XXXVIII - The Confession
You gotta love this chapter.
***
Ia melihat ke sekelilingnya untuk mencari seseorang. Dia hampir tidak bisa membedakan perempuan-perempuan di pesta Walima ini. Mereka semua memakai pakaian tradisional yang hampir mirip. Tapi ternyata gadis yang ia cari tidak jauh darinya. Dia sedang duduk bersama teman-temannya menikmati hidangan yang disediakan.
"Trisha," Panggilnya.
Yang dipanggil pun menengok, "Ada apa?"
"Err.." Louis kelihatan gugup. "Bisa aku bicara denganmu berdua?"
Trisha mengangguk. Mereka berjalan berdampingan keluar dari rumah itu. Louis di sampingnya hanya bisa mencuri pandang. Dia paling suka kalau Trisha memakai pakaian tradisional. Terlihat sangat cantik bahkan melebihi pengantin wanitanya sendiri. Karena Louis hanya melihat Trisha.
"Kau terlihat tampan memakai itu," Louis langsung tersadar saat Trisha memujinya. "Teman-temanku membicarakanmu karena baru pertama kali melihat orang asing memakai pakaian Pakistan."
"Ah, iya, kau juga terlihat cantik." Dan seperti biasa, Trisha menundukkan wajahnya tersenyum malu. Itu kebiasaannya setiap orang memujinya. Louis sering memperhatikan itu. "Trisha, ku dengar, Ahmed menyatakan cintanya padamu?" Ujarnya basa-basi.
"Hm, ya. Dia bahkan membacakan sebuah puisi yang dibuat untukku. Katanya, dia memikirkanku sepanjang hari, memperhatikanku selalu. Padahal aku jarang melihatnya."
"Haha, maaf, ya, temanku itu memang agak memalukan. Tapi, kau menerimanya?" Trisha lantas menggeleng. Louis bisa bernapas lega. Kesempatan masih terbuka untuknya.
"Aku tahu dia hanya membual untuk membuatku terkesan."
"Bagaimana dengan teman sepupumu yang kau ceritakan? Aku lihat fotonya, dia cukup tampan."
Trisha lagi-lagi menggeleng, "Aku merasa tidak cocok dengannya. Lagipula dia hanya melihatku dari foto, lalu sepupuku bilang dia menyukaiku. Bukankah itu aneh?"
"Kalau begitu.. apa kesempatan itu masih ada untukku?"
Langkah Trisha terhenti, "Apa?" Ia menatap Louis dengan bingung.
"Trisha, akhir-akhir ini aku merasa tidak tenang. Aku bahkan tidak bisa tidur karena gelisah. Pertanyaan-pertanyaan ini selalu berputar di kepalaku; Apa kau sudah menerima seseorang? Apa ada lagi orang yang akan menyatakan perasaannya padamu? Apa orang itu lebih baik dariku? Aku tidak cukup berani untuk menyatakan perasaanku padamu. She's out of my league, itu yang selalu ku katakan pada diriku sendiri."
Louis menggigit bibir bawahnya dan menatap perempuan di hadapannya dari bawah sampai atas. Sampai sekarang dia masih merasa dirinya tidak pantas untuknya.
"Aku tidak pandai bicara dan melebih-lebihkan. Aku tidak bisa bernyanyi atau membuat puisi untukmu. Aku tertarik padamu bukan saat pandangan pertama. Tapi saat lebih jauh mengenalmu. Aku tidak pernah memikirkanmu di siang hari, tapi aku memimpikanmu di malam hari. Aku menyatakan perasaanku bukan untuk membuatmu terkesan, tapi karena aku takut mereka mendahuluiku. Aku takut aku akan kehilangan kesempatan itu dan melihatmu menghabiskan hidupmu dengan orang lain. Aku tidak mau kau menggantikan posisi pengantin perempuan di dalam dengan orang lain. Aku tidak mengharapkan jawaban, aku hanya ingin kau mengerti."
Louis menundukkan wajahnya. Dia yakin wajahnya sudah semerah tomat sekarang. Trisha belum mengatakan apapun. Sampai ia akhirnya mengusap-usap pundak Louis.
