XXIX - Once Upon A Masquerade


"Ada apa di antara kau dan Diana? Oh, apa ini semacam pembalasan untukku?"


"Sorry, mate. Cara apapun adalah adil dalam pengkhianatan."


***


"Ah, ya Tuhan, aku tidak bisa berjalan dengan baju aneh ini!" Ari mengangkat tinggi-tinggi bagian depan gaunnya. Tapi percuma saja, dia tetap tidak bisa berjalan dengan normal memakai stilettos. Lagi-lagi dia harus berpegangan tangan pada Kevin seperti wanita mau melahirkan, belum lagi bawahan gaunnya yang sangat panjang.


Liam yang memaksanya memakai sepatu itu lagi. Ari tidak terlalu masalah untuk memakai gaun karena itu memang dresscode pesta ini, tapi dia lebih memilih pakai dungaree saja kalau ternyata gaun yang dibelikan sepanjang ini. Ini yang dia tidak suka kalau bepergian dengannya. Liam pasti memaksanya untuk memakai pakaian girly, apalagi di depan publik.


Malam ini mereka berdua akan berangkat ke rumah Louis Walsh-Ari bersyukur dia tidak berangkat dengan Harry. Sayang, bisa dipastikan Vin juga datang ke sana bersama Sophia.


"Jangan banyak mengeluh, cepat keluar, aku akan menunggu di ruang tamu." Liam meninggalkan ambang pintu kamar Ari.


Ari mendengus. Pegangannya pada Kevin mengerat seraya berjalan menyusul kakaknya. Meski begitu, dia masih kesusahan berjalan dan merasa akan jatuh.


"Masih bisa berjalan, Nona?" Kevin memperhatikan kaki Ari yang untuk berdiri saja gemetaran.


"Kelihatannya bagaimana, hah?" Ari melepaskan pegangan tangannya pada Kevin dan duduk di tepi tempat tidur. Dia melepas stilettos, menggantinya dengan sneakers high top berwarna hitam. Dan sekarang dia bisa berjalan tanpa bantuan Kevin.


Liam menghabiskan tegukan terakhir tehnya sambil menunggu Ari. Gadis itu akhirnya ke luar dengan mengangkat gaunnya tinggi-tinggi sampai sneakersnya terlihat. Awalnya dia mau memarahinya dan menyuruh berganti dengan stillettos, tapi dia tidak mau sampai telat hanya karena beradu mulut dengan Ari.


"Kita naik mobil yang mana?" Tanya Ari begitu melihat beberapa dari koleksi mobil Liam terparkir di depan pintu rumah. Tidak biasanya mereka dikeluarkan dari garasi. Di sisi pintu tiap mobil, satu bodyguard berdiri menatap mereka berdua. Entah apa yang sedang mereka lakukan. Menurut Ari, mereka akan ikut ke rumah Louis Walsh dengan mobil-mobil itu. Ah, tapi sepertinya tidak mungkin Liam berbaik hati mengizinkan mereka mengendarai mobilnya.


Ditanya begitu, Liam justru menyeringai ambigu dengan sebelah alis terangkat. Kevin datang menghampirinya dan menyerahkan sekumpulan kunci hitam yang dipastikan merupakan kunci dari mobil-mobil ini. Setelah itu, Liam malah menyodorkannya ke hadapan Ari.


Ari mengernyit dahi dengan bingung.


"Kau pilih sendiri."


Ucapan Liam barusan berhasil membuatnya terbelalak. Semoga dia tidak salah dengar karena ini baru pertama kalinya ada orang yang menyuruhnya memilih mobil mahal. Dan yang paling tidak bisa dipercaya, orang itu adalah kakak tirinya sendiri, orang kedua yang ia tidak suka keberadaannya setelah Harry. Entah setan apa yang merasuki Liam saat ini, yang pasti Ari bingung harus memilih kunci yang mana.


