XXXIV - The Lost Boy

Tetap Zayn aja ya nulisnya walaupun di dialog 'Joe'

***

Nicole masuk ke kamar membawakan tumpukan pakaian beserta sepatu dan sebuah topeng. Ia menaruhnya di atas tempat tidur, di samping lelaki yang tengah duduk terdiam. Nicole berlutut di depannya untuk membuka tali yang mengikat tangannya. Lelaki itu tidak bergerak sama sekali ketika dibukakan.


"Joe, kau harus siap-siap untuk pesta malam ini." Ujarnya. Setelah tali terbuka sempurna, ia membuangnya sembarangan ke lantai, kemudian duduk di sebelahnya. "Bersiaplah." Nicole menyerahkan tumpukan pakaian yang akan dikenakan Zayn nanti.


Zayn menatap pakaian itu dengan tidak suka, melemparnya begitu saja dari tangan bibinya. Ia menggeleng keras menolak untuk ikut pesta ulang tahun ayahnya. Zayn tidak mau bertemu dengan orang-orang 'asing' yang sudah lama tidak melihatnya. Mereka berpikir kalau dia tinggal dengan keluarga ibunya, padahal nyatanya, ayahnya menyembunyikannya dari mereka. Ayahnya mengatakan itu untuk menutup rumor kabur.


"Joe, tolonglah." Nicole menggenggam kedua tangannya, "Aku tahu kau benci ini semua. Begitu juga aku, tidak tega melihatmu tertekan. Tapi ku mohon turuti dia sekali ini saja kalau kau tidak mau ayahmu mengikatmu lagi. Ya?" Nicole menggigit bibir bawahnya berharap Zayn mengangguk.


Zayn sendiri kelihatan mempertimbangkan permintaan Nicole. Nicole benar. Kalau Zayn tidak turun bergabung untuk berpesta, ayahnya tentu akan mengikatnya lagi agar dia tidak kabur. Jendela sudah dipasang teralis dan pintu kamarnya dijaga oleh penjaga. Setidaknya dengan ikut ke pesta, dia bisa bebas. Zayn akhirnya mengangguk dan memeluk Nicole, "I'm lucky to have you, auntie."


Zayn terpaksa memasang tawa di dekat ayahnya, Luke, dan Thomas. Senyumnya berganti menjadi raut aslinya ketika waktunya berdansa. Dia sama sekali tidak bisa tersenyum karena Zayn tidak suka berada di sana, di antara rekan-rekan ayahnya dan orang-orang asing. Tidak, sampai akhirnya mendapat giliran berdansa dengan seseorang yang tak diduga akan berada di pesta itu.

***


Ari melirik jam tangan yang dipakai Yasser. Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam, tapi dia masih ingin mendengar ceritanya lebih lanjut. Dari pertama kali bertemu, Zayn menurutnya sangat misterius dan membuatnya penasaran. Mungkin itu sebabnya Ari sampai berteman dengan Zayn karena ingin mengenalnya lebih jauh. Tapi ternyata, kehidupan Zayn jauh lebih dalam dari yang ia duga.


"Louis sangat mencintai Trisha, tapi dia tidak menyukai keluarga kami." Ujar Yasser, membuat dahi Ari sedikit mengernyit. Meski begitu, Ari memaksakan tersenyum untuk menenangkannya. Yasser sendiri paling benci kalau sudah mengingat hal itu. Karena satu masalah sederhana itu, keluarganya jadi kehilangan Trisha. "Padahal dia sangat baik selama tinggal dengan kami. Sebelum mereka menikah, Louis selalu membantu kebutuhan kami yang kurang untuk mengambil hati orangtuaku. Dia membayar pengobatan ayah kami sepenuhnya. Hidup kami menjadi cukup dan semakin sempurna ketika Zayn lahir. Trisha yang menamainya 'Zayn Malik'. Louis kelihatan setuju saja walaupun aku bisa lihat ada rasa tidak suka karena nama itu sangat ketimuran. Louis tetap tinggal dengan kami sampai Zayn berumur 6 tahun."


Ari tersenyum tipis membayangkan keluarga bahagia yang dimiliki Zayn waktu kecil. Setidaknya Zayn beruntung pernah memiliki keluarga lengkap, tidak seperti dirinya yang hanya memiliki ibu dan nenek waktu kecil. Berbeda dengannya, Yasser justru memasang raut kecewa.


