XXI - Yet So Far Away

"Ahh, finally home!" Ari melempar backpack-nya sembarangan lalu merebahkan diri di tempat tidur. Ia sangat merindukan kasurnya yang.. well, sedikit keras, tapi setidaknya kamar ini adalah wilayahnya sendiri dibanding satu suite dengan Liam di hotel.

Ari dan Liam pulang ke Manchester, sementara Harry langsung terbang ke Düsseldorf, Jerman untuk melanjutkan tour Eropa nya yang sempat break beberapa bulan. Tidak heran kenapa Ari terlihat senang sekali.

"Ari?" Kepala Mary muncul dari pintu kamarnya.

"Mary! Masuklah." Ari menepuk tempat kosong disampingnya menandakan Mary untuk duduk. "I miss you so much!" Tanpa ragu, Ari langsung memeluk pembantu, atau bisa juga dibilang sahabatnya, itu.

"Bagaimana rasanya jadi public figure untuk pertama kalinya?" Mary mengerutkan dahi, sedangkan yang Ari bisa lakukan adalah menghela napas berat kemudian menggeleng-geleng.

"Tough." jawabnya sambil mengedikkan bahu. "Aku dituntut untuk menjadi seratus persen sempurna sebagai 'pacar' Harry juga penyanyi pendatang baru. Bahkan kurang dari 20 jam terkenal saja aku sudah dilabrak fans."

"Yeah.. i know. Dulu tuan Liam juga sempat stress menghadapi rumor-rumor bullshit. Dan sekarang ada rumor lagi antara dia dan Harry, kan?" Ari mengangguk.

"Kalau kau terus membicarakanku, aku bisa saja memecatmu, Mary." Ari dan Mary sama-sama menoleh ke pintu begitu mendengar suara Liam. Sepertinya Liam hanya bercanda, karena dia mengatakannya dengan tertawa.

"Kau mau kemana?" tanya Ari melihat Liam sudah rapi dengan setelan jas dan rambutnya yang ditata rapi. "Tidak mungkin ke kantor, kan?"

"It is none of your business, orphan." Liam menyipitkan mata.

"Wha--" Ari langsung bangkit dari duduknya, berjalan mendekati Liam. "Jangan. Pernah. Memanggilku. Orphan." Ia menarik dasinya sampai kening mereka beradu. "Kau sudah mengurungku di kamar mandi, jadi sebaiknya jangan main-main denganku kalau kau mau kepalamu itu masih berada di tempat yang seharusnya besok."

"Apa? Kau berani padaku?" Liam makin mendorong keningnya. Mary bersumpah, kening mereka bisa pecah jika terus diadu. Mereka berdua sama-sama keras kepala."virgin whore."

"APA--HEY, JAGA MULUTMU!!"

"Alright, alright!" Mary cepat memisahkan mereka berdua. "Pertunjukkan selesai." Ia sedikit memaksa Liam keluar lalu menutup pintu kamar meninggalkan Ari sendiri di dalam.

"Dasar jalang yatim piatu! Urgh!" Umpat Liam yang ditujukan untuk Ari. Ia menendang pintu kamar dan hanya dibalas oleh tendangan yang lebih kencang. Sekarang ia melirik sinis Mary yang sedang membenahi lagi dasinya. "Hey, Mary,"

"Eh.. ya?"

"Sebenarnya apa yang kau mau dari Ari, sih?" Liam menyilangkan tangan di kedua dada.

Mary menarik dasi Liam ke atas menandakan langkah akhir dari menyimpul dasi. Ia mengerut alis bingung, "Saya tidak mengerti?"

"Jangan pura-pura lugu," Lelaki itu tertawa sombong sambil menggeleng. "Aku sudah lihat gerak-gerikmu dari awal kedatangannya. Kau membantunya membersihkan rumah dan sekarang mencoba untuk menjadi temannya. Apa, hm? Kau mau kecipratan harta ayah tiriku rupanya?"