Sejujurnya, Ari mau semuanya. Tentu saja, dia tidak pernah punya mobil semewah ini sebelumnya. Dia tidak tahu kunci mana yang merupakan mobil yang mana, jadi dia hanya menunjuk asal pada kunci yang paling kiri.


Liam mengernyit melihat pilihan Ari jatuh pada mobil-yang menurutnya-paling membosankan karena merupakan milik mendiang ibunya dulu, "Limousine?" Tanyanya setengah tertawa, sebenarnya tertawa meremehkan. "Kau pikir kita akan ke prom anak SMA?" Liam menggeleng-geleng. "Percuma aku suruh kau pilih, pilihanmu payah. Naik limo itu sudah sangat old school, sister."


Ari memutar kedua matanya, so old school bagi Liam, so cool bagi Ari.


"Let's take a Lykan Hypersport ride, instead."


Mobil yang paling kanan berbunyi ketika Liam menekan tombol di kuncinya. Ia mengembalikan sisa kunci pada Kevin sebelum berjalan ke mobil. Bodyguardnya membukakan pintu yang bergerak ke atas untuk Liam, sementara Ari masih diam di tempat masih tidak percaya dia akan masuk ke kendaraan itu.


"Kau mau ku tinggal atau bagaimana? Cepat masuk."


Liam menginjak pedal gas hingga suara knalpotnya membuat Ari menelan ludah. Ia turun dari teras rumahnya menuju mobil. Bodyguard membukakan pintu untuknya juga. Ari harus repot-repot memasukkan semua gaunnya ke dalam karena ia baru pertama kali naik mobil sekecil itu. Pintu mobil pun akhirnya tertutup.


Liam memundurkan mobilnya keluar gerbang rumah, "Pakai sabuk pengaman."


"Hah?-Whoooaaa..."


Ari berteriak histeris ketika Liam langsung melajukan mobil secepat mungkin. Sudah dua kali dia merasakan naik mobil berdua dengannya dan selalu mengebut. Kalau dalam situasi begini, yang Ari lakukan adalah mengingat dosa-dosanya karena dia takut sesuatu yang buruk terjadi di tengah jalan.


Mobil melaju melewati rumah besar yang sering Zayn singgahi. Ari sengaja melihat ke sana kalau-kalau orangnya ada. Bagaimana pun juga, dia sangat merindukannya. Sudah 2 minggu mereka tidak bertemu. Setiap malam Ari terus berharap seseorang mengetuk jendela kamarnya lagi. Tapi itu tidak terjadi.


Matanya menangkap sosok bayangan di tempat Zayn biasa duduk. Penerangan di tempat itu tidak terlalu terang, jadi Ari hanya melihat bayangan hitam. Orang itu juga sedang duduk termenung. Menatap ke jalanan.


Ari tidak bisa melihat terlalu lama karena mobil berjalan cepat. Kalau dia menyuruh Liam berhenti, tentu saja dia tidak mau waktunya terbuang hanya untuk Ari memastikan siapa yang ada di sana. Hatinya berharap kalau itu adalah Zayn, setidaknya dia melihatnya lagi meskipun hanya dari bayangannya.


Liam menyadari gerak-gerik Ari yang gelisah, jadi dia ikut melihat ke luar jendela di samping Ari, "Ada apa, sih?"


"Tidak ada apa-apa." Mendengar jawaban itu, Liam mengedikkan bahu masa bodoh.


Kurang dari 15 menit, mereka sudah sampai di rumah Louis Walsh. Penjaga gerbang meminta untuk menunjukkan undangan sebelum diberi masuk ke dalam. Setelah dicek, mobil diperbolehkan masuk. Halaman depan rumah penuh dengan mobil-mobil mewah. Sudah pasti bukan orang sembarangan yang datang.