"Sampai saat waktunya musim panas, dia pergi berlibur ke Inggris membawa Trisha dan Zayn. Tapi ternyata mereka tidak kembali. Louis mengatakan kalau mereka akan tinggal di Inggris mulai hari itu. Kami semua merasa lega mengetahuinya. Tapi sayang, dia menutupi keberadaan mereka dari kami. Kami tidak bisa berhubungan dengan Trisha lagi, sama sekali. Louis tidak pernah menjawab telepon dari ibuku. Ibuku bahkan sampai tidak mau makan kalau tidak berbicara dengan Trisha. Itu membuatku marah pada Louis. Dia tidak bisa seenaknya melarang kami bertemu dengan Trisha walaupun Trisha sudah bukan tanggung jawab kami lagi. Aku yakin ketika ayah dan ibuku meninggal, Trisha tidak mengetahuinya."


"Itu keterlaluan." Raut wajah Ari berubah kesal. Hatinya ikut panas mendengar cerita Yasser. Menurutnya, Louis sungguh keterlaluan menyembunyikan ibu Zayn dari keluarganya sendiri. Tidak heran kenapa Zayn memilih kabur dari ayahnya. Lelaki itu mungkin berlaku sama pada Zayn, terlalu mengekangnya.


"Jadi aku memutuskan untuk pergi ke Inggris menemui mereka. Dia memang orang terkenal, justru karena itu privasinya sangat dilindungi. Aku tidak tahu di mana mereka tinggal. Berkali-kali aku menelpon Louis, dia menjawab tapi langsung menutupnya lagi. Sampai akhirnya ada telepon masuk dari nomor Louis dan ternyata Zayn yang menelpon. Aku sendiri tidak percaya dia masih ingat keluarga ibunya setelah bertahun-tahun tidak bertemu. Aku makin kaget saat dia mengatakan ingin menemuiku di London. Ternyata Zayn kabur dari ayahnya."


"Ini rumahmu?" Tanya ayah Zayn begitu sampai. "Besar sekali." Seakan-akan rahang bawahnya hampir lepas.

"Ahah, terimakasih sudah mengantarku. Mampir?"

Ayah Zayn sedikit menjinjit dan mendongakan kepalanya. Menatap ke arah pintu rumah--karena kebetulan pintu gerbang terbuka lebar. Matanya tiba-tiba membelalak, Ari mengerutkan alis melihat ekspresi wajahnya.

"Tidak, terimakasih, Arianne. Aku harus segera pulang, ada pekerjaan yang belum selesai. Permisi!"

"Tapi-" Sebelum Ari menyelesaikan kata-katanya, ayah Zayn sudah pergi hanya dalam satu kedipan. Ari mengerutkan sudut mulutnya saat mengarahkan sorot mata pada apa yang ayah Zayn lihat. Ternyata hanya Liam. Ia memutar kedua matanya. "Hm.. tampaknya semua orang takut dengannya."

Liam masih memakai kaos oblong putih dan celana training abu-abu-yang menjadi favoritnya sebagai baju tidur. Rambutnya masih berantakan dan dia.... mengantar tamunya masuk ke mobil?! Berani sekali dia menerima tamu dengan wajah masih kusut, batin Ari.

"Besok kita bicarakan lagi saat makan siang. Terimakasih, pak" Ucap Liam ramah pada tamunya melalui jendela mobil yang setengah terbuka. Bahkan Liam tidak sadar kalau Ari sudah di sebelahnya.


Ari baru sadar sekarang. Ketika Yasser mengantarnya pulang, sebenarnya dia bukan menghindari Liam. Tapi si tamu itu sendiri yang tidak lain adalah Louis Walsh. Benar juga, batinnya. Karena tidak ada gunanya juga Yasser menghindari Liam.


"Apa itu alasan Zayn kabur?" Ari mengangkat kedua alisnya dengan penasaran yang kemudian disusul oleh gelengan kepala oleh Yasser. "Lalu?"