"Mulai dari sekarang siapkan maharmu, dan datanglah ke rumahku secepatnya, ayahku pasti akan senang bertemu denganmu."
***
Zayn hanya bisa menatap punggung Ari yang semakin menjauh. Gadis itu akhirnya keluar dari restoran. Perhatian para pengunjung terpecah dua ke arahnya dan Ari. Mereka memperhatikannya di bangku masing-masing menunda aktifitas makan. Louis sampai harus memecah suasana canggung itu,
"Maaf, ini hanya salah paham. Silahkan lanjutkan makan malamnya."
Para pelayan yang berhenti di tempat kembali berjalan mengantar makanan dan para pengunjung melanjutkan makan, tapi tetap sesekali melihat ke arah Louis dan Zayn sambil berbisik-bisik. Sekarang mereka jadi bahan gunjingan semua orang.
Zayn melihat ke sekelilingnya mendapati mata mereka masih mengarah padanya. Kedua tangannya terkepal di samping. Di benci menjadi pusat perhatian. Lelaki itu kembali duduk. Ia membanting sendoknya ke meja hingga timbul suara dentingan. Zayn menyandarkan punggungnya dengan malas seraya melipat kedua tangannya di depan dada. Napsu makannya sudah hilang sekarang.
"Duduk yang benar." Tegur Louis. Tangannya mencengkram erat serbet makan. Matanya melirik balik orang-orang yang masih melihat ke arahnya. Sama seperti Zayn, dia tidak suka perhatian seperti itu. "Well done, son." Katanya, dengan nada sarkastik. Sekarang giliran Louis yang membanting serbet ke meja. "Kau bilang kau ingin minta maaf pada Arianne. Aku sudah merancang makan malam ini, tapi kau menghancurkan semuanya."
"Ayah tidak bilang padaku dulu! Ayah juga berbohong pada Ari! Ayah bilang kita akan makan malam dengan seorang rekan--"
"Kalau aku bilang padamu, apa kau mau ikut? Apa Arianne mau datang?" Tanyanya balik. "Seharusnya kau bisa menahan emosimu sebentar saja."
Zayn berdecak. Kalau diingat-ingat, dia memang merasa bersikap menyebalkan tadi. Sepertinya kata 'maaf' semakin terasa jauh dari mulutnya. Zayn kembali bersandar malas dengan tangan di saku celana. Moodnya sudah hancur, sangat hancur.
"Kejar dia."
"Apa?" Zayn mengerutkan dahi. "Ayah tidak salah? Tidak mungkin dia mau memaafkanku setelah kejadian ini."
"Kalau kau merasa laki-laki, kau pasti tahu cara agar dia mau memaafkanmu."
Zayn mengerjap beberapa kali. Jadi secara tidak langsung ayahnya mengatakan dia ini bukan laki-laki kalau tidak mau menuruti itu? Bahkan Zayn sendiri selalu gagal untuk meminta maaf.
Zayn lantas bangkit dari bangkunya, "Baiklah! Baiklah! Aku akan minta maaf sekarang. Ufh,"
Ia berjalan pergi dari meja mereka. Lagi-lagi perhatian teralih padanya. Mereka terus melihat Zayn yang berjalan ke arah pintu. Benar-benar menyebalkan.
"Aku bukan karya seni museum. Berhenti melihatku," Serunya, merampas begitu saja mantelnya yang diambilkan oleh pelayan. "Apa kalian tidak dengar tadi? Tidak mengerti bahasa manusia? Lanjutkan-makan-malam-kalian--sebelum aku menyuapi kalian satu-satu dengan escargot."
Ia memakai mantel abu-abunya sebelum keluar dari restoran. Zayn tidak akan kembali masuk nanti. Dia akan langsung pulang setelah bertemu dengan Ari. Omong-omong, dia tidak menemukan Ari di depan restoran. Tidak mungkin gadis itu sudah pergi. Rasanya dia baru keluar beberapa menit lalu.
