XXXIX - The Loved Ones

Jangan lupa ya, nama Zayn itu 'Joe' juga.
***


Ari langsung berlari masuk begitu turun dari mobil. Ia cepat-cepat kembali ke rumah sakit ketika mendapat kabar kalau Liam sudah siuman. Kevin yang berjaga di depan pintu kamar Liam bersama pengawal lain menyadari kedatangannya yang tergesa-gesa. Langkah Ari melambat begitu Kevin menghampirinya dan berjalan berdampingan menuju pintu kamar.


"Apa kau serius Liam sudah bangun?" Tanyanya dengan napas yang masih memburu.


"Iya, baru saja. Dokter sedang memeriksanya sekarang." Jawabnya. "Tuan Liam sudah menunggu nona." Kevin meraih kenop pintu, membukakan pintu untuknya.


Seorang pria muda duduk bersandar di tempat tidurnya. Wajahnya yang tadi masih terlihat lemas berubah sumringah ketika melihat Ari di ambang pintu. Dia sudah menunggu-nunggu kedatangan adiknya.


Senyum Ari melebar melihat keadaan Liam yang sudah membaik. Dia bergegas berlari ke arahnya, dengan refleks mendorong dokter yang sedang memeriksa keadaan Liam, naik ke tempat tidur, dan memeluknya erat-erat seperti singa yang menikam mangsanya. Dia sangat senang Liam sudah siuman. Setidaknya Ari tenang Liam tidak jadi mati, dan dia tidak akan kesepian lagi. Ari berharap Liam bisa cepat pulang supaya dia tidak lagi menunggunya sambil mengobrol dengan Kevin yang membosankan atau dengan rekan-rekan Liam yang datang menjenguk. Oh, tapi tetap saja Ari akan melakukan pembalasan pada Sophia.


"Kau tidak jadi mati, Liam!" Ari mengeratkan pelukannya. "Harry bilang kau akan mati, tapi aku--"


"Dia bilang begitu?!" Ari mengangguk. "Oh, kalau begitu dia yang akan mati di tanganku nanti." Ujarnya dengan tangan terkepal.


"Bagaimana kalau aku saja yang mati?!"


Keduanya melongo ke sumber suara.


Ternyata itu hanya sang dokter--yang Ari dorong sampai terjungkal ke bawah tempat tidur. Ari terkesiap melihat sang dokter sudah dalam posisi yang tidak mengenakkan. Sungguh, Ari tidak sadar kalau ia sempat mendorong dokter tua itu. Dokter itu merengut kesal dengan tatapan membunuh. Ari cepat-cepat turun dari tempat tidur untuk membantunya bangun, tapi dokter menolak bantuannya, dan bangun dengan sendirinya sebelum pergi.


"Dokter itu punya dendam tersendiri padamu sekarang," Liam menaikkan sebelah alisnya, sedangkan Ari hanya tertawa, mengedikkan bahu dengan enteng. "Jadi selama berminggu-minggu aku belum siuman, kau masih Arianne yang menyebalkan juga?"


"Hanya empat hari, Liam. Jangan berlebihan. Ku kira itu cukup cepat untuk korban keracunan sepertimu.... or not?" Ari menarik bangku untuk duduk di samping Liam. "Jadi, cerita padaku. Kau mengalami perjalanan spiritual seperti apa?" Ia bertopang dagu dengan raut antusias.


"Perjalanan spiritual apa?" Liam mengerutkan dahi tak mengerti.


"Iya, aku sering lihat di televisi. Kalau kau berhari-hari tidak bangun, kau mungkin sedang mengalami semacam... perjalanan spiritual?"


"Maksudmu mati suri? Kau ini benar-benar ingin aku mati, ya?!" Serunya naik darah, menatapnya dari atas sampai bawah.


"Apa?! Tidak! Bukan begitu!"


"Ari, aku ini hanya... tidak sadar. Aku tidak koma, apalagi mati suri!"


"Tapi kau itu sempat kritis, tahu!"


"Ya.. mana aku tahu!" Liam mengedikkan kedua bahunya.


"Jadi kau bahkan tidak koma? Kalau begitu percuma aku mengajakmu mengobrol selama ini? Jadi kau tidak dengar apa-apa?!"


Liam menggeleng cepat, kemudian berdecak, "Sudahlah, kalau aku masih punya adik bodoh sepertimu, lebih baik aku kembali tidur. Aku bisa gila!" Liam hendak menarik selimut, tapi Ari cepat menahan. Ari tidak akan membiarkan Liam tidur lagi. Setidaknya sekarang dia punya teman untuk mengobrol, bukan dia mengobrol sendiri dengan Liam yang diam saja.


