XXIV - The Best Mistake
Hati-hati ya. Pertimbangkan umur ya. Maaf ya. Mwa x
Jangan lupa vote atau masukkan ya <3
***
Hitting every red light
Kissing at the stop signs, darling
Green Day's on the radio
And everything is alright
Now we're turning off the headlights, darling
We're just taking it slow
We're taking the long way home.
We're taking the long way home.
We're taking the long way home.
"That was great, lads." Seorang pria masuk ke garasi setelah mereka selesai latihan. Pujian itu membuat mereka tersipu. "Tidak sia-sia aku memberikan garasi bagian barat ini pada kalian."
"Dan kami sangat berterimakasih..." Salah satu dari mereka berpikir sejenak sebelum menyambung lagi, ".. Paman." Temannya yang berada di samping tertawa. "Dia menyuruhku memanggilmu 'ayah', tapi aku tidak enak hati."
Pria itu juga ikut tertawa sebelum merangkul anak lelaki itu yang berperawakan sedikit lebih tinggi darinya. "Apa rencanamu setelah lulus SMA?"
"Uh..." Ia saling bertatapan dengan temannya. "Kuliah, tentu saja." Jawabnya mantap.
"Selain itu?"
"Aku... belum memikirkan lagi."
Mendengar jawaban yang terakhir, pria itu semakin senang. Peluang kepada niatannya semakin terbuka. "Aku punya tawaran untukmu." Mereka berdua mengerutkan dahi. "Perusahaan kami sedang mencari artis baru yang masih muda dan segar,"
Mereka sama-sama terbelalak, mengerti kemana percakapan ini mengarah.
"Kau mau bergabung?"
Dan dugaan mereka benar. Anak lelaki yang satunya tidak menyangka ayahnya sendiri akan melontarkan kata-kata itu. Tiga kata yang menjadi dambaan setiap musisi, karena label yang dimiliki ayahnya sangat besar dan sudah dikenal mancanegara.
"Tentu saja kami mau, dad!" Jawabnya antusias.
Namun pria itu malah menatap anaknya dengan dingin, "Ayah tidak menawarkanmu, tapi dia. Jangan harap kau bisa menjadi penyanyi atau musisi, masa depanmu nanti adalah duduk manis di ruanganku meneruskan memimpin perusahaan ini."
Ucapan pedas ayahnya terlalu membuat sakit hati. Ia bersumpah tidak akan berada di jabatan itu.
***
Liam mempertajam pendengarannya. Ia makin merapatkan telinganya pada daun pintu kamar Ari. Senyum liciknya tersungging mengetahui si sasaran sudah datang. Di belakang Liam, para pelayan dan penjaga sedang menunggu aba-aba dari tuannya.
Liam sengaja menyuruh bodyguardnya untuk tidak menjaga pintu gerbang, dan tidak disangka, lelaki yang disebut-sebut bernama 'Zayn' itu dengan bodohnya memanjat gerbang dan berhasil masuk tanpa rasa curiga. Dia merinding jijik, apa yang dilakukan Zayn mengingatkannya pada Romeo dan Juliet. Liam penasaran seperti apa wajahnya. Ya, dia memang pernah melihatnya, tapi hanya sekilas—karena waktu itu Liam langsung membanting pintu. Apa yang membuat Ari terus lengket padanya?
"Tarik tanganku, Ari! Ku bilang tarik tanganku!"
"Lepas dulu peganganmu, Zayn!"
"Bodoh sekali, sih, kau ini! Kalau ku lepas, aku bisa jatuh."
"Berani sekali kau mengataiku bodoh, dasar idiot!"
"Dungu!" Liam mengernyitkan wajahnya, apa-apaan ini 'Romeo dan Juliet' mengatai satu sama lain?
"Gosh, baru tadi pagi kita bertengkar, baikan, sekarang mau bertengkar lagi? Kita seperti pacaran saja."
"Yang penting tarik tanganku dulu!"
"Okay, okay. 1... 2... 3! OOWW!!! KAU MENIBANKU!"
Dan tepat saat itu Liam mendobrak masuk. Ia meniup peluitnya menandakan para pelayan dan penjaga untuk masuk. Mereka memojokkan Zayn dan Ari di ambang jendela dengan posisi masih tersungkur.