"Zayn menceritakan semuanya padaku," Ari sedikit menelengkan kepalanya untuk mendengar lebih lanjut. "Trisha sudah meninggal 2 tahun setelah mereka pindah ke Inggris." Jantung Ari berdesir saat itu juga. Zayn ditinggal ibunya ketika masih kecil. Entah bagaimana reaksi lelaki itu ketika mengetahui ibunya sudah tidak ada. Ari bahkan tidak bisa berhenti menangis selama seminggu ketika ibunya meninggal, "Dia meninggal ketika sedang berlibur ke pantai. Zayn bermain terlalu jauh dan dia hampir tenggelam, jadi Trisha menyelamatkannya padahal dia tidak bisa berenang. Justru dia lah yang menjadi korban. Kau tahu apa yang lebih mengejutkan? Louis menyalahkan Zayn atas kematian ibunya."


"What the fuck?!--oops." Ari cepat-cepat menutup mulutnya karena tidak sengaja mengumpat, "Itu tidak masuk akal."


"Ya, aku tahu. Padahal seorang ibu rela melakukan apa saja demi anaknya, kan? Bahkan nyawanya sendiri. Itu yang Trisha lakukan demi seorang anak lelaki bernama Zayn. Setelah kejadian itu, Louis mengganti nama Zayn menjadi Joe untuk melupakan bayang-bayang Trisha. Zayn bilang kalau ayahnya kurang menyayanginya semenjak itu. Dia terus memaksanya untuk belajar bisnis karena dia lah yang akan menggantikan posisinya saat ini, yang akan mengelola perusahaan miliknya. Kau tahu, Ari? Padahal Zayn sangat menyayangi ayahnya. Dia selalu lari ke pintu depan untuk menyambutnya setiap pulang kerja, tapi Louis seakan tidak melihatnya dan langsung naik ke kamar. Zayn membuat kue bersama pelayannya di rumah untuk ulangtahun Louis, tapi ternyata dia tidak pulang ke rumah karena merayakannya bersama rekan kerja. Zayn mati-matian belajar keras agar ayahnya senang dengan nilai yang ia peroleh, tapi justru dia mengabaikan itu dan menyuruhnya belajar bisnis sejak akhir SMP. Yang dekat dengannya hanya bibinya, Nicole."


Nicole, Ari ingat dia. Dia adik Louis.


"Zayn juga bilang kalau ayahnya lebih berpihak kepada teman-temannya dibanding dia. Dia menawarkan kontrak pada Harry untuk menjadi penyanyi, padahal Louis tahu kalau Zayn dari dulu menginginkannya. Dan jika kau bertanya ada apa di antara Harry dan Zayn ini dia," Ari tidak mengedip sedikitpun. "Harry mengkhianati Zayn."


"Mengkhianati... maksudmu mereka dulu teman?!" Serunya tak percaya.


"Mereka sahabat."


"APA?!" Serunya untuk yang kedua kali. Ya, Harry secara tidak langsung mengatakan kalau dia dan Zayn sudah kenal dari dulu karena Zayn merenggut nyawa tunangannya--setidaknya itu yang Harry katakan. Tapi bukan berarti sahabat. Ari jadi teringat nama seorang perempuan yang tidak ia kenal. "Bagaimana dengan seorang perempuan bernama... Diana.. Swan?"


"Itu nama tunangan Harry. Harry berkhianat menerima tawaran itu setelah berjanji akan menolaknya. Dan Zayn melakukan balas dendam dengan mendekati Diana. Zayn bilang, Diana memang menyukainya dibanding Harry dan sangat mudah untuk memanfaatkannya. Tapi Zayn membuat kesalahan dengan mengakui itu semua padanya yang justru membuat Diana menabrakkan dirinya di jalan. Dan.."


"Dan itu membuat Harry marah?"


"Tentu saja." Tentu saja, Ari mengulang jawaban Yasser dalam hati. "Zayn lelah dengan tekanan sana-sini dan memutuskan untuk kabur menemuiku di London. Zayn kembali mengganti namanya menjadi 'Zayn' karena ingin melupakan masa lalunya. Menurutnya, setelah namanya berganti menjadi 'Joe', hidupnya ikut berubah seratus delapan puluh derajat."