Sementara mobil Lykan yang Liam kendarai menjadi perhatian orang-orang yang baru turun dari mobil atau sedang berjalan menuju pintu masuk. Maksudnya, siapa yang datang ke pesta seperti ini dengan mobil sport? Dan menjadi perhatian banyak orang adalah tujuan Liam membawa Lykan ke sini, meskipun ini bukan pestanya.


Lewat jendela, Ari bisa lihat Sophia sedang repot mengangkat gaunnya sambil bergandengan tangan menaiki tangga dengan Vin.


Vin.


Ah, kenapa Louis Walsh harus mengundang orang itu? Padahal dia sendiri yang menyuruh Ari untuk menjauhinya. Tapi mengundangnya lebih baik daripada tidak dan tiba-tiba di tengah acara, dia datang menghancurkannya seperti Maleficent.


Ari dan Liam turun dari mobil. Tidak lupa memakai topeng masing-masing. Topeng milik Ari berwarna perak dan putih, sementara Liam berwarna emas. Keduanya sama-sama hanya sebatas bawah mata dan terlihat klasik dan elegan. Ari berharap tidak ada yang memakai topeng yang aneh-aneh di dalam karena itu akan membuatnya takut.


Liam dan Ari menengok satu sama lain.


"Kau siap?" Tanya Liam, disusul anggukan oleh Ari. Dia pun menyodorkan lengannya untuk digandeng. Mengagetkan memang, mereka bisa akur seperti ini. Tapi Liam ingin menunjukkan pada para undangan kalau mereka adalah siblings goals.


Ketika pintu dibukakan oleh penjaga, Ari menganga lebar dengan apa yang ada di hadapannya. Sebenarnya tempat ia berdiri sekarang hanya ruang tamu dan ruang tengah yang menyambung, tapi disulap menjadi hall mewah bernuansa kuning emas. Ini pertama kalinya Ari datang ke pesta dansa, jadi dia tidak henti-hentinya mengagumi apa yang ada di sekitarnya. Sementara Liam acuh karena sudah ke sekian kalinya dia mendatangi pesta seperti ini.


Tamu-tamu yang datang berpakaian sangat mewah. Masing-masing sudah memegang minuman dan bercengkrama dengan rekan-rekannya.


"Babe!"


Ari yang tadinya sibuk mengagumi tiap inchi dekorasi, berubah sebal mendengar suara itu. Liam lekas melepas pegangannya dari Ari. Sebenarnya Ari sangat menikmati waktu berdua dengan kakaknya yang-tumben-baik padanya. Kalau Sophia datang, pasti sifat aslinya kembali.


Sophia keluar dari lingkaran grup perempuan. Dia berlari kecil menghampiri mereka berdua dan langsung memeluk Liam erat-erat. Ari menatap penampilannya dari bawah sampai atas. Harus diakui kalau Sophia tidak berpakaian yang over seperti biasanya. Dia memakai baju model mermaid ditambah topeng berbentuk kupu-kupu berwarna pink metalik.


"Kau terlihat tampan!" Pujinya, mengelus pipi kanan Liam dengan halus.

Ari mendecih seraya mengernyitkan hidung. Dia tahu kalau itu hanya pencitraan. Wajah Liam, kan, tidak kelihatan.


Sophia gantian memperhatikan Ari. Sebenarnya ketika melihat mereka, Sophia mengira Liam datang dengan wanita lain. Ternyata itu hanya Ari. Ari yang sangat cantik. "Hm, good evening, orphan." Sapanya dengan wajah kurang bersahabat. Meski dia yang memilihkan gaun untuknya, Sophia tidak menyangka kalau Ari akan terlihat sangat berbeda memakai gaun itu.


Liam hanya melirik Ari sekilas, lalu menggandeng Sophia menemui beberapa rekannya yang juga datang. Ari terpaksa harus mengikuti mereka seperti roda ketiga sekaligus anak anjing. Dia tidak kenal siapa-siapa di sini kecuali Vin dan Harry, dua orang yang notaben tidak ingin ia temui.