Zayn cepat-cepat bangun lalu membantu Ari berdiri. Ini benar-benar konyol. Semua pelayan dan penjaga berbaju tidur sedang mengepungnya.
"HAHAHAHAHA!" Ari tidak kuasa menahan tawa. Lagi-lagi ia cepat menutup mulutnya dengan tangan. Akhir-akhir ini dia suka ceroboh.
"Kau tertawa di saat yang tidak tepat!" Zayn menginjak kaki Ari.
"Sakit! Aku tahu."
Liam melihat Zayn dari bawah sampai atas dengan tatapan dingin. Dia kali ini tidak merasa jijik karena Zayn memakai baju yang... yah, tidak sekumel pertama kali mereka bertemu. Sekarang beralih ke wajahnya, Liam akui dia tidak jelek, bahkan tampan kalau Zayn berasal dari golongan orang kaya.
Zayn merasa canggung. Ia memilih untuk tidak melihat balik Liam. Dia merasa... gelisah?
"Jadi kau yang namanya Zayn?" Tanya Liam dengan nada merendahkan.
Zayn tidak menjawab.
"Wah, wah," Liam berjalan mendekat. "Bajumu bagus juga. Pertama kali kita bertemu, kau masih pakai ripped jeans dan kaus kuning yang aku tidak tahu aslinya memang berwarna kuning atau putih tapi sudah kusam." Katanya lagi dengan nada sarkastis.
"Liam, jangan ganggu dia." Ari mengambil selangkah maju untuk melindungi sahabatnya. Tapi penjaga malah menariknya menjauh dari Zayn.
Ari hanya menghela napas berat, "Diperlakukan seperti ini di rumah sendiri. How cool is that?" Gumamnya sarkastis. Ia sudah mulai terbiasa dengan penjaga yang selalu mencengkramnya dan membawanya sesuka hati mereka.
"Jadi, Ari sudah memberikan apa saja padamu? Dia meng-upgrade mu?"
Zayn tidak menjawab, masih memalingkan muka.
"Tuli, ya?"
Tiba-tiba saja Liam meninjunya—tepat mengenai tulang pipi.
"Kalau sudah begitu, masih tuli tidak?"
Ari membelalak begitu melihat pipi sahabatnya langsung membiru. Rasanya dia ingin langsung membalas kakak tirinya itu. Tapi penjaga sudah hapal gerak-geriknya, sehingga mereka mempererat pegangan pada Ari. Jadi percuma saja jika ia memberontak sekuat apapun.
Sementara Zayn hanya meringis pelan sambil menyentuh bagian yang sakit—setidaknya ia mau menatap Liam sekarang. Dia tetap tidak mau bicara, atau membalas. Meskipun kepalan kuat kedua tangannya menunjukan kebalikan. Ia juga menggigit bibir bawahnya. Zayn pasti berusaha keras menahan emosi.
"Masih tidak mau bicara juga rupanya." Liam berdecak kagum. Ia kira pukulannya sudah cukup keras, ternyata masih belum membuat Zayn puas. Liam merasa antusias karena sebelumnya tidak ada yang berani menantangnya seperti itu—kecuali Harry. Harry adalah kelemahan terbesarnya. Liam memberi kode kepada penjaga.
Zayn memberontak begitu dua orang penjaga memeganginya. Ia semakin mengamuk ketika mereka memaksanya untuk berlutut. Saat itu ia tahu Liam akan menghabisinya.
"Kenapa kau tidak membalas?" Liam kembali memperhatikan Zayn dengan tatapan dingin. Tangannya mengusap-usap dagunya sendiri seolah sedang berpikir, "Ku kira selera Ari adalah badboy. Itu masih bisa ku maklumi mengingat dia selalu kabur dari rumah seketat apapun penjagaannya. Tapi ternyata yang biasa menculiknya hanya laki-laki lemah sepertimu? Tolonglah, kau membuatku tertawa."
"HEI, SETIDAKNYA DIA LEBIH TAMPAN DARIMU!" Ari refleks berteriak. Itu-sangat-tidak-disengaja. Kata-kata itu keluar begitu saja—tapi dia juga tidak menyesalinya. "Demi Tuhan, aku harus mengontrol mulutku!" gumamnya.
Liam menaikkan sebelah alis. "Aku benar-benar bingung. Apa bagusnya dia yang miskin, lemah, dan bodoh dibanding kakakmu, seorang eksekutif musik muda yang sukses dan merupakan penerus Simon Julian?"
