XVII - First Fight

"Aish, jauhkan itu dariku, Richard" Tanganku terus menghalangi lensa kamera yang dipegang kameramen itu. Aku kurang suka dengan sorotan kamera yang terus menerus. Dan masalahnya, si Richard ini dengan 2 temannya menguntitku dan Harry sepanjang perjalanan ke studio rekaman. Bahkan sampai sekarang.

.

"Ayolah, kau harus terbiasa dengan kamera mulai sekarang" Ia tertawa. Suaranya sedikit kecil agar tidak masuk ke dalam video. "Lagipula, 'Behind The Scene' ini akan di upload ke YouTube."

.

Aku menutupi wajah dengan bantal sofa. "Tapi jangan sorot aku terus, Harry tuh sedang rekaman!" Dan sekarang barulah Richard menurunkan kameranya.

.

"Ya sudahlah, aku sorot Josh saja" Ia beralih ke drummer Harry, Josh Devine.

.

Aku mendaratkan bokongku pada sebuah sofa panjang. Menunggu giliran dengan Harry. Seharusnya saat ini aku menghapalkan lirik, tapi kertas itu belum ku sentuh juga. Aku masih menebak-nebak apa yang dikatakan Sophia pada Vin tadi. Kenapa Sophia tersenyum tidak jelas padaku? Pasti mereka berdua sedang merencakan sesuatu. Tadinya ku kira, setelah mereka berbisik-bisik, Vin akan menyekapku di kamar,  tapi ternyata dia membiarkanku main catur lagi. Bahkan mengantarku pulang segala. Omong-omong, apa Liam kenal Vin?

.

Tepat saat itu juga, yang bersangkutan datang. Sambil melepas blazer, Liam mendaratkan tubuhnya di sebelahku. Tumben sekali dia mau di dekatku, biasanya memusuhiku. Aku tetap diam, memperhatikan gerakan tangannya yang melipat blazer meski asal dan berantakan. Memang ya, dia ini tidak bisa rapi sedikit pun. Pantas saja Mary selalu terlihat kewalahan setelah membereskan kamar Liam.

.

"Kenapa? Naksir?" tembaknya, membuatku cepat memutarkan mata, mengalihkan pandangan. Liam hanya tersenyum sinis sambil menggeleng pelan. Sesaat ia menaruh blazer di atas meja, mataku kembali melihatnya. Dia menyadarinya lagi. "Orphan, aku tahu aku mirip David Beckham, tapi jangan terpesona berlebihan begitu dong."

.

"Ew." aku kembali memutar mata. Sebenarnya daritadi aku ragu ingin bertanya. Tapi takut malah keceplosan. "Liam,"

.

"Hm?" Ia menyahut dengan nada tidak niat sambil meneguk softdrink yang disediakan.

.

"Mmm, kau... kau tahu Sophia Smith kan?" PERTANYAAN MACAM APA ITU, BODOH!

.

Liam tidak menjawab apapun, gantian memutar matanya lalu mendelik seperti 'aku tahu kau ini bodoh, Ari. Tapi tidak usah ditunjukan' sebelum kembali minum. Aku menggaruk tengkukku. "B-Bukan itu sih yang ku maksud" ujarku. "Kau kenal kakak atau ayah Sophia?"

.

Liam memuntahkan kembali minuman yang ada di mulutnya ke kaleng. Ia mengelap mulutnya dengan punggung tangan sebelum melihatku dengan aneh. "Ada apa antara kau dengan keluarga Sophia?" Sebelah alisnya bertaut. Ku lihat cengkraman tangan Liam pada kaleng menegang. Astaga, dia bisa saja menghancurkannya.

.

"Well, tadi pagi saat aku keluar, ku lihat Sophia sedang jalan dengan 2 lelaki muda dan tua. Ku pikir mereka kakak atau ayahnya" Aku bohong.

.

Liam mendekatkan wajahnya padaku. Aku sedikit mundur. Tapi tangannya cepat menahan pundakku agar tidak bergerak. "Diam!" tegasnya. Ia menatap kedua mataku intens, lalu tertawa kecil. "Kau berbohong." glek. "Sophia tidak suka jalan kaki. Dia lebih suka naik mobil. Lagipula, apa yang membuatmu berasumsi mereka keluarganya? Bisa saja si lelaki muda itu temannya."

.

"Atau selingkuhannya" sambungku refleks. Mataku membelalak begitu menyadari apa yang baru saja ku katakan. Tapi Liam hanya memutar matanya masa bodoh.