Mary hampir kehabisan kata-kata mendengar itu semua. Memang Liam sering bersikap semena-mena, tapi apa yang barusan dikatakan sangat tidak sopan. "Saya tidak serendah itu." Meski begitu Mary mencoba untuk tetap bersikap sopan. "Saya hanya mau membantunya karena dia tidak seharusnya mengerjakan itu."

"Ya ya ya, terserah apa katamu," Lagi, Liam tertawa sombong. "Jadi begini, Ari berteman dengan seorang gembel dan tampaknya mereka sama-sama suka. Tapi aku tidak akan membiarkan adikku bersama dengan orang miskin. Kisah si miskin dan si kaya itu bullshit." lanjutnya. "Bukan maksudku memutus pertemanan kalian yang 'best friend forever blablabla', tapi aku berusaha menyingkirkan orang-orang yang tidak sederajat dengan Ari agar tidak mengacau kesuksesan karirnya yang baru saja dimulai. Oke?" Liam mengerlingkan sebelah mata. "Oh iya, Ari dilarang keluar rumah." pesannya sebelum berjalan ke mobil.

Dan itu menjadi sebuah tamparan bagi Mary.

***

Ari menggerakkan tangannya pada embun di jendela ruang tengah. Akhir-akhir ini hujan turun lebih sering daripada biasanya. Bahkan terkadang disertai kabut. Maklum, musim gugur sebentar lagi selesai dan berganti musim dingin. Ari harus terus pakai pakaian tebal. Sekarang saja dia sedang menghangatkan diri dekat perapian.

Ini sudah 3 minggu sejak kepulangannya ke Manchester, berarti selama itu pula Ari tidak pernah keluar rumah. Liam kali ini benar-benar serius. Dari menaruh jebakan tikus di dalam sepatu Ari, sampai memasang api unggun tepat di bawah jendela kamarnya.

Drrtt.. drrtt...

Ari mengalihkan pandangan dari jendela untuk mengambil ponselnya di atas meja.

Nomor tak dikenal.

Namun Ari mengangkatnya, "Halo?"

Tidak ada jawaban.

"Ini siapa?"

Hening.

"Baiklah, ku tutup, ya." katanya enteng. Apa-apaan si nomor tak dikenal ini?

"Ari," Suara di seberang sana akhirnya bicara.

Ari kenal suara ini. Sudah lama sekali dia tidak mendengarnya. Suara itu berhasil membuat semua darahnya naik ke wajah. Sekarang wajahnya jadi merah entah karena malu atau senang.

"ZAYN!" serunya girang, seolah lupa seberapa kesalnya dia pada Zayn waktu itu. "Err.. darimana kau menelponku? Kau tidak punya ponsel, kan?"

"Telepon umum."

"Oh, begitu. K-kau, apa kabar? Sudah 3 minggu lebih kita tidak bertemu. Liam mengurungku di rumah entah sampai kapan. Padahal aku bukan 'anak rumahan' sama sekali. Oh God, banyak sekali yang ingin ku ceritakan padamu. Apa nanti malam kau bisa ke kamarku seperti waktu itu? Ya, itu memang konyol tapi--"

"Tolong kembalikan semua kertas-kertas lirikku. 5 menit lagi aku ke rumahmu."

tuut... tuutt...

Sambungan diputus begitu saja. Gadis itu masih menatap ponselnya tidak percaya. Hanya itu? Apa dia tidak merindukan Ari sama sekali?

"Ish." ia mendesis sebal, menaruh kembali ponselnya di atas meja. Kebetulan saat itu Mary lewat, Ari bergegas bangkit dan menghadang jalannya, "Mary tunggu!" Mary menatap wajahnya sekilas sebelum mengalihkan pandangan. "Boleh aku minta tolong?"

"Kalau permintaanmu sama seperti yang lalu-lalu, kau tahu jawabannya. Permisi." Mary berjalan melewatinya.

Ari menahan tangannya. "Ku mohon! Temanku sebentar lagi datang, aku harus mengembalikan sesuatu padanya."

"Kau bisa menitipkannya pada Kevin."

"Yaa, aku tahu. Tapi kau juga tahu, kan, sudah berapa hari aku tidak keluar rumah? Aku ingin bertemu langsung dengannya. Kenapa sekarang kau tidak mau membantuku?"

