XXXI - Fool's Gold
NO COPYCATS.
***
Diana melangkah mundur menjauhi Zayn. Dia tidak percaya dengan apa yang barusan dikatakan. Mereka berdua baru saja pulang dari Maladewa, dan Diana menginap sementara di rumah Zayn. Liburan mereka memang benar-benar menyenangkan, tapi Diana menyesali semuanya. Dia menyesal sudah pergi berlibur dengannya, dia menyesal termakan perkataan manisnya, dia menyesal sudah masuk ke dalam 'perangkap'.
"Kenapa kau tega melakukan semuanya, Zayn?" Sekarang Diana bisa merasakan dadanya sesak. Kenyataan memang selalu pahit baginya, "Beri aku satu alasan, dan aku akan mencoba untuk mencintaimu lagi." Diana menyeka air mata yang sudah memenuhi matanya.
Zayn menggeleng. Dia mencoba untuk mendekatinya tapi Diana selalu menjauh. Zayn hanya ingin menjelaskan secara baik-baik, tapi tentu saja itu tidak akan berguna karena tidak sebanding dengan apa yang dia lakukan pada Diana.
Zayn juga tidak punya alasan kenapa dia melakukan itu padanya, karena satu-satunya jawaban yang ia tahu adalah,
"'Cause I'm a heartbreaker."
"Kau tidak usah repot-repot mencintaiku lagi karena aku tidak pernah punya perasaan padamu, Diana. Kau hanya sebagai objek balas dendamku pada Harry. Semua yang ku lakukan padamu hanya untuk membuat Harry patah hati. Semua yang ku lakukan untuk mengambil hatimu, hanya sebagai pembalasan padanya agar dia merasakan bagaimana rasanya dikhianati oleh orang terdekat. Dan cincin tunangan di jarimu itu..."
Diana spontan menunduk melihat ke jari manisnya.
"Adalah saksi bisu atas pengkhianatanmu pada Harry." Kaki Diana semakin lemas mendengar kenyataan pahit lainnya. Ya, itu benar. Benda itu adalah saksi bisu atas pengkhianatannya pada tunangannya sendiri. Lebih tepatnya, tunangan yang tidak pernah dicintainya. "Aku bahkan tidak percaya kau masih berani memakai cincin tunanganmu disaat kau jelas-jelas berselingkuh denganku selama ini." Kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulut Zayn. Zayn tidak bermaksud untuk menghancurkan hati Diana, dia cuma mau memberi tahu yang sebenarnya padanya. Karena setiap Zayn melihat Diana tertawa bersamanya, itu malah menghancurkan hatinya. Zayn tidak mau Diana semakin larut dalam kebahagian yang penuh dengan kebohongan.
Diana memaksakan tersenyum. Kakinya sudah sangat mepet dengan tangga rumah Zayn, "Senang mendengar alasanmu, Malik." Ucapnya. "Selamat tinggal."
Diana bergegas turun tangga ke pintu rumah. Dia pergi dari rumah itu meninggalkan barang-barangnya, bahkan tanpa alas kaki. Zayn berlari menyusulnya, tapi gadis itu cepat menghilang.
Saat itu Zayn tahu, dia kehilangan kesempatan pertamanya.
***
Ari berjalan sempoyongan ke dalam kamar. Ia melempar topeng sembarangan ke meja kamar, lalu berbaring di tempat tidur. Matanya melihat kosong ke langit-langit kamar, tapi pikirannya penuh dengan tanda tanya saat ini. Dirinya tidak habis pikir siapa yang tega mengganti Wine dengan minuman hanya-Tuhan-yang-tahu-apa-itu. Dari penampilannya saja, itu minuman yang berbahaya. Orang itu pasti punya niat jahat padanya dan Liam.
Beruntung ada Joe. Aksi Joe yang menyelamatkannya tadi masih tidak bisa lepas dari pikiran Ari. Dia benar-benar berani dan tidak malu membanting botol tersebut di depan orang-orang. Ari suka laki-laki seperti itu. Yang berani berbuat kebenaran walaupun harus melakukannya di depan orang banyak. Bukan seperti Zayn. Lemah, tidak berani melawan, dan marah kalau diberi tahu. Itu menurut Ari.