Alas sandal Liam menghantam pelipis Zayn hingga darah segar mengalir.
"Aku tahu waktu itu kau memanjat ke kamar Ari! Rumah ini dilengkapi belasan CCTV dan diawasi oleh banyak penjaga. Kau juga, kan, yang membawa kabur Ari di London? Asal kau tahu saja, aku ini lulusan S2 dari Jerman, tidak mudah dibodohi oleh bocah-bocah IQ jongkok seperti kalian!"
Lagi, Liam menghajar Zayn dengan kakinya. "Dan itu, adalah pelajaran untukmu karena sudah lancang masuk ke rumahku."
"Do not lay a hand on him!!" Ari menghentak-hentakkan kakinya tak karuan. Tangannya sudah gatal, tapi penjaga tidak juga melonggarkan cengkramannya. "Kau akan habis ditanganku, Payne! Lihat saja nanti."
Zayn mendongak menatap Liam dengan matanya yang sayu. Dengan suara parau, Zayn akhirnya buka suara, "Maksudmu, eksekutif musik yang tidak tahu apa-apa tentang musik atau lulusan S2 dari Jerman yang mengemis kepada satu penyanyi terkenal agar saham perusahaan yang sudah dibangun ayah tirinya tidak jatuh? Dan kau menyebutnya sebagai 'sukses?'" Sekalinya ia bicara.... "Sayangnya, semua orang tahu aibmu itu, Liam Payne.".... membuat Liam bergeming. "Kau pasti terpaksa menjalani ini semua, karena ini bukan yang kau inginkan."
Penjaga dan pelayan diam. Seorang lelaki miskin baru saja menyulut emosi Liam. Hanya Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi. Keheningan itu pecah ketika Ari (lagi-lagi) keceplosan berteriak,
"SLAAYY!!" Ari langsung diam ketika Liam menengok ke arahnya dengan wajah garang. "Shit, always have struggled to bite my tongue."
Wajah Liam merah. Yang ia ingin lakukan sekarang adalah membunuh laki-laki kurang ajar yang ada di hadapannya—jika saja negaranya tidak memiliki hukum. Jadi Liam hanya menendang perut lelaki itu untuk terakhir kalinya. Tendangan yang bisa dibilang cukup kencang. Darah segar menyemprot dari mulut Zayn disusul batuk-batuk yang mengeluarkan darah juga.
"Bedebah! Sekali lagi kau berani menginjakkan kaki di sini atau menampakkan muka, tanganku akan menjadi saksi bisu atas kematianmu." Liam berbalik badan keluar dari kamar, membiarkan penjaga yang menuntaskannya.
Penjaga itu menghabisi Zayn sekali lagi sebelum membawanya ke luar.
Ari menggigit bibirnya berharap mereka tidak macam-macam pada Zayn di luar. Dengan cekatan, ia menendang penjaga yang memeganginya di 'tempat yang tepat'. Dua penjaga itu melepaskan tangan mereka dari Ari, lutut mereka melemas, dan akhirnya ambruk sambil memegangi bagian yang sakit.
Sebenarnya Ari merasa kasihan karena mereka hanya menjalankan perintah Liam. Tapi dia akan minta maaf nanti saja.
Dua penjaga lainnya ternyata mengusir Zayn. Mereka menjatuhkannya begitu saja.
Ari membunyikan sendi-sendi jemarinya. Ia geram melihat Zayn diperlakukan seperti itu. Walaupun mereka tidak menyukainya, ia tetap manusia. Zayn sudah sangat lemas tapi mereka masih saja menyakitinya.
Dari belakang, lagi-lagi Ari menendang mereka di 'tempat yang tepat'. Respon mereka sama seperti penjaga sebelumnya; jatuh berlut karena tidak kuat menahan sakit.
"Zayn! Bertahanlah!" Ari bersimpuh di sebelah lelaki itu untuk membantunya duduk.
Zayn terus-terusan meringis memegangi perutnya dan itu membuat Ari bingung harus berbuat apa. Tangan Zayn menggenggam erat tangannya menahan rasa sakit. "A-aku.. t-tidak apa-apa.."
"A-aku.. aku antar kau ke rumah sakit. Ayo!"
Baru Ari mau menaruh tangan Zayn di lehernya, laki-laki itu malah mendorongnya dengan kasar lalu membentaknya.
