XV - The Name's Vin.
Ari's Pov
Tidak seperti biasa, bukannya langsung meninju, aku justru spontan berteriak begitu melihat siapa yang menepuk. Mataku membulat seolah akan keluar dari tempatnya seraya menatap dari bawah sampai atas tubuh di hadapanku. Sial.
"Kau tidak apa-apa?" Pria itu menggeser payungnya ke atas ku. "Maaf kalau aku mengagetkanmu. Aku tidak sengaja melihatmu kehujanan disini, jadi aku berniat menolong"
Aku bergeming, mundur satu langkah perlahan. Kenapa bisa kebetulan begini? Dan kenapa Vin harus menolongku? Maksudku, kita tidak pernah bertemu, itu artinya aku hanya pedestrian biasa jika dia melihatku kan?
"Do.. do I know you?" tanyaku pura-pura, memasang wajah sepolos mungkin berusaha terlihat seperti 'aku tidak pernah melihatmu sebelumnya'. Vin mengerutkan dahinya, entah kenapa melihatku dari bawah sampai atas dengan aneh. Kurang ajar. "Sepertinya tidak, kalau begitu aku permisi—"
Baru 4-5 langkah ku berjalan, kakiku tergelincir genangan air. Tubuhku nyaris meniban aspal jika saja Vin tidak menangkapku. Oh great, sekarang kakiku terkilir dan tidak ada alasan lain untuk menghindari tawarannya.
"Sepertinya kau butuh tumpangan" Aku hanya tersenyum kecut begitu Vin mengatakannya—sedikit tidak ikhlas. Ia menuntunku dengan hati-hati ke dalam mobil, lalu masuk lewat pintu pengemudi.
Aku hanya bisa mengusap-usap pergelangan kaki sambil memperhatikannya memakai sabuk pengaman sebelum akhirnya tancap gas. Ku kira dia langsung mengebut seperti orang jahat lainnya tapi justru menyetir dengan sangat tenang. Matanya yang tajam terlihat serius melihat ke depan. Dan kalau dilihat lebih dekat, Vin ini mirip sekali dengan Zayn. Alis tebal, rambut hitam, mata coklat, juga hidung yang hampir sama mancungnya. Yang membedakan, wajah Zayn lebih bersifat ketimuran. Mungkin kalau wajah mereka dipecah menjadi 2 puzzle, bisa keliru mana bagian puzzle Zayn dan mana puzzle Vin.
Sekarang Vin menyandarkan kepalanya pada kaca jendela, terlihat jenuh menunggu lampu merah berubah hijau. Kalau boleh jujur, dia tidak terlihat seperti orang jahat, well, meski aku tidak tahu dia ini jahat atau tidak. Maksudku, dia kakak Sophia. Sophia jahat. Mungkin Vin juga begitu. Yaa, aku tak tahu pasti.
"Hey.." Aku segera tersadar dari lamunan. "Kenapa kau melihatku terus?" Sh1t, tertangkap basah. Aku cepat memalingkan wajah, tapi ku dengar Vin justru tertawa. Tidak, bukan tawa licik seperti di film-film, ini tawa sungguhan bahkan kalau boleh jujur, tawa ramah. Untunglah tawa itu bisa menurunkan rasa maluku. "Maaf, aku hanya bercanda." Ia kembali memegang setir begitu lampu sudah hijau. Lagi, aku tersenyum kecut. "Omong-omong, aku belum tahu namamu?"
"Oh" Mulutku membentuk 'o' seraya mengulurkan tangan. "Aku.." haruskah aku memberi tahu namaku? Ah, cepat atau lambat dia akan tahu namaku semisal Sophia dan Liam benar-benar jadi. "Arianne." jawabku kalem.
Untuk beberapa saat aku menunggu Vin untuk menjabat tanganku, tapi tidak kunjung terjadi sampai akhirnya aku baru ingat kalau dia sedang menyetir. Aku hampir menarik tanganku kembali jika saja tangannya tidak menjabatku dengan tiba-tiba. Astaga, sentuhan tangannya halus sekali.
"Ya, panggil aku Vin" I know. Meski begitu, aku masih berusaha memasang senyum palsu dan sekali lagi menunjukkan ekspresi 'aku belum pernah dengar namamu sebelumnya'. "Omong-omong, dimana rumahmu?"