Omong-omong tentang Zayn, dia masih penasaran siapa sosok bayangan hitam yang ada di depan rumah besar tadi. Perasaannya kuat mengatakan kalau itu Zayn.
Ari melirik tas gitar yang ada di pojok kamar. Dia sebenarnya tidak bisa bermain gitar, tapi gitar itu milik ibunya yang dia bawa dari rumah lama. Lagi-lagi Ari teringat ketika Zayn mengajarinya beberapa kunci gitar di rumah pohon. Posisi mereka benar-benar dekat, bahkan ia bisa merasakan deru napas Zayn di lehernya. Itu bisa dibilang pertama kalinya Ari merasakan berdebar di dekat Zayn. Ah, berarti bukan pertama kalinya merasa canggung dekat laki-laki, pikirnya.
Tangannya meraba pergelangan. Ada sesuatu yang ganjil di sana. Seperti ada yang... hilang? Ari bangkit untuk duduk. Matanya membelalak tidak menemukan wristband di pergelangan tangannya. Dia ingat betul tidak melepasnya di pesta. Ari meraba-raba spreinya berharap benda itu terselip. Tapi tidak ada. Di lantai kamar juga tidak ada.
"Sial." Gumamnya, membuka laci-laci meja. Tapi tidak ada juga. "Di mana benda itu?!"
Sudah dua kali wristbandnya hilang, mungkin yang sekarang, benda itu tidak akan kembali. Ari sudah kehilangan Zayn, dan sekarang kehilangan wristband pemberiannya juga?
"Pokoknya aku mau semua dipercepat. Tinggal 3 hari lagi aku kembali untuk tour."
"Tunggu, tunggu.. kita bisa membicarakannya baik-baik, Harry."
"Aku tidak mau. Aku sudah tidak tahan kejadian seperti itu selalu terulang."
"Tapi kalian berdua masih muda, Harry!"
Ari mencuri dengar. Itu seperti suara Liam dan Harry. Mereka lagi-lagi berdebat yang entah apa masalahnya. Biasanya hanya persoalan kecil yang dibesar-besarkan oleh Harry.
Dia melupakan wristbandnya, berjalan ke pintu kamar untuk mengintip. Harry, masih dengan jas yang ia pakai ke pesta, sedang marah-marah pada Liam yang berusaha menenangkannya. Ari memutar kedua matanya menyadari kalau Harry repot-repot ke rumahnya hanya untuk berdebat dengan Liam. Padahal tadi dia pulang lebih dulu. Walaupun begitu, ini menjadi tontonan menarik untuk Ari. Dia penasaran bagaimana ekspresi ketakutan Liam.
"Aku tidak peduli, okay? Aku mau malam ini juga kau mengurus semuanya. Aku mau digelar besar-besaran. Berapapun biayanya, aku yang tanggung. Panggil semua media dan stasiun televisi. Kalau perlu disiarkan secara langsung." Harry menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Ingat, Liam. Dalam tiga hari."
Liam menghela napas berat. Dirinya lelah sepulang dari pesta, dan ditambah pusing oleh permintaan Harry yang lumayan berat. Dia hanya diberi waktu tiga hari sampai Harry kembali ke tournya yang tertunda. Liam mau tidak mau mengangguk.
"Fine." Jawabnya. "Aku akan meminta bantuan event organiser besok pagi. Undangan akan ku sebar lusa, dan kau hanya terima beres pertunanganmu dan Ari berjalan lancar. Happy?" Harry tersenyum puas, itu yang mau dia dengar dari Liam. Keinginannya untuk bersama Ari akhirnya tercapai dalam waktu kurang dari tiga hari. "Dan tidak usah khawatir dengan jawaban Ari, aku bisa menjamin anak itu pasti akan menjawab 'ya'."
Harry menunduk menatap ke sepatunya. Ini semua mengingatkannya pada gadis bernama Diana. Seorang mantan tunangan Harry yang batal menikah dengannya. Gadis itu dikenalkan oleh Luke ketika mereka masih satu band. Bukan band terkenal, hanya band yang tidak sengaja terbentuk karena sering berkumpul di akhir pekan. Dan Harry tidak mau pertunangannya kali ini berantakan.