"AKU BILANG TIDAK APA-APA!!"
Zayn melepas genggamannya. Setelah dirasa agak baikan, ia bangun dan keluar pintu gerbang dengan sempoyongan. Ari menyusulnya.
"Are you really okay?" tanya Ari ketika Zayn hampir tersandung kakinya sendiri. Dia lebih terlihat seperti orang mabuk sekarang. Ari bergidik ngilu melihat tangan Zayn biru-biru. "Kenapa kau tidak membalas Liam?
Zayn tidak menjawab, masih terus berjalan di jalanan yang berpenerangan redup. Tentu saja, karena hanya ada mansion Liam disana, selebihnya pepohonan. Rumah-rumah lain ada di balik pepohonan itu. Yah, mansion Liam memang sangat besar.
"Aku jadi ingat waktu Harry memergoki kita di London Eye. Apa kau memang tidak tahu cara berkelahi?"
Zayn tidak menjawab.
"Apa kau memang tidak pernah membalas orang?"
Zayn masih diam. Ari benci didiamkan seperti itu.
"Jawab, Zayn!!" Kali ini emosinya naik. "Kau tahu, aku bisa mengajarimu! Bilang saja! Kau tidak bisa membiarkan orang lain menindasmu. Mau sok suci, huh? Aku pikir perkataan Liam benar. Kau itu lemah dan bodoh! Aku tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Liam atas keadaanmu sekarang, karena ini semua salahmu yang tidak mau membela diri!! Lemaahh!!"
"LANTAS KAU INI APA?!"
Zayn berbalik badan dan langsung meledakkan amarahnya di hadapan Ari. Matanya menunjukkan bahwa ia benar-benar murka. Napasnya memburu. Pikirannya sedang kacau dan gadis itu malah makin membuatnya pusing.
"KALAU AKU LEMAH, KAU APA? KALAU AKU BODOH, KAU APA? KALAU AKU SOK SUCI, APA KAU YANG BENAR-BENAR SUCI?"
Zayn memberantaki rambutnya sendiri dengan frustasi. Kalau dia perempuan, mungkin dia sudah menangis meraung-raung sekarang.
"Astaga, Ari! A-aku.. aku memang miskin dan serba kekurangan, orang-orang melihatku sebelah mata tapi aku belum pernah diperlakukan serendah ini, okay? Hidupku baik-baik saja sebelum kau muncul dan menghancurkan semuanya! Lalu kau merasa bangga dengan kemampuan bela dirimu disaat kakak tirimu yang bergelimang harta menindas orang miskin sepertiku, begitu?" Zayn tertawa memaksa. "Sudah ku bilang berkali-kali, jauhi aku! Lihat apa yang kau perbuat sekarang? Thanks to you."
Ari menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Oh, excuse you, apa kau lupa siapa yang memanjat ke kamarku duluan?"
Zayn menatap Ari dengan lekat-lekat sebelum berkata, "Aku punya satu pertanyaan untukmu," Ari menaikkan sebelah alisnya. "Kau sering menemui Vin Smith, kan? Laki-laki yang waktu itu bersama pacar Liam."
Ari menelan ludah. Bagaimana dia bisa tahu?, pikirnya.
"Bagus, karena kau baru saja menjebak dirimu sendiri di kandang singa."
Ari tidak tahu apa maksud perkataan Zayn barusan, tapi rasa kesalnya lebih besar dari rasa penasaran, "Memang bagus," katanya sarkastis. "Tapi apa pedulimu?"
"Aku datang untuk memperingatkanmu, apa aku kurang baik, huh? Tapi kakakmu bersama pasukannya malah memperlakukanku seperti sampah!"
"Lihat? Kau sendiri yang mendekatiku. Kau yang mengikutiku tadi siang, kau juga yang memanjat kamarku! Oh, dan apa kau ingat kejadian di London Eye? Kau yang menciumku!"
Urat-urat di kening Zayn kembali menegang. Dia tidak mengatakan apapun selain menatap gadis di hadapannya lekat-lekat. Bisa-bisanya dia mengingatkan tentang ciuman itu di saat begini. Pikirannya sedang tidak benar dan mungkin saja dia akan mengatakan suatu hal secara tidak sadar.