.

Aku beranjak dan membawa kertas lirik begitu dipanggil. Setelah memakai earphone, mataku hampir dibuat keluar dengan tiap kata bait lirik. Shit. Dia berulah lagi. Kurang ajar.  Aku memberikan Harry sebuah death glare sebelum menginjak kakinya kencang. Dan hampir membuat dia terjengkang ke belakang saat berjingkat kesakitan.

.

"DARIMANA KAU DAPAT INI?!" Aku menjerit semelengking mungkin. Benar-benar ya, aku sangat amat tidak mengerti kenapa si Harry Styles ini bisa terkenal sejagad raya dan memenangkan beribu-ribu awards.

.

"Tidak penting aku dapat darimana, babe." Ish. Bisa-bisanya dia menjawab santai setelah ku injak.

.

"Ari! Cepat!" seru salah seorang lelaki yang duduk di depan MacBook, pengatur suara dan musik yang terekam. Richard lagi-lagi mengarahkan kameranya padaku. Well, kami tepatnya. Aku dan Harry. Dia pasti dapat rekaman aku dan Harry bertengkar.

.

"Azz" Aku menahan emosi, mengepalkan tanganku kuat-kuat, mencoba menghiraukan cengirannya seolah tidak merasa bersalah. "Urusan kita belum selesai. Awas kau"

.

"Sure, babe. Mau diselesaikan dimana? Kamarku atau kamarmu?"

.

"HARREH!!"

.

*

.

"Mary!!" Aku langsung memeluk wanita itu dari belakang begitu bertemu di dapur. Mary yang sedang mencuci piring kotor pun tertawa. Ia mencuci tangannya terlebih dulu sebelum berbalik badan. "Kita lama tidak bertemu—saking besarnya rumah ini" Aku memutar kedua mata begitu melontarkan kalimat terakhir.

.

"Hahaha" Senyum Mary memudar begitu melihat pakaianku. Apa yang salah? Aku memakai sweater abu-abu dan ripped jeans saja. "Sweater itu bagus padamu" pujinya. Entah kenapa ku rasakan pipiku menjadi hangat begitu ia mengatakannya. Aku sedikit meremas ujung sweater. Ini milik Zayn. "Kau... mau kemana jam segini?"

.

"Hehe" Aku menyeringai memainkan jemarinya. "Itu dia, apa kau ada kunci pintu belakang? Aku ingin ke rumah temanku." Aku harus menemuinya sebelum berangkat ke London besok.

Mary mengusap dagunya sendiri sambil berpikir. Aku memperhatikan gerakan tangannya. Wait, ada yang aneh dari wajahnya.

.

"Tunggu dulu!" Aku menurunkan tangan Mary, menatap lekat kulit wajah wanita itu sebelum akhirnya terkesiap. "Pipimu luka?"

.

Mary cepat-cepat kembali menutup dengan tangannya. Sudah terlambat, Mary. Aku segera menurunkannya kembali. "Jangan" Aku menatap luka itu intens. "Itu seperti... cakaran?" Butuh beberapa saat sebelum akhirnya sadar. "SOPHIA?!"

.

Tentu saja kuku-kuku panjang, lentik, juga selalu tidak pernah lepas oleh warna apapun yang pertama keluar dari pikiranku. Terkadang aku membayangkan, kuku-kuku itu mencakar kedua sisi punggung Liam dengan perlahan sembari lelaki itu..... ASTAGA. Aku membasuh wajah dengan tangan begitu berpikir yang tidak-tidak.

.

"Aku.. tidak sengaja tercakar Kim kok" Bohong. Aku tahu Kim itu higienis, tidak mungkin membiarkan kukunya panjang.

.

"Jangan bohong! Aku tahu nenek sihir itu yang berulah. Benar-benar keterlaluan" Aku membunyikan sendi-sendi jemariku. Dia keterlaluan. Berani-beraninya main fisik dengan Mary. Kalau aku tahu, tadi siang sudah ku balas dengan layangan sepatuku.

.

"Dia.." Mary menghentikan perkataannya. Ia merogoh saku rok, mengeluarkan sebuah kunci. "Kau lebih baik cepat pergi sebelum tuan Liam turun. Biasanya malam-malam begini dia ke dapur memberantaki isi kulkas." Baru aku hendak membuka mulut, Mary mendorongku pelan. "Cepat".

.

"Terimakasih!"

.