Zayn melihat ke kanan dan kiri. Trotoar sangat sepi. Hanya satu atau dua orang yang lewat. Dia bisa melihat seorang pria tengah berdiri di belakang bangku yang berada di bawah lampu trotoar. Butuh beberapa saat untuk Zayn ingat kalau dia adalah bodyguard Ari. Gadis itu sendiri sedang duduk sambil bertelepon.
Zayn berjalan ke arahnya. Dia berniat memanggil namanya ketika,
"HARRY! LOUDSPEAKERNYA AKTIF!"
Ari berseru panik menutupi bagian speaker ponselnya dengan tangan.
Ari sedang menelepon Harry.
Zayn menepuk punggung Will, lalu menggerakan kepalanya menandakan Will untuk pergi, "Bisa beri kami waktu berdua? Kami tidak akan ribut lagi, aku janji." Ucapnya pelan.
Awalnya Will ragu, tapi akhirnya dia mengangguk. "Jangan sampai menarik perhatian orang lagi, mengerti?" Pesannya dengan nada sedikit mengancam, sebelum pergi meninggalkan mereka berdua.
"Dan aku rela terbang ke Amerika hanya untuk membunuhmu!" Ari berseru lagi pada Harry di telepon.
Zayn hanya diam mendengarkan percakapan mereka. Dia tahu mencuri dengar itu tidak baik, tapi Zayn tetap mendengarkan mereka. Ari bahkan terlalu asik mengobrol dengan Harry sampai tidak menyadari keberadaannya.
"Nah, lihat dirimu, kau sudah kembali menjadi Ari yang galak dan pemarah. Kau sudah tidak sedih lagi. Berterimakasihlah padaku nanti."
Zayn menautkan kedua alisnya, Ari sedih? Karena kejadian tadi?
Ari terlihat mendengus pelan, tetapi masih menyimpulkan senyum. Akhir-akhir ini Zayn sering melihat Ari tertawa saat bersama Harry. Padahal sebelumnya tidak pernah. Alih-alih tertawa bersama Harry, melihat wajah lelaki itu saja dulu sudah menghancurkan mood Ari.
"Aku tidak akan bertanya apa yang membuatmu sedih. Hanya.. jangan pikirkan hal itu. Itu akan membuatmu semakin sedih mengingatnya. Itulah yang ku lakukan saat sedih, aku bohong soal mabuk berat."
Zayn memutar kedua matanya. Dia masih ingat betul dulu Harry merusak bel rumahnya tengah malam karena mabuk berat saat tim sepak bola kesukaannya kalah di pertandingan Liga Inggris. Esok paginya, ayahnya mengira kalau Zayn yang merusaknya.
"Aku senang kita sekarang berteman." Lanjutnya, "Sebenarnya aku lelah bertengkar denganmu. Karena setiap kita bertengkar, ku akui aku selalu kalah. Kau itu terlalu 'laki-laki' untuk menjadi lawanku, itu sebabnya aku pura-pura mengejarmu."
Ari menautkan alisnya dengan bingung. Dia tidak mengerti apa yang Harry bicarakan dengan 'pura-pura mengejar'.
"Aku pura-pura bersikap seperti aku menyukaimu, padahal aku hanya tertarik untuk dekat denganmu dan mengenalmu lebih jauh, sebagai teman, tentunya."
Zayn yang mendengar itu menelan ludahnya. Percakapan ini membuatnya tidak nyaman. Rasanya ia ingin merebut ponsel Ari dan melemparnya jauh-jauh.
"Dan sekarang kita sudah benar-benar menjadi teman, akhirnya aku mengerti kenapa Zayn tidak mau melepaskanmu," Harry memberi jeda sesaat.
Zayn mengulurkan tangannya untuk menyentuh pundak Ari, tapi mengurungkannya ketika Harry kembali bicara. Sesuatu yang ia tidak harapkan.
"Apakah sekarang aku benar-benar jatuh cinta padamu?"
Zayn menegang di tempat. Matanya tidak lepas dari sosok Ari yang juga mematung. Tampaknya Ari kaget. Tentu saja, karena Harry mengucapkannya dengan serius.
