuk Bima, Lily lebih memilih menjadi kekasihnya. Gadis muda itu menyukai Bima sejak Bima menjadi sahabat baik Leon semasa sekolah dulu. Tapi Bima selalu menganggapnya bocah ingusan sampai Lily berhenti berharap meskipun ia sendiri tidak pernah mengejar-ngejar Bima. Gadis itu akhirnya menjalin hubungan dengan seorang pembalap yang ia kenal ketika ia berlibur ke Singapura, saat itu kedua orang tuanya sudah berimigrasi ke sana.

Max Lee, seorang pria berdarah Korea dan Singapura, seorang pembalap superbike yang juga sedang berlibur di negara keduanya. Sebagai penyuka pantai Lily menikmati senja yang tenang di Siloso Beach, kebetulan Max sedang memotret dengan kamera DSLRnya. Pria itu memotret Lily sebagai objeknya kemudian mengajaknya berkenalan. Hubungan mereka terus berlanjut sampai akhirnya Max menyatakan perasaannya pada Lily dan mereka menjalani hubungan jarak jauh karena Max harus berpindah-pindah dari satu negara ke negara lainnya. Lily tidak pernah terganggu dengan hubungan itu karena setiap Max ada waktu, mereka selalu bertemu di Singapura atau Medan. Namun setelah menjalani hubungan selama dua tahun, Lily memutuskan kalau ia tak sanggup melanjutkan hubungan itu. Gadis itu tidak keberatan dengan long distance relationship, ia hanya tidak tahan dengan keberadaan pada umbrella girl dan gadis-gadis sejenisnya yang berada di sisi Max meskipun pria itu berusaha meyakinkannya kalau tidak ada apa-apa antara dirinya dengan para gadis itu namun Lily tetap pada keputusannya.

"Hai Raisa, bagaimana kabarmu?" tanya Harris.

Raisa melengos sebal. Ia benci kalau Harris bersikap basa-basi seperti ini apalagi di tempat yang mengingatkan rasa sakitnya pada mantan suaminya ini. Raisa menggigit bibirnya. Harris tak perlu tahu ia membenci rumah sakit dan selamanya ia tak pernah mencari tahu.

"Kebetulan kau berada di sini, ini oleh-oleh dari Singapura, parfum limited edition," tukas Harris sambil menyerahkan paper bag berisi parfum kepada Raisa. Leon berdehem begitu juga dengan Lily.

"Mana bagianku, Kak Harris?" sindir Lily. Harris terkekeh.

"Tadi aku belikan cokelat Lindt tapi karena maagmu kambuh, cokelatnya aku makan sendiri dalam perjalanan ke sini," jawabnya tanpa menyesal.

Lily cemberut sementara Raisa tampak jengah. Ia sudah pernah berulang-ulang kali menolak pemberian Harris, tapi Harris mengatakan itu hanya sebuah pemberian karena ia teringat Raisa ketika berada di bandara. Lagi pula ia sudah terbiasa membelikan sesuatu untuk istrinya sejak masa pacaran, jadi sudah menjadi kebiasaan dan sulit untuk membuangnya.

Mantan istri!

Leon yang duduk di sofa di ruangan itu hanya menahan senyumnya melihat kejadian itu. Ia tahu betul kalau sahabatnya Harris masih mencintai Raisa, mantan istrinya. Keduanya bercerai karena sama-sama sibuk mengurus karir masing-masing, Raisa waktu itu masih terlalu muda dan Harris juga masih terlalu sulit untuk dijinakkan. Sekarang setelah bercerai selama tiga tahun, Harris baru sadar kalau ia memang mencintai mantan istrinya itu. Jadi ia mengatakan kalau ia akan berjuang untuk mendapatkan Raisa kembali.

Berbeda dengan Harris yang ingin rujuk dengan istrinya, Leon tak pernah berpikir untuk rujuk dengan kedua istrinya lagi. Ia menikah pada usia yang cukup muda 23 tahun dengan Cat, saat itu kehidupan ekonominya belum semapan sekarang, Cat tidak tahan hidup susah dan memutuskan untuk meninggalkannya setelah belum segenap setahun menikah. Kini Cat menikah dengan pria Malaysia yang belum tentu si calon suami sesukses Leon yang sekarang.