"Siapa yang akan jawab 'ya'?"
Harry dan Liam sama-sama menoleh begitu Ari keluar kamar. Gadis itu memasang raut wajah dingin setelah mendengar semuanya. Jadi itu yang akan Harry lakukan. Menggelar acara pertunangan... hanya karena Ari berdansa dengan Thomas dan pergi ke greenhouse dengan Joe? Betapa konyolnya.
"Kau tidak bisa sembarangan membuat acara pertunangan tanpa izinku!" Ari berjalan maju, langsung mendorong bahu mereka berdua. Well, tentu saja dia berhak protes karena pertunangan itu melibatkan dirinya. Dan Ari tidak mau ada pertunangan di antaranya dan Harry. "Aku tidak mau melakukannya."
"Oh, sayang, kau harus melakukannya." Harry hendak mengelus pipi Ari, tapi gadis itu cepat menampis tangannya. "Karena mau tidak mau, kau akan berakhir hidup denganku. Ingat perjanjian di kontrakmu?"
"Kalau aku jadi menikah denganmu, itu namanya pernikahan kontrak dan aku tidak mau."
"Semua persyaratan tergantung kontrak tapi tidak dengan pernikahan itu. Kau akan menikah denganku secara permanen."
"Aku tambah tidak mau." Sergahnya. Rahang Ari mengeras berusaha tenang berhadapan dengan Liam dan Harry, dua orang yang dia benci keberadaannya.
Liam mengedikkan bahu dengan enteng, "Harry benar, Ari. Mau tidak mau, kau akan berakhir hidup dengannya."
Saat itu juga darah Ari naik ke ubun-ubun. Dia bingung, kenapa semua orang memaksanya untuk melakukan hal yang tidak dia suka. Biasanya yang terjadi pada orang-orang, sesuatu yang tidak mereka sukai itu demi kebaikannya sendiri, tapi tidak untuk Ari. Dia dipaksa melakukan hal yang dia benci untuk keburukannya sendiri. Contohnya seperti penyanyi, Ari dulu ingin sekali menjadi penyanyi terkenal di bawah naungan label ayahnya. Tapi karena sekarang Liam yang memaksanya untuk menjadi penyanyi, Ari malah tidak senang menjalani itu semua. Dan sekarang dia dipaksa untuk bertunangan. Ya, dia memang mau bertunangan dan menikah dengan jodohnya, tapi kalau dipaksa seperti ini, Ari tidak suka.
"Aku punya pertanyaan," Liam dan Harry mengangkat kedua alisnya. "Kenapa aku harus menjalani ini semua? Kenapa harus aku?" Tanyanya dengan suara bergetar. Tangannya mengepal kuat-kuat di kedua sisi gaunnya.
Liam terkekeh mendengar pertanyaan Ari, dia kemudian menjawab, "Terima saja, Ari. Memang jalan hidupmu seperti ini."
Kata-kata Liam langsung menusuknya dalam. Ari belum pernah merasa sakit hati dengan perkataannya. Dia biasa masa bodoh atau menganggap omongan Liam tidak penting. Tapi kali ini, untuk pertama kalinya, Ari sakit hati dengan pernyataan itu.
Kalau ia berkilas balik ke hidupnya yang dulu, memang hidupnya berubah menjadi rumit dan menjengkelkan setelah Liam membawanya kemari. Dan dengan mudah, Liam menjawab itu dengan 'memang jalan hidupmu seperti ini'.
Ari tidak membalas apa-apa. Dia lari ke luar rumah. Niatnya ingin kabur ke rumah Zayn, mau ada atau tidak orangnya, dia masih bisa bertemu dengan ayahnya. Tapi Kevin dan teman-temannya sudah mencegatnya duluan di pintu gerbang. Ari baru mau melawan ketika mereka sudah tahu gerak-geriknya, menahan tangan Ari dan kakinya.
Liam dan Harry menyusul keluar rumah, mereka tidak perlu khawatir karena penjaga sudah mengatur semuanya, "Bawa dia ke kamar atas."
Mereka semua mengangguk.
.
.
.
"Mary, tolong ambilkan kartu namaku di meja kamar." Perintah Liam yang sedang mengobrol dengan beberapa orang dari event organiser. Dia sibuk merubah beberapa dekor agar sesuai keinginannya.
Rumah menjadi ramai dengan dekorasi yang sudah setengah jadi. Liam memaksa untuk mengebut semuanya agar acara tergelar tepat waktu. Karena lusa malam, Harry sudah harus terbang untuk melanjutkan tour. Liam bahkan menunda pekerjaannya di kantor hanya untuk ini.
Hanya untuk si anak emas, Harry.
Tapi memang semenjak single Harry dan Ari diluncurkan, pemasukan pada perusahaannya meningkat drastis, bahkan menjadi nomor satu di iTunes. Mungkin akan bertambah lagi ketika berita Harry dan Ari bertunangan tersebar.
Mary mengangguk dan berjalan ke kamar Liam. Mary mengernyit heran begitu pintu susah dibuka, seperti ada yang mengganjal dari dalam. Dia berusaha membukanya dengan kunci, tapi ternyata pintu itu tidak terkunci. Ia mendorongnya kuat-kuat dan akhirnya terbuka.
Yang Mary lihat pertama kali adalah walk-in closet Liam terbuka, padahal dia masih ingat waktu itu Liam menguncinya, dan semenjak itu setiap Mary membersihkan kamar Liam, pintu itu selalu terkunci. Mary melihat ke meja kerja Liam.
Ada seseorang di dalam.
Seorang wanita brunette dengan pump shoes merah muda tertangkap basah sedang memegang sebuah buku dan kunci. Ekspresinya kaget melihat Mary bisa membuka pintu setelah dia ganjal sementara dengan sofa kecil di kamar itu.
Sophia Smith.
Ya, Sophia juga ikut membantu dalam persiapan acara. Tapi entah apa yang dia lakukan di kamar Liam.
"Nona Sophia?" Tanya Mary yang tidak kalah kaget.
Raut wajah Sophia saat itu juga berubah menjadi tersenyum, "Hey, Mary. K-k-kau.. mau.. membersihkan kamar Liam, ya?"
"Saya mau mengambil kartu nama." Mary melangkah masuk dan melirik apa yang dipegang Sophia. Kunci dan buku itu... dia tahu benar apa itu. Kunci yang entah untuk apa, dan sebuah jurnal milik Simon. Tidak seharusnya benda-benda itu berada di tangan orang lain selain Liam.
"O-oh, begitu. Ya sudah, aku ke luar dulu.."
Sophia berjalan melewatinya, ketika mereka sejajar, Mary menahan pundaknya agar berhenti. Dia menatap Sophia dengan tatapan dingin, sementara Sophia, langsung tahu kalau Mary mengerti apa yang dia bawa.
"Kembalikan kunci dan jurnal Tuan Simon." Ujarnya dengan suara pelan, "Saya meminta dengan baik-baik."
Nada suara Mary lebih terdengar seperti ancaman bagi Sophia, "Kau pikir aku akan dengan mudah memberikan ini, hm?" Kali ini mereka sama-sama berhadapan. Sophia setengah tertawa melihat Mary begitu intens menatapnya, "Kau bukanlah bagian dari ini, so you'd better fuck off."
"Tidak, sebelum aku mengembalikan ini pada Tuan Liam." Mary merebut kunci dan jurnal Simon dari tangan Sophia.
"Tidak, kau tidak akan berani." Sophia mengambil balik benda itu dari tangan Mary. Dia tidak mau sampai ketahuan bersengkongkol dengan Vin mencuri apa yang ada di tangannya saat ini. Hubungannya dengan Liam bisa kandas. "Dia tidak akan percaya."
"Oh, tentu saja aku berani." Mary mengambilnya lagi. Kali ini dia tidak membuang waktu, langsung berlari ke luar kamar. Dia memilih untuk naik ke atas dibanding mengembalikannya pada Liam. Sophia benar, Liam tidak akan percaya padanya dan mungkin justru Mary yang dituduh mencuri.
"HEY, KEMBALI!"
Sophia melepas pump shoes-nya untuk mengejar Mary ke lantai tiga. Wanita itu tidak mau kehilangan kesempatan emas yang sudah di depan mata. Bahkan dia harus mengendap-endap masuk ke kamar Liam, meskipun Liam membebaskan untuk keluar-masuk kamarnya.
Sayang sekali, Liam mencegatnya di pintu kamar, "Sophia, ada apa?"
Pembantumu mengambil apa yang aku curi darimu, pikir Sophia, yang tidak mungkin dia mengatakannya terang-terangan pada Liam. Ia melempar kedua sepatunya dengan kesal, yang semakin membuat Liam penasaran. Sophia duduk di sofa kecil seraya memijat pelan pelipisnya. Dia memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Liam.
Sementara itu, Mary merogoh kunci kamar dari saku pakaiannya, membuka kamar tempat Ari berada sekarang.
Setelah kejadian semalam, Liam memindahkan kamarnya ke lantai paling atas, kamar yang lebih bagus dari kamarnya yang dulu. Bahkan bisa dibilang setara dengan kamar Liam yang mewah. Kunci kamar hanya dipegang Liam dan beberapa pembantu yang membersihkan kamar tersebut.
Di dalam Ari sedang duduk dekat jendela. Menatap jengah pada pemandangan luar. Dia ingin keluar menghirup udara segar.
Perhatiannya teralih ketika pintu kamar terbuka dengan suara keras. Mary masuk, langsung menutup pintu rapat-rapat. Napasnya tidak teratur, begitu juga degup jantungnya yang masih cepat.
"Mary, kau kenapa?"
"Aku.. aku membawakan ini untukmu. Ku mohon tolong kau simpan baik-baik." Ia menyerahkan kunci dan jurnal Simon pada Ari.
Ari menerima kunci dan jurnal Simon meskipun tidak mengerti kenapa dia harus menyimpannya. Ari mengintip sedikit ke buku jurnal, dia mengerutkan dahi melihat fotonya bersama ibunya ada di dalam. Foto yang diambil diam-diam.
"Akan ku ceritakan." Ucap Mary, yang semakin membuat Ari bingung.
Di bawah, Liam berlutut di depan Sophia, mencoba menerka wajahnya, "Apa yang terjadi denganmu dan Mary? Kenapa dia lari ke atas?" Sophia menggeleng. "Apa.. kau mau aku memanggil Mary kesini?"
"Eh, Liam!" Ia menarik tangan Liam ketika lelaki itu bangkit. Menariknya sampai Liam merunduk, kemudian Sophia mencium bibirnya tanpa peringatan.
.
.
.
Harry mengambil ponsel dari saku celana, ia menekan nomor seseorang dari kontaknya. Sudah lama sekali Harry tidak mengobrol dengannya.
"Halo?"
Senyum Harry mengembang begitu telepon di angkat, "Hello, my brother." Sahutnya balik dengan nada ceria. Lawan bicaranya terdiam. Hening di antara mereka sampai Harry kembali bicara, "Kau sehat, hm?"
Si lawan bicara menghela napas berat sebelum menjawab singkat, "Ya."
"Hm, bagus kalau begitu," Harry tersenyum kecil, tangannya mengambil benda lainnya dari saku celana, "Karena kau harus mempersiapkan mental," Ia membuka kotak kecil berwarna biru. Sebuah cincin berlian yang sudah lama ia simpan sekarang kembali berkilauan. Cincin itu pernah ia beri pada gadis yang dulu pernah menjadi tunangannya, Diana. "Untuk pertunangan keduaku, Zayn Malik."
-bersambung-
Cinderella Converse tinggal sedikit lagi alurnya (hiks). Pengen bikin fanfic baru, kira-kira tentang apa?
Kalo author mau bikin kaya gossip girl, udah nentuin pemain: 1D (ofc), Zayn, Luke, Thomas Sangster, Shawn Mendes, Gigi Hadid, Elle Fanning, Candice, Bella Thorne, Taylor Hill, Kendall, etc.
Dicampur dengan bumbu-bumbu semacam Vampire Academy. Semua terinspirasi dari MV Bad Blood dan war Zouis. Ahaha tapi gatau juga jadi apa engga. Pada maunya apa? ._.
Makasih ya yang udah baca dan kasih feedback , lopyu all <3 Yang mau di dedicate chapter ini dan chapter sebelumnya, inbox.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top