XXVII - The Girl In Floral Dress
Di sana dia berdiri. Memakai gaun pendek bermotif bunga-bunga dan sepatu moccasins perpaduan coklat dan hitam. Ia membiarkan rambutnya yang berwarna golden brown terurai rapi, tapi poninya yang panjang dijepit ke belakang dengan bobby pin. Tangannya tersilang di depan dada, sementara matanya sesekali mencuri pandang ke lelaki yang berada tidak jauh darinya.
Lelaki itu sedang mengobrol dengan teman-temannya, tapi menyadari gerak-gerik gadis itu karena dia juga memperhatikannya dari tadi. Dia sering memergokinya mencuri pandang. Gadis itu akan cepat menoleh ke arah lain ketika mata mereka bertemu. Ia menyembunyikan senyuman ketika memalingkan muka, sementara lelaki itu terang-terangan menunjukkan cengirannya.
Gadis itu bernama Diana Swan.
Dalam bahasa Latin, Diana berarti surga. Sementara Swan berarti angsa. Memang wajahnya secantik angsa surga. Dia orang yang sangat pemalu sehingga laki-laki itu yang harus menghampirinya duluan.
"Sendirian saja, nona?" Tanyanya basa-basi. Tiba-tiba sudah berada di sampingnya. Diana hanya tersenyum padanya seraya mengangguk. Lelaki itu celingak-celinguk, "Di mana pasanganmu?"
"Dia sedang mengambil minuman."
Diana menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Matanya yang berwarna biru laut menatap lelaki di sampingnya dengan agak canggung. Sekarang mau tidak mau, dia harus menatap wajahnya karena mereka sedang mengobrol.
"Ng, kalau dia tahu pasangannya ku pinjam sebentar, apa tidak apa-apa?" Ia sengaja tidak menatap wajah Diana walaupun tangannya terulur ke hadapannya.
Diana tertawa seraya menerima ajakan itu, "Tidak apa-apa, Zayn."
Diana menyukai Zayn dan Zayn tahu itu-sejak lama.
***
Zayn berlari sekencang mungkin. Angin malam tidak menjadi hambatan untuknya kabur dari mereka. Dia hanya ingin memastikan kalau ayahnya di rumah baik-baik saja, setelah itu mungkin ia berniat untuk kabur bersamanya ke tempat yang lebih jauh. Kalau perlu, jadi imigran gelap ke luar negeri karena mereka tidak memiliki uang banyak untuk beli tiket pesawat. Dia tidak mau tertangkap mereka lagi.
Dia berhasil kabur lewat ventilasi kamar mandi. Beruntung bangunan rumah sakit memiliki sela-sela yang bisa ia gunakan untuk turun ke bawah dengan selamat. Zayn langsung kabur secepat mungkin agar tidak ketahuan bodyguard. Orang-orang di jalan banyak yang menganggapnya gila, berkeliaran dengan baju rumah sakit dan tanpa alas kaki. Tapi sudah dibilang tadi, itu tidak menjadi hambatannya. Dia ingin cepat pulang menemui ayahnya.
Zayn berhenti di depan pintu rumahnya. Ia duduk di tangga depan pintu untuk mengatur napasnya sejenak. Tanpa ia sadari, ia menahan napasnya saat berlari. Mungkin saking tegangnya. Dia juga baru merasa dingin sekarang. Napasnya berasap tiap ia menghembuskannya.
"A-a-ay..ayah... b-buka pintunya.." Tangannya menggedor pintu berkali-kali. Dia berharap ayahnya segera membukakan pintu. Zayn bisa mati kedinginan di luar. "Ayah... b-buka pintunya!" Kali ini ia berteriak lebih lantang.
Tidak ada jawaban dari dalam. Padahal biasanya, kalau Zayn pulang malam setelah berkeluyuran, ayahnya segera membukakan pintu. Dia juga khawatir kalau Zayn terlalu lama berada di luar.
"Ayah!!" Zayn kembali menggedor pintu. Hatinya mengatakan kalau ayahnya tidak ada di rumah.
