XXXVI - The Other Side
"Try me."
Harry berjalan pergi meninggalkan Zayn yang sudah terkapar. Botol yang pecah sudah dia lempar entah kemana. Bukan hanya dagu Zayn saja yang sakit, tapi tangan Harry juga terkena serpihan kaca. Harry mengepal kedua tangannya erat-erat menuju pintu. Dia tidak mau menengok ke belakang lagi.
Harry membuka pintu dengan kasar dan langsung menutupnya lagi. Punggungnya bersandar lemas ke daun pintu. Ia berusaha meredam emosinya agar degup jantungnya juga kembali normal. Mulai hari itu dia membenci Zayn dan bersumpah akan melakukan pembalasan.
Namun di balik itu, Harry sangat menyesali perbuatannya.
"What have I done? What have I done? What have I done?"
Ia melihat kedua tangannya yang juga lecet dan sedikit berdarah, lalu memberantaki rambutnya sendiri. Ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat untuk menahan air mata yang akan jatuh. Mengingat Zayn mengemis-ngemis padanya semakin membuat Harry menyesal. Dia ingin sekali memaafkannya, tapi emosi Harry terlalu menguasainya, apalagi mengingat Diana sudah tidak ada lagi di dunia ini. Ia kembali melihat ke kedua tanganya, tidak percaya apa yang baru saja ia lakukan.
"Aku hampir membunuh sahabatku."
***
Penjaga membukakan gerbang untuk mobil Louis dan motor Zayn. Mereka baru pulang dari rumah sakit lewat tengah malam. Louis bergegas turun dari mobil dan masuk ke dalam karena udara malam sangat dingin, begitu pula Zayn. Ia memberhentikan motornya di depan pintu, menyerahkan kunci kepada pelayan untuk dibawa ke garasi. Seperti kebiasaannya, Louis langsung naik ke kamar. Zayn melempar helmnya ke sofa ruang tamu, lalu terduduk lemas di sana. Mungkin dia akan menghabiskan malam di ruang tamu karena Zayn sama sekali tidak mengantuk. Pikirannya masih penuh dengan apa yang baru saja terjadi.
Zayn mematikan lampu utama dan hanya meninggalkan satu standing lamp di sisi sofa. Ia membaringkan dirinya, menatap langit-langit ruangan. Zayn sangat merutuk dirinya menyia-nyiakan kesempatan untuk yang kesekian kali. Dia masih ingat ketika wajah kecewa Ari terlihat saat pintu terbuka. Ari berani mengungkapkan perasaannya, tetapi Zayn sebagai laki-laki gagal menjelaskan semuanya.
Mengungkapkan perasaan? Mereka cuma sahabat.
Zayn memutar kedua matanya ketika pikiran itu terlintas. Dia sangat ingin memutar waktu dan kembali berteman dengannya. Semakin Zayn memikirkan itu, semakin dia menyesalinya.
"Aku seharusnya memilih perempuan lain untuk Harry, bukan sahabatku sendiri." Zayn membenamkan wajahnya ke bantal, kemudian melempar jauh-jauh bantal sofa tersebut. Semuanya terjadi dalam satu malam, Zayn tidak tahu apa dia bisa melupakan ini hari-hari selanjutnya.
Jam lonceng di sudut ruangan berbunyi. Ini sudah jam tiga tapi mata Zayn belum terasa berat. Perasaannya masih gelisah dan hatinya tidak tenang. Seperti ada sesuatu yang mengganjal tapi Zayn tidak tahu apa, itu yang membuatnya tidak mengantuk.
Terdengar suara pintu dibuka dari atas. Dari balkon, Louis terlihat berjalan ke tangga dan menuruninya. Ia memungut bantal yang dilempar Zayn di depan anak tangga terakhir. Pakaiannya sudah berganti dengan piyama tidur. Zayn tidak meliriknya sama sekali.
Louis berjalan melewatinya. Dia pergi ke dapur dan kembali dengan segelas air minum. Ia menyadari tingkah yang gelisah. Lelaki itu bolak-balik membalik tubuhnya di atas sofa.