Zayn melayangkan kepalan tangannya ke Harry, tapi Harry menahannya dan duluan meninjunya. Zayn pun tersungkur. Beberapa orang yang lewat melihat kejadian itu. Beruntung tidak ada yang mengambil gambar, karena mereka sendiri tidak tahu kalau salah satunya adalah Harry Styles, dia memakai topi saat ini.

"You idiot!" Umpat Ari pada lelaki keriting tersebut. Harry sempat menahannya kala gadis itu ingin menolong Zayn, tapi berhasil lolos dari cengkramannya. "Zayn, kau tidak apa-apa?" Sebut Ari bodoh karena menanyakan hal itu di saat matanya jelas melihat darah segar mengalir dari sudut mulut Zayn. Lelaki itu menggeleng pelan dan menolak saat Ari ingin menyentuh bagian yang sakit.

"Apa kau masih ingat pada Joe, hm?" Zayn membelalak begitu nama itu disebut. Sama seperti Harry, sudah lama sekali dia tidak mendengar nama itu. "Kenapa diam, Malik?" tanyanya dengan nada menantang. "Oh, wow, kau lupa--"

"Tentu saja aku ingat pada seorang lelaki keparat berhati iblis yang menjelma menjadi manusia bernama Joe! KAU PUAS?!" teriak Zayn kesal. Sedangkan Ari tidak mengerti apa yang mereka bicarakan.

"Hahaha," Harry pura-pura tertawa dengan nada meremehkan. "Malik, please, you make me laugh."

Zayn menatapnya garang dengan napas memburu. Mungkin dia lelah menahan emosinya? Setelah itu ia berkata lagi dengan suara lebih tenang, "Percaya atau tidak, aku tidak akan melakukan apa yang telah dilakukannya."

Harry tersenyum kecil. "Ku pegang kata-katamu, dan kamera ini." Kemudian menarik paksa Ari. "Ayo pulang. Aku dan Liam punya banyak hal untuk dibicarakan."


Dalam hati, Ari menamparnya dirinya sendiri. Ya, dia pernah mendengar nama Joe jauh sebelum bertemu di pesta itu. Waktu itu dia tidak mengerti apa yang Harry dan Zayn ributkan di London Eye, ternyata tentang semua ini. Ari menyesal tidak bertanya dari awal. Mungkin Harry dan Zayn tidak akan menjawab yang sesungguhnya, tapi kalau dia mencecarnya terus, bisa saja mereka memberi tahu.


"Tentang gadis pengganti itu, aku tidak tahu apa-apa. Hanya mereka berdua yang tahu." Yasser menghela napas berat seraya mengedikkan bahu. "Tapi percayalah Ari, Zayn tidak seperti yang kau pikirkan. Dia hanya korban dan sedang terjebak di lubang dalam karena tekanan sana-sini oleh ayahnya dan Harry. Zayn tidak sejahat itu. Dia tulus berteman denganmu. Setiap bertemu denganmu, dia selalu menceritakan apa saja yang kalian lakukan. Dia kabur dari rumah menjadi orang miskin tapi dia bahagia karena bertemu denganmu. Dia tidak mau berteman dengan siapapun karena tidak bisa memercayai orang lain."


"Tapi dia sudah merusak kepercayaanku! Bagaimana aku bisa percaya dia tidak seperti yang ku pikirkan? Jelas-jelas dia mengatakan semuanya di depan wajahku tadi!"


"Dia pasti punya alasan kenapa mengatakan itu padamu. There's always a reason behind everything." Yasser berusaha meyakinkannya. Tetapi Ari justru memalingkan wajahnya ke arah lain. Walaupun sudah mendengar alasan yang diceritakan Yasser, Ari masih memikirkan perkataan Zayn tadi. Setidaknya dia tidak usah mengatakannya dengan kasar karena itu sangat menyinggungnya.


"Ya, aku tahu apa alasannya," Ujar Ari. "Cause he's a heartbreaker."


"Ari--"


"Terimakasih sudah menceritakan semuanya. Aku berjanji tidak akan membocorkannya pada Louis. Dan kalau kau bertemu dengan Zayn atau Joe atau siapapun dia, bilang saja, semua yang Arianne lakukan padanya hanya karena Arianne kasihan pada Zayn yang tidak punya teman. Selamat malam."