"Karena itu perintah langsung dari tuan Liam." Mary menatap jam dinding di atas perapian, seolah menghindari tatap mata dengan Ari. Ari menyipitkan mata. Sepertinya ada yang aneh dari Mary, batinnya. "Jadi hanya itu yang ingin dibicarakan? Permisi, masih ada hal yang lebih penting yang harus diselesaikan." Untuk kedua kalinya, Mary melewati Ari.

"Kenapa, Mary?" Itu membuat Mary menghentikkan langkahnya, namun tidak berbalik badan. "Kenapa kau menjauhiku sekarang? Kau hanya menjawab singkat kalau ku tanya, langsung pergi kalau ku sapa, menghindari tatap muka denganku. Aku berbuat salah?" tembaknya langsung.

Memang akhir-akhir ini sikap Mary berubah dingin padanya. Ari tidak tahu dimana letak kesalahannya. Mereka tidak pernah meributkan sesuatu, mereka juga jarang bertemu karena Ari selalu pergi. Jika saja dia tahu siapa yang membuat Mary menjauh.

"Kau mau keluar, kan? Itu, kan, yang kau mau? Ini." Mary melempar sebuah kunci padanya. "Kali ini aku tidak melarang, lagipula tuan Liam juga sedang pergi. Nah, aku membantumu sekarang, seperti yang kau mau. Terserah kau mau simpan kuncinya atau tidak." katanya sebelum berlalu.

Ari nyaris dibuat tak berkedip. Mary belum pernah bicara seperti itu padanya. Ada apa dengannya?

.

.

.

"Lepaskan dia." perintahnya pada para penjaga yang meringkus Zayn seolah ia tahanan. Memang Liam menyuruh mereka untuk langsung menghabisinya kalau ia kemari, tapi Ari cepat datang agar itu tidak terjadi. "Ini perintah dariku, lepaskan-dia." Kali ini suaranya lebih tegas.

"Kami hanya mematuhi perintah tuan Liam." Zayn memutar matanya mendengar sebutan 'tuan Liam'. Memangnya siapa dia? Pejabat penting? Ia juga masih mencoba memberontak dari cengkraman dua anjing galak rumah Ari.

"Hey, kau kira aku siapa? Aku ini anak kandung Simon Julian, mendiang bos besar kalian." katanya sombong. Tidak enak rasanya menyombong di depan Zayn, tapi terpaksa agar mereka melepaskannya.

"Nona Ari tidak seharusnya berada di luar rumah." Kevin memanggil teman-temannya yang lain.

O-ow.. ini pertanda buruk.

Ari menginjak kaki Kevin dan temannya sebelum lari terbirit-birit menggandeng Zayn.

"Nona Ari! Kembali!!"

Persetan dengan mereka, Ari terus membawa lari Zayn entah kemana. Bahkan dia sampai lupa masih pakai sandal rumah kelincinya. Sandalnya sekarang kotor karena jalanan yang becek akibat hujan tadi. Setelah dirasa cukup jauh, Ari berbelok ke gang kecil diantara gedung untuk mengambil napas sejenak.

"Lepaskan tanganku!" Seru Zayn tiba-tiba, menarik paksa tangannya. Ia lalu mengusap-usap pergelangan tangannya. "Apa yang kau lakukan, huh? Kabur dari bodyguard-mu sendiri? Kenapa mengajakku segala?" Sepertinya Zayn sedang betul-betul marah. Wajahnya merah.

"Apa?" Ari mengerut alis tidak percaya. Dia bukannya berterimakasih tapi malah marah? "Aku justru membantumu kabur dari mereka. Kenapa kau malah marah?"

"Memangnya aku minta bantuanmu? Aku mampir hanya untuk mengambil kertas lirik. Itu saja. Kalau kau mengira aku datang untuk hal lain, kau sungguh bodoh dan berimajinasi terlalu tinggi." Perkataan itu membuat Ari berkacak pinggang tak mengerti. Sudah Mary, sekarang Zayn? "Sekarang mana kertasnya?"