"Kau... belum tidur?" Louis dengan canggung bertanya dari jarak--seperti biasa--agak jauh dari Zayn. Raut wajah Zayn berubah menjadi raut malas, memilih untuk tidak menjawab pertanyaan ayahnya. Louis perlahan berjalan menghampiri, kemudian duduk di sofa kecil sebelah Zayn. Saat itu Zayn justru berbalik membelakanginya. "Ayah mengerti sekarang." Ujarnya. "Ada sesuatu di antara kau dan Arianne."
Zayn spontan berbalik menghadapnya lagi, bahkan bangkit untuk duduk, meski wajahnya menunjukkan raut bingung, "Maksudnya?"
"Tolonglah, bahkan orang yang melihat gerak-gerik kalian sekilas saja tahu kalau kau dan dia ada apa-apanya." Louis terkekeh, meneguk air minum di tangannya. "Ternyata itu sebabnya kau membawanya kabur?"
Zayn mendengus pelan. Bahkan ayahnya bisa lihat ada sesuatu di antara dia dan Ari. Louis berpindah duduk ke sebelahnya. Mungkin ini jarak paling dekat di antara mereka.
"Kau harus belajar dari aku dan ibumu dulu," Louis menaruh gelasnya di atas meja. "Ibumu sangat cantik tapi dia orang yang sederhana. Banyak yang menginginkannya. Mereka orang-orang Pakistan yang jauh lebih tampan dari ayahmu. Mereka menyatakan perasaan padanya dengan nyanyian, semua kata-kata indah yang aku yakin bisa dicari di buku kumpulan puisi. Aku bisa dibilang orang yang tidak pandai bicara kalau urusan perempuan, jadi aku menyatakan perasaan dengan apa adanya dan jujur."
Zayn menyerongkan badannya ke arah Louis, "Ayah bilang apa?"
"Ku bilang, 'Aku tertarik padamu bukan saat pandangan pertama. Tapi saat lebih jauh mengenalmu sebagai teman. Aku tidak pernah memikirkanmu di siang hari, tapi aku memimpikanmu di malam hari. Aku menyatakan perasaanku bukan untuk membuatmu terkesan, tapi karena aku takut mereka mendahuluiku mendapatkanmu.' Dan ibu menerima ayah."
"Sebetulnya.. itu lumayan manis."
"Tapi intinya adalah jujur. Mereka tidak butuh diterbangkan ke langit dengan kebohongan, mereka hanya butuh kejujuran." Louis menyenggol sikut Zayn pelan. "Kau harus begitu juga pada Arianne."
"Apa? Aku?" Zayn mengernyitkan dahi. "Maksudnya?"
"Kau ingin menyatakan perasaan pada Arianne, kan?" Saat itu juga Zayn tertawa terbahak-bahak. Jadi ayahnya mengira kalau Zayn sedang gelisah untuk menyatakan perasaannya pada Ari. Dan itu menurutnya lucu. "Jadi bukan?"
"Aku sedang bertengkar dengannya. Yang aku pikirkan adalah bagaimana aku meminta maaf, bukan menyatakan perasaan. Kita ini cuma sahabat. Hahahaha."
"Oh," Louis menunduk malu. Wajahnya memerah padam mengetahui dia salah kira. "Tapi kau harus tetap ingat, kuncinya adalah kejujuran."
Tawa Zayn perlahan memudar. Mungkin Louis benar, Zayn seharusnya jujur pada Ari saat meminta maaf. Dia dan ayahnya punya kesamaan, tidak pandai bicara kalau urusan perempuan. Zayn tersenyum kecil. Setidaknya malam ini dia mengobrol dengan ayahnya tanpa emosi. Ini pertama kalinya bagi mereka. "Terimakasih, ayah." Ucapnya.