Senyumku memudar menjadi heran. Masa iya dia tidak tahu dimana rumah Liam? Oh, mungkin ini kedoknya agar terlihat benar-benar polos. Dan dengan begitu, aku ikut memasang kedok sok polos ku juga. Aku menunjuk arah kiri, "Belok kiri, lalu belok kanan setelah lewat rumah besar. Lurus terus dan rumahku ada di sisi kanannya." Vin tersenyum padaku sekilas sebelum membelokkan setir.
Aku melongo sesaat melewati rumah besar. Zayn tidak ada. Oh, tentu saja, ini sedang hujan. Silly me.
"Belokan yang ini?" pertanyaannya membuatku menoleh. Aku mengangguk, kemudian menatap butir-butir air yang mengalir di jendela samping. Ah sial. Aku jadi teringat perkataan nenek itu. Kedengarannya menyeramkan sekali. Semoga tidak terlalu menyeramkan kalau aku mengalaminya nanti. Atau kalau bisa, tidak usah mengalaminya sama sekali.
Katanya, di masa depan, aku akan menghadapi cobaan. Aih, kenapa nenek-nenek itu harus bilang? Hh.. bukan salahnya juga sih.
"Yang ini rumahku." kataku saat mataku menangkap pagar kayu besar yang bahkan untuk melihat bangunan rumahnya saja tidak bisa. Entah Liam atau ayah yang terlalu protektif. Siapa juga yang mau membobol rumah dengan kemanan 24 jam non-stop? Belum menyentuh batas tanah saja mungkin Douglas, kepala bodyguard, dan kawanannya sudah meninjunya jauh sampai bulan.
Vin merundukan kepalanya untuk melihat pagar sampai ujung tertinggi sambil memanggut-manggut. "Sepertinya rumahmu besar."
"Hm" Aku mengedikkan bahu. "Err.. Vin, maaf, tapi kenapa kau tiba-tiba menyentuh pundakku lalu menawarkan tumpangan sampai rumah?"
Vin tertawa kecil, sedikit mencondongkan tubuhnya menghadapku. "Karena kakimu terkilir"
Aku menggaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal. "Ck, bukan begitu." Pura-pura bodoh, huh? "Kenapa kau tidak menawarkan tumpangan dengan pedestrian lain, kenapa harus aku?" tanyaku langsung. Aku memang sudah bertanya langsung kok dari tadi.
Tawa Vin justru pecah. Dia benar-benar tertawa. Tawa sungguhan. Bahkan tangannya sampai memukul-mukul setir. Aku menatapnya dari bawah sampai atas dengan raut wajah yang ku sendiri tak mengerti. Vin ini kumat? Apa yang lucu? Karena takut, jadi ku putuskan untuk membuka pintu dan keluar. Dengan hati-hati tentunya karena kakiku sakit.
"Terima kasih sudah mengantarku, Vin" ucapku sebelum hendak menutupnya.
"Tunggu!" Tangannya yang penuh tatto buru-buru menahan pintu. Matanya terarah ke atas, menatapku dalam, seolah aku ini lebih membekukan matanya dibanding pagar kayu rumahku. "Apa kita akan bertemu lagi?" tanyanya datar.
Tidak. "Mungkin?"
Dan dengan begitu, Vin melepaskan tangannya dari pintu, kembali merilekskan punggungnya ke sandaran seraya mengulum cheeky smile. "See you later" Aku mengangguk tanpa membalas senyuman. "Oh, dan yang tadi, jawabannya ada pada bagian belakang celanamu." ujarnya sebelum melaju pergi.
Aku mengkerut bingung sebelum akhirnya memutar kepala. Sh1t. Memalukan!! Celanaku ternyata robek! Pasti karena terburu-buru lari tadi. Dan yang paling parah, Vin melihatnya. Lebih parahnya juga... dia itu laki-laki!
"KEVIIIIINN!!!" jeritanku berhasil membuat kerongkonganku sakit. Tak butuh waktu lama untuk Kevin, salah satu bodyguard, keluar membawa payung, dan langsung memayungiku. Aku cepat-cepat melepas jaket dan mengikatnya di pinggang. "Tuntun aku pelan-pelan.." berpegangan pada tangannya masuk ke dalam.
