XXXV - Let Me Be Your Hostage

Sebuah mobil Rolls-Royce Phantom menghadang jalannya, membuat Zayn menghentikan motor. Dari plat nomornya, dia sudah tahu siapa pemiliknya. Tak lama seorang bodyguard keluar untuk membukakan pintu. Seorang pria mapan pun turun dari mobil. Pakaiannya masih sama seperti yang dipakai di pesta.


Zayn menghela napas seraya melepas helm. Dia tahu ayahnya akan memarahinya sekarang. Bagaimana pun juga, Zayn sadar sudah mempermalukan nama ayahnya di depan tamu-tamu. Louis berjalan perlahan menghampirnya. Matanya seolah menunjukkan kalau ia sangat murka.


Tanpa peringatan, Louis menampar Zayn.


Zayn hanya menelan ludah tanpa membalikkan kepalanya lagi. Rahangnya mengeras dan degup jantungnya menjadi lebih cepat. Zayn tidak menyangka untuk pertama kalinya, ayahnya berani melakukan ini. Meski begitu dia tidak terlalu kaget.


"Anak bodoh, tidak tahu berterima kasih!" Bentaknya. "Apa yang kau lakukan sungguh keterlaluan. Kau baru saja merusak persahabatan ayah dengan keluarga Julian. Kau juga tahu kalau sejak dulu ayah dan keluarga mereka menjalin hubungan kerjasama yang sangat baik. Lalu kau hancurkan begitu saja di acara ini, di acara yang diliput banyak media! Apa kau sudah gila?!"


Zayn sekali lagi menelan ludah. Dia berusaha menerima bentakan ayahnya. Zayn merasa dia memang pantas mendapatkan itu. Karena dia memang gila, heartbreaker gila, "Aku minta maaf.." Ucapnya pelan.


"Kau pikir maaf bisa menyelesaikan semuanya? Bahkan kata 'maaf' tidak bisa mengembalikan gelas yang pecah." Louis menendang ban motor Zayn karena emosi. "Apa gunanya kau membawa lari Arianne saat Harry sedang melamarnya? Kau pikir kau siapa? Pacarnya?!"


Zayn lantas menunduk. Dalam hati, ia membenarkan perkataan ayahnya. Dia bukan siapa-siapanya Ari. Dan tidak ada gunanya juga kalau ia membawa lari Ari hanya untuk menghancurkan hatinya. Zayn rasa, Ari akan lebih senang bertunangan dengan Harry dibanding mendengar semua yang ia katakan. "Aku.. minta maaf, ayah."


"Jangan minta maaf padaku. Minta maaf kepada Liam, Harry, dan Arianne. Terutama Arianne. Mungkin kau harus bersujud padanya di depan media," Ya, Zayn akan lakukan itu jika perlu. Yang jadi permasalahan, Ari bahkan tidak mau melihatnya sekarang. "Kau sangat bodoh. Tidak pernah berpikir sebelum bertindak. Ini sudah kesekian kalinya. Apa kau bahkan tidak memiliki otak sejak ibumu melahirkanmu?! Hah?!"


Mata Zayn membelalak mendengar kalimat terakhir. Dia tidak percaya lagi-lagi ayahnya mengungkit soal ibunya.


Louis menghela napas berat, memutar balik badannya untuk kembali ke dalam mobil, "Cepat naik. Biar Preston yang membawa pulang motormu." Katanya, menginstruksikan bodyguardnya untuk mengambil alih motor Ducati Zayn.


"Jangan sekali-kali kau mengungkit ibu." Ucapnya dengan nada gemetar, menghentikan Louis masuk ke mobil. "Kau boleh mengungkit kesalahan dan semua kebodohanku dulu, tapi tidak dengan ibu. Dan jika kau mengatakan aku tidak pernah berpikir sebelum bertindak, ayah sangat salah. Aku terlalu banyak berpikir sampai akhirnya menyerah dan terpaksa bertindak. Ku pikir ayah yang tidak berpikir dulu menyalahkan seseorang." Ia berkali-kali menghela napas untuk meredam emosi. "Aku benar-benar tidak bisa berada satu mobil denganmu. Jika kau ingin membawaku ke suatu tempat, aku akan mengikuti dari belakang." Zayn memakai helmnya lagi dan menyalakan mesin motor.


Sementara Louis masih diam mematung di tempat setelah mendengar ucapannya. Ini seperti skak mat baginya. Dia setuju untuk tidak membahas soal ibu Zayn lagi, karena dia tidak sengaja mengatakannya tadi. Lamunannya buyar ketika Zayn mengegas motornya kencang, menunggu Louis untuk jalan. Louis masuk ke dalam, memerintahkan sopirnya untuk kembali jalan.


Sementara itu, Ari dan Harry tidak berhenti di parkiran atau pintu utama rumah sakit, tapi diarahkan ke pintu belakang karena pintu utama dan sisi pintu lainnya sudah dikepung media. Ari cepat-cepat turun dari motor dan bergegas menarik tangan Harry ke dalam. Ari ingin cepat-cepat melihat keadaan Liam. Kalau si pelaku seperti dugaannya ada di sana juga, dia tidak akan ragu-ragu untuk menghajarnya. Ari yakin hanya dia atau yang satu lagi yang melakukan ini.


Ari menekan tombol lift dengan tidak sabar. Ketika pintu terbuka, kebetulan sekali lift-nya kosong. Ia menarik tangan Harry untuk masuk dan menutup pintu lift, menekan nomor lantai sembarangan. Mulutnya bergumam-gumam tidak jelas karena emosi.


"Hey, apa perlu aku racuni Liam juga supaya kau menggandengku lagi?" Ari tidak mengerti maksudnya, tapi ketika dia melihat tangan mereka masih bertaut, Ari cepat-cepat melepaskannya. "Cih, dasar munafik. Aku tahu kau masih ingin menggandeng tanganku."


"Jangan main-main denganku, Styles. Beri tahu saja di kamar mana Liam berada." Ia memalingkan wajahnya dari Harry.


"Apa maksudmu di kamar mana? Tentu saja di ruang UGD sekarang." Harry memasukkan kedua tangannya di saku blazer. Dia sudah berada di tiga tempat berbeda hanya dalam satu malam dengan pakaian yang sama, Ari juga. "Untuk apa kita repot-repot naik lift padahal ruang UGD di lantai satu? Tiap pasien yang datang pasti sudah mati di jalan kalau ruang UGD ada di lantai 15." Ujarnya terang-terangan.


Ari membelalakan matanya pada Harry. Jadi dia hanya membuang-buang waktu saja naik lift, "Kenapa kau tidak bilang? Kalau Liam sudah mati sekarang, aku belum sempat mendengarkan kata terakhirnya!" Ia mendengus, lalu menekan tombol lantai satu.


"Aku tadi sedang menikmati gandenganmu. Lagipula jangan salahkan aku!" Serunya tidak terima, sedikit mendorong bahu Ari dari belakang. "Salahmu tidak mengaktifkan ponsel!"


Ari merengut sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada. Dia juga sedikit menyesal membanting ponselnya sampai rusak. Kalau tidak karena kesal dengan perkataan Zayn, "Argh, sudah lah, jangan bicara padaku lagi!" Pertunangan mereka baru saja gagal, tapi Harry masih sempat mengambil kesempatan. Dia kembali memalingkan wajah. Ari sedang tidak dalam mood bagus untuk berdebat.



Pikirannya sedang bercabang-cabang. Mulai dari Liam sampai apa yang akan dikatakan orang banyak nanti.



'Tragedi Pertunangan Harry Styles dan Arianne Julian.'



Dia tidak akan siap fotonya terpampang besar-besar di sampul majalah. Figurnya sudah terlanjur jelek berkali-kali di mata para fans (atau haters, mungkin lebih tepatnya). Ari tidak ingin menyalahkan orang lain, dia akan berusaha memperbaiki figurnya di mata mereka. Entah bisa atau tidak.



"Jadi tidak mendengarkan kata terakhir Liam?" Harry tiba-tiba saja sudah ada di hadapannya. Pintu lift sudah terbuka ternyata.



Ari melangkah keluar, dia mengikutinya berjalan ke arah kanan. Di ruang tunggu sudah ramai. Mungkin giliran Ari yang masuk ke UGD, tidak percaya melihat banyak orang terkenal dan orang penting yang memenuhi ruang tunggu. Matanya menangkap sosok Sophia di bangku paling belakang. Beberapa orang sedang menemaninya bicara untuk menenangkannya. Dan rasanya Ari ingin muntah melihat pemandangan itu.



Ari tidak duduk, dia lantas berjalan ke depan ruang UGD. Ada celah sedikit di antara gorden. Ari bisa lihat Liam sedang ditangani serius. Suara Liam sendiri terdengar samar-samar sedang kesakitan. Tidak lama, suara itu pun hilang karena disuntik bius.



Ari menggigit bibir bawahnya keras-keras. Walaupun Liam sering membuatnya kesal, bagaimana pun juga dia tetap kakaknya. Dia adalah keluarganya. Dan Ari tidak suka siapapun menyakiti keluarganya. Setelah melihat itu, darahnya langsung naik ke ubun-ubun. Tangannya terkepal, kembali ke ruang tunggu.



Matanya menatap garang ke seseorang di kursi belakang. Seorang wanita yang memalsukan tangisan tidak menyadari sama sekali kalau Ari sedang berjalan ke arahnya.



"SOPHIA!!"



Suaranya sampai menggema. Perhatian mereka semua teralih pada Ari, termasuk Sophia sendiri. Bukan seperti gadis lainnya yang langsung menarik-narik rambut, Ari justru menghajar wajahnya seperti berhadapan dengan laki-laki. Menurutnya itu lebih pantas Sophia dapatkan dibanding sekedar menarik rambut. Tentu saja orang-orang di sekitarnya langsung menengahi.



"What was that for?!" Sophia kelihatan kaget dengan pukulan itu.



"Kau gila, hah? Kau masih berani bertanya setelah apa yang kau lakukan pada Liam?!" Ari memberontak dari orang-orang yang memeganginya.



"Aku tidak mengerti apa maksudmu?" Sophia mengernyitkan dahi. Tangannya masih memegang bagian yang dipukul Ari.



"Jangan pura-pura bodoh disaat otakmu sudah lebih kecil dari sepatumu!!" Jeritnya geram. Tangannya sangat gatal ingin mencabik-cabik wajah Sophia. "Jadi ini maksudmu, hah? Saat kau menyuruhku memilih kunci atau Liam? Beraninya kau! Dasar jalang!" Ari berusaha untuk maju meraihnya.


"Excuse me?!" Sophia sekarang ikut emosi. "Atas dasar apa kau menuduhku meracuni Liam? Apa kau punya bukti yang jelas?"



Ari mengulum senyum tipis mendengar itu, "Kapan aku bilang kau meracuni Liam? Aku bilang kau melakukan sesuatu pada Liam, bukan berarti meracuninya." Sophia terdiam. Dia seperti terperangkap omongannya sendiri. "Lihat? Sudahlah, cepat mengaku! Semua orang di sini pun tahu kalau kau dan Vin adalah musuh bebuyutan Liam dan ayah!" Sophia masih diam mematung. Dia bisa merasakan semua orang melihatnya seolah membenarkan itu. Ia menelan ludah. "Kau tidak bisa mengatakan apapun lagi karena itu-memang-benar."



"Dan kau tidak bisa menuduh orang sembarangan karena itu-belum-tentu. Kau ini hanya anak buangan yang baru datang kemarin. Tidak tahu apa-apa soal hubungan kami dengan Liam."



"Excuse you?!" Jeritnya semakin panas. "Anak buangan katamu? Anak buangan?! Kemari kau dasar jalang bersepatu Crocs!" Ari akhirnya bisa menerobos dan mencengkram baju Sophia. Lagi-lagi dia gagal menghajarnya karena Harry sudah menarik tangannya duluan dari belakang. Lelaki itu membawanya keluar dari ruang tunggu UGD. Dia tidak melepas pegangannya meskipun Ari memberontak.



Sophia mendengus seraya merapikan bagian bajunya yang berantakan, "Kau memang anak buangan! And it's Fendi, you rubbish!"



Hanya itu yang terakhir Ari dengar dari Sophia. Harry menggenggam tangannya sangat kencang, jadi Ari tidak bisa lepas dan kembali ke sana. Harry sendiri kelihatan tidak suka dengan apa yang baru saja Ari lakukan. Dalam sekali ayunan, ia mendorong Ari untuk duduk di bangku ruang tunggu kosong tersebut, kemudian duduk di sebelahnya.



"Dasar konyol! Kau pikir tadi itu tidak memalukan?"



"Dia mencoba membunuh Liam lalu menghinaku. Kenapa aku harus malu?" Jawabnya tidak terima.



"Kau juga menghinanya."



"Dia pantas mendapatkannya!"