Dia memutar kenop pintu, tetapi terkunci. Ia menabrakkan sisi tubuhnya ke daun pintu untuk mendobraknya, tapi pintu tidak mau terbuka juga. Entah memang pintu rumahnya yang kuat atau tubuhnya yang masih lemas.
"Astaga, ini tidak lucu! Cepat buka pintunya, ay-" Zayn mendengus kesal sebelum berteriak, "Uncle Yasser, buka pintunya!!"
Bunyi rem yang diinjak mendadak memekakan telinganya, disusul beberapa bunyi pintu yang terkesan 'buru-buru'.
Zayn berbalik, mendapati sebuah mobil Land Rover Discovery 4 berwarna hitam sudah berada di hadapannya sekarang. Mati lah, batinnya.
5 pria bertubuh besar berlari ke arahnya. Salah satunya menyentuh tangan Zayn. Zayn langsung bergerak memelintir tangannya ke belakang badan. Tapi teman-temannya yang lain dengan kasar berusaha melepaskan tangan Zayn dari tangan pria itu. Tentu saja dia kalah. Merek main kasar rupanya, ia mendengus.
Zayn masih berusaha memberontak ketika mereka menyeretnya masuk ke dalam mobil. Kakinya yang tidak beralas menahan dorongan mereka. Ia harus menggigit bibir bawahnya karena telapak kakinya mulai sakit bergesekan dengan jalanan, apalagi jalanan itu sangat dingin. Hampir sejengkal lagi ia masuk ke dalam mobil, kedua tangannya kini berpegangan kuat di ambang pintu mobil. Zayn tidak mau masuk ke sana. Walaupun mobil itu tersedia penghangat, dia lebih memilih kedinginan di luar dari pada kembali pada orang-orang tadi.
Dia juga tahu kalau pertahanannya dengan kedua tangan adalah hal sia-sia, para pria itu bisa dengan mudah menendang punggungnya agar Zayn masuk, yah, setidaknya dia sudah berusaha.
Mereka dengan cekatan menyikut kedua tangan Zayn, sehingga pertahanannya lepas. Tidak perlu menunggu waktu lama, mereka mendorong Zayn masuk dan membawanya ke suatu tempat secepat kilat. Tidak perlu ke rumah sakit lagi, mereka semua tahu kalau Zayn sudah sangat sehat sekarang. Note the sarcasm.
Keesokan paginya, Ari mendapati dirinya terbangun di atas tempat tidur kamar rawat inap Harry. Awalnya dia ingin berteriak karena berpikir dia berbagai tempat tidur dengan Harry, tapi lelaki itu tidak ada di sebelahnya, jadi Ari mengurungkan niatnya. Harry justru tidur di sofa panjang yang menghadap ke arah televisi. Ia juga memindahkan tiang infus ke dekatnya.
Ari mengucek mata kemudian meregangkan tubuhnya sambil menguap. Dia lupa kenapa bisa berakhir menginap di rumah sakit. Kalau tidak salah, Paul dan Ashton diam-diam meninggalkannya di sini. Paul hanya meninggalkan piala award Harry dan mantelnya. Dompet Ari ada di mobil, jadi dia tidak bisa pulang. Ini pasti kerjaan Liam. Ari akan membalas mereka berdua nanti.
Ari turun dari tempat tidur. Dia berjalan ke jendela terlebih dulu untuk melihat matahari yang sudah naik seutuhnya, lalu berjalan ke sofa tempat Harry masih terlelap. Kedua tangan Harry tersilang di depan dada, sementara mulutnya mengeluarkan suara dengkuran pelan. Ari diam di tempat memperhatikannya tidur, lalu menyeringai ketika dengkurannya semakin keras.
"Bangun." Sebelah kakinya menendang sofa. Harry justru membalikkan tubuhnya dan makin tertidur pulas. Ari memutar kedua matanya sebelum menendang sofa lebih kencang, "Aku tahu kau sudah bangun. Jangan pura-pura tidur."
Mata Harry perlahan terbuka. Dia melihat ke segala arah dulu, baru menatap Ari, "Morning, babe."
"Oke, aku tahu kau mencoba untuk jadi gentleman, tapi tempat tidurmu sudah dipakai banyak orang sakit! Kalau aku ikut sakit, bagaimana?!" Tembaknya langsung.
Sebenarnya semalam Harry terbangun dan melihat Ari tertidur di sofa. Dia tidak tega melihatnya, jadi dia memutuskan untuk bertukar tempat dengan menggendongnya. Harry tidak berani membangunkan Ari, dia sudah menduga Ari akan mengamuk habis-habisan kalau langsung melihat wajahnya ketika bangun tidur.
Harry menghela napas, dia menghiraukannya dan lebih memilih mengecek ponsel. Ada dua pesan masuk.
"Hey, Liam dan Louis Walsh sudah di sini." Harry menunjukkan pesan di ponselnya pada Ari.
"Apa? Kenapa pagi-pagi sekali?"
"Karena hari ini aku sudah boleh pulang." Harry membaca pesannya, "Lalu katanya di depan masih banyak fans dan paparazzi, jadi sekalian meng-cover beritamu yang kabur dari podium itu."
Ari mengambil ponsel Harry, gantian membacanya, "Astaga, kenapa mereka senang sekali jadi penguntit? Lagipula aku bukan kabur. Kalau bukan karena berita itu, aku pasti betah berlama-lama di sana karena ada Louis Tomlinson. Huh.."
Ari duduk di samping Harry-agak jauh tentunya. Banyak sekali yang menjadi beban pikirannya saat ini. Orang-orang di internet pasti sudah mengkritiknya yang macam-macam, terutama haters yang notaben adalah fans Harry juga. Sejauh ini, belum pernah dia bertemu fans yang baik di jalan. Haters selalu membuat namanya jelek karena melabrak mereka. Padahal Ari hanya mau membela diri. Tentu saja, siapa yang tahan mendengar orang lain membicarakannya yang tidak-tidak.
"Kenapa kau bengong?" Harry menekan digit remot televisi untuk mencari chanel yang menurutnya bagus. Dia berhenti pada chanel yang menyiarkan acara olahraga.
"Tidak apa-apa, kok." Ari memandang televisi dengan pandangan kosong, sebelum bertanya, "Kau belum jawab pertanyaanku. Kenapa kau benci Zayn?"
Wajahnya mengernyit tidak suka mendengar nama itu disebut. Harry mengedikkan bahu, "Kalau cinta tidak perlu alasan, apa benci harus ada alasan?"
"Tentu saja. Karena benci dan cinta itu beda. Oh, ayolah! Jangan membuatku berputar-putar! Jawab sekarang!" Ari memukul punggung tangan Harry. Kalau laki-laki itu memutar pembicaraan, ujung-ujungnya pasti dia akan mengalihkan topik. Dan Ari setengah mati penasaran dengan jawabannya.
"Tentu saja karena dia beda kasta dengan kita. Kau pikir apa lagi?"
"Aku juga beda kasta denganmu. Aku cuma gadis dari kota kecil yang diadopsi kakak tiriku ke rumahku sendiri."
"Kau bicara apa? Kau ini adik Liam Payne, alias calon iparku." Harry langsung memeluk Ari erat-erat seperti koala yang tidak mau lepas dari pelukan pengunjungnya.
Ari mendorong wajah Harry agar menjauh tapi tetap saja tidak mau lepas, "Kau menjijikan, Harry! Menyingkir!"
"OH MY GOD, GO GET A ROOM!"
Perhatian mereka teralih ke pintu. Di sana, Liam, Louis, seorang dokter, dan suster berdiri menutupi mata masing-masing dengan tangan. Meskipun begitu, Liam tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Tidak sia-sia ia menyuruh Paul dan Ashton meninggalkan mereka berdua.
Ari dengan satu hentakan keras, menginjak kaki Harry. Harry pun akhirnya lepas juga. Dia memegangi kakinya yang tidak beralas sambil mendesis kesakitan. Walaupun Ari juga tidak memakai alas kaki, tapi rasanya seperti diinjak menggunakan boots tentara.
Ari bangkit dari sofa, memukul bagian belakang kepala Liam sebagai balasan karena sudah merencanakan ini semua. Sayang, Paul dan Ashton tidak ada di sini. Padahal tadinya Ari beriat mengeplak kepala mereka bertiga secara beruntun. Liam membalas pukulannya, sampai pada akhirnya Louis Walsh harus memisahkan mereka.
Liam bilang kalau Paul dan Ashton ada di bawah sedang melayani satu per satu pertanyaan paparazzi dan fans yang sudah menunggu lama. Ari berharap Paul tidak menjawab berlebihan yang pada akhirnya memaksa dia dan Harry terlihat lebih mesra di depan publik.
Dokter dan suster memeriksa keadaan Harry sekali lagi sebelum melepas selang infus di tangannya. Dia sudah bisa pulang, tapi harus beristirahat lebih banyak. Kepalanya yang terbentur kaca mobil lumayan keras bisa saja sakit sewaktu-waktu. Harry mendengus mendengar pesan dokter. Kalau begitu, artinya dia harus mengundur satu konser lagi di Las Vegas.
"Bawakan koperku." Perintah Harry ketika mereka keluar dari kamar rawat.
"Apa? Tidak mau." Ari menyembunyikan kedua tangannya di belakang ketika disodorkan koper warna biru tua berukuran sedang. Kenapa dia jadi babunya sekarang. "Suruh Ashton saja yang bawa."
"Ashton di bawah. Dan tanganku masih lemas, kalau aku membawa koper sendiri, bisa-bisa sampai parkiran aku pingsan, lalu tertangkap kamera-"
"Baiklah, baiklah, sini ku bawakan. Cih, dasar lemah." Ari menyambar koper dari tangan Harry dengan tidak ikhlas. Dia berjalan paling depan melewati Louis dan Liam sambil menggeret koper. Ari ingin cepat-cepat pulang supaya berpisah dengan Harry, dan berharap ini adalah kali terakhir dia terperangkap berdua saja dengannya.
Mereka masuk ke lift. Liam dan Louis seperti biasa, berbicara bisnis, sementara Harry terus-terusan menggodanya. Pintu lift terbuka persis menghadap pintu rumah sakit. Fans langsung berteriak histeris melihat Harry. Ari-dengan terpaksa-menggandeng tangan Harry ke luar lift. Ketika pintu otomatis terbuka, mereka berdua berjalan cepat ke tempat mobil di parkir.
"Mobilmu yang mana?" Tanya Ari saat sudah berjarak agak jauh dari kerumunan fans. Ternyata membawa koper di tengah keramaian sangat merepotkan.
"Aku tidak tahu diparkir di mana. Sepertinya di sekitar sana. Aku panggil sopir dulu, kau tunggu."
Ari mengangguk. Ia menyandarkan kedua tangannya di atas gagang koper sambil melihat fans yang masih sibuk mengambil fotonya. Mungkin Ari akan dikritik lagi dengan wajah bangun tidurnya yang beredar di internet.
"Lama tidak berjumpa, orphan."
Seorang wanita datang menghampirinya. Ia membuka kacamata hitamnya begitu melihat Ari. Wanita itu kelihatan senang bertemu dengannya.
Ari mendecak bertemu Sophia lagi, "Kau lagi rupanya." Entah apa yang dilakukannya di sini, tapi Sophia berpakaian sangat modis hari ini. Sepertinya tidak mungkin dia mau menjenguk orang dengan mantel bulunya yang mencolok, "Kau mau menyebarkan virus flu burung, huh?"
Sophia membelalak, dia mungkin bisa menampar Ari sekarang kalau saja tidak ada paparazzi atau fans yang melihat. Jadi yang dia lakukan adalah mengibas rambutnya ke wajah Ari sebelum pergi ke pelukan Liam.
"Dasar wanita gila!" Ari mengucek matanya yang tercolok ujung rambut Sophia. Entah shampoo apa yang dia gunakan sampai rambutnya terasa sangat tajam.
"Siapa yang gila?"
Ah, shit. Ari tahu siapa ini. Kenapa dia harus di sini juga. Ari membuka matanya, mendapati seorang pria berpakaian casual sedang menatapnya dengan penasaran. Berbeda dengan dandanan adiknya.
Vin tertawa melihat ekspresi Ari yang priceless, "Tidak ku sangka kita akan bertemu lagi. Apa ini yang namanya takdir?"
"Apa yang kau lakukan di sini?" Giliran Ari yang menatapnya penasaran, atau lebih ke curiga.
"Menurutmu apa?" Vin berjalan maju.
"Mengantar Sophia?"
"Kepada siapa?" Vin mengambil langkah maju lagi.
"Ng, Liam..?"
"Apa kau pikir itu mungkin?"
"Tentu saja tidak, you don't get along with him. Kau tidak pernah bertemu dengannya meskipun Sophia adalah pacarnya. Kalian berdua bahkan membicarakannya di belakang."
Ari cepat menutup mulutnya ketika kata terakhir keluar. Dia tidak seharusnya mengatakan itu. Itu artinya dia sama saja bunuh diri.
Tatapan Vin berubah menjadi intens, "Membicarakan seperti apa maksudmu?"
"Bukan aku yang menguping kalian di mobil."
"Aku tidak mengatakan apa pun." Vin menaikkan sebelah alisnya.
Ari sadar kalau comeback nya malah makin membuatnya tersudut. Dia benar-benar dalam bahaya sekarang, "Oh." Hanya itu yang bisa dia katakan.
"Oh." Vin mengikutinya, menatapnya tajam disertai seringai setan. Ari bersumpah, itu lebih menakutkan daripada setan yang asli.
Louis Walsh datang menarik tangannya menjauh, meninggalkan Vin yang masih diam di tempat. Louis menggenggam tangan Ari erat-erat, sesekali menengok ke belakang ke arah Vin. Ia mendecak menggelengkan kepala.
Lagi-lagi ada malaikat yang menyelamatkannya dari situasi canggung. Dan omong-omong, semoga fans yang lihat kejadian itu tidak berpikir macam-macam.
"Apa yang kau lakukan, Arianne?" Louis bertanya dengan raut wajah tak percaya.
"Aku juga tidak tahu. Terimakasih sudah menyelamatkanku."
Louis menghela napas sebelum mengangguk pelan, "Tidak ada yang mau mendekatinya. Terutama kau adalah anak kandung Simon, tidak boleh dekat-dekat dengannya. Jangan ulangi lagi. Apa Liam tidak pernah memberitahumu?"
Ari memutar kedua matanya, "Tidak, karena Liam bodoh."
"Dia pasti punya alasan di balik kebodohannya. Dia tahu kau malah akan nekat mendekatinya kalau Liam yang bilang."
Mobil Harry baru muncul dari hanya-Tuhan-yang-tahu-di-mana-dia-parkir. Ari mengutuknya karena tidak cepat datang, pasti kejadian tadi tidak terjadi. Dari jendela, Harry mengeluarkan hampir setengah badannya dan melambaikan tangan pada Ari. Ari membalas lambaian tangannya, membuat fans berteriak iri melihat pemandangan itu.
"Memang ada apa dengan Liam dan Vin?"
"Ini bukan tentang Liam," Ari mengerutkan alis bingung, "Tapi ayahmu."
"Ayah?"
"Semua orang pun tahu kalau ayahmu punya musuh bebuyutan sejak lama. Masing-masing punya ambisi kuat untuk saling menjatuhkan."
Mobil Harry berhenti di depan mereka. Pintu bergeser otomatis menandakan Ari untuk masuk. Ari naik ke mobil, Louis hanya mengantarnya saja. Sebelum pintu ditutup, ia bertanya sekali lagi padanya.
"Memang apa yang mereka incar?"
Louis tersenyum, mengedikkan bahu menjawab pertanyaan itu, "Harta karun?" Nada bicaranya ambigu, itu membuat Ari makin penasaran, "Sudahlah, jangan lupa datang ke acara ulang tahunku ke-63. Pastikan kalian tidak salah kostum, akan banyak orang penting yang datang."
Louis mengerlingkan mata padanya dan Harry sebelum pintu tertutup.
-bersambung-
Helloo~ Jadi.. ada yang tau Briana Jungwirth?-_- Mukanya tak secakep Eleanor but yasudahlah, kangen liat Louis pacaran :"
Makasih yang udah vote dan comment di previous chapter, yang mau didedikasiin inbox ya. Diana Silvers as Diana Swan (cameo doang sih).
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top