Aku celingak-celinguk, berharap tidak menemukan keberadaan Liam dimanapun. Setidaknya tidak di dekat sini. Memang nekat malam-malam begini keluar rumah. Lagipula tidak ada waktu untuk pamit dengan Zayn. Tadi siang aku malah diculik Vin ke rumahnya.

.

"Hehh!" Seseorang menarik rambutku dari belakang. Liam. Sial! "Kau mau kemana malam-malam begini? Besok pagi kita harus berangkat ke London. Mau kabur ya?" Ugh, dia ini bisa tidak sih berpikiran positif padaku sekali saja. "Jangan lupa, aku masih menyandera skate—"

.

"Aku cuma mau pamit dengan teman saja kok. Boleh ya? Please..." Memasang wajah semelas mungkin agar ia percaya. Well, lagipula aku memang tidak bohong. "Ayolah Liam.. bersikap baik padaku sekaliii saja"

.

Liam ikut memasang wajah melas. "Ouu.. adikku mengemis ingin keluar rumah ouu.. TIDAK." Perkataan terakhirnya yang tegas hampir membuatku terlonjak. "Kau pikir aku mau percaya?"

.

"Ish, kau boleh hancurkan skateboard-ku kalau aku bohong!" Saat itu juga senyumnya muncul. Liam merampas kunci yang ku pegang. Sambil mengangkat kerah belakang sweater layaknya anak kucing, ia membuka pintu belakang, menendangku keluar.

.

"Tawaranmu boleh juga, tapi sayangnya, mau kau menepati janji atau tidak, aku tetap akan menghancurkannya" BLAM.

.

"SHIT! TARIK OMONGANMU!! LIAM!!" Aku menjerit menggedor-gedor pintu yang sudah terlanjur dikunci. Sampai akhirnya tersadar sesuatu. Kenapa aku percaya dengan ancamannya? Toh Liam juga selalu bohong. Bodoh sekali aku berhasil dibuat mengemis padanya.

.

Aku meminta dibukakan gerbang pada Kevin, ia menurut. Dan, oh God, dingin sekali. Aku memeluk sweater Zayn lebih erat. Lumayan hangat—apalagi kalau orangnya disini. Tangannya melingkar erat padaku seperti saat aku menangis. Atau tidak saat ia membenarkan kunci gitarku di rumah pohon.

.

ASTAGA. Untuk yang kedua kalinya ku ucapkan 'astaga'. Pikiranku sekarang rusak. Tadi Liam, sekarang Zayn. Benar-benar harus di reset.

.

Kebetulan sekali orangnya masih ada di tempat biasa. Ia bersandar, kakinya berselunjur. Pandangannya kosong. Tatapannya sangat sayup. Bahkan tidak menoleh sedikit pun saat ku sentuh pundaknya, hanya tersenyum miring.

.

"Kau belum pulang? Ini sudah larut"

.

"Kau sendiri kenapa datang kesini?" Aku hanya memutar mataku. "Kakimu sudah baikan? Mau ku pijat lagi?" godanya.

.

"Tidak, cukup!" Aku menyeringai, menyingkirkan tangannya yang bergerak menuju kakiku. "Darimana kau tahu kakiku terkilir waktu itu?" Aku duduk di sebelahnya.

.

Pandangannya tidak beralih barang sebentar saja. Ia menarik tanganku, meletakan dimana tepat jantungnya berada. "Dari sini.."

.

Uhm, well, entah memang Tuhan sudah menaikan suhu atau memang badanku saja yang tiba-tiba jadi hangat.

.

"Ah, yang benar saja" Sikutku menyenggolnya. "Kau terlalu banyak nonton drama"

.

"Memang benar kok, semuanya berawal dari hati. Semuanya. Tapi terkadang apa yang keluar dari hati kita salah, karena itulah otak sebagai pelengkap. Membenarkan yang salah. Hanya saja si hati ini kadang terlalu sombong dan tidak mau mendengar kata otak." Perkataannya membuatku diam. Entah kenapa.

.

"Tahu tidak, Zayn? Omonganmu itu tidak nyambung dengan urusan kakiku" Ia hanya mengedikkan bahu. "Kau butuh istirahat. Omongan sudah melantur" Aku menggeleng pelan. "Otakku juga mulai rusak. Tadi aku membayangkan yang tidak-tidak antara Sophia dan Liam." kau juga. "Oh iya, tadi pagi aku bertemu si Vin, kakak Sophia waktu itu."

.