"Baiklah, baiklah. Kita bahas yang lain saja, oke?"


"Aku lapar," Ucap Liam tiba-tiba. "Kemarikan tray makananku."


"Ada tepat di sampingmu, kau bisa meraihnya sendiri."


"Aku sedang sakit. Kalau aku terlalu lelah, aku akan lebih lama tinggal di rumah sakit." Liam melipat kedua tangannya di depan dada dengan memasang raut wajah licik. Ari menurut saja, dengan setengah hati menarik tray makanan ke Liam agar lebih dekat. "Buka plastiknya." Perintah Liam.


"Kau bisa melakukannya sendiri."


"Tapi aku ini sedang sakit."


"Tapi kau bisa melakukan--"


"Tapi aku ini sedang sakit." Potongnya dengan nada yang ditekankan. Ari mendelik padanya, mau tidak mau menurut lagi. "Oh iya, supnya jangan lupa dituang ke nasi. Tambahkan juga air minumku."


"Kau tahu, kan," Ujar Ari, berjalan pergi untuk menambahkan air yang terletak di sudut kamar, "Kalau kau tidak sakit, aku mungkin saja sudah menyirammu dengan air ini. Dasar menyusahkan." Ari kembali dengan segelas penuh air, menyerahkannya pada Liam, kemudian kembali duduk.


Liam tidak menghiraukan, dia sibuk melahap makanannya--Ari sudah berjaga-jaga kalau Liam akan memuntahkan makanannya seperti Harry, tapi tidak terjadi. Mungkin makanan di rumah sakit ini lebih enak dibanding rumah sakit tempat Harry dirawat.


Omong-omong, lelaki itu belum menghubunginya lagi sejak pengakuannya semalam. Ari berpikir kalau Harry marah karena dia langsung menutup telepon begitu saja--itu semua salah Zayn. Ari ingin menelponnya duluan, tapi rasanya akan sangat aneh, tentu saja dia tidak pernah menghubunginya duluan.


Semuanya terjadi sangat cepat. Pertungannya dengan Harry batal, mereka berbaikan, dan sekarang sudah berubah lagi menjadi canggung. Ari terkekeh dalam hati. Rasanya sangat lucu membayangkan dirinya dan Harry bersikap canggung satu sama lain. Itu sangat tidak biasa.


"Kau tahu," Liam menghela napas. "Aku tetap akan membuat perhitungan denganmu nanti," Ujar Liam, "Atas pertunanganmu yang gagal." Seolah ia bisa membaca pikiran Ari saat ini.


"Oh, jadi kau tidak marah soal itu?"


Ari terlonjak kaget begitu Liam menggebrakkan sendoknya di atas tray. "Siapa bilang aku tidak marah?! Kau membuatku malu dengan cara kabur yang murahan seperti itu!"

"Excuse me, itu bukan salahku, karena aku hanya ditarik ke luar!" Serunya tak mau kalah. Itu memang benar, dia tiba-tiba ditarik keluar dan dibawa kabur dari pertunangannya sendiri. Meskipun, dia juga mengharapkan Zayn untuk datang dan membawanya pergi.


"Terus saja mencari alibi seperti itu." Lelaki itu mengetok sendoknya ke kepala Ari. Sebenarnya dia sedang malas berdebat karena baru siuman, jadi ia memilih untuk melewatkan alasan tersebut.


Liam kembali melahap makanannya. Ia tidak suka makanan rumah sakit, tapi tidak ada yang lain selain ini. Mau tidak mau dia tetap harus memakannya, kan?


Arianne menopang dagunya dengan tangan di atas ranjang. Ia memperhatikan Liam makan sambil tersenyum-senyum, seolah yang dia lihat saat ini adalah peliharaan lucu yang sedang lahap memakan makanannya. Oke, mungkin sedikit keterlaluan jika saat ini ia menyamakan kakak tirinya yang baru sadar dengan seekor peliharaan, tapi dia serius menatapnya dengan berbinar-binar.


Liam awalnya tidak menyadari itu, saat ia mengangkat kepalanya dari sup, ia mengernyit heran, "Kenapa kau melihatku seperti itu?"


"Aku hanya.. senang," jawabnya jujur. "Persetan dengan pertunangan yang gagal, persetan dengan perhitunganmu denganku nanti, melihatmu sudah bangun dalam keadaan baik-baik saja sudah lebih dari cukup untukku."