Louis mengangguk dan membalas dengan senyum juga. Matanya menatap wajah Zayn lekat-lekat. Giliran senyum Louis yang perlahan memudar. "Tapi aku justru menyakiti hati keluarganya termasuk kau,"
"Ayah--"
"Ayah sangat menyesal. Kau selalu menyambut di pintu seperti ibumu setiap ayah pulang, dan justru ayah mengabaikanmu. Tapi percayalah, ayah selalu ke kamarmu tiap tengah malam menemani kau tidur. Dan apa kau tahu kenapa kue ulangtahun yang kau buat hilang besok malamnya? Ayah yang mengambilnya. Ayah sengaja memberikanmu garasi barat untuk kau berkumpul dengan teman-teman, agar kau senang. Dan piagam murid teladanmu dulu, ayah sangat bangga." Louis menepuk-nepuk pundak Zayn yang hanya bisa diam mendengarkan sambil melihat ke bawah. "Setelah kau kabur, ayah tidak pernah tidak memikirkanmu. Rumah menjadi semakin sepi tanpa suara bising alat musik. Aunt Nicole berkali-kali datang untuk menunggumu pulang. Tapi kau tidak kembali juga. Ayah sudah suruh anak buah untuk mencarimu tapi mereka tidak berhasil," Ia menghela napas berat mengingat itu, sebelum melanjutkan lagi, "Tidak masalah kalau kau masih membenci ayah, yang terpenting adalah kau kembali. Karena sudah cukup satu yang pergi, ayah tidak mau sendirian."
Zayn masih mematung. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi lain kecuali kaget dan tertegun. Dia tidak pernah tahu kalau ayahnya selalu datang ke kamar tiap malam, atau memakan kue yang dulu ia buat karena Zayn kira Preston yang memakannya. Intinya, Zayn tidak tahu kalau ayahnya diam-diam peduli dan memperhatikannya.
Louis mengambil gelas dari meja kemudian bangkit. "Ayah... tidak akan memaksamu lagi belajar bisnis," Gumamnya. "Giliranku yang akan menuruti apapun agar kau bahagia." Lalu berjalan menuju tangga.
Zayn ikut bangkit, berlari memeluk ayahnya sebelum pria itu naik. Ia memberanikan diri melakukan itu karena Zayn tahu ayahnya tidak akan keberatan lagi kalau Zayn dekat-dekat dengannya. Dia memeluknya sangat erat sampai Louis memeluk balik Zayn tanpa ragu-ragu. Ini sudah lama tidak terjadi semenjak ibunya meninggal, dan Zayn sangat merindukan pelukan ayahnya.
"Aku tidak pernah benci dan tidak akan pernah membenci ayah. Aku selalu menyayangi ayah." Zayn menenggelamkan kepalanya lebih dalam.
"Maafkan ayah.." Louis mengeratkan pelukannya. ".. Zayn."
Zayn percaya dengan istilah, 'sebuasnya induk seekor singa tidak akan memakan anaknya'. Sepertinya itu berlaku padanya dan ayahnya. Dan Zayn berjanji akan memperbaiki hubungan mereka mulai sekarang.
Sementara keesokan harinya, Ari sudah berada di dalam mobil menuju bandara untuk mengantar Harry bersama Ashton dan beberapa bodyguard yang ikut pulang ke Inggris. Mereka akan kembali ke Amerika untuk melanjutkan tour yang tertunda. Mungkin butuh dua sampai tiga bulan untuk Harry kembali pulang. Dan dia tidak suka terlalu lama jauh dari Ari.
"Oh, ayolah, biarkan aku memelukmu sampai bandara." Harry membuka kedua tangannya menunggu Ari menyambut, tapi gadis itu tetap menyandarkan kepalanya ke kaca mobil. Dari awal mereka berangkat, dia tidak berpindah sedikitpun dari posisi itu. Hanya memandang ke luar jendela tidak mendengarkan ocehan Harry. "Pretty please?"
"Biarkan aku menendangmu keluar dari mobil, kau mau?" Ia akhirnya menanggapi. Ari memutar kedua matanya dan kembali melihat ke jalanan. Sebenarnya dia ingin berada di rumah saja, jika Paul tidak memaksanya ikut dan banyak polisi di rumah yang menyelidiki kasus Liam. Liam sendiri masih belum siuman sampai sekarang.
"Aku tahu kau sedih dengan kepergianku, tapi jangan rusak momen terakhir kita sebelum aku berangkat. Let me hug you!"