Untuk yang pertama kalinya, Zayn menengok, alis tebalnya bertaut, dan matanya melotot. Matanya.. merah? "KAU APA?!" suaranya yang tiba-tiba besar berhasil membuatku terlonjak.

.

"Y-yaa, waktu itu dia pernah menolongku di jalan, lalu tadi pagi dia menjemputku ke rumahnya.." Untuk yang kedua kalinya hari ini, aku salah merangkai kata. Sial, sepertinya dia semakin murka.

.

Tangannya mengambil sesuatu dari belakang, kali ini mataku yang melotot. Zayn meneguk sebotol alkohol seakan sangat kehausan. Pantas saja dia kelihatan lesu dan bicara melantur. Sulit dipercaya. Aku tidak tahu kalau dia peminum alkohol. Jadi selama ini...

.

"Sejak kapan kau minum alkohol?!"

.

Zayn menghiraukan pertanyaanku, menaruh kasar botol alkohol. Ia bangkit dari tempatnya, berhadapan denganku. Dalam kondisi mabuk begitu, aku merasa badan Zayn menjadi berkali-kali lipat besarnya. Sosoknya gelap karena menghalangi lampu jalanan yang memang remang-remang.

.

"KAU INI NEKAT BUNUH DIRI YA! SUDAH KU BILANG JANGAN DEKAT-DEKAT!!" bentaknya.

.

Aku memberanikan untuk berdiri. "Aku berniat memata-matainya! Ku kira setelah ini kau mau membantuku!"

.

"UNTUK APA AKU MEMBANTUMU?!" Dia berteriak lagi. "Aku tahu Vin itu tampan! Kau mau mendekatinya kan?! Apalagi dia anak rahasia mantan pengusaha musik! Dia pasti kaya raya, tidak sepertiku! Miskin, jelek, mana mungkin kau tulus berteman—"

.

"Aku hanya bertemu Vin dua kali! Kenapa berpikiran begitu?!" Aku mengernyit. "Lagipula aku tulus berteman denganmu kok!"

.

"JANGAN POTONG OMONGANKU!" Aku cepat menutup telinga. Zayn meneguk alkoholnya. Jadi begini kalau Zayn mabuk? Tidak bisa dimaafkan. Tidak akan ku biarkan dia minum terlalu banyak.

.

Tanpa membalas bentakan, aku merebut botol tersebut dan membantingnya sembarangan. Isinya tumpah, bahkan botol itu sendiri pecah. Dan tidak, aku tidak menyesal atau merasa bersalah sedikit pun. Aku justru puas menghancurkan barang terkutuk itu. Tidak peduli apa reaksi Zayn nanti. Aku yakin, dia tidak akan berani main fisik.

.

"APA MAUMU?!" Kedua tangannya mengunciku di antara tembok rumah besar ini. "KAU KESINI HANYA UNTUK MENJADI PARASIT? LEBIH BAIK KAU PERGI KARENA AKU TIDAK MAU MELIHATMU!"

.

Parasit.

.

"Aku cuma mau memberitahu kalau besok aku akan berangkat ke London—"

.

"PERSETAN DENGAN KEBERANGKATANMU KE LONDON! PERGI!"

.

Aku mendorong kasar Zayn dari hadapanku. Tanganku segera melepas sweater abu-abu miliknya. Dalam sekejap, angin malam dingin nan kejam menusuk kulitku yang hanya dibalut kaos putih pendek. Kehangatan yang tadi ku rasakan hilang begitu saja.

Aku melempar sweater itu pada Zayn.

.

"Maaf sudah meminjamnya. Tadinya ku kira, duduk dan bercerita di sebelahmu bisa membuatku tambah hangat. Ternyata salah. Tak ku sangka yang ku temui adalah Zayn yang berbeda." kataku sebelum pergi meninggalkan tempat itu.

.

Siapa dia? Dia pasti orang asing yang merasuki tubuh Zayn. Orang yang tidak ku kenal.

.

Apa juga maksudnya menyebut Vin sebagai 'anak rahasia' mantan pengusaha musik?

.

Sambil terus berjalan, aku menggosok lenganku yang sedikit menggigil. Ibu jariku mengusap sport wristband agar emosiku sedikit tenang. Bagaimana bisa tenang kalau yang membuat emosiku berantakan adalah si pemberi itu sendiri?

.

-bersambung-

.

Hehe... *nyengirgaje* see you at GBK guys~ Paling Eleanor muncul-muncul udah di Bali aja'-' Cuma ngasih tau, jangan sampe kelewatan 2 atau 3 chapter setelah ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top