Itu benar. Ari tidak sedang berbohong, ia benar-benar lega melihat keadaan Liam yang sudah baik-baik saja. Ia merasa bisa mati kapan saja jika waktu itu dokter mengatakan nyawanya tidak tertolong. Dia juga tidak akan memaafkan Sophia yang sudah lancang macam-macam dengan nyawa kakaknya, bahkan juga Harry yang dulu selalu menyusahkan Liam saat ia baru pindah ke label ayahnya. Bagaimana pun, Liam adalah keluarganya. Satu-satunya keluarga yang ia miliki. Ia sudah kehilangan ibu dan tidak pernah mengenal sosok ayahnya yang sekarang juga sudah tiada. Ari tidak mau kehilangan Liam.


"Hey, kau menangis?" Liam mengusap air mata yang turun di pipi gadis itu.


Arianne bahkan tidak sadar bahwa air matanya mengalir begitu saja. Jika ia bisa kembali ke saat pertemuan pertamanya dengan Liam, ia tidak akan pernah menyangka jika suatu hari ia akan menangisi dan tidak ingin kehilangan lelaki arogan, sombong, dan pemaksa seperti kakak tirinya ini, jika suatu hari ia akan menganggap lelaki ini sebagai keluarganya dan menyayanginya dengan sungguh-sungguh.


Ari tersenyum sembari menyeka air mata yang terus mengalir. "Aduh, kenapa debu di rumah sakit ini banyak sekali, ya? Ha.. ha.." Tangannya terus mengusap kedua matanya.


Sementara Liam tidak menganggapnya lucu. Ia tidak tahu kalau adiknya itu ternyata sangat mengkhawatirkan keadaannya selama 4 hari ini.


Ari menghela napas untuk menenangkan dirinya seraya membenarkan posisi duduk. Ia tidak lagi mengusap matanya. Ia tidak peduli dengan air mata yang turun.


"Liam," ujarnya. "Kau adalah kakak yang menyebalkan dan jahat terhadap adik tirimu. Seumur hidup aku tidak pernah menyangka akan hidup seperti Cinderella seperti ini. Aku sudah membencimu dari awal kau menginjakkan kaki di rumah lamaku. Kau memberiku kamar yang tidak layak, memanggilku sebutan 'orphan', dan menganggapku seperti pesuruh yang bisa seenaknya dipaksa bertunangan dengan seorang artis besar. Tanpa memikirkan perasaan dan pendapatku, kau mendorongku ke bawah spotlight, membiarkanku menjadi konsumsi publik. Aku akui, aku pernah menangis karena semua itu."


Ari lagi-lagi menghela napas, sementara Liam terdiam. Saat ini ia baru menyadari bahwa dirinya sudah sangat keterlaluan. Ia tidak pernah memikirkan dampak buruknya bagi Ari. Siapapun yang ada di posisi gadis itu sudah pasti akan menangis karena tekanan, tapi bagaimana bisa tidak sekalipun terpikir olehnya bahwa Ari pernah menangisi semua itu?


"Tapi bagaimanapun juga, aku sangat berterima kasih padamu," Lanjutnya. "Aku sangat berterima kasih kau menjemputku dan membiarkanku tinggal denganmu. Berkatmu, aku bisa mengenal siapa ayah kandungku lebih dekat. Aku tidak tahu apakah ini terdengar konyol, tapi aku sangat berterima kasih karena kau sudah menjadi keluarga baruku. Setelah ibu meninggal, aku benar-benar merasa sendirian. Aku tidak punya siapa-siapa lagi hingga aku pernah berpikir untuk bunuh diri saja. Aku mempertimbangkannya 5 kali. Tapi kedatanganmu yang mengaku sebagai kakak tiriku seperti sebuah harapan bahwa aku masih mempunyai keluarga, bahwa masih ada orang yang akan menemaniku di dunia ini. Aku sangat ketakutan akan kehilanganmu juga dan melihatmu baik-baik saja sekarang seolah memberiku harapan untuk kedua kalinya."


Ari memeluk Liam erat dengan masih terisak.


"Jadi ku mohon, jangan pernah meninggalkanku dan membuatku khawatir lagi. Kau lah satu-satunya keluarga yang ku miliki, Liam."


Lelaki itu masih membeku membiarkan Ari memeluknya. Pengakuan itu terdengar asing di telinganya. Dan tidak, ini bukan alibi yang biasa Ari katakan, tapi sebuah pengakuan jujur yang ia tahu Ari mengatakannya dengan tulus.


Tak lama, sebelah tangan Liam bergerak membalas pelukan, sementara tangan satu lagi mengusap rambut adiknya.