"Kau pikir yang dia katakan itu tidak benar?" Harry cepat-cepat mulutnya dengan tangan begitu sadar apa yang ia katakan. Sedangkan Ari menatapnya dengan tatapan mematikan. "Pokoknya yang kau lakukan sangat kekanak-kanakan. Bagaimana kalau ada paparazzi menyelinap? Menyamar sebagai salah satu dari mereka? Atau mereka membocorkannya ke media? Kau tidak pernah tahu siapa serigala berbulu domba di dekatmu."



"Argh, menyebalkan!"



Ari menyilangkan tangannya di depan dada. Ia meniup beberapa helai rambut yang menutupi mata, kemudian mendengus kesal. Menurutnya, apa yang dia lakukan selalu salah di mata orang. Dan alasannya selalu sama. Paparazzi. Liam, Paul, Zayn, dan Harry, semua mengkhawatirkan figurnya jelek di mata publik di saat figurnya sudah berkali-kali jelek di mata publik. Ari lebih suka hidupnya yang dulu, dia bisa bebas melakukan apa saja tanpa harus mengkhawatirkan itu.



"Dan bertengkar di rumah sakit itu tidak baik. Menganggu pasien lain. Sangat kekanak-kanakan," Harry berdeham canggung seraya meliriknya sekilas, "Mengingatkanku pada seseorang." Ia kemudian bersandar pada bangku mengikuti posisi Ari.



"Siapa?"



"You don't need to know."



"Kalau begitu tidak usah bilang." Untuk yang kedua kalinya, Ari memalingkan muka dari Harry. Ari ingin sekali kembali ke sana untuk menghajar Sophia. Tapi suasana sunyi seperti ini sudah membuatnya sedikit lebih baik. Akan lebih baik lagi jika orang di sebelahnya pergi.


Harry celingak celinguk menyadari benar-benar hanya mereka berdua yang di sini. Sesuatu menangkap perhatiannya di ambang ruang tunggu. Harry melepas blazernya, mengagetkan Ari dengan menyampirkan itu padanya, "Aku baru sadar kau masih pakai gaun. Pakai blazerku, biar hangat."


"Kau ini mengagetkanku!"


"Oh, begitu. Ya, sudah maaf." Harry mengedikkan kedua bahunya. "Tapi, coba kau pikirkan. Tunangan kita baru saja gagal, tapi kita masih sedekat ini. Apa ini memang sudah jalannya kau dan aku bersama?" Godanya sambil memainkan alis.


"Sudah jalannya, my butt." Ari mengernyit geli.


"Oh, ayolah, aku hanya ingin membuatmu tertawa!"


"Try me."


Harry menyipitkan sebelah mata memikirkan hal-hal lucu yang dia ketahui. Setidaknya dia punya satu, yang sepertinya lebih membuat Ari malu daripada tertawa. "Kau ingat tidak waktu celanamu robek di jalan dan kakimu ikut terkilir? Lalu Liam membawa pasukan-pasukan wanitanya untuk memijatmu?"


"Harry!!"


Ari memukul-mukul Harry karena mengingat kejadian memalukan itu lagi. Ari terlihat kesal, tapi Harry bisa melihat senyum tersembunyi di wajahnya. Kemudian, lelaki itu kembali melihat ke ambang ruang tunggu. Ia mengerlingkan sebelah matanya pada seseorang yang berdiri di sana. Dia sudah lama berada di sana.


Louis menghampiri Zayn yang sedang mematung. Zayn hanya memandangi mereka berdua dengan wajah datar. Dia tidak mau mengganggu, "Cepat minta maaf pada mereka." Perintahnya. Zayn sendiri kelihatan masih ragu, tapi akhirnya di memberanikan diri.


Harry kelihatan biasa saja melihatnya berjalan mendekat. Justru sengaja melingkarkan tangannya pada Ari. Sementara Ari kelihatan tidak suka. Ari langsung memalingkan wajahnya ke arah lain.


Zayn melihat mereka berdua secara bergantian. Mulutnya terbuka, tapi tidak mengucapkan sepatah kata pun. "A..a-ak..u..". Lidahnya mendadak kelu. Mungkin di sini lah harga dirinya jatuh. Zayn menghela napas untuk lebih mengontrol dirinya, "H-H..."


"Kau ini seperti tuna rungu belajar bicara." Sergah Harry.