"Aku ingat," jawab Zayn kemudian memejamkan mata, "dan aku menyesalinya." Urat di kening Ari meregang. "Karena bertemu denganmu adalah kesalahan terbesar di dalam hidupku."
Zayn berbalik dan kembali berjalan menjauh, sementara Ari beku di tempat.
Ari tidak percaya Zayn tega mengatakan itu. Itu sangat menyinggung perasaannya. Sekarang dia merasa Zayn berlaku egois karena bukan dia saja yang merasa hidupnya berubah, Ari juga.
"Ya, kau benar!" seru Ari meski lelaki itu menghiraukannya. "Aku miskin dan serba kekurangan sebelum Liam membawaku ke sini. Liam memaksaku menjadi bintang terkenal dan bernyanyi bersama orang yang paling ku benci. Aku belum pernah diperlakukan seperti boneka, okay? Hidupku abu-abu sebelum kau muncul dan mewarnai semuanya! Lalu kau dengan egois menyesali itu disaat kau membuatku merasa semua akan baik-baik saja, merasa setidaknya aku masih punya seseorang yang peduli padaku, begitu rupanya?" Ia merengut.
Ari baru saja membalikkan ucapannya.
Zayn sekali lagi menghentikan langkahnya, ia hanya sekedar memutar kepala, mendapati gadis itu tidak berubah satu senti pun dari tempatnya berdiri.
"Oh, apa kau ingat saat pertama kali kita bertemu? Kau menangkap payungku yang terbawa angin?" Zayn memejamkan mata, membiarkan ucapan gadis itu masuk ke kedua telinganya. "Aku ingat, dan aku tidak menyesalinya." sambung Ari mantap.
Zayn semakin merapatkan mata dan menggigit bibir bawahnya. Sekali lagi, keningnya menegang.
Fuck,
Don't say it.
Don't say it.
Don't say it.
Batin Zayn memohon.
Ari menyilangkan tangannya di depan dada sebelum mengucapkan, "karena bertemu denganmu adalah kesalahan terindah di dalam hidupku."
That's it.
Zayn berbalik, berlari ke arahnya, mendorong dan menghimpit Ari di antara tembok pagar, dalam waktu sepersekian detik, ia sudah melumat habis bibirnya dengan kasar. *Crazy In Love 2014 Remix playing. Lol.*
Dia tidak tahu setan apa yang mendorongnya untuk melakukan ini, yang ia tahu saat itu, dia harus mencium Ari. Seperti yang dibilang tadi, pikirannya sedang tidak benar. Semuanya bisa saja terjadi secara tidak sadar.
Ari membelalakkan matanya melihat sama sekali tidak ada jarak di antara tubuh mereka. Jantungnya serasa akan meletus saat itu. Sepertinya jantung Zayn juga, karena dia bisa merasakannya sendiri. Astaga, Ari merasa jantung mereka berdetak dalam irama yang sama.
Zayn meletakkan kedua tangannya di pipi Ari agar posisi gadis itu tidak berubah, sebelum sebelah tangannya turun ke pinggulnya dan menariknya lebih dekat lagi. Ia mendorong wajahnya maju agar bisa menciumnya lebih dalam, bahkan menyerongkan kepalanya agar bibir mereka benar-benar menyatu. Ari bisa merasakan darah Zayn yang masih tersisa di mulut, entah kenapa terasa menyegarkan.
Ari benar-benar kaget ketika Zayn memaksanya untuk membuka mulut. Dia belum pernah melakukan ini sebelumnya. Lidah Zayn menjelajahi setiap inchi mulutnya, kemudian menggigit bibir bawahnya secara perlahan—dan itu membuat Ari gila.
Tangan Ari melingkar di pinggang Zayn, membiarkan ketika lelaki itu menurunkan ciuman ke lehernya. Fuck, batinnya ketika tubuh mereka semakin merapat. Tidak hanya dada Zayn saja menempel dengannya, bagian bawah juga tidak menyisakan jarak. Ari hanya berharap hormonnya tidak naik dan malah melakukan yang lebih.
Lelaki itu bergumam sesuatu yang justru lebih terdengar seperti erangan. Ia menenggelamkan kepalanya di leher Ari, meninggalkan sebuah bekas merah ketika ciumannya kembali ke bibirnya.
Sekali lagi, Zayn bergumam sesuatu yang terdengar seperti erangan—atau dia memang mengerang? Ari tidak mau ciuman panas ini berubah menjadi ciuman sensual.