"Sophia, lama tidak bertemu." Seorang lelaki pirang rekan Liam, memeluk Sophia. "Ah, siapa gadis cantik di sebelah sini?" Ia membuka tangannya hendak memeluk Ari, tapi Ari tidak kenal, jadi dia tidak menyambutnya.


"Eh, Niall, ini Ari, adikku. Ari, ini Niall Horan, dia salah satu penyanyi di bawah naungan label milik Louis, sekaligus putra konglomerat, calon penerus pemimpin perusahaan brand olahraga." Mulut Ari membentuk huruf o. Dia pasti kaya sekali, pikirnya. Setelah dikenalkan, Ari baru mau menyambut pelukan itu.


"Kau datang bersama pasanganmu?" Tanya Niall.


"Tidak, aku tidak punya."


"Kalau aku jadi pasanganmu malam ini, bagaimana?" Godaan Niall langsung membuat Liam menginjak kakinya, "Ow, sakit tahu!"


"Kau tidak berubah Niall, hahaha. Dia pasanganku, kok, malam ini." Mendengar jawaban Liam, Sophia memasang raut wajah tidak suka. Tapi itu memang benar, kan? Ari datang bersama Liam, jadi otomatis Liam adalah pasangannya, sementara Sophia datang bersama Vin.


"Ya, bagaimanapun juga Liam pasangan hidupku. Ku rasa Vin masih available." Sahut Sophia, kini Liam yang tidak suka mendengar nama itu disebut.


Niall mencairkan suasana dengan berganti topik membicarakan bisnis, sesuatu yang tak ia mengerti. Dari dulu menurutnya, pembicaraan seperti itu hanya terjadi antara orang kaya dan orang kaya. Dari yang ia lihat di televisi begitu. Dan menurutnya, Ari bukan orang kaya walaupun sekarang dia tinggal di istana.


Ari menyilangkan tangannya berdiri di belakang Liam. Matanya mengedar ke sekitar. Semua yang ia lihat adalah orang-orang kelas atas yang tak ia kenal (meskipun ada beberapa orang terkenal, tetap saja dia tidak mengenalnya secara personal). Tujuan awalnya menerima paksaan Liam untuk datang adalah makanan yang enak-enak, tapi kalau tahu begini, dia tidak akan ikut.


Ari memutuskan pergi ke bar untuk memesan minuman.


Ternyata di sana juga ramai. Kebanyakan laki-laki. Semua bangku dan sofa penuh, kecuali satu stool yang tersisa di depan meja bartender. Ari langsung mendudukinya agar tidak ada yang mendahului.


"Mocktail." Ia berkata pada bartender perempuan.


Bartender itu membuatkan pesanannya, kemudian menaruhnya di hadapan Ari. Ari mengucapkan terimakasih sebelum menelan tegukan pertama.


Dia baru sadar kalau bar ini sebenarnya hanya dapur rumah. Dapur rumah yang sangat besar, tentunya. Dari sini, balkon lantai dua masih bisa terlihat. Louis Walsh terlihat sedang bercengkrama dengan seseorang yang seumuran dengannya. Mungkin teman lama.


Mereka berdua kelihatan sangat akrab. Rekannya didampingi oleh dua orang lelaki muda, sementara Louis didampingi seorang wanita yang seumuran dan seorang lelaki muda. Ketiga lelaki muda itu berfigur tinggi, mungkin tampan kalau mereka melepas topeng. Mereka bertiga juga terlihat akrab dan beberapa kali tertawa bersama.


Perhatian Ari teralih ketika sekumpulan perempuan yang tadi bersama Sophia terlihat histeris melihat ke atas balkon. Pasti karena tiga lelaki itu.


Ari iri melihatnya. Dia rindu punya teman main. Dulu waktu masih sekolah, dia punya dua sahabat yang merupakan saudara kembar. Tapi setelah kelulusan, mereka sekeluarga pindah ke Las Vegas.