Apa-apaan dia menyebutnya bodoh? Ari awalnya diam berusaha membaca wajahnya, tapi seperti biasa, Zayn sulit ditebak.

Apa dia marah karena waktu itu Ari menyuruhnya membalas Harry? Itu bukan masalah besar, lagipula itu juga sudah 3 minggu yang lalu. Dia tidak tahu letak kesalahannya dimana sampai membuat Mary dan Zayn menjauh.

Ia mengambil 2 buah lipatan kertas dari kantung sweaternya sebelum menyerahkannya pada Zayn. Zayn menerimanya dan tanpa mengatakan apa pun lagi, dia berbalik, berjalan meninggalkan Ari.

Cuma itu?

Padahal dalam pikirannya, Zayn sangat merindukannya sampai membawanya mengeluyur entah kemana dan pulang lewat tengah malam sampai Liam memergokinya, atau kalau perlu tidak pulang sampai besok pagi. Tapi kenyataannya Zayn bersikap masa bodoh.

Ari masih terdiam melihat punggung Zayn yang lama kelamaan makin menjauh. Tidak, ini tidak bisa dibiarkan, batinnya mantap. Ari menyusulnya.

"ZAYN!" Tepat ketika yang dipanggil menoleh, sebuah pukulan melayang ke dagunya.

BUUK..

"FUCK YOU!" serunya tepat di depan wajah Zayn.

Hanya menimbulkan sedikit biru disana karena Ari sendiri berusaha tidak memukul terlalu keras. "Jangan kira aku tidak berani berhadapan dengan temanku sendiri! Apa-apaan kau tiba-tiba menelponku, menyuruh mengembalikan kertas lirik yang jelas-jelas sudah kau beri padaku, lalu memutus sambungan begitu saja?!" jeritnya sambil sesekali mendorong pundak lelaki di hadapannya. "Kemudian membentakku, mengataiku bodoh setelah jelas-jelas aku membantumu kabur dari bodyguard di rumah? Apa-apaan kau menjauhiku padahal aku tidak tahu dimana letak kesalahanku? Apa-apaan kau mengataiku bodoh, berimajinasi tinggi padahal jelas-jelas aku hanya merindukanmu? Apa-apaan kau tidak merindukanku setelah 3 minggu tidak bertemu? Dan apa-apaan kau tidak merindukanku juga disaat aku sangat amat merindukanmu? Kau yang bodoh! Kau dan segala ketidak pekaanmu yang bodoh! Uurgh!" Ia berbalik dan berjalan meninggalkannya.

Ari sampai kehabisan napas hanya untuk mengutarakan kekesalannya. Sekarang dia lega. Semuanya sudah keluar dari mulutnya. Tinggal tunggu apa respon yang didapatkan.

Sementara itu, Zayn hanya diam masih memegang dagunya. Pikirannya seolah masih belum mencerna apa yang baru saja gadis itu katakan. Namun tak lama, ia memutuskan untuk menyusulnya.

"Ari,"

Zayn memberanikan diri untuk menahan tangan Ari. Tapi yang ia dapatkan ketika Ari menoleh adalah mata yang sembab. Lagi-lagi Zayn dibuat diam. Sekarang gantian dia yang membaca wajah Ari. Dan.. yap, terlihat jelas semuanya, hanya saja dia tidak bisa mengungkapkannya.

"Apa?" tanya Ari dengan suara parau.



Mata lelaki itu menghalus. Ia melihat tak menentu ke segala arah sebelum memberi respon yang tak terduga.

"Jangan kira aku tidak berani berhadapan dengan perempuan."

Kemudian Ari tidak ingat apa-apa lagi. Semuanya jadi gelap seketika.

-bersambung-

HALOOOOOO OHEMJIII KANGEENNNN YAYAYA I KNOW PASTI PEMINATNYA UDAH DIKIT, TAPI TANGAN GATEL BANGET PENGEN NGELANJUTIN. Wkwk udah nyolong-nyolong waktu luang, nyolong-nyolong waktu di sela ngerjain pr, nyolong-nyolong waktu padahal besok ulangan. Thank youuu yang udah setia nunggu dan vote di chapter sebelumya~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top