XXX - The Greenhouse 'Ballroom'
Jantungnya berpacu berkali-kali lipat ketika Joe mengunci pinggangnya agar tetap dekat, Ari sengaja menyisakan sedikit jarak agar tidak bersentuhan, itu akan membuatnya tambah canggung. Semenjak Joe menariknya kembali, laki-laki itu tidak mengatakan sepatah kata apapun. Mereka berdua sama-sama diam berdansa di tengah ballroom.
Joe hanya dengan gerakan saja bisa menuntun Ari untuk mengikuti langkahnya. Ari menunduk, dia lebih fokus menyesuaikan kaki karena tidak berani melihat balik Joe. Mata Joe mengingatkannya pada pembiasan cahaya matahari di genangan air. Sangat indah dan bisa menyihirnya.
Tangan Joe tiba-tiba mengangkat tangannya sehingga memaksa Ari untuk berputar, lalu berdansa dengan tempo yang lebih cepat. Pasangan lain kelihatan menikmatinya, sementara Ari merasa pusing melihat orang yang berbeda-beda berdansa di sekitarnya. Tadi dia masih bisa melihat Thomas bersama pasangannya, tapi sekarang sudah hilang entah kemana.
Joe menggenggam tangannya erat, membawanya berdansa ke sana kemari mengikuti irama yang juga cepat. Dia menyadari Ari terlihat bingung, jadi Joe menyudahi dansa mereka dan menarik tangan Ari ke luar dari lantai dansa ketika waktunya berganti pasangan. Mereka ke luar rumah lewat pintu samping. Thomas dan Luke yang melihat Joe kabur dari grup dansa meneriakinya agar kembali, tapi dia sudah jauh.
Joe berlari kecil menuruni tangga, dia membawanya ke sebuah greenhouse besar di halaman belakang. Menurutnya, itu tempat yang tenang untuk menyendiri. Yang terdengar dari sana hanya alunan musik samar-samar.
Ari melihat ke sekelilingnya. Ini greenhouse terbesar yang pernah dia lihat, lebih besar dari greenhouse sekolahnya dulu. Atap kaca sangat tinggi, Ari bisa melihat bintang-bintang malam dengan jelas. Joe naik ke lantai dua, ia membuka dasi kupu-kupunya dan beberapa kancing atas kemeja, lalu duduk berselunjur pada bangku taman sambil memejamkan mata. Dia sangat menikmati suasana damai di sini.
Di greenhouse ada banyak buah-buahan yang kebanyakan sudah matang. Itu sangat menggodanya. Dia melihat ke atas, Joe terlihat sangat tenang seperti orang tidur. Entah dia merasa atau tidak, mulut Joe mengerucut ke samping ketika Ari memperhatikannya. Tadinya Ari mau meminta izin memetiknya, tapi dia takut Joe merasa terusik.
Ari mengendap-endap berjalan ke tempat anggur. Dia memetik beberapa buah diam-diam. Dia sangat lapar, tadi dia malas mengambil makanan yang ada di bar karena sangat penuh, dan Ari tidak mau mengulang kejadian ketika ia bertengkar dengan pembeli lain saat belanja diskon sayuran bersama ibunya. Waktu itu pembeli meningkat karena ada diskon besar-besaran di pasar tradisional, dia dan ibunya tidak mau kehabisan.
Ari menghabiskan anggur yang ia petik, lalu diam-diam memetik lagi. Dia tertarik melihat buah-buahan lainnya, jadi dia juga memetiknya tanpa meminta izin Joe terlebih dulu. Ari mengelap satu-satu buah pada wristbandnya sebelum dimakan. Bajunya terlalu mahal untuk dijadikan lap, jadi dia tidak tega.
"Hey,"
Buah-buah yang ia petik jatuh semua ketika mendengar suara Joe tepat di belakangnya. Busted.
Sejak kapan dia turun?, pikirnya, menelan bulat-bulat yang masih ada di mulut sebelum berbalik dan menyeringai salah tingkah. Joe mengernyit heran melihat tingkah Ari, ia melihat buah yang jatuh kemudian mengedikkan bahu dengan enteng. Baginya mau dipetik sampai habis bukan masalah, itu semua punya ayahnya untuk pembuatan wine. Dia menyuruh Ari untuk mendekat dengan gerakan kepala. Ari menurut meskipun tidak tahu untuk apa.
Sekarang mereka berdua saling berhadapan, tentu saja Ari menunduk, menghindari kontak mata. Jarak mereka sedekat ketika berdansa, dan Ari sangat gugup. Dia tidak pernah merasa segugup ini berhadapan dengan laki-laki. Mata sialan, batinnya.
"Guess you don't like being in crowded places, aye?" Joe meraih kedua tangan Ari. Pikiran Ari mulai melayang kemana-mana."Shall we begin again?"
Joe tidak menunggu jawabannya. Dia langsung menggenggam sebelah tangan Ari, memposisikan tangan kiri Ari di bahunya sebelum menaruh tangannya sendiri di pinggang Ari.
Ari mengerti sekarang, Joe mengajaknya berdansa.
"But we're gonna do it our way."
Joe mengambil ponsel dari saku celananya. Dia memainkan lagu upbeat dengan volume penuh sampai terdengar ke satu greenhouse. Sekarang musik Waltz yang samar dari dalam rumahnya sudah tidak terdengar lagi. Tertutup oleh lagu yang ia mainkan.
Dear future husband,
Here's a few things
You'll need to know if you wanna be
My one and only all my life
Ari tersenyum, lagu ini sering dia dengar di radio dapur, Mary yang menyalakannya. Dia sering memergoki Mary dan Kim sedang menari-nari berdua.
Take me on a date
I deserve a bae
And don't forget the flowers every anniversary
'Cause if you'll treat me right
I'll be the perfect wife
Buying groceries
Buy-buying what you need
Ketika musik dimulai, Joe membawa Ari menari sesuka hati. Dia tidak menari Waltz, hanya bergerak asal yang penting Ari juga bergerak. Tangan Ari ia gerak-gerakan seperti orang berdansa dengan cepat, kemudian memutar-mutarnya. Ari tertawa geli ketika Joe sekarang menari-nari sendiri. Dia seperti tidak malu dengan tuxedo yang ia pakai. Joe memungut beberapa buah yang jatuh lalu melakukan juggling.
You got that 9 to 5
But, baby, so do I
So don't be thinking I'll be home and baking up the pies
I never learned to cook
But I can buy a hook
Sing along with me
Sing-sing along with me
You gotta know how to treat me like a lady
Even when I'm acting crazy
Tell me everything's alright
"Come on, dance along with me! No one's watching!" Joe menarik tangannya lagi kemudian memutarnya sampai punggung Ari bersentuhan dengan dadanya. "Dear future wife, here's a few things you'll need to know if you wanna be my one and only all my life." Joe ikut bernyanyi tepat di belakang telinganya. Mungkin Ari akan mundur lagi kalau dia tidak sedang menertawakan tingkah Joe yang aneh.
Dear future husband,
Here's a few things you'll need to know if you wanna be
My one and only all my life
Dear future husband,
If you wanna get that special lovin'
Tell me I'm beautiful each and every night
Sekarang Ari mau ikut menari. Dia bermain-main dengan tangan Joe, gantian membawanya menari ke sana kemari. Satu hal yang baru ia ketahui, Joe tidak seperti yang orang-orang pikirkan. Mereka menjulukinya 'the god' karena sifatnya yang dingin, kurang bersahabat, cuek, tapi tampan. Tapi sebenarnya Joe lebih dari itu. Dia orang yang cepat akrab dan baik. Itu kenapa di atas Joe terlihat gembira bersama Thomas dan Luke, tapi berubah angkuh ketika berdansa. Harus diakui, awalnya Ari juga tidak suka padanya. Ari adalah orang yang beruntung bisa melihat sisi lainnya.
Ari melepas topengnya karena merasa tidak nyaman. Dia kurang suka pakai aksesoris wajah. Bahkan Ari lebih memilih kepanasan daripada repot-repot pakai kacamata hitam. Joe berhenti menari dan memperhatikannya membuka topeng, melihat Ari dari bawah sampai atas.
"Joe, boleh aku pinjam pon—eh?" Kata-katanya terhenti ketika Joe kembali berubah dingin. Laki-laki itu perlahan berjalan mendekatinya, membuat Ari mengambil langkah mundur. Entah apa yang merasukinya, padahal tadi dia masih tertawa-tawa.
Punggung Ari akhirnya mentok pada rak tanaman. Kalau Harry yang ada di depannya, Ari sudah menendangnya di tempat yang tepat.
Tapi ini Joe.
Dan Ari tidak bisa berkontak mata dari jarak sedekat ini.
"J-Joe.. m-mundur.." Ari dengan terbata-bata mendorong pelan dada Joe agar menjauh. Tangan Joe menyentuh dagu Ari untuk melihat lurus padanya. Tentu saja Ari harus melihat ke arah lain selain mata Joe.
Joe tidak mengatakan apa pun, dia memperhatikan tiap inchi wajah Ari dengan seksama. Hampir beberapa menit terlewat dengan posisi terus begitu. Sampai akhirnya Joe mengatakan sesuatu yang membuat wajah Ari merah.
"You're ugly."
"Woah, excuse you?!"
Joe tiba-tiba memojokannya, mengatakan dia jelek dengan singkat sambil mengernyit, jelas itu membuat Ari marah. Sekarang tangannya gatal ingin mengacak-acak rambut Joe sampai rontok.
"Dan kau laki-laki kurang ajar. Minggir." Balas Ari, menyentak pelan wajah Joe untuk mundur. Dia hendak memakai topengnya, tidak mau sampai Joe mengatakannya lagi. Dari awal Ari tidak yakin dengan make-up artist Sophia. Sophia mungkin menyuruh untuk malah menjelekannya.
Joe mengambil topeng Ari agar dia tidak memakainya lagi. Ia menelengkan kepala menyadari ada sesuatu yang ganjil pada gadis itu, "Lihat aku." Ari mengarahkan wajahnya lurus pada Joe, tapi matanya tetap melihat ke arah lain, "Kenapa kau selalu menghindari kontak mata?"
Ketahuan.
"A-apa..?" Tanyanya pura-pura tak mengerti. Tentu saja, mana mungkin ada tahan berlama-lama melihat matanya dari dekat, batinnya seraya menelan ludah.
"Apa.. karena topengku?" Joe mengernyit dahi. Dia merasa topengnya tidak seram meskipun sedikit lebih panjang. Dia sengaja memilih itu.
"Mm.." Tidak mungkin dia jujur kalau mata Joe sangat indah seperti berlian yang menyala-nyala menyilaukannya.
Joe bergeser ke titik pandangan Ari, sehingga Ari mau tidak mau melihat ke matanya, "Kalau begitu, buka topengku.."
"Apa?"
"Buka topengku."
"Sekarang?" Ari diminta membukakan topeng Joe, bukan celananya, tapi dia merasa sangat gugup. Sebentar lagi dia akan melihat wajah asli the god. Siapa tahu Ari nantinya kena karma jadi salah satu fans yang tergila-gila pada Joe? Mungkin dia akan pinjam laptop Liam untuk menguntitnya.
Tangannya dengan grogi menyentuh topeng Joe, mengangkatnya perlahan hingga setengah hidung. Ari sekarang bisa lihat Joe punya tulang pipi yang lumayan tegas juga tulang hidung sempurna.
Ari berhenti melakukannya ketika pintu greenhouse tiba-tiba terbuka dengan keras. Seorang laki-laki berdiri di depan dengan wajah tanpa topeng dan kelihatannya sangat marah. Siapa lagi kalau bukan,
"Harry?" Ari menurunkan lagi topeng Joe. Selalu saja Harry merusak momen bahagianya. Tadi dia merusak dansanya dengan Thomas, sekarang dengan Joe.
"Oh, yeah, that's me, motherfuc—argh." Harry baru sadar dia tidak seharusnya berkata kasar pada Ari. Harry masuk ke greenhouse, langsung menggenggam tangan Ari untuk menjauhi Joe. "She's mine. Cari saja punyamu sendiri!" Katanya sambil menatap Joe dari bawah sampai atas.
"Itu sangat kekanak-kanakan, Harry. Lepaskan tanganku!"
Thomas dan Luke menyusul ke greenhouse. Mereka kelihatan tertegun mengetahui Ari dibawa Joe berdua saja ke greenhouse. Apalagi Harry datang merebut pacarnya kembali. Benar-benar gadis yang beruntung. "Tontonan yang menarik, aye?" Luke dan Thomas saling senggol, tertawa ambigu layaknya anak kembar yang kompak.
Joe memutar kedua matanya melihat Harry cemburu. Menurutnya dia bersikap berlebihan.
"Kita masuk sekarang, Ari." Tegas Harry, mengencangkan genggamannya. "Ayo."
"Tidak mau. Di dalam ramai, tidak ada yang ku kenal. Aku mau di sini."
Harry tersenyum memaksa, "Oh, jangan khawatir. Ku kenalkan kau pada pendeta, teman Louis, agar dia membaptismu malam ini juga. Karena... siapa yang malah berduaan dengan lelaki lain di saat pacarnya juga datang ke acara itu? Bahkan pacarnya tidak sempat berdansa dengannya! Cuma kau, Arianne. The one and only. Masuk sekarang!"
"Baiklah, baiklah, you jealous fucks."
"Hm, dan kau," Harry menunjuk-nunjuk wajah Joe. "You'd better fuck off. Ayo, Ari!"
Ari mendengus. Dia mau masuk ke dalam asal Harry tidak menyeretnya seperti anak anjing yang sedang jalan-jalan sore dengan majikannya. Ari menarik kembali tangannya, menyembunyikannya di balik badan. Harry berbalik, hampir marah mengira Ari masih tidak mau masuk. Tapi Ari menginstruksikannya untuk jalan duluan. Kalau boleh memilih, Ari memilih untuk langsung pulang daripada berlama-lama di sini. Dia merasa pesta ini bukan kelasnya.
Joe menahan pergelangan tangan Ari sebelum pergi,
"Will I see you again?"
Butuh jeda beberapa waktu sampai Ari akhirnya mengangguk sebagai jawaban. Joe tersenyum, membiarkan Ari menarik kembali tangannya dan pergi menyusul Harry.
Luke dan Thomas berpencar ke kedua sisi pintu, tersenyum mempersilahkan Harry keluar.
"Halo Arianne." Sapa Thomas ramah begitu gadis itu keluar.
"Grrr!!" Justru Harry yang membalas sapaan itu dengan erangan seperti anjing bulldog. Dengan posesif, dia menggandeng tangan Ari, berjalan cepat masuk ke dalam rumah.
Luke dan Thomas tertawa melihat reaksi Harry. Mereka adalah teman dekat Harry, tahu benar bagaimana sifatnya kalau sudah berurusan dengan pacar. Mau itu dengan temannya sekalipun, Harry pasti cemburu.
Joe berjalan menghampiri mereka, langsung disambut oleh rangkulan Thomas dan Luke yang masih tertawa.
"Man, she literally wins at life! Dia berdansa dengan Thomas, berdua di greenhouse denganmu, lalu diperebutkan Harry. Ckck." Luke mengusap-usap dagu melihat sosok Ari yang akhirnya menghilang di ambang pintu.
"I know, right? Dansa denganku itu belum apa-apa, tapi dengan Joe? Aku sempat memergokinya sedang memuja mahakarya Tuhan. Ahahah."
"She doesn't win at life," Joe tersenyum malu karena godaan kakak-beradik yang ada di sampingnya, "I do."
Joe menatap sport wristband abu-abu yang ada ditangannya. Wristband itu tidak sengaja tertinggal dari pergelangan tangan Ari.
Sementara di dalam, Harry menarik Ari sampai ke tengah ballroom. Dansa sudah selesai, sekarang para undangan duduk di meja makan yang disediakan. Intinya, cuma Ari yang berdiri seorang diri di lantai dansa. Harry meninggalkannya untuk naik ke podium, dia membisikan sesuatu pada pemain musik. Ari merasa orang-orang sedang memperhatikannya sekarang, terutama Sophia dan Liam.
"Selamat malam," Harry berbicara lewat mic, "Aku akan mendedikasikan lagu ini untuk gadis di sebelah sana, supaya dia bisa membuka mata kalau yang dia punya adalah seorang Harry Styles."
Ari menutupi wajahnya dengan rambut meskipun tidak ada gunanya. Tentu saja dia dilihat banyak orang karena satu-satunya yang berdiri di lantai dansa. Ari menghentakkan kaki dengan kesal, berpikir kalau Harry akan menyanyikan Lolly lagi untuknya. Dia baru mau menghampirinya di podium ketika musik yang dimainkan berbeda.
Isn't she lovely
Isn't she wonderful
Isn't she precious
Less than one minute old
I never thought through love we'd be
Making one as lovely as she
But isn't she lovely made from love
Ekspresi Ari berubah karena ini pertama kali Harry menyanyikan lagu romantis untuknya. Harus diakui, Ari suka itu. Dia pernah lihat di televisi, Harry menyanyikan lagu ini sebelum memiliki lagu debut. Sebut saja itu penampilan on air perdana Harry. Lagi-lagi Ari jadi orang beruntung malam ini.
Para undangan bersorak gembira memberikan standing applause, termasuk Liam dan Sophia. Mereka berdua seperti orangtua yang menyemangati anaknya dalam lomba lari. Ari tetap akan memberi Harry pelajaran nanti.
Diantara mereka semua, ada satu yang tidak memberikan standing applause, tetap duduk manis di tempatnya. Dia duduk sendiri di meja paling pojok. Topengnya hitam polos menutupi hampir setengah wajah. Yang dia lihat dari tadi adalah Ari, sejak awal kedatangannya. Dia memanggil pelayan terdekat, membisikan sesuatu padanya, lalu tersenyum licik. Entah apa yang direncanakan, tanpa orang itu sadari, dia juga sedang diperhatikan dari tadi. Oleh Joe.
Malam semakin larut. Tamu-tamu berpulangan. Beberapa ada yang memberi selamat kepada Louis dulu, beberapa ada yang langsung pulang. Liam termasuk kategori yang pertama. Dia masih betah mengobrol lama-lama dengan Louis, Niall, dan Nicole. Ari sudah mulai mengantuk, mau tidak mau dia harus menunggu Liam untuk pulang. Ya, kalau dia tidak mau berakhir pulang dengan Harry. Harry masih terus membujuk Ari untuk pulang dengannya.
"Aku lebih baik mati dalam perjalanan pulang dengan Liam. Tidak mau."
"Jangan naif. Jutaan wanita rela mengantri demi berada di posisimu saat ini. Ayolah."
"Oh, justru mereka yang bodoh repot-repot mengantri cuma untuk kau. Aku-tidak-mau." Ari mendengus sambil memain-mainkan tali topengnya. Dia bergeser sedikit dari Harry.
Harry mendengus. Baginya, malam ini adalah malam terburuk yang pernah ada. Pacarnya berdansa dengan orang lain, memergokinya berdua dengan orang lain, dan baru bisa bertemu Ari di akhir acara. Entah apa hubungannya, tapi Harry akan protes pada Liam habis-habisan nanti. Liam sudah seperti punchbag nya sendiri.
"Thomas memegang apa saja waktu berdansa?"
Ari hampir tersedak air liurnya sendiri. Dia menatap Harry dengan aneh, "Pertanyaan macam apa itu?!"
"Pertanyaan masuk akal?"
"Kau tidak punya akal sehat kalau begitu." Ari memalingkan wajah darinya.
"Kau tahu, kan, dia bisa saja ambil kesempatan karena malam ini kau sungguh se—" Kata-katanya terputus begitu Ari memberikan tatapan mematikan, "Pokoknya ambil kesempatan!"
"Kau pikir aku wanita murahan? Lebih baik kau pulang. Baptis dirimu sendiri supaya pikiranmu tidak kotor lagi."
Harry menggeram kesal, dia mengangkat kepalan tangannya ke arah Ari. Jika saja Harry tidak mencintainya, mungkin sudah habis ditangannya saat ini.
"I'm sure you had a great time in the greenhouse." Kata Harry dengan nada sarkastik.
Greenhouse. Ari jadi ingat Joe.
Laki-laki itu tidak terlihat lagi semenjak Harry datang ke greenhouse. Mungkin dia bersama Luke dan Thomas. Ari ingin bertemu dengannya lagi. Joe sangat misterius dan itu membuatnya penasaran. Seandainya tadi Ari lebih berani mengajaknya mengobrol, mungkin dia akan bertanya banyak hal. Alih-alih mengajaknya mengobrol, menatap Joe saja Ari tidak berani. Mata Joe selalu mengalihkannya. Dia tidak bisa menatap wajah Joe tanpa melihat ke matanya. Kalau sudah melihat mata Joe, Ari tidak akan fokus dengan apa yang Joe katakan. Jadi dia harus memalingkan wajahnya ke arah lain, disaat Ari ingin sekali melihat mata Joe. Ingatannya kembali pada saat Joe memutarnya lalu bernyanyi di belakang telinga.
'Dear future wife.'
"Holly molly.." Ari bisa merasakan seribu kupu-kupu berterbangan di perutnya, untuk pertama kali. Dia baru menyadari sesuatu. Joe mengganti liriknya dengan kata 'wife'.
Mungkin kalau ini kamarnya, Ari sudah menjerit-jerit, tidak peduli Liam akan memarahinya setelah itu.
"Atau malah Joe yang mengambil kesempatan?"
Kupu-kupu di perutnya langsung bubar mengingat Harry masih di sini. Harry terus mengajaknya bicara. Ari sedang tidak mood untuk mengobrol. Dia ingin cepat-cepat tidur... memimpikan Joe?
"Hey," Ari menarik kerah kemeja Harry. "Dengar, ya. Mau dia mengambil kesempatan atau tidak, bukan urusanmu. Setidaknya dia tidak berlebihan. Joe menciumku tadi dan itu bukan masalah. Thomas mengajakku bertemu kapan-kapan dan itu bukan urusanmu. Mind your own business!" Bentaknya dengan sedikit bumbu-bumbu kebohongan. Dia sengaja melakukannya agar Harry makin kesal.
"Tentu saja itu urusanku, karena kau pacarku!"
"Kapan aku mau jadi pacarmu?!"
"Pokoknya kau itu pacarku!"
"Grrr.."
"Grrr....."
Harry dan Ari saling beradu kening, menatap mata satu sama lain dengan garang dari jarak yang hanya beberapa inchi. Beruntung Liam datang di waktu yang tepat, langsung memisahkan kening mereka. Mereka berdua sama-sama memalingkan muka. Liam tidak mengerti apa yang terjadi.
Harry tiba-tiba melepas topeng Liam, menunjuk-nunjuk wajahnya dengan raut mengancam. "We will have a long talk." Harry pun akhirnya pergi ke pintu keluar.
Itu akan jadi pertanda buruk bagi Liam, Ari yakin itu.
"Apa yang kau—kau lihat dia tadi?! Aku yang kena imbasnya! Kau—argh, beraninya macam-macam dengan Harry?!" Liam berubah panik. Dia paling takut kalau sudah berurusan dengan Harry. Selalu berujung Liam menuruti permintaannya, atau Liam kalah. Well, same thing.
Ari menyilangkan kedua tangannya, tidak memerdulikan Liam, langsung berjalan ke pintu keluar. Ari sudah bosan melihatnya ciut hanya berurusan dengan Harry.
Ari masuk ke antrian pendek untuk dibagikan Wine sebelum pulang. Liam sudah berada di belakangnya. Dia bisa mendengar Liam bersungut-sungut sendiri.
Asisten Louis yang membagikan Wine tersenyum ketika melihat Liam dan Ari. Begitu dia mau mengambil salah satu Wine dari meja, temannya datang dan justru memberikan Wine lain padanya.
"Thank you for coming, sir." Ucap asisten Louis, memberikan Wine tersebut pada mereka.
Ari menerimanya, lalu berdampingan dengan Liam ke luar rumah Louis.
Sebelum menuruni tangga, tiba-tiba saja Joe datang merebut botol Wine yang dibawa Ari. Beberapa tamu yang ada di sekitar mereka, termasuk Louis dan Nicole, berteriak kaget ketika Joe membanting botol tersebut di depan mereka.
Botol itu pecah sampai pecahan terkecil. Yang lebih mengagetkan lagi, tumpahan Wine mengeluarkan busa berwarna hijau dengan gelembung-gelembung besar.
Ari mundur, berpegangan pada lengan Liam. Tangannya menutup mulutnya. Dia menatap Joe dengan pandangan tak percaya.
Dada Joe naik-turun dengan cepat, "That's not a Wine."
-bersambung-
Maybe ini part terabsurd karena bingung cara nulisnya gimana-_- Mau nanya, kalo misalnya bikin fanfic baru, yang bagus tentang apa? Pengen bikin rich high school kids kaya Gossip Girl tapi terserah kesukaan readers kan heheh
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top