Louis dan rekannya menutup perbincangan dengan saling berpelukan, tetapi rekannya masih mendampinginya ketika pelayan rumah Louis mendorong troli kue besar ke balkon. Sepertinya acara utama akan dimulai.


Wanita yang berada di samping Louis mendentingkan gelas kaca untuk menarik perhatian tamu-tamu. Sebagian orang yang ada di bar kembali ke hall utama, tapi Ari tetap pada tempatnya.


"Mohon perhatiannya." Kata wanita itu, masih mendentingkan gelas. Setelah perhatian sudah didapatkan, dia menghentikannya. "Kami sangat senang, kita dapat dipertemukan di malam yang sangat istimewa. Hari yang juga sangat spesial, karena kakakku resmi bertambah usia...."


"Dia Nicole Walsh, adik Louis Walsh. Perempuan yang sangat keibuan dan anggun. Style-nya selalu menjadi inspirasi bagi para desainer terkenal." Bartender tadi yang membuatkannya minuman tiba-tiba berbisik dari belakang meja. Ari memperhatikan penampilan Nicole dari atas sampai bawah. Pantas gayanya terlihat berbeda dari yang lain. "Dan pria yang di sebelahnya, itu David Foster. Aku yakin kau sudah tahu dia."


Ari teringat ibu. David Foster adalah kesukaan ibunya. Karena ibu suka permainan pianonya, dia pun belajar piano, dan mengajarkannya lagi pada Ari. Kalau ibu masih hidup, Ari pasti akan mengajaknya ke sini. Ibunya tidak akan sungkan-sungkan untuk naik ke atas dan menyalaminya. Sepertinya dari siapa kebiasaan blak-blakan Ari terwaris sudah terjawab.


"Dia kesukaan ibuku." Kata Ari.


Bartender itu mengangguk, "Well, ibumu menyukainya, kau mungkin menyukai anak-anaknya. Kau lihat dua laki-laki yang bersama David? Luke dan Thomas. They're the hottest humans alive.. after Harry Styles, obviously.Nobody compares to that curly-haired hottie. Wanita mana pun rela menjadi sekedar one-night stand mereka. Including me. Sayang, Luke sudah punya tunangan. Tapi masih ada harapan untuk Thomas."


Ari ingin tertawa. Dari jauh saja dia bisa lihat kalau Luke dan Thomas jelas lebih tampan dari si keriting menyebalkan. Padahal mereka berdua tertutup topeng.


"Mereka lama tidak terlihat karena punya kesibukan masing-masing di Amerika dan Australia, apalagi sekarang Thomas tinggal dengan ibunya. Kabarnya dia tidak memiliki hubungan baik dengan David."


"Kau tahu banyak tentang mereka," Ari menyipitkan matanya, "Kau fans mereka?" Ia sedikit menyeringai. Hal pertama yang ada di kepala Ari kalau teringat kata 'fans' adalah.. penguntit. Meski dia tahu, tidak semua fans sibuk mengikuti berita terbaru idolanya. Sepertinya dia masih tidak bisa lepas dari bayang-bayang kekejaman fans Harry.


"Let me finish!" Ari bisa lihat kalau bartender ini semangat sekali membicarakan mereka, "Kalau yang bersama Louis.. astaga, dari mana aku harus memulainya?" Ia menggaruk kepala. "Namanya Joe."


"Okay," Ari mengangguk mengerti membiarkan ia melanjutkan.


"Kalau Luke, Thomas, dan Harry adalah the hottest humans alive, maka Joe is the god. Kalau wanita mana pun rela menjadi one-night stand mereka, maka wanita mana pun harus menjadi one-night stand Joe." Terangnya dengan menekankan kata 'harus'. "Dia sudah lama sekali tidak terlihat, lebih jarang dari Luke dan Thomas. Kabarnya, dia tidak tinggal satu atap dengan Louis, tapi tinggal dengan keluarga ibunya. Kehadirannya lah yang membuat gadis-gadis kaya di sana hampir kehabisan napas sekarang." Telunjuknya terarah pada teman-teman Sophia. Mereka jadi lebih fanatik dari sebelumnya. Ari bingung kenapa mereka diundang ke sini. Sikapnya tidak mencerminkan orang kaya, tidak berkelas. Sama saja dengan perempuan populer di sekolahnya yang bangga memakai barang replika brand-brand terkenal.