"Dasar bodoh," Ia terkekeh. "Apa kau pikir kehadiranmu tidak berarti bagiku? Kau juga satu-satunya keluargaku. Satu-satunya orang yang mengkhawatirkan keadaanku semenjak ibuku dan ayahmu tiada. Semua yang menjenguk hanya karena rasa simpati, tapi hanya dirimu yang menangis dan mengkhawatirkanku seperti ini. Kau pikir keluarga Julian peduli denganku? Bahkan mereka dengan ayahmu sudah seperti rekan bisnis. Terima kasih sudah menyayangiku sebagai keluarga. Kau bahkan tidak mempermasalahkan harta warisan padahal kau berhak melakukannya. Aku minta maaf atas sikapku selama ini, Arianne."


Ari tersenyum, tangannya mengusap air matanya. Kini ia tidak hanya sekedar memiliki keluarga, ia kembali merasakan adanya keluarga.


***

Ia menyerahkan undangan pada penerima tamu sebelum diperbolehkan masuk. Acara ini memang privat karena dihadiri oleh banyak pejabat, pebisnis, dan orang penting lainnya.


Ballroom hotel didekorasi dengan dominan warna putih, sesuai dengan dresscode para tamu undangan yang berwarna cerah. Acara pernikahan ini menjadi terlihat elegan dan simple.


Para tamu undangan sudah duduk di kursi-kursi panjang yang disediakan. Mungkin dialah orang terakhir yang datang karena acara sudah dimulai.


Mempelai pria sudah menunggu hadirnya mempelai wanita di depan. Tak lama, pintu terbuka dan menampilkan sang mempelai wanita bersama ayahnya. Para tamu sempat terkagum melihat paras mempelai wanita yang berbeda. Riasannya membuat wajahnya lebih cantik lagi. Ya, sangat cantik.


Elizabeth Swan menyadari kehadiran Zayn yang duduk di bangku baris ke empat. Ia sedikit melambaikan buket bunga kepadanya. Zayn membalas dengan anggukan.


Tentu saja dia sangat cantik, seperti Diana, batinnya.


Hari ini adalah hari pernikahan Elizabeth Swan, kakak Diana. Ia sudah berjanji akan mengundang Zayn. Kakaknya itu memang selalu baik padanya walaupun ia pernah mengecewakan adiknya.


Zayn datang seorang diri. Ia tahu tidak akan pantas jika dirinya membawa perempuan lain ke hadapan Elizabeth dan keluarga Swan.


Elizabeth mengucapkan ikrarnya di depan pendeta. Zayn perhatikan, Elizabeth tidak henti-hentinya tersenyum. Apakah menikah sebahagia itu?, setidaknya jika sang pengantin tersenyum, para undangan ikut merasa senang.


Pasangan suami-istri yang baru saja mengucapkan ikrarnya sekarang berciuman. Saat itu Zayn ikut bertepuk tangan dengan tamu lainnya.


Tamu-tamu sudah mulai berpencar ke sisi ruangan lain, sebagian berhambur ke arah pasangan baru agar mendapat buket bunga yang akan dilempar. Zayn mendekati kerumunan tersebut. Tidak, dia tidak tertarik untuk berebut buket bunga—lagipula siapa yang mau menikah sekarang—tapi ia ingin mengucapkan selamat kepada Elizabeth atas pernikahannya dan berterima kasih sudah mengundangnya.


Elizabeth kembali menyadarinya yang berjalan mendekat, ia mengisyaratkannya untuk bergabung ke tengah, bukan di paling belakang, "Kemarilah!"



Zayn tersenyum dan menggeleng, "Aku tidak ikutan."


Namun Elizabeth tersenyum licik. Ia memutar badannya membelakangi mereka kemudian melempar buket bunga sejauh mungkin ke belakang—hingga benda itu tepat jatuh di tangkapan Zayn.


Zayn membelalakkan matanya dengan masih terdiam. Ia merasa kebingungan sendiri mengapa buket bunga itu bisa pas jatuh kepadanya. Ia melihat ke sekelilingnya dan perhatian para undangan sekarang adalah dirinya. Mereka pun bersorak dan bertepuk tangan sebagai ucapan selamat bahwa ia akan segera bertemu jodohnya dan menikah—begitu mitos yang ia tahu. Yah, mau tidak mau Zayn tersenyum dan berterima kasih atas itu.


"Ah, selamat, ya! Sepertinya kau akan menyusul sebentar lagi." Elizabeth menghampirinya bersama suami barunya. "Ah, kenalkan, ini Andrew. Andrew, ini Joe."