Ari langsung mendorong wajah Harry sampai terjungkal kembali ketika lelaki itu mendekat, "AKU TIDAK MAU! KAU MAU IKUT MATI JUGA SEPERTI LIAM, HAH?!"
Teriakan gadis itu membuat Ashton di depan tertawa. Dia paling senang kalau sudah melihat Ari dan Harry bertengkar. Atau lebih tepatnya, Ari membentak Harry. Ari kembali memalingkan muka darinya, sementara Harry mendengus kesal dan ikut merapat ke sisi pintu lain.
Keadaan mobil menjadi hening kecuali Ashton yang sedang mengobrol dengan sopir. Harry sesekali melirik Ari yang tidak pernah melihatnya balik. Ari terlihat sedih sekaligus bosan. Dia benar-benar tidak memutuskan pandangannya dari jalanan. Sebelah tangannya menyelipkan kembali earphone ke telinganya, sementara tangan sebelahnya lagi menggenggam ponsel baru yang dibeli sebelum berangkat ke bandara. Harry yang membelikan. Setidaknya Ari sekarang memiliki ponsel yang canggih sesuai zaman sekarang, bukan ponsel lama sejak SMP lagi.
Harry merebut ponsel dari tangan Ari, meskipun gadis itu tidak bergerak juga. Ia mengernyit ketika melihat lagu apa yang Ari sedang dengarkan, "Untuk apa kau mendengarkan Spaces?" Ari sedang mendengarkan salah satu lagu Harry yang bertema sedih. "Untuk apa kau mendengarkan laguku?"
Ari menghela napas, "Torturing myself even more..?"
"Maksudmu laguku seperti penyiksaan untukmu, begitu?" Ia melempar pelan ponsel Ari ke jok mobil. Harry menyilangkan kakinya dan kembali memandang jalanan, "Sudah ku bilang di hanya menepati janjinya, Ari." Ia berucap pelan.
"Apa?" Ari langsung menengok dan melepas kedua earphonenya.
"You heard me." Ujarnya lagi tanpa melihat balik.
"Tapi aku tidak mengerti apa maksudmu?" Ari menggeser posisi duduknya lebih dekat pada Harry. Dan saat itu lah Harry menengok balik padanya. Dia hanya menghela napas berat dan kembali memandang jalanan. "Maksudmu apa, Harry?" Ari mengulang pertanyaannya agar Harry menjawab. Justru giliran lelaki itu yang mendiamkannya. Harry seolah hanya memandang kosong mobil-mobil yang lewat. Ari mendecak sebal seraya menyilangkan kedua tangannya di depan dada, "Memang percuma bicara denganmu."
"Diana Alicia Swan."
Harry dan Ari kembali saling tatap. Harry tidak ingin mengungkit-ungkit gadis itu lagi, tapi mau tidak mau, dia harus mengatakan semuanya pada Ari. Dia tidak suka melihat gadis itu jadi murung karena terseret masalah masa lalunya dengan Zayn, yang seharusnya tidak ada hubungannya dengan Ari.
"Mungkin kunci utama alasan aku dan Zayn tidak memiliki hubungan baik." Lanjutnya.
Ari sudah tahu tentang Diana. Jadi dia tidak terlalu terkejut begitu Harry mengatakannya. Tapi Ari masih penasaran. Ada hal yang menurutnya masih terlihat abu-abu tentang gadis itu.
"Dia adalah mantan tunanganku. Rambutnya coklat keemasan, matanya indah, mungkin tidak ada yang bisa membandinginya."
Harry masih ingat Diana suka sekali memakai pakaian berwarna terang. Mungkin itu yang membuatnya tertarik ketika pertama kali bertemu.
"Dia menjadi salah satu sahabatku dan Zayn. Aku yang paling dekat dengannya, tapi menurutku, laki-laki dan perempuan tidak bisa menjadi sahabat."
"Oh." Ari mengerjap beberapa kali sebelum menunduk.