Ari memutar kedua matanya, lantas pergi dari ruang tunggu. Dia ingin mencari tempat yang lebih sepi karena ketenangannya baru saja diganggu. Zayn menyusulnya. Dia melewati ayahnya begitu saja tanpa memedulikan perintahnya untuk minta maaf. Zayn berjalan agak jauh di belakang Ari. Zayn tidak menepuk pundaknya atau menyapanya. Dia hanya mengikuti Ari. Kalau gadis itu memperlambat jalannya, Zayn pun ikut memperlambat. Dan Louis memperhatikan itu dengan perasaan janggal.


Ari melirik ruang tunggu UGD yang masih ramai, meskipun beberapa orang yang dia kenal ada yang sudah pulang. Ari memilih berjalan terus ke tempat yang lebih sepi. Suara langkah kaki Zayn yang semakin terdengar mulai mengganggunya. Ari tidak bisa pura-pura tidak menganggapnya kali ini.


"Hey, sampai kapan kau mau meng--"


Belum selesai ia bicara, Zayn tiba-tiba menarik tangannya ke ruangan janitor gelap. Lelaki itu menutup pintu rapat-rapat sampai mereka berdua tidak bisa melihat apapun. Ari terhimpit di antara dinding dan Zayn karena ruangan ini memang sangat kecil.


"Kau ini apa-apaan?!" Ari mendorong dada Zayn agar menjauh. Napasnya jadi sesak sekarang. "Aku mau keluar."


"Tidak." Zayn menahan pintu dengan tangannya. "Aku ingin menjelaskan semuanya. Di sini." Ari mengerutkan alis dengan aneh meskipun Zayn tidak bisa melihat wajahnya. "Aku.. tidak bermaksud mengatakan itu. Aku sungguh-sungguh berteman denganmu."


Ari menyilangkan kedua tangannya di depan dada, "Kau pikir aku akan percaya?"


"Tolong, dengarkan aku dulu,"


"Tidak, bagaimana kalau kau yang mendengarkanku?"


Zayn menghela napas berat sebelum mengangguk, "Apa yang harus ku dengar?"


"Jadikan aku sanderamu."


Zayn mengerjap beberapa kali, "Apa?"



"Selama ini kau menyanderaku sebagai gadis pengganti untuk Harry. Aku tidak tahu itu, yang ku tahu, aku nyaman bersamamu, aku senang berada di dekatmu. Sampai semuanya terbongkar, rasanya tidak mungkin aku bisa menjauh darimu. Di situlah aku sadar kalau aku ingin menjadi sanderamu lagi. Menjadi sanderamu lebih baik daripada tidak sama sekali. Kurang dari satu malam aku menyadari kalau aku mengidap stockholm syndrome."


Zayn menggigit bibir bawahnya sendiri. Dia seolah kehabisan kata mendengar pengakuan tersebut. Belum pernah dia mendengar Ari berbicara seserius itu, Zayn bingung harus menjawab apa. Dalam situasi seperti ini, Zayn paling payah dalam merespon. Jadi biasanya ucapannya keluar begitu saja dan Zayn tidak ingin kembali mengulang kejadiannya dulu dengan Diana.


"Don't be silly. Ku rasa kau hanya terobsesi padaku.." Zayn menggigit setengah bibir bawahnya dengan grogi.


Sekarang giliran Ari yang mengerjapkan mata, "Apa?"


"Ya, obsesi." Zayn mengangguk. "Tidak usah melebih-lebihkan seperti itu karena kau hanya terobsesi padaku. Kau hanya tidak bisa berhenti memikirkanku karena aku Prince Charming-mu di pesta dansa. Kan?"


"Aku tidak tahu sedang berhadapan dengan Joe atau Zayn, tapi fakta menyedihkan yang baru ku ketahui, kalian berdua sama-sama bajingan." Ari membuka pintu janitor, kemudian keluar dan menutupnya lagi.


Zayn lagi-lagi mengigit bibir bawahnya. Dia benar-benar tidak tahu apa yang ia katakan. "Ya, aku memang Prince Charming-mu di pesta dansa, tapi kalau kau mau aku menjadi penyanderamu... aku bersedia."


Tangannya mengacak-acak rambut dengan frustasi. "ASTAGA, KENAPA RASANYA SUSAH SEKALI MENGATAKAN ITU SAJA?!"









-bersambung-



Jangan lupa baca: BAD BLOOD <3

Maaf ya lama, authornya tidur mulu-,-maaf juga kalo chapter ini rada tidak danta-_- anyway makasih yang udah baca previous chapter {}

Mau nanya lagi huaha macam dora aja. Ada quote yang kalian suka ga di cerita ini? Kalo ada yang mana?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top