Ari memutar kedua matanya dan kembali melihat ke balkon. Tapi rasanya ada yang aneh di antara Thomas, Luke, dan Joe. Ari seperti pernah melihat yang namanya Thomas.


".... Jadi, mari kita rayakan malam istimewa ini!" Nicole mengakhiri pidato singkatnya. "Selamat ulangtahun, Louis!"


Setelah itu, dua botol sampanye meletus. Para tamu mengikuti gerakan Nicole yang mengangkat gelas cocktailsnya dan berteriak gembira. Louis memotong kue besar di sampingnya, menyerahkan potongan pertama pada Joe. Tapi Joe menolak dan malah memberikannya kepada Nicole.


Pesta ini mengingatkan Ari pada pesta friday night SMA. Hampir mirip, tapi tentu pesta ini jauh lebih berkelas. Sudah lama sekali dia tidak minum alkohol. Itu juga hanya sekali waktu SMA, dan dia menyesal telah pulang dengan keadaan mabuk. Sebagai hukuman, ibu tidak memberi uang saku selama 2 minggu.


"Kau tidak bawa pasangan?" Tanya bartender ketika orang-orang mulai menggadeng pasangannya untuk berdansa. "Semua orang di sini punya pasangan."


Ari sedikit tersinggung. Memangnya cuma dia yang tidak punya pasangan? Lagipula Ari tidak tertarik juga, dia tidak bisa dansa. "Kau pikir ini prom anak SMA? Bawa pasangan itu sudah sangat old school, sister." Ia tertawa hambar, meminum mocktailnya.


"Ya, tapi semua orang di sini punya pasangan." Bartender itu mengedikkan bahu.


Ari memasang wajah kesal. Bartender itu memang benar, tapi entah kenapa membuatnya tersinggung. Ari tersenyum kecut padanya sebelum pergi membawa minuman.


Ari menghentakan kakinya keras-keras. Dia jadi sensitif kalau disinggung soal pasangan. "Hih, apa-apaan dia bilang begitu? Dia pikir aku perempuan tidak laku yang ditinggal pergi sehabis bertengkar lalu berciuman panas di antara tembok dan sekarang entah ke mana? Hahaha tidak mungkin." Oops.


Ia bersandar pada salah satu kolom rumah di pinggir hall menonton pasangan yang sedang menunggu musik Waltz untuk dimainkan. Ari jadi ingin. Semua ini gara-gara perkataan si freaky fan girl bartender itu. Tadinya dia mau mengajak Niall, tapi lelaki itu sudah pergi dengan perempuan lain.


Ari mendengus, meneguk minuman untuk yang terakhir kali. Setelah itu dia berniat mencari Sophia dan Liam. Walaupun jadi roda ketiga, setidaknya dia tidak merasa sendirian di sini.


"Nona," Baru ia mau pergi, seseorang menahan pergelangan tangannya. "Mau jadi pasanganku?"


Ari memutar badan. Pria yang mengajaknya mengenakan topeng hitam polos. Ari terdiam sejenak untuk mengenali siapa figur di hadapannya. Rambutnya hitam tertata menggunakan gel rambut. Pria itu menyeringai kecil, seringaian yang manis menurut Ari. Dari ekor mata, Ari bisa lihat bartender tadi membelalak ke arah mereka. Kenapa dia?


"Namaku Thomas." Pria itu memperkenalkan diri. Pantas. Entah kenapa ia memilih Ari untuk dijadikan pasangan dansa.