Zayn mengangkat pinggulnya, tangannya yang satu lagi memerintahkan kaki Ari agar melingkar di pinggangnya. Tangan Ari spontan berpindah ke rambut Zayn, mengacaknya dengan gerakan sesuai.
Zayn menciumnya lebih dalam, lebih dalam, dan lebih dalam lagi sebelum melepaskannya.
Mereka melihat wajah satu sama lain. Ari bersumpah ini lebih membuatnya canggung daripada ciuman tadi.
Pipi Zayn merah merona, rambutnya berantakan, bibirnya sedikit membengkak, dan napasnya masih tidak teratur. Astaga, apa aku yang membuatnya seperti itu?, pikir Ari. Itu artinya dia sama liarnya dengan Zayn.
Ari cepat-cepat menurunkan tangannya dari kepala Zayn, tidak sadar kalau masih berada di atas sana.
"Apa yang telah kau perbuat padaku?" Zayn bertanya dengan suara yang pelan.
"A-apa...?" tanyanya balik.
"Untuk beberapa saat aku seperti ingin membunuhmu tapi hanya dalam kedipan mata, aku sudah menghimpitmu di antara tembok ini." Itu bukan pertanyaan, jadi Ari memilih untuk diam. Zayn menghela napas sembari menggeleng pelan sebelum berkata, "We're friends, right?"
Dua kali.
Dua kali kata 'teman' meluncur setelah mereka berciuman.
Waktu itu Ari, sekarang Zayn yang mengucapkannya.
Ari mengedikkan bahu, hanya berani menatap jalanan di bawah mereka. Tentu saja mereka teman, tapi melihat sering kali terjadi pertengkaran di antara mereka, Ari tidak tahu apa mereka masih bisa disebut teman.
"Mungkin ini pertemuan terakhir kita." Zayn menghela napas seraya menurunkan Ari. Ia berbalik dan kembali berjalan pergi. Astaga, bahkan dia melupakan rasa sakitnya ketika berciuman dengan gadis itu.
Ari melihat sosok Zayn yang semakin jauh, sampai akhirnya Kevin datang menariknya untuk masuk.
Zayn menengok ke belakang. Ari sudah tidak ada. Ia menghela napas berat melanjutkan perjalanan.
"Saya yakin itu 'dia', pak!" Seseorang menyipitkan matanya dari dalam mobil hitam. "Anda bahkan bisa mengenalinya dari cara ia menunduk saat berjalan."
"Tapi 'dia' tidak seurakan itu."
"Tentu saja karena beberapa tahun yang lalu, 'dia' masih bisa memilih asal setelan jas atau sepatu yang ingin dipakai. Jika anda mengerti maksud saya."
Pria itu mengamati lagi dengan seksama, apa yang dikatakan pria disampingnya benar juga. Dia sedikit yakin kalau laki-laki yang sedang berjalan itu adalah 'dia'. "Baiklah, bawa dia ke mobil."
"Siap."
Empat laki-laki bertubuh besar keluar dari mobil. Tanpa mengatakan apa pun terlebih dahulu, mereka menyeret Zayn ke sebuah mobil besar yang diparkir di pinggir jalan.
"Kalian siapa?!" seru Zayn memberontak. Ia yakin mereka bukan penjaga di rumah Liam. Mereka terlihat berbeda. "Lepas!"
Tapi dua di antara mereka malah mengangkat kakinya, lalu dengan mudah membopongnya ke dalam mobil. Pengemudi mobil itu langsung mengunci pintu di sebelah Zayn, sementara mereka berempat masuk ke mobil lainnya.
"KELUARKAN AKU!! HEY!!" Ia menggedor-gedor kaca mobil sambil mencoba membuka pintu. "SIAL!" Zayn menendang jok mobil di depannya. Jantungnya hampir copot begitu melihat siapa yang duduk di sampingnya. Tidak pernah terpikir dia akan bertemu lagi dengannya. "K-k-kau..?"
Pria itu tersenyum. "Long time no see, aye?"
bersambung.
AHAKAHAKHAK MY FIRST PASSIONATE KISS. Itu bingung banget mau nulis apa jadi rada-rada copas fanfic luar tapi dibedain dikit huehehe sorryy. Makasih yang udah vote di chapter sebelumnya xx
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top