Pernikahan kedua Leon pada usia 27 tahun dengan Mika, saat itu Leon masih sibuk bepergian untuk memajukan kehidupan ekonominya dan lagi-lagi istrinya tidak tahan dengan keadaan ekonomi yang tak kunjung membaik. Leon sendiri juga tidak bisa setia padanya. Mereka bercerai setelah satu setengah tahun menikah. Kini, Mika berada di Taiwan. Terakhir ia dengar kalau Mika akan menikah dengan warga Taiwan.

Setelah itu Leon tak pernah berniat menikah lagi. Ia tidak butuh pernikahan untuk mendapatkan wanita. Para wanita akan datang sendiri padanya. Buat apa ia mengingatkan diri dalam satu pernikahan jika ia bisa bersenang-senang dengan banyak wanita.

Berbeda lagi dengan Bima. Bima Sakti, menikah ketika Leon sudah bercerai dua kali. Leon sempat mengingatkan Bima kalau pernikahan tidaklah seindah bayangan namun kenyataannya Bima baik-baik saja dengan kehidupannya setelah menikah. Memang Bima langsung pindah ke Jakarta begitu ia menikah tapi ketika Leon menemuinya dalam rangka perjalanan bisnisnya, Bima tampak seperti suami yang berbahagia dan begitu mencintai istrinya.

Walaupun itu tak berlangsung lama. Istri Bima memiliki penyakit jantung sejak lahir. Bima menjadi duda setelah dua tahun ia menikah. Bima sangat sedih. Ia memutuskan untuk pindah kembali ke Medan dan menjual rumahnya di Jakarta.

Sekarang tampaknya Bima masih belum bisa move on dari almarhum istrinya. Leon tak perlu dipertanyakan berapa wanita yang dikencaninya. Harris, meskipun berharap rujuk, ya ia tetap berkencan secara rutin dan Raisa tahu itu makanya Raisa selalu menolaknya. Kalau Bima, nah, Leon kuatir kalau Bima memang tak pernah terlibat dengan wanita manapun setelah istrinya meninggal.

Mungkin saja Dara bisa jadi pasangan Bima selanjutnya.

Leon menyeringai tajam. Dara sama sekali bukan wanita yang menarik, wajahnya tidak memiliki daya tarik yang luar biasa, terlalu biasa meskipun ia memiliki sikap yang tenang dan anggun. Tapi entah mengapa ketika menatapnya selama beberapa detik tadi membuat darahnya berdesir.

Ia terus menyalahkan hormon testoteronnya yang memberikan respon secara berlebihan ketika ia menatap mata teduh itu. Juga karena ia melihat kenyataan kalau wanita itu menunjukkan sikap permusuhan dengannya jadi ia agak sedikit terganggu. Ditambah dengan kehadiran Bima yang lebih diterima Dara.

Yeah, fine.

Jika Lily ingin ia minta maaf pada wanita itu. Baik. Ia akan minta maaf pada Dara. Ia hanya perlu sedikit mengeluarkan jurus flamboyannya dan yakin kalau Dara akan kepanasan seperti wanita-wanita lain. Setelah itu, hormon testosteronnya juga tidak akan begitu bergolak lagi.

"Hei, Cap! Want to drink coffee?" tanya Leon.

Tiba-tiba ia merasa kepanasan hanya karena mengingat sikap Dara yang tidak ramah padanya. Ia tak peduli kalau Harris tak mau ikut dengannya, ia akan pergi ke coffeeshop di lantai dasar rumah sakit ini. Ia butuh kopi dingin untuk mendinginkan kepalanya.

Sahabatnya tampak seperti akan menolak tetapi setelah berpikir ia juga membutuhkan kopi, maka ia pun bangkit dan pamit pada kedua gadis itu.

***

Hai, dua part bukti kegagalan saya. Hehehe. Saya lebih dulu menulis kisah ini jauh sebelum berkenalan dengan Tristan. Tapi ide pertemuan Tristan itu saya temukan dulu sebelum kisah ini. Semoga berkenan.

Cinderella Janda
PENULIS: Christina Suigo
ISBN: 978-602-443-511-0
Penerbit : Guepedia Publisher
Ukuran : 14 x 21 cm
Tebal  :  300  halaman
Harga : Rp 103.000

Sinopsis:


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top