"Waktu itu dia menerimaku karena ku pikir kita sudah sangat dekat. Tapi baru ku ketahui kalau dia sebenarnya menyukai Zayn. Dia sangat menyukai Zayn." Harry berbicara dengan nada rendah dan menekankan kata terakhir. "Dia tidak terlalu dekat dengannya karena Diana merasa canggung setiap berada di dekatnya. Aku sering melihat Diana tidak mendengarkan apa yang ku katakan karena dia sedang memperhatikannya. Waktu itu Zayn pernah memperkenalkan teman dekatnya kepada kami, mulai saat itu gerak-geriknya menjadi aneh. Dia tidak mau makan semenjak tahu Zayn memiliki teman dekat, dan menjadi salah tingkah begitu tahu mereka berdua tidak lebih dari sekedar teman."
"Dia sangat mencintai Zayn, ya?" Pertanyaan Ari disusul dengan anggukan Harry. "Bagaimana denganmu?"
Harry menghela napas berat mengingat bagaimana perasaannya dulu yang curiga kepada Diana, "Aku hanya ingin dia bahagia. Meskipun setelah tunangan, dia masih seperti itu, aku sudah biasa."
"Apa kau tidak cemburu?"
Lelaki itu menggigit bibir bawahnya, memalingkan muka dari Ari. Wajahnya kembali menghadapnya dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Ini jelas pertama kalinya Ari melihat Harry berlinang air mata.
"Aku tidak peduli apa yang ku rasakan. Yang aku mau adalah aku bisa melihat Diana senang bagaimana pun caranya." Ucapnya terang-terangan. "Apa kau pernah punya orang istimewa di hidupmu? Yang kau rela melakukan apa saja untuk dia?"
Ari menegang seraya menelan ludah. Dia tidak tahu apa orang ini istimewa. Yang pasti satu-satunya orang yang Ari rela melakukan apa saja untuknya adalah...
"Zayn," Harry kembali menghela napas berat. "Dia tahu kalau Diana menyukainya dan menjadikan itu sebagai objek balas dendam padaku."
Ari menekan voice memo pada ponselnya ketika Harry mulai membicarakan tentang Zayn. Ini yang dia tunggu-tunggu, mendengarkan langsung dari Harry. Ia diam-diam mulai merekam ucapannya. Ari tidak ingin ketinggalan satu bagian pun.
"Dia mengambil hati Diana setelah ayahnya menawarkan kontrak menyanyi untukku dan Diana juga tega membohongiku terus menerus. Diana mengatakan kalau dia pergi dengan ibunya, tapi tak lama ibunya menelponku bertanya apa Diana bersamaku. Diana melewatkan janji makan malam padahal aku sudah menyiapkan dari jauh hari dan menunggu selama dua jam di kapal. Aku sudah menegurnya berkali-kali, tapi dia sudah bukan Diana yang dulu." Lelaki itu menggeleng-geleng pelan. "Diana jatuh ke perangkap Zayn."
Ari masih tidak percaya pernah ada perempuan lain yang sangat mencintai Zayn tetapi dengan cara yang salah. Diana rela melakukan apa saja untuk bersama dengan Zayn, kecuali memutuskan hubungan dengan Harry. Menurut Ari, setidaknya jika mereka putus, Harry tidak terlalu merasa dikhianati oleh mereka berdua.
"Ini semua salahku Ari."
Gadis itu kembali menatap Harry, "Kenapa?"
"Zayn tidak memiliki hubungan baik dengan ayahnya, dan aku sudah berjanji padanya akan menolak tawaran itu karena akan membuatnya tersinggung. Tapi aku justru menerimanya, dan menurutku cukup adil kalau Zayn ingin melakukan balas dendam." Harry menatap Ari dengan mata berkaca-kaca. Dia sudah menyediakan kacamata hitam ketika turun nanti jika ada paparazzi yang sudah menunggunya. Jadi dia tidak peduli kalau ia mau menangis sekalipun. "Padahal kalau dia mau, aku bisa berjuang mati-matian membatalkan kontrak jika saja Louis tidak mengancamku. Satu hal yang kau tidak tahu, ayahku dulu adalah asisten Louis, yang akhirnya mempertemukanku dan Zayn. Dia mengancam akan memecatnya karena pekerjaan itu satu-satunya sumber kehidupan keluargaku. Orangtuaku bercerai, ibuku menikah lagi dan tinggal di luar negeri, sampai sekarang aku tidak tahu bagaimana kabarnya. Louis memberiku dua pilihan: terima atau ayahku harus meninggalkan pekerjaan asisten."