Tidak perlu menunggu jawaban Ari, Thomas langsung menggandengnya ke lantai dansa. Dia tidak sabar untuk berdansa dengannya.


Ketika musik dimainkan, Thomas lagi-lagi membungkuk sebagai pembukaan dansa. Sedangkan Ari diam mematung tidak tahu harus bagaimana. Tangan Thomas menggenggam tangan Ari, kemudian bergerak sesuai irama.


"Aku tidak bisa dansa." Tepat setelah mengatakannya, Ari tidak sengaja menginjak Thomas.


"Tidak apa-apa.." Thomas tersenyum kecut, sebenarnya kesakitan. Harry yang bilang kalau kaki Ari sekeras boots tentara. "Jadi.. kau belum pernah ke pesta dansa sebelumnya? Bagaimana dengan prom?"


Dalam hati, Ari tertawa. Dia tidak mungkin mengaku kalau acara prom jadi rusak karena jahil mengarahkan asap api ke alat pemadam kebakaran otomatis sekolah.


"Aku sedang berlibur waktu itu."


"Oh," Thomas mengangguk.


Kata bartender, Thomas adalah salah satu the hottest humans alive. Jadi Ari memperhatikan bagian wajahnya yang tidak tertutup topeng. Rambutnya jambul tertata rapi, matanya berwarna golden, sementara bibirnya kemerahan, dagunya tegas sedikit ditumbuhi beard. Ari tidak bisa mengira-ngira bagaimana wajah aslinya, tapi dia setuju kalau Thomas tampan.


Ari melihat ke kaki Thomas, ia ingin menyesuaikan langkahnya agar tidak terinjak lagi. Tadi sangat memalukan.


"Kau harus melihat wajah partnermu saat berdansa, bukan kepunyaannya!"


Thomas dan Ari sama-sama menengok ke pria di sebelah kiri. Pasangan perempuannya juga kelihatan kaget dengan ucapan itu.


Butuh beberapa detik untuk Ari mengenalinya. Rambut keriting, postur tubuh tinggi, dan kalung pesawat kertas yang ada di lehernya....


Harry.


Harry terlihat sangat cemburu. Matanya tidak pernah lepas dari tangan Thomas dan Ari yang menyatu.


"Harry, kau ini apa-apaan, sih?" Ari menyipitkan matanya tidak suka. "Kau pikir siapa yang lihat punyanya, hah?"


"Hey, nona, jutaan gadis rela mengantri untuk melihatnya." Thomas menyahut, itu membuat pipi Ari merah. "Aku hanya bercanda."


Bagi Harry itu tidak lucu, justru makin membuat hatinya panas. Harry dari tadi mencari Ari, tapi tidak ketemu. Gadis yang saat ini menjadi pasangannya memaksa untuk berdansa dengannya, jadi dia terpaksa menurut.


"Oh, aku bahkan ragu kalau kau punya, Foster." Celotehnya, merengut sambil terus berdansa.


"Biarkan saja, Thomas. Dia cuma orang gila sama seperti fansnya." Kata Ari menyentuh dagu Thomas agar ia memalingkan muka dari Harry.


"Jadi, kenapa kau memilih gaun hitam?" Thomas mengganti topik pembicaraan. Karena Sophia bilang, cocok dengan jiwanya yang hitam. "Kau sangat mencolok dari lantai dua-not in a bad way though."


Thomas dan Ari sama-sama berbalik badan dari masing-masing, serentak dengan pasangan yang lain. Ia tidak sempat mendengar jawaban Ari karena sudah saatnya untuk berganti pasangan. Thomas menggeser diri ke pasangan di sebelah kirinya.


Ari kembali berbalik badan mengikuti yang lain, mendapati bukan Thomas lagi yang bersamanya saat ini. Walaupun ia bersyukur bukan Harry yang menggantikan.


But the god... Joe.


Wajahnya angkuh dan kurang bersahabat dari dekat. Dia kelihatan tidak nyaman. Padahal di atas Joe terlihat sangat ramah. Ketika membungkuk, dia masih melihat ke arah lain, bukan pasangannya.


"Jadi.. namamu Joe, kan?" Tanyanya mencairkan suasana.


Joe tidak menjawab, justru mendecak memutar kedua matanya.


"Selamat ulangtahun untuk Louis." Kata Ari lagi, justru merasa memalukan dirinya sendiri. Joe masih tidak mengatakan apapun. Ari langsung beranggapan dia orang yang sombong, typical rich boy. Dia lebih suka berdansa dengan Thomas. Beruntung sekali yang akan menjadi pacarnya nanti.


Ari memperhatikan wajah Joe dengan seksama. Wajahnya lebih sulit dikira-kira karena memakai topeng lebih panjang. Yang bisa dia lihat hanya rambut berjambul sedikit berantakan, dagu tegas bersih dari beard, dan bibir kemerahan seperti Thomas, meski bentuknya lebih sempurna.


Thomas memergoki Ari memperhatikan Joe. Ia menyungging senyum tipis sambil menggeleng kepala sebelum meraih tangan pasangannya yang sekarang.


Joe dengan malas meraih tangan Ari. Ari juga terpaksa menerima tangan Joe. Tapi ketika mata mereka bertemu, seperti burung elang yang mencengkram mangsanya,


Ari langsung tersihir.


Cara Joe melihat sangat tajam sampai ia merasa menembus kedua matanya. Kalau mata Thomas sangat tentram, maka mata Joe bisa membuat pikirannya kacau tidak karuan. Ari bahkan lupa dengan gerakan dansa yang tadi diingat. Kalau dengan Thomas dia bisa menginjak kakinya, maka dengan Joe, Ari bisa menghancurkan dansa mereka.


Kakinya jadi lemas karena Joe tidak melepas pandangannya dari Ari. Padahal memang seharusnya begitu, kan? Dia harus menatap pasangannya selama berdansa.


Ari tidak akan kuat.


Sesaat kaki Joe mau melangkah, Ari mundur menarik kembali tangannya. Tentunya mengalihkan pandangan ke arah lain. Dia mau kembali ke bar saja daripada berada di sini. Mungkin menceritakan hal ini pada bartender. Dan bersumpah, ini akan jadi kali terakhir ia datang ke pesta dansa.


Joe mengerutkan alis bingung begitu Ari malah mundur. Beruntung, ia masih sempat menahan tangannya sebelum Ari benar-benar pergi.


Jantung Ari hampir meletus ketika Joe menariknya kembali dan langsung berhadapan dengan wajahnya dari dekat. Matanya lagi-lagi tertembus tatapan Joe, kali ini lebih dalam.


"Can I have this dance?"


Joe akhirnya membuka suara. Sebenarnya Joe merasa sedikit bersalah karena sambutan yang kurang bersahabat, dia berpikir karena itu Ari jadi mundur.


Sementara Ari tidak menjawab, tangan Joe sangat kuat menggenggam tangannya dan pinggangnya.


Ini benar-benar elang mencengkram mangsa namanya.


Matilah dia.


-bersambung-


Di bayangan kalian, Ari itu orangnya kaya gimana atau artis siapa yang cocok meranin? Kalo aku pas nonton Tomorrowland, Britt Robertson sifatnya mirip Ari hehe


Chapter ini panjang banget dan sampe ngantuk bikinnya. Jadi tolong hargain, jangan ada silent reader.

Kalo ga mau vote, ya comment kasih masukkan/kritik, nyepam/ngerusuhin di comment juga gapapa kok :") Gratis, kan?


Apalagi bentar lagi libur panjang, ada banyak waktu buat nerusin, biar bikin moodbooster:)


Makasih banyak yang udah ngikutin dari awal sampe akhir dengan ngasih vote/masukkan<3 Yang mau dedicate pm aja.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top