Mereka berdua berjabat tangan, "Nice to meet you. Selamat atas pernikahan kalian."


"Selamat juga atas buket bunganya. Jadi apa kau sudah ada calon?" tanya Andrew, Elizabeth juga terlihat antusias dengan jawabannya.


Mendengar pertanyaan itu, ia tertawa. "Aku belum ada rencana menikah. Ku rasa mitos itu baru saja dipatahkan olehku." Ia menatap buket bunga yang masih di tangannya. "Ku lihat tadi kau melemparnya jauh sekali, apa kau sengaja?"


"Oh, benarkah? Haha," Elizabeth tertawa canggung karena tertangkap basah. "Tapi tentu saja kau pasti akan menikah, kan, cepat atau lambat?"


Zayn terkekeh. Senang rasanya ia masih bisa berhubungan baik dengan Elizabeth seperti ini. Wanita itu pun tetap sebaik yang ia kenal dulu. Sebenarnya ia tidak terlalu dekat dengannya dulu, tapi Elizabeth selalu ramah dan akrab padanya, seperti teman. Ia pun juga dapat mengontrol emosi atas kematian adiknya.


"Elizabeth, kau mengundangnya?"


Perhatian mereka teralih pada seseorang di belakang Zayn. Seorang wanita di usia sekitar 50 tahun sedang menatap tak percaya kepada Zayn. Kehadiran wanita itu membuat Elizabeth gelagapan, "Be-begini.."


"Aku tanya, apa kau yang mengundang dia kesini?"


Ah, sial. Dia lupa kalau Zayn tidak boleh sampai bertemu dengan ibunya.


"Kau benar-benar mengundang seorang pembunuh ke pernikahanmu?!" Mrs.Swan mendorong tubuh Zayn dengan kencang, meskipun itu hanya membuatnya mundur satu langkah. Ia berseru benar-benar marah sampai menjadi pusat perhatian para undangan. "Untuk apa kau mengundang dia?!"


"Ma'am, aku—"


Tanpa memberi Zayn kesempatan untuk bicara, Mrs.Swan langsung menampar pipinya keras. Elizabeth terkesiap, juga para undangan terlihat kaget. Acara ini baik-baik saja sampai Mrs.Swan menyadari kehadiran Zayn.


"Berani-beraninya kau muncul ke hadapan keluarga kami lagi!!" Mrs.Swan kembali menampar pipi lainnya—jauh lebih keras. "Aku sudah memperingatkanmu dulu untuk tidak muncul ke hadapan kami!!" Wanita tua itu mulai menangis. Ia benar-benar tidak mengira akan bertemu dengannya lagi. Ia sudah menerima keadaan dan hidup dengan tenang selama ini.


"Ibu, aku yang mengundangnya. Jadi tolong salahkan aku!" Elizabeth berusaha menenangkan ibunya meskipun ia tahu itu akan sia-sia.


Ibunya tidak menghiraukan perkataan anaknya, "Meskipun kau diundang, apa kau sudah tidak punya malu untuk datang?! Setelah kau mempermainkan Diana lalu membunuhnya? Dasar tidak punya hati!" Lagi, ia menamparnya dan Zayn hanya bisa diam. Ia akui tidak ada yang perlu dijelaskan lagi. Semuanya sudah jelas bahwa dialah penyebab kematian Diana.


Zayn menyentuh pipinya. Ini memang terasa sakit, tapi tidak sesakit perasaan seorang ibu yang ditinggalkan oleh anaknya, sama seperti Zayn yang kehilangan ibunya.


Namun tiba-tiba saja lelaki itu berlutut di hadapan Mrs.Swan. Ia berlutut dan hanya dapat menatap ke lantai ballroom. Ia terima jika saat ini Mrs.Swan menusuknya dari atas sekalipun, ia rasa ia pantas mendapatkannya.


"Tolong," ucapnya. "Tolong maafkan kesalahanku, ma'am. Tidak apa-apa jika ingin memukulku, menamparku lagi, atau membunuhku asal aku menerima maaf dari keluargamu. Aku... tidak punya penjelasan apapun lagi karena semua ini memang salahku. Aku tidak dapat mengatakan apapun lagi selain kata maaf. Jadi tolong, tolong dengan sangat, maafkan kesalahanku meskipun aku tahu aku tidak pantas untuk dimaafkan."


Mrs.Swan tetap tidak tersentuh dengan ucapannya. Ia tidak merasakan apapun sama sekali untuknya memaafkan Zayn, seolah pintu maaf sudah tertutup untuknya.


"Bangun." perintahnya pada Zayn.


"Aku tidak akan bangun sampai kau memaafkanku."


Hal itu terdengar konyol dan lucu di telinganya, "Apa kau pikir permintaan maafmu dapat membuat Diana kembali? Apa kau pikir dengan memaafkanmu kami merasa baik-baik saja?"


"Aku tidak tahu caranya, tapi aku akan menebus kesalahanku. Aku akan menebus kesalahanku sampai kalian memaafkan dan menerimaku lagi."


Mendengar hal itu justru tambah membuat Mrs.Swan murka. Apa ia tidak salah dengar? Zayn berharap agar keluarga Swan menerimanya lagi? Apa lelaki itu tidak sadar bahwa bahkan saat ini Zayn tidak diterima di acara ini olehnya?


"Kurang ajar, kau masih berharap agar diterima oleh kami?! Apa kau pantas berharap begitu?!"


Satu tamparan lagi untuknya. Zayn tetap pada pendiriannya untuk berlutut. Ia tidak peduli para undangan berpikiran negatif terhadapnya, ia sudah tidak peduli.


Hingga saat tangan Mrs.Swan kembali terangkat untuk pukulan kedua, sebuah tangan menahannya. Zayn yang sudah menunggu pukulan tersebut untuk mendarat di pipinya tapi tidak terjadi ikut mengangkat kepalanya.


Harry menahan tangan Mrs.Swan.


"Ini sudah cukup, ma'am." Ia berucap dengan nada serius.


Mrs.Swan tak berkutik di tempatnya. Apa-apaan dia menahan tangannya begini?


Harry menghela napas, "Ini sudah keterlaluan. Tolong jangan rusak acara anakmu sendiri, ma'am. Ini seharusnya menjadi hari bahagia Elizabeth."


Mrs.Swan menarik kembali tangannya. Ia menatap kembali Zayn yang saat ini juga sedang menatapnya dengan masih berlutut, kemudian menghela napas.


"Pergilah." ucapnya. "Pergi dan jangan muncul ke hadapan kami lagi. Ini peringatan kedua dariku. Kami tidak akan pernah menerimamu."


Mrs.Swan akhirnya pergi meninggalkan mereka, masih meninggalkan tanda tanya bagi para undangan yang melihat kejadian itu secara langsung.


Zayn akhirnya bangun. Ia melihat punggung Mrs.Swan yang semakin menjauh. Sepertinya kali ini, ia betul-betul harus pergi dan tidak muncul lagi ke hadapan keluarga Swan. Hanya dengan melihat kehadirannya, ia pikir ia sudah merusak kembali hidup mereka yang tenang.


"Joe," Elizabeth mengusap pundaknya. "Aku minta maaf atas sikap ibuku. Tidak seharusnya ibuku melihatmu di sini, aku seharusnya menjaganya tadi."


Zayn hanya tersenyum lemah, "Tidak apa-apa. Lagipula ibumu benar, tidak seharusnya aku datang kesini. Tapi terima kasih sudah mengundangku."


Ia berbalik dan perlahan berjalan keluar dari ballroom hotel. Dia harus segera pergi karena dia tidak pantas berada dalam acara keluarga Swan. Mrs.Swan benar, berani-beraninya ia datang ke acara ini. Yang seharusnya ia lakukan adalah menghindari keluarga Swan, bukan muncul ke hadapan mereka seperti ini.


Zayn duduk di sofa lobi hotel. Ia membuka kancing paling atas kemeja dan jasnya kemudian menyampirkannya di pundak. Ia belum mau pulang. Berdiam diri di kamar akan membuatnya memikirkan kejadian ini sepanjang hari.


"Tidak ada terima kasih?"


Suara seorang lelaki yang tadi menahan Mrs.Swan terdengar di sampingnya.


Harry, dengan kedua tangan berada di saku celana, berdiri di samping sofa menunggu ucapan terima kasih, tapi tidak terdengar juga. Ia akhirnya memutuskan untuk duduk di sampingnya, dengan jarak yang jauh, tentu saja.


"Bukankah kau seharusnya sedang di Amerika?" tanya Zayn dengan nada tak tertarik.


"Kau pikir aku tidak akan datang ke acara pernikahan kakak tunanganku sendiri?" Ia menjawab dengan nada sarkastik. "Tentu saja aku akan meluangkan waktu untuk mereka, meski jadwalku sesibuk penerbangan bandara Heathrow."


Zayn tidak mengatakan apapun lagi. Mereka hanya saling diam meski tidak sedang melakukan apa-apa. Zayn menatap ke pintu utama hotel, sementara Harry menatap ke arah lainnya. Harry melirik lelaki di sebelahnya, matanya berpindah ke buket bunga yang ada di tangan Zayn.


"Cih, jadi kau sangat ingin menikah, ya?" Ia menggeleng pelan.


Zayn bahkan tidak sadar ia masih memegang buket bunga yang tidak sengaja ia tangkap. Ia masih tidak ada rencana akan diapakan bunga tersebut, "Kalau kau mau, ambil saja ini. Aku tidak rencana untuk menikah." Ia mengulurkannya pada Harry, dan entah kenapa terasa konyol baginya.


"Daripada memberinya padaku, lebih baik kau berikan itu pada orang yang pantas." ujarnya asal.


Zayn menarik kembali tangannya. Ia masih tidak mengerti kenapa lelaki ini ada di sini, di sampingnya. Ia tidak kesini untuk menertawakannya, tapi hanya berdiam-diaman dengan canggung. Tidak ada dari mereka yang memulai topik yang relevan.


"Terima kasih."


Harry menoleh pada Zayn. Apa Zayn baru saja mengatakan terima kasih?


"Terima kasih sudah menolongku di dalam." lanjutnya. "Mrs.Swan mungkin akan benar-benar membunuhku jika kau tidak menahannya."


Harry tidak tahu harus menjawab ucapan terima kasih itu dengan apa, jadi ia hanya mengangguk kecil.


"Padahal kau seharusnya ikut marah sepertinya, kan? Tapi kau justru menahannya. Terserah kau masih marah padaku atau apa, tapi pertolonganmu tadi cukup berarti bagiku. Dan sekarang kau hanya ingin menemaniku yang sendiri, bukan? Jadi apapun niat baikmu itu, terima kasih." Ia akhirnya mengatakannya. Sepertinya sudah cukup lama sejak ia mengucapkan kata 'terima kasih' pada Harry. Mungkin saat mereka masih remaja.


"You know what? I've let go of the past." gumam Harry pelan, sangat pelan hingga ia tidak tahu Zayn dapat mendengarnya atau tidak.


Harry beranjak dari duduknya. Ia berjalan melewati Zayn untuk kembali ke ballroom hotel, namun setelah beberapa langkah di belakang Zayn, ia berhenti.


"Tentang ucapan Mrs.Swan, tolong jangan diambil hati." ujarnya, "Aku bisa pastikan mereka akan menerimamu lagi."


Harry kembali berjalan dan menghilang di pintu ballroom.


Zayn terdiam sejenak. Ia tidak mengerti apa maksudnya, tetapi ia tidak terlalu memikirkannya. Setelah beberapa lama, ia memutuskan untuk beranjak dan berjalan keluar dari gedung hotel menuju mobilnya untuk pergi ke tempat lain.


Sebenarnya ini adalah tempat terakhir yang ingin ia kunjungi seumur hidupnya. Ia masih tidak percaya dirinya telah menyetir jauh ke tempat ini. Bagaimana pun juga, ia harus mengunjunginya. Mungkin saat ini adalah waktu yang tepat untuk akhirnya ia datang kesini.


Ia sudah lewat 15 menit dan ia masih berada di dalam mobil Audi putihnya. Tangannya masih mencengkram setir mobil, sementara pandangannya kosong ke arah depan.


Lelaki itu menghela napas melihat buket bunga yang ia dapatkan ada di sebelah bangku kemudi. Meskipun masih tak yakin, ia membuka sabuk pengaman lalu keluar dengan membawa buket bunga tersebut.


Pakaiannya yang formal setelah datang ke pernikahan Elizabeth kontras dengan tempat yang ia datangi sekarang.


Dulu ia hanya dua kali datang ke sini, tapi ia masih ingat persis dimana tempat itu berada. Zayn berjalan melewati beberapa blok hingga sampai ke tempat yang ia tuju, tepat di bawah pohon rindang.


In loving memory of our friend and family,

Diana Alicia Swan.
1994- 2011.


Untuk yang pertama kalinya setelah sekian lama, ia kembali menemui Diana. Tentu bukan tanpa alasan ia memutuskan untuk datang kesini. Zayn merasa meminta maaf kepada keluarganya saja tidak cukup. Ia harus menyampaikan permintaan maafnya secara langsung meski sudah terlambat.


Lelaki itu tersenyum tipis, menaruh buket bunga yang ia bawa di atas makam gadis yang dulu sangat mencintainya. Sebuah buket bunga pernikahan, sesuatu yang Diana selalu inginkan darinya dulu. Diana remaja selalu bermimpi ingin menikah dengannya, meski ia sendiri tahu itu mustahil. Zayn selalu memberi hanya setangkai bunga, tetapi ia tetap menyukainya. Selama itu pemberian dari Zayn, ia masih ingat ucapan Diana.


"Dan aku membawakanmu buket bunga pernikahan asli kali ini," ucapnya dengan satu tangan menyentuh nisan. "Harry bilang aku seharusnya memberikan ini pada orang yang pantas, dan orang itu adalah dirimu." Zayn tersenyum seolah ia benar-benar sedang berhadapan dengan Diana, "Apa kabar, Diana?"


Tentu saja pertanyaan itu hanya dijawab oleh hembusan angin di pemakaman.


"Akhirnya kita bertemu lagi setelah sekian lama. Maaf aku baru bisa mengunjungimu. Ah, aku sudah bertambah dewasa, mungkin jika kau melihatku sekarang, kau akan lebih menyukaiku lagi."


Zayn dulu sering menggodanya dan Diana selalu tersipu malu dengan apapun yang ia katakan.


"Sebenarnya.." Lelaki itu mengusap tengkuknya. "Ada banyak sekali yang ingin aku katakan padamu. Tapi tentu saja kau sudah terlanjur pergi sebelum mendengarnya."


Mengingat bagaimana Diana menabrakkan diri ke jalan membuat hatinya sesak. Apalagi penyebab itu terjadi adalah dirinya. Dirinya remaja yang egois dan bodoh. Tidak mungkin hatinya tidak hancur mengingat semua kenangan buruk tersebut.


"Rupanya kau sangat amat mencintaiku, ya? Sampai kau rela mengorbankan nyawamu."


Zayn tersenyum lemah.


"Diana, aku masih ingat bagaimana kau selalu berada di sampingku setiap aku bertengkar dengan ayah; aku yang masih di bawah umur nekat mabuk-mabukkan dan entah kenapa selalu menelponmu kala itu. Kau akan selalu datang menolongku. Atau saat kau pertama kali mengunjungi Maldives; di sana, setelah melihat sunset, kita berciuman untuk pertama kalinya, bukan? Dan setelah itu kau justru meminta lebih. Bahkan saat statusmu adalah tunangan Harry, secara praktis justru kita lah yang sudah seperti pasangan. Kau berlari padaku saat orangtua kalian menekankan pertunangan di usia belia."


Dan saat itu Zayn menenangkannya seperti bagaimana Diana selalu melakukan itu padanya. Sungguh, itu pertama kalinya ia melihat Diana hancur, tetapi tidak lebih hancur dari hari ia menabrakkan diri ke jalan.


"Aku merasa nyaman denganmu. Terima kasih sudah mencintaiku sedalam itu," ucapnya sungguh-sungguh.


"Tapi maafkan aku karena aku tidak pernah mencintaimu meskipun sedikit."


"Aku menelponmu karena menganggapmu sebagai sahabat yang selalu dapat diandalkan, ciuman dan juga malam itu yang kau berikan tetap tidak membuatku merasakan apapun padamu. Aku tidak pernah bisa membalas cintamu dan aku sungguh meminta maaf akan itu, Diana."


Zayn mengusap wajahnya dengan kedua tangan agar air mata tidak mengalir turun ke pipinya. Ia merasa amat sangat bersalah telah membuat Diana seputus asa itu akan dirinya. Jika Diana ada di sini, meminta maaf dengan berlutut di hadapannya pun tidak akan pernah cukup.


"Aku tidak pernah bisa mencintaimu meskipun aku mencoba," ujarnya lagi, kini ia membiarkan satu tetes air mata jatuh ke tanah. "Tapi meskipun begitu, kehadiranmu sungguh berarti bagiku. Tidak mungkin aku lupa siapa yang memberiku ciuman pertamanya dan memberikan apa yang berharga bagimu. Tidak mungkin aku lupa siapa yang menghabiskan waktu bersamaku dan satu-satunya orang yang ku ajak ke rumah lamaku di Maldives. Itu semua adalah kau, Diana Swan."


Jika Diana tidak bisa mendengarnya dari atas sana, ia berharap Tuhan berbaik hati menyampaikannya kepada gadis itu. Ia benar-benar ingin Diana mendengarnya.


"Dan sekali lagi maafkan aku," Ia menghela napas berat. "... karena sekarang aku sudah mencintai orang lain."


-bersambung-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top