"Kau memilih menerimanya?"
"Kalau kau jadi aku, yang mana yang akan kau pilih? Anggap saja kau masih tinggal dengan ibumu."
Harry memutar balik pertanyaan yang justru menyentak hati Ari. Ari mengerti sekarang. Dia pun juga akan memilih menerima kontrak itu jika berada di posisi Harry. Walaupun ayah Harry bisa bekerja di mana saja, dia tetap akan kecewa jika Louis yang sudah lama bekerja dengannya memberhentikannya begitu saja. Zayn mungkin juga akan marah jika mengetahui itu, Harry tidak mau hubungan Zayn dan ayahnya semakin rusak. "I'm sorry."
"Zayn melakukannya terlalu jauh. Dia mengajaknya pergi ke luar negeri selama berhari-hari disaat aku dan Diana baru saja bertunangan dua hari sebelumnya! Aku tau semuanya tapi aku memilih untuk diam. Aku ingin membiarkan Diana senang disamping Zayn juga senang. Sungguh, dibalik emosiku setiap bertemu dengan Zayn, aku masih menyalahkan diri sendiri."
Ari mengusap-usap bahu Harry agar ia sedikit tenang. Nada bicaranya semakin meninggi semenjak menceritakan masa lalunya bersama Zayn.
"Ku kira Zayn juga menyukai Diana, ternyata dia memang mendekatinya hanya untuk balas dendam. Dia mengakui semua pada Diana. Itulah yang menyebabkannya memilih untuk menabrakan diri di jalan. Aku tentu sangat marah. Kami bertengkar di rooftop rumah sakit sampai akhirnya aku melakukan sesuatu yang di luar kendaliku."
"Apa itu..?"
Harry mengatup kedua bibirnya sejenak. Kejadian itu merupakan hal terburuk yang pernah ada di hidupnya. Harry tidak bermaksud melakukan itu, dia hanya terbawa emosi yang terlanjur meluap, "Aku memukul wajahnya dengan botol kaca."
Ari spontan membelalak. Botol kaca itu keras. Dia tidak bisa membayangkan benda itu menghantam wajah Zayn, apalagi sangat keras karena Harry sedang murka saat itu. Gadis itu baru menyadari ada bekas jahitan di bagian dagu Zayn baru-baru ini. Mungkin itu lah sebabnya. Tapi bagaimana bisa dia masih terlihat tampan sampai sekarang?
"Dia sudah meminta ampun tapi aku masih tidak bisa memaafkannya. Akhirnya Zayn sendiri yang berjanji akan menebus kesalahannya dengan mencari gadis pengganti, lalu aku setuju."
"Apa? Apa yang kau bilang barusan?" Keningnya menegang. "Gadis pengganti? Apa kau pikir kita ini barang yang bisa digantikan seenaknya? Apa kalian sadar kalian menyeret-nyeret orang yang tidak tahu apa-apa dalam masalah masa lalu kalian? Kalian juga menyeret seluruh dunia yang tidak paham apa-apa untuk mengkritik kita bertiga, Liam, dan Louis karena insiden pertunangan."
"I wish I knew what I know now." Harry menjawab singkat. "Karena itu aku menyesal. Aku menyesal, Ari. Jika saja aku tidak dalam keadaan mendesak saat menerima tawaran kontrak atau mencoba membunuhnya, semua ini tidak akan terjadi dan masalahnya hanya di antara aku dan Zayn. Kau tidak akan terseret. Aku sangat ingin memaafkan Zayn saat itu, tapi lagi-lagi aku terlalu bodoh untuk berpikir kesalahan yang ia perbuat tidak pantas untuk dimaafkan. Kalau aku bisa memutar waktu, aku ingin kembali pada saat aku dan Diana masih berteman. Mungkin kalau aku tidak begitu egois ingin memilikinya, menyadari kalau yang dia mau adalah Zayn, aku tidak akan memintanya menjadi pacarku. Aku masih ingin berteman dengan Zayn. Aku ingin meminta maaf padanya."
"Kalau begitu segeralah minta maaf." Sergahnya cepat. "Semua belum terlambat. Apa kau pikir Zayn tidak ingin memperbaiki persahabatan denganmu juga? Buktinya dia tetap menepati perjanjian bodoh itu."
"Aku.. tidak tahu." Harry mengedikkan bahunya. "Tapi aku mencoba mengalah lagi, Ari. Memangnya setiap kalian berdua sedang jalan bersama, kau pikir aku tidak tahu? Aku membiarkan kalian berdua agar kalian senang seperti Diana dan Zayn. Yang beda hanya... Zayn tidak menginginkan Diana, sementara Zayn menginginkanmu."
Harry menyandarkan punggungnya dan kembali melihat ke luar jendela. Dia tidak ingin mengungkapkan lebih jauh lagi tentang apa yang dia rasakan. Namun begitu, hatinya lumayan lega setelah mengatakannya pada Ari. Ari juga tidak mengatakan apapun lagi. Mereka berdua sama-sama diam di tempatnya masing-masing.
Ari mengerti perasaan Harry sekarang. Dia menjadi Harry yang sekarang karena alasan. Ari beranggapan kalau Harry sebenarnya tidak pernah membenci Zayn, tapi yang semua yang ia lakukan terhadap Zayn hanya karena emosi dan teringat yang Zayn lakukan pada Diana, alias wanita yang ia cintai tapi justru mengkhianatinya.
Selalu ada dua sisi dalam setiap cerita. Dan saat ini, Ari melihat sisi lain dari Harry.
Paul menengok sekilas ke belakang. Dia tentu saja mendengar semuanya dari tadi, "Kita sudah sampai." Katanya seraya mengumpulkan beberapa barang kecilnya di dashboard mobil. "Harry?"
Harry tersadar dari lamunannya. Ia mengusap bekas air mata yang masih ada di sekitar matanya, kemudian memakai kacamata hitam untuk menutupi mata sembab. Ketika mobil berhenti tepat di depan sekumpulan paparazzi dan fans, Harry menggenggam tasnya sendiri bergegas untuk ke luar. Tangannya meraih pegangan pintu,
"Ari," Panggilnya sebelum membukanya. "Kalau kau jadi aku, apa kau akan memaafkan Zayn?"
Gadis itu kelihatan berpikir sejenak, "Tidak." Jawabnya. "Karena aku yang akan meminta maaf duluan."
Harry tersenyum tipis, "Exactly."
Seorang bodyguard membukakan pintu mobil untuknya. Tepat sebelum Harry melangkah keluar, Ari menariknya lagi untuk memeluknya erat-erat. Yang justru menjadi tontonan menarik untuk orang-orang.
"Have a safe flight, my friend." Bisiknya di telinga Harry agar ia bisa mendengar.
"I'll be coming back for you."
Mereka mengeratkan pelukan sebelum melepasnya. Harry pun melangkah keluar dengan dikawal bodyguard, sementara pintu kembali ditutup. Tinggalah Ari sendiri di bangku belakang. Matanya masih tidak lepas dari sosok Harry yang semakin lama semakin hilang tertutup orang-orang yang mengikutinya.
Ari menunduk menatap ponselnya. Mungkin rekaman tadi bisa dijadikan kunci untuk hubungan persahabatan Harry dan Zayn?
-bersambung-
Haaii maaf maaf maaf maaf yaaa lamaaa banget. Sebenarnya draftnya udah ada, cuma lanjutin sama ngeditnya itu yang.. ahaa -_- Dan tentang Louis sama Briana, ga suka sama keluarganya. Kalian coba cek twitter tante, sepupu, neneknya briana+cek favoritenya. Dan sepupunya briana juga kasar sama directioner yang ngetweet sesuatu yang bahkan ga ada unsur ngehate briananya. ckck. fcked up family. Keluarganya el aja ga norak el pacaran 4 tahun sama louis. Atau emang british sama american beda? Tanggapan kalian gimana? Comment yo #Larry #Elounor stan forever.
No silent readers ya <3
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top