.
.
"AAAAAAA" Tanganku refleks memukul tangan Gwen yang—aku tahu tidak sengaja—menyenggol pusat rasa sakit. Sekarang aku sedang dipijat—atau siksa bagiku—oleh 7 orang pembantu sekaligus. Padahal hanya kakiku saja yang terkilir, tapi entah ini bukti cinta Liam padaku atau dia memberiku bonus karena telah menanda tangani kontrak itu. "Pelan-pelan, Gwen!"
"Maaf nona.." gumamnya, memindahkan tangan dari pusat rasa sakit itu. Aku kembali bersungut-sungut sendiri.
Liam yang bersandar di ambang pintu kamar hanya bisa menggeleng dan berdecak. "Ckck tak ku sangka perempuan macho sepertimu bisa kesakitan hanya karena terkilir" Kemudian berdesis ngeri. Apa hanya itu yang dia bisa, meledekku terus? Kenapa tidak memanggil dokter dan malah menyuruh selir-selirnya menyiksaku? Aku paling tidak suka dipijat, tapi yah, mau apa lagi untuk saat ini. Badanku kebetulan juga pegal-pegal.
Harry masuk dengan senampan cokelat panas. Ya, aku memang sedang mendapat pelayanan extra saat ini. Dia duduk di sampingku. "Kau seharusnya hati-hati. Tidak lama lagi kita akan meet and greet." Menyodorkanku mug berwarna putih itu.
"Aku tidak peduli lagian." jawabku ketus. "Untung saja tadi ada yang berbaik hati menolongku."
Liam berpindah dan duduk di kursi sebelah kasur. "Siapa? Mau-maunya dia menolongmu." Tanganku dengan cepat menempelengnya.
"Ada pokoknya. Orangnya tampan kok." Entah kenapa tiba-tiba suasana kamar menjadi hening. Mata para pembantu, Liam, apalagi Harry terarah padaku. Aku celinga-celinguk dengan awkward, tak sengaja melihat tangan Harry menegang. Sudah pasti cemburu. Hh..
"Seberapa tampannya dia dibanding aku? HUH?" Aku memutar kedua mataku.
"Sebenarnya dia menolongku karena lihat celanaku robek. Mungkin dia tidak mau aku malu kalau orang lain melihat itu." Spontan, tawa yang terbahak-bahak memenuhi kamarku. Apalagi Liam. Dia yang tertawanya paling kencang. Sialan. Ku siram saja bajunya dengan cokelat panas.
"OWWW!! OH MY LORD! KAU INI ADIK TIDAK TAHU DIUNTUNG!" Lalu berlari keluar kamar. Baguslah. Akhirnya dia pergi juga.
Aku mendelik sinis pada Harry dan para pembantu sekarang. Kenapa mereka tidak ikut pergi saja? "Kenapa kalian masih disini? Get out!" seruku lantang. Para pembantu tunduk, mereka menurut saja dan langsung pergi. Hh.. kecuali Harry. Dia masih saja santai di sebelahku. Aku menyikutnya, memberi kode mata agar dia juga pergi.
"Hh.. padahal aku masih ingin bersamamu" Ia memutar mata. "Baiklah, karena kau sedang sakit saja aku turuti" Dia membawa nampannya kembali sebelum menutup pintu.
Akhirnya sendirian. Sebenarnya aku suka menyendiri dan tempat yang tenang. Itu sebabnya aku lari ke taman saat menangis. Biasanya menjelang malam, taman sepi, kan? Seandainya aku punya uang yang cukup, sudah dari hari pertama semenjak pindah kemari aku akan memutuskan pindah rumah. Atau pindah kota. Ya, walaupun aku ini anak Simon Julian, tetap saja aku orang miskin yang tidak dapat warisan apa-apa. Meski aku tidak mengharapkan juga.
Aku meraih mug berisi cokelat yang Harry tinggalkan, meneguknya beberapa kali, lalu menaruhnya kembali.