Dan dengan begitu, Ari beranjak dari halte untuk kembali berjalan. Yasser memilih tidak menyusulnya agar Ari bisa mempertimbangkan untuk memaafkan Zayn. Gadis itu mungkin hanya butuh waktu sendiri. Ari menendang sampah kaleng minuman yang menghalangi jalannya. Suaranya saat jatuh sangat kencang karena jalanan sepi, waktu juga semakin malam. Gadis itu tidak takut dengan penjahat yang akan mengintainya, tapi dengan paparazzi yang memergokinya sendirian tanpa penjaga. Baru kali ini dia merasa malu pada media, "Aku mempermalukan diri sendiri berkali-kali hanya untuk asshole. Aaarggh!!" Dia menendang tempat sampah yang ada di trotoar dengan kesal.


Ia melirik seorang pria yang bersama lelaki muda berpapasan dengannya. Si pria yang setengah tua itu kelihatan akrab dengannya. Dari wajahnya, Ari bisa tebak kalau itu anaknya. Mereka tidak terlihat berasal dari golongan orang kaya, tapi mereka baik-baik saja. Ari mendengus. Setelah melihat itu, lagi-lagi perasaannya luluh terhadap Zayn.


"Lalu begitu aku naik, ternyata yang datang banyak, lalu aku disuruh duduk di samping Harry, lalu dia mulai bertingkah menyebalkan. Dan Liam bilang kalau kita akan malam dengan Louis Walsh, lalu ku bilang ya, lalu--"

"Louis Walsh ada di London?!"

"Iya..?"

"Ohh"

"Kenapa? Kau tidak suka Louis? Aku juga, setiap dia datang ke rumah, wajahnya selalu sedih padahal uangnya sangat sangat banyak lalu dengan uang itu dia bisa beli apa saja, lalu dia punya perusahaan musik, lalu dia--"

"Sshh.. kembali ke cerita awal." Zayn menutup kedua telinganya.


Kalau dipikir-pikir, Zayn hanya merasakan kasih sayang keluarga sampai umur delapan tahun saja. Setelah ibunya meninggal, ayahnya hanya memperhatikannya sebagai calon pengganti posisi di perusahaan. Zayn tidak pernah merasakan pergi olahraga bersama, menonton pertandingan bersama, dan menghabiskan hari minggu dengan bermalas-malasan bersama ayahnya seperti ayah dan anak kebanyakan.


"Ah, tetap saja dia itu bajingan!" Ari lagi-lagi menendang sampah yang ada di depannya ke semak-semak.


"Ooww.."


Sebuah suara terdengar dari balik sana. Ari melihat semak itu bergoyang-goyang sendiri, jadi dia mendekat untuk melihat. Ia membelalak begitu memergoki empat orang pria dengan kamera memakai rompi hitam sedang membidik kamera ke arahnya.


Paparazzi.


Ari bergegas lari sebisa mungkin tidak meninggalkan jejak. Mereka berempat baru mau mengejar ketika tiba-tiba saja kerah belakang mereka ditarik seseorang. Seorang lelaki bertubuh tinggi menatap mereka dengan dingin. Ia mengambil satu-satu kamera yang mereka pegang kemudian mengeluarkan kartu memorinya. Mereka berempat hanya mematung membiarkannya. Tapi ketika lelaki itu membanting kamera, dia langsung mengambil dompet dan memberikan uang seharga empat kamera itu sebelum akhirnya pergi.


Ari berlari ke tempat yang agak ramai agar mereka tidak bisa menemukannya. Dia juga harus repot-repot menutupi wajahnya agar tidak ada orang yang mengenali. Setelah dirasa mereka sudah kehilangan jejak, Ari memperlambat jalannya. Dia mengatur napasnya kembali. Itu tadi lumayan menegangkan. Sekarang Ari tidak tahu harus kemana lagi. Tidak ada tempat yang bisa ia singgahi karena toko-toko dan tempat makan hampir semuanya tutup. Ari berdiri di bawah pohon depan restoran yang sudah tutup. Tiba-tiba dia terkekeh geli menyadari dirinya seperti orang terluntang-lantung.


"Seperti Zayn saja." Gumamnya. Tawa itu langsung berubah seketika menjadi raut kesal, "Sial, kenapa ingat bajingan itu lagi?!"


Ari mendengus kesal seraya berkacak pinggang. Dia tidak ingin memikirkannya--walaupun kepalanya penuh dengan Zayn karena cerita pamannya tadi--karena kalau mengingat pernyataannya di taman, itu membuatnya ingin melampiaskan kebenciannya pada semua barang yang ada di dekatnya saat ini. Dan Ari tidak bisa menahannya.


Mungkin kalau dia dan Zayn tidak sedang bertengkar, atau Zayn masih menjadi orang miskin, Ari akan ke rumahnya sekarang. Dia akan menginap di sana sampai paparazzi meninggalkan rumah. Tapi keadaan sudah berbeda. Zayn kembali menjadi Joe dan Ari... tetap Arianne. Ari menghela napas berat menyadari sifat Zayn ikut berubah dengan namanya. Dia benar-benar mengecewakannya. Satu waktu Zayn membuatnya senang, lalu tiba-tiba dia menghancurkan semua tanpa peringatan. "Pertemanan macam apa ini?" Tanya Ari pada dirinya sendiri.


Perhatiannya teralih pada sebuah motor Ducati hitam di jalan yang semakin menepi. Motor itu berhenti tepat di depannya dengan mesin yang masih menyala. Ari melihat si pengendara dengan selidik. Dia seperti kenal dengan pakaiannya. Hingga orang itu membuka kaca helm, Ari tahu itu siapa. Ari memutar kedua matanya hendak pergi, tetapi dengan tangan panjangnya, dia menarik tangan gadis itu.


"Ew, don't touch me! Untuk apa kau kembali lagi?!" Ari menarik kembali tangannya dari tangan Harry. "Jangan kira aku hanya marah dengan Zayn, tapi denganmu juga!"


"Geez, chill out. Aku hanya ingin mengantarmu ke suatu tempat." Harry mengambil ponsel dari sakunya. Dia membuka internet untuk mencari satu berita baru yang belum Ari ketahui, karena jika mulutnya sendiri yang memberi tahu, gadis itu tidak akan percaya, "Lihat apa yang terjadi pada kakakmu."


Awalnya Ari malas untuk melihat. Dia mengambil ponsel Harry dengan tidak niat kemudian membacanya. Matanya langsung membelalak mengetahui Liam keracunan minuman setelah Ari pergi. Berita itu disertai foto yang samar-samar, tapi Ari yakin itu adalah Liam. Dia tidak mengira ada orang yang sejahat itu meracuninya. Semua tamu masuk dengan undangan, jadi tidak mungkin orang sembarangan bisa masuk.


"Sudah, jangan terpaku begitu. Kakakmu bisa mati kalau kau tidak cepat ke sana." Harry mengambil balik ponselnya. Ia menggerakan kepalanya, "Naik."


Ari menatap jok motor Harry terlebih dulu, menyipitkan mata dengan sinis padanya, lalu berbalik badan, "Aku naik bus saja."


"Eits," Harry lagi-lagi menahannya, kali ini menarik rambut Ari yang masih licin karena catokan, "Kau ini tidak profesional, ya? Lupakan dulu masalah yang tadi, sekarang kau harus cepat ke rumah sakit. Naik!" Ari akhirnya mengalah, dan memilih naik ke motor Harry--yang sebenarnya punya Liam. Jika tidak karena keadaan darurat, dia akan memilih jalan kaki berapapun jauhnya rumah sakit.


Harry memberi helm lainnya pada Ari dan mulai mengegas motor terlebih dulu. Dengan pandangan sayu ke jalanan, Harry mengembuskan napas panjang teringat sesuatu,


"Dia hanya menepati janjinya, Ari." Ucapnya dengan suara pelan.


"Apa?"


"Pegangan!" Harry langsung melajukan motor dengan kecepatan tinggi, membuat Ari berpegangan erat padanya.


-bersambung-


Haai ahaha maaf ya kalo aneh dan ga seru-_- Jangan lupa baca BAD BLOOD :*

Mau nanya lagi dong, apa yang bikin kalian tertarik baca pas pertama kali?

Itu yang di italic flashbacknya, bisa diliat di chapter2 sebelumnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top