Apa mereka tidak salah dengar? Harry baru saja mengungkapkan perasaannya. Rasanya aneh mendengarnya, membuat Ari tidak tahu harus menjawab apa. Cukup lama Ari diam. Suasana ini sangat canggung dan ingin rasanya Ari menutup telepon, berpura-pura dia tidak pernah mendengar itu.
Sementara Zayn, degup jantungnya tiba-tiba menjadi cepat. Zayn tidak tahu kenapa ia sangat menunggu respon Ari. Yang ia tahu adalah moodnya semakin hancur. Oh, tidak, bukan moodnya. Hatinya.
Harry baru saja mengungkapkan perasaannya pada Ari, dan Zayn tidak suka. Ia berpikir Ari hanya akan menjadi gadis penggantinya Harry, lalu menyia-nyiakannya.
Oh, tapi, perjanjian Harry dan Zayn sudah selesai. Harry yang menyudahinya sendiri. Lalu untuk apa Harry menyatakan perasaannya? Zayn mungkin diam saja, tapi pikirannya sudah seperti benang kusut sekarang. Dia merasa aneh.
Gadis itu tiba-tiba menengok ke belakang setelah melihat sosok bayangan di jalan. Ia membelalak mendapati Zayn ada di belakangnya. Dari raut wajahnya, Ari tahu Zayn mendengarnya.
Dia baru ingin bertanya dimana Will, ketika Zayn menarik tangannya duluan.
Cengkramannya sangat kuat dan jalannya cepat sampai Ari hampir tersandung kakinya sendiri. Tangan Ari sebelahnya lagi berusaha melepaskan tangan Zayn. Percuma saja, itu tidak berhasil.
"Lepaskan aku!" Serunya. "Ada apa denganmu? Kenapa kau menarikku begini?!" Ari menahan kakinya agar tidak mengikutinya berjalan atau Zayn mau berhenti. Tapi lelaki itu tidak berhenti juga. "Lancang sekali kau menarik tanganku!"
Zayn berbelok ke sebuah gang sempit di antara gedung. Cahaya di sana remang-remang tetapi tidak gelap juga. Dia sengaja mencari tempat sepi. Tidak akan menarik perhatian orang lain lagi.
Zayn akhirnya melepaskan tangan Ari. Ia dengan gesit merampas ponselnya dan memutus sambungan telepon dengan Harry.
"Kembalikan ponselku! Kau siapa berani mengambil ponselku?" Ia merebut balik ponselnya. "Mau apa kau membawaku ke sini?"
"Ari--"
"Oh, aku tahu. Kau mau bilang kalau di sinilah tempatku seharusnya, di tempat kotor, gelap, dan kecil, bukan restoran Perancis itu, ya, kan?" Ia menyelanya duluan.
"Tidak, aku--"
"Terimakasih, tapi jangan lupa kalau kau dulu tinggal di lingkungan seperti i--"
Omongannya terputus saat Zayn tiba-tiba menangkup wajah Ari dan menariknya menjadi sangat dekat dengan wajahnya. Matanya menatap lurus-lurus kepadanya. Ari menyela perkataannya dan itu membuat Zayn gemas.
"Shut up or I'll make you, Arianne."
Ari bisa merasakan napas Zayn menyapu wajahnya. Untuk beberapa saat, Ari tidak mengedip melihat kedua mata Zayn. Sudah lama mereka tidak sedekat ini. Ari memejamkan matanya. Tidak, dia tidak ingin peristiwa waktu itu di depan rumahnya terjadi lagi. Ini bukan saat yang tepat.
Ari menginjak kaki Zayn agar menyingkir darinya, membuat Zayn berjingkat-jingkat kesakitan.
"Aku benar-benar tidak punya waktu untukmu."
Ari hendak pergi, tapi Zayn sudah lebih dulu menahan tangannya. Dia tidak akan membiarkannya pergi lagi. Tidak sampai Zayn mengucapkan permintaan maafnya.
"Jangan pergi," Serunya. "Aku tidak akan membiarkanmu pergi sampai kau mendengar permintaan maafku."
"Apa?" Perut Ari tiba-tiba terasa geli seperti digelitiki. "Maaf? Hahaha, memangnya kau tahu cara meminta maaf?" Zayn meminta maaf kedengaran lucu di telinganya. "Begini caramu meminta maaf? Dengan memaksa?" Ia melirik tangannya yang masih ada di genggaman Zayn. Tapi Zayn tidak langsung melepaskannya.
"Ari, aku--"
"Masalahnya, aku tidak tahu kau minta maaf untuk yang mana? Bagaimana kalau aku tidak mau memaafkanmu? Bagaimana kalau ada kesalahanmu yang tidak pantas dimaafkan? Kau akan melakukan apa?"
Ari melepaskan tangannya dari pegangan Zayn, kemudian menyilangkannya di depan dada. Zayn menunduk berhadapan dengannya. Dia benar-benar bingung harus mulai dari mana.
"Ya," Katanya pelan. "Mungkin kau benar, aku banyak melakukan kesalahan." Zayn mengusap wajahnya sendiri dengan tangan. "Aku membuatmu sedih sampai kau harus menelepon Harry, ya, kan?"
Ari membelalak ketika Zayn menyinggung hal itu. Apa maksud Zayn?
"Aku tidak tahan bermusuhan denganmu. Kau pikir aku tidak menyesali semua yang ku lakukan? Aku bahkan tidak bisa tidur nyenyak memikirkan apa lagi yang secara tidak sadar akan ku lakukan untuk mempermalukanmu, atau bagaimana aku akan meminta maaf. Dan setelah aku mendengarmu membicarakan itu pada Harry, aku tahu aku sudah membuatmu sangat sedih. Ku mohon, maafkan aku."
Ari dikejutkan ketika Zayn menggapai kedua tangannya lagi dan berlutut di hadapannya. Kepalanya mendongak memandang gadis itu dengan tatapan mengemis. Ari tidak menyangka Zayn nekat berlutut hanya untuk meminta maaf. Padahal jika Zayn tahu, dia tidak perlu meminta maaf karena Ari tidak pernah membencinya. Ya, dia merasa sedih. Tapi itu saja. Dia cuma sedih.
"Astaga, apa yang kau lakukan? Bangun!" Ari menarik tangannya ke atas agar bangkit. "Aku tidak akan memaafkanmu kalau kau tidak mau bangun."
Ari sekali lagi menarik tangan Zayn sampai lelaki itu mau bangkit. Mata Zayn tidak meninggalkan matanya sama sekali. Itu membuat Ari tidak enak hati. Zayn sudah mengatakannya dengan sungguh-sungguh, yang masih mengganjal di hatinya sekarang adalah jawaban Ari.
"Kau masih waras, kan?" Ari mengerutkan dahi, melihatnya dari atas sampai bawah, kemudian menyentuh kening Zayn dengan punggung tangan. "Kau baru saja mempermalukanku di restoran dan sekarang kau berlutut, kau punya rencana apa untuk mempermalukanku lagi?"
"Demi Tuhan, Ari, aku sungguh-sungguh minta maaf. Aku sudah lama ingin meminta maaf padamu, tapi entah kenapa rasanya sulit. Aku mengatakan sesuatu yang tidak ku pikir dulu, dan aku tidak tahu. Aku merasa sangat aneh, okay?"
Zayn berusaha membuat Ari percaya. Dia sudah mengeluarkan semua yang ada di hatinya, tapi Ari tidak memercayainya. Baiklah, sebenarnya belum semuanya. Masih ada satu hal lagi yang Zayn belum siap untuk mengatakannya. Mungkin tidak akan pernah ia katakan.
"Baiklah, aku sudah memaafkanmu." Ucapnya singkat tanpa ekspresi apapun di wajahnya.
Gadis itu memutar badan untuk pergi. Ari ingin cepat kembali ke rumah sakit daripada mendengar yang menurutnya omong kosong Zayn. Namun lagi-lagi Zayn menahan tangannya.
"Itu saja..?" Zayn mengerutkan dahi, "Kau masih tidak percaya?"
"Kenapa aku harus percaya?" Ia memaksakan tertawa. "Kau tidak usah repot-repot meminta maaf karena aku tidak akan percaya lagi padamu, Zayn. Aku sudah memaafkanmu, tapi tidak mempercayaimu lagi."
"Kenapa?" Zayn meninggikan suaranya. "Karena kau sekarang lebih percaya pada Harry?" Ia berseru sampai suaranya menggema di gang itu.
"Excuse me?" Ari membelalakan mata, tidak terima. Zayn mulai lagi, padahal dia baru saja minta maaf. "Kenapa kau jadi membawa-bawa Harry?!"
"Menceritakan kesedihanmu padanya di telepon, cih, apa yang sudah dia lakukan padamu? Meracuni pikiranmu dengan membicarakanku yang tidak-tidak?" Lelaki itu mengangkat sebelah alisnya seraya mendecih. "Apa yang biasa kalian bicarakan? Apa yang biasa kalian lakukan? Berapa sering dia meneleponmu? Setelah dia menang perjanjian bodoh kami?" Tanya berturut-turut. "Apapun yang kalian berdua lakukan, aku tidak mau kau melakukannya lagi, Ari."
"Woah, memangnya kau siapa melarang-larangku? Liam? Bukan." Ari menatapnya dari atas sampai bawah dengan heran. Dia bahkan tidak mengerti apa yang Zayn bicarakan. "Lihat dirimu. Kau bilang kau minta maaf, tapi saat ini kau memancing emosiku lagi."
"Aku tidak memancing emosi, aku hanya memperingatkanmu."
"Harry adalah temanku sekarang. Kami sangat dekat walaupun pertunangan kami gagal. Apa alasanmu melarangku? Ada rencana apa lagi antara kau dan Harry?" Ari menyilangkan tangannya di depan dada. Dahinya masih mengernyit. Sementara lelaki itu kembali diam, mengatupkan mulutnya.
Itu benar, Harry adalah temannya sekarang. Zayn berubah, Liam belum siuman, tidak ada yang menemaninya lagi selain Harry. Harry bahkan berjanji akan menyempatkan waktu untuk melakukan video call dengannya selama tur, agar Ari tidak kesepian.
Tapi setelah Harry mengaku jatuh cinta padanya, Ari berharap mereka tidak akan menjadi canggung ketika ia pulang ke Inggris.
"Ayo jawab, kenapa diam? Apa alasannya?" Gadis itu menegur Zayn. Dari wajahnya, Ari bisa lihat Zayn seperti sedang berpikir. Ia menggigit bibir bawahnya dengan pandangan lurus ke mata Ari.
Ini dia satu hal yang Zayn belum siap untuk mengatakannya. Dia bahkan tidak pernah berniat untuk mengatakannya. Tapi apa boleh buat? Sekarang atau tidak pernah.
Ari memaksakan sebuah tawa seraya menggeleng, "Astaga, seharusnya aku sudah tahu. Kalian berdua akan terus melakukan permainan lama kalian yang bodoh itu." Ari memutar badan dan mulai berjalan pergi. Dia menghiraukan Zayn yang masih diam di tempatnya. Sebenarnya Ari tidak yakin mereka berdua memainkan permainan lama lagi.
Tapi dia tahu Zayn menyembunyikan sesuatu darinya.
Dia baru saja akan berbelok keluar ketika tiba-tiba Zayn menyerukan sesuatu yang membuatnya langkahnya berhenti,
"Everybody wanna steal my girl. Everybody wanna take her heart away."
Langkah Ari perlahan melambat, kemudian berhenti. Dia hampir tersandung kakinya sendiri kehilangan keseimbangan. Ari terdiam di tempat. Ia hanya melirikkan matanya dan tidak berani untuk berbalik badan satu derajat pun. Apa yang baru saja Zayn katakan?
Tidak mungkin Zayn akan mengatakan hal yang sama seperti Harry... kan?
"Ingat siapa yang pergi denganmu ke festival anak? Membawamu kabur ke London Eye? Atau yang berdansa denganmu di greenhouse? Bukan Harry." Ujarnya. "It was me."
Ari tetap diam. Tentu saja dia ingat semua itu. Ari masih ingat dia marah karena Zayn menang semua permainan. Dia ingat benar dia mendapat ciuman pertamanya di puncak London Eye. Dan tentu saja, Ari menghabiskan waktunya berdua di greenhouse tanpa mengetahui kalau yang bersamanya adalah Zayn.
"Apa Harry pernah mengajarimu bermain gitar? Apa Harry tahu kau menangis di hari pertunanganmu? Apa Harry pernah menyanyikanmu lagu sampai kau tertidur? Apa Harry sering memanjat untuk sampai ke kamarmu?" Tanyanya lagi berturut-turut. Dalam hati Ari menjawab semuanya, tidak pernah.
Zayn mengusap wajahnya sendiri dengan tangan. Dia masih tidak yakin akan mengatakan semuanya. Zayn menghela napas panjang sebelum melanjutkan,
"Kau tahu, apa lagi yang membuatku tidak tenang? Bagaimana keadaan berbalik sekarang. Aku hanya bisa melihat tawamu dari jauh, bukan di hadapanku lagi. Kau bisa tertawa saat bersama Harry, tapi tidak mau melihat wajahku sama sekali. Aku melihat itu di rumah sakit. Harry berhasil membuat tersenyum disaat Liam masuk rumah sakit, sedangkan apa yang ku lakukan? Aku malah membuatmu sakit hati." Ucapnya terang-terangan.
"Aku berkali-kali mengurungkan permintaan maaf dan berbicara di luar kendaliku hanya karena mengingat hal itu. Aku bahkan tidak suka melihatmu berdansa dengan si bodoh Thomas, mendengar si idiot Luke memujimu, dan kau tahu? Bahkan Vin Smith juga tertarik padamu. Lalu siapa lagi nantinya yang akan menginginkanmu?" Zayn menggigit bibir bawahnya dengan geram sedangkan rahangnya terkepal sekencang mungkin. Hatinya sangat panas mengatakan itu semua. Tapi kini Ari mengerti. Jika saja Zayn mengatakannya lebih awal. "Aku tidak bisa melihatmu semakin jauh."
Ari memejamkan matanya erat-erat, 'Say it, Zayn. Just say it!' Batinnya, tidak sabar.
"Maka itu, aku tidak mau kau melakukannya lagi, Arianne." Ia menggeleng meskipun Ari tidak bisa melihatnya. Zayn tidak peduli, yang penting Ari mendengar semua yang ia ucapkan.
"Aku cemburu, itu alasanku."
Seperti baru disambar petir, jantungnya seolah berhenti sesaat. Napasnya tercekat dan kakinya menjadi lemas seketika. Ari bisa saja jatuh kalau ia tidak cepat-cepat merubah sedikit posisi kakinya. Ari tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Yang ia tahu adalah ia kaget sampai hatinya berdesir dan darahnya terasa mengalir ke wajahnya. Bahkan kalau jantungnya kembali berdetak, itu akan sangat cepat.
Akhirnya Ari tahu kalau ternyata selama ini Zayn cemburu. Tapi apa Zayn tahu kalau Ari sangat senang mengetahui hal itu?
Untuk beberapa saat Zayn bergeming. Dia menunggu Ari untuk mengatakan sesuatu tapi tidak juga. Zayn tidak bisa melihat reaksi wajahnya selain punggungnya yang kelihatan tenang. Zayn berpikir Ari tidak menghiraukannya.
Ari memutuskan untuk berbalik, mendapati Zayn dengan wajah merah sedang menatapnya. Wajahnya benar-benar merah padam dengan kedua alis tebalnya yang sedikit bertaut. Suasana itu menjadi canggung baginya.
"Karena aku mencintaimu," Zayn mengucapkan dengan pelan. "Namun aku terlalu bodoh untuk menyadarinya."
Itu yang ia tunggu-tunggu.
Akhirnya Zayn mengatakannya.
Berapa lama lagi Ari harus menunggu untuk Zayn mengatakan itu? Dia sejak lama yakin bahwa lelaki itu merasakan yang sama. Ini hanya masalah waktu.
"Aku tidak cukup pintar untuk menyadari itu sejak awal. Aku selalu memungkiri perasaanku. Tapi aku bertanya pada diriku sendiri. Kenapa Zayn rela memanjat ke kamar hanya untuk menemui Arianne? Kenapa Zayn membawa Arianne kabur dari pertunangannya? Kenapa Zayn mencium Arianne? Rupanya Zayn menyukai Arianne."
Ari tersenyum mendengarnya. Apa yang baru Zayn katakan terdengar nyaman dan melegakan di telinganya.Mungkin wajahnya sudah sama merahnya dengan Zayn. Dan saat itu lah, Zayn sangat lega bisa melihatnya tersenyum lagi.
"Tapi kau mengatakan perasaan yang sama," Zayn menghela napas berat seraya menatap ke langit. "How could I be so stupid to let you slip away and turn around? Kita pasti sudah berakhir bahagia sekarang. Di dalam restoran memakan menu yang sama, mengobrol hal-hal tidak penting. Walaupun menu itu escargot sekalipun, itu akan menjadi waktu yang sangat berharga."
Namun apa yang terjadi adalah, Zayn dan Ari bertengkar di restoran hanya karena masalah sepele.
"When you stood there
Just a heartbeat away
When we were dancing,
And you looked up at me
If I had known then
That I'd be feeling this way
If I could replay
I would have never let you go
Am I out of time?"
Zayn bersumpah dia bisa merasakan wajahnya tebal. Ini baru pertama kali dia menyatakan perasaan kepada perempuan. Sebelumnya, dia tidak pernah merasakan ini kepada siapapun, termasuk Diana. Mereka hanya terhitung teman dekat baginya.
"Tapi kalau kau bertanya lagi, jawabanku adalah bersedia." Zayn mengedikkan bahu. "Untuk apa menjadi Joe si Prince Charming kalau dengan menjadi Zayn si penyandera aku bisa memilikimu?"
Ari mengusap pinggiran matanya yang berkaca-kaca. Ia menyeringai sumringah sambil menutup mulutnya dengan kedua tangan. Jika saja Zayn tahu kalau Ari sangat senang mendengar semua yang ia katakan. Dia senang mengetahui Zayn cemburu, dia senang Zayn masih ingat semua yang dulu mereka lakukan, dia senang Zayn juga mempunyai perasaan yang sama.
"Jadi.. apa permintaan maafku sudah cukup?" Zayn menatapnya dengan penasaran.
"Shut up... or I'll make you." Gadis itu berlari ke arahnya. Zayn membuka kedua tangannya mengharapkan sebuah pelukan. Tapi yang ia dapatkan justru sebuah jitakan di kening. Jitakan yang sangat keras. Zayn memegangi keningnya sambil meringis. Apa Ari masih tidak percaya?
"Nah, di keningmu pasti ada cetakan tanganku," Ari tersenyum sinis. "Itu baru cukup!"
Ari membuka lebar tangannya dan memeluk Zayn erat-erat. Begitupun sebaliknya. Sudah lama sekali semenjak kejadian waktu itu di depan rumah Ari, sebelum Zayn menghilang entah kemana. Zayn tidak mau melepaskan pelukannya. Dia berjanji tidak akan mengecewakannya lagi.
Ari menaruh kepalanya di pundak Zayn. Suasana ini benar-benar sangat nyaman dan membuatnya tenang. Mereka sudah lega. Tidak ada lagi permusuhan di antara mereka berdua. Zayn mengusap-usap punggung Ari sambil memeluknya lebih erat lagi.
"Tapi Zayn," Ari berkata tanpa melepas pelukannya, "Kau... tidak mengharapkanku untuk menjawab, kan?"
Zayn mengernyit bingung, "Maksudnya?"
"Err.. kau tahu.. karena kita berdua merasakan yang sama, aku tidak mau kita berdua menjadi canggung."
"Apa kau akan menjawab pertanyaan Harry?" Tanyanya balik. Ari menggeleng, dan itu membuat Zayn tersenyum puas, "Yeah, we remain friends."
-bersambung-
Hahaha gimanaa, tak ngefeels ya hueheh ini nulis sambil denger Wildest Dreams, authornya nyess. Oh iyaa, maaf yaa baru sempet sekarang. Makasih yang masih setia dan feedback di chapter sebelumnya, didoain disetiain juga sama ayangnya <3
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top