Klek.. "Permisi.." Mary memunculkan kepalanya. "Boleh aku masuk? Aku ingin bicara sesuatu denganmu"
Aku mengangguk tanpa mengatakan apapun. Mary melangkah masuk sebelum menutup pintu kembali. Ia menuruti isyaratku untuk duduk di sebelahku. "What is it about?" Aku sedikit menggeser posisi duduk.
"Begini," Ia memainkan jemarinya. Kelihatan.. gugup? "Kapan tuan Simon meninggalkanmu dan ibumu?"
Alisku mengkerut heran. Kenapa tiba-tiba dia menanyakan itu? "Memang kenapa?" tanyaku terlebih dulu. Mary tidak menjawab. Hanya diam melihatku. "Saat aku masih bayi." Akhirnya aku menjawab duluan.
"Dan kau tidak pernah bertemu dengannya lagi?" Aku menggeleng. Mary kelihatan gelisah. Sebenarnya ada apa? "Aku tidak sengaja menemukan jurnal tuan Simon di lemari Liam. Dan disitu ada fotomu saat masih bayi dan... sudah remaja."
"WHAT?!" Aku terpekik. Fotoku saat remaja? Bagaimana bisa? Ayah meninggalkan kami saat aku masih beberapa bulan. Setelah itu kami pindah rumah saat aku berumur 4 tahun—itu yang diceritakan ibu dulu. Jadi mana mungkin ayah tahu keberadaan kami. Dia ingat denganku saja, aku masih ragu. "Kau bercanda. Ini tidak lucu, Mary." Sekarang Mary yang menggeleng. Dilihat dari wajahnya sih kelihatan serius.
"Aku sungguh-sungguh. Hanya saja di foto itu, matamu tidak fokus ke kamera. Justru ibumu." Jadi ayah mengambil foto kami diam-diam?
"Apa bukti kalau kau serius?"
"Kau lahir tanggal 1 september, kan?" Sial. Aku kan tidak pernah memberitahunya tanggal lahirku. Ah, mungkin dia tanya pada Liam atau siapapun yang mengetahuinya. Tepat saat aku ingin membuka mulut, Mary mengatakan hal lain yang membuatku makin terkejut. "Ibumu itu berambut hitam sebahu dan bermata bulat sepertimu. Hampir seperti orang Asia."
"Apa? Tapi-tapi.. aku tidak pernah memberitahu ciri-ciri ibuku padamu. Kau tahu darimana?!"
"Foto di jurnal ayahmu, Ari." Serr.. Lagi-lagi hatiku dibuat mengalir deras seperti Niagara hari ini. Kalau memang benar, seharusnya dari dulu Liam menunjukannya padaku. Hm, mungkin dia lupa dimana menyimpannya. Jangan berpikir negatif dulu, Ari...
"Mary! I need your help!" Suara yang sepertinya milik Kim terdengar.
"Kalau kau masih tidak percaya, kau bisa diam-diam mengambilnya di kamar Liam. Lebih tepatnya pintu ke-2 lemari di dekat jendela." bisiknya sebelum keluar menemui Kim.
Sendirian lagi. Dan suasana sepi ini membuatku berpikir. Kenapa ayah punya fotoku saat remaja? Apa dia tahu dimana keberadaanku dan ibu dulu? Dan kenapa hari ini terlalu banyak teka-teki untukku?
.
.
"Kau yakin kakimu sudah tidak sakit?" tanya Liam untuk ke 100 kalinya. Entahlah, tumben sekali dia peduli. Mungkin karena aku sudah menanda tangani kontrak itu? "Aku tidak mau mendengar teriakanmu yang kesakitan saat ingin pergi ke kamar mandi nanti malam." Ia membereskan tirai jendela kamarku.
"Iya benar, sudah sana pergi. Aku ingin cepat tidur." Aku menarik selimut sampai sebatas bahu. "Lagipula cuma terkilir kok. Tumben peduli." cibirku. Liam hanya memutar kedua matanya. "Oh ya, tirainya dibuka saja. Sepertinya malam ini bulan kelihatan bagus" Liam menurut. Dia membuka tirai jendela sebelum mematikan lampu kamar.
"Have a nightmare." ucapnya sebelum keluar.
"KURANG AJAR!" Aku melempar pulpen yang ada di meja padanya, tapi Liam sudah keburu menutup pintu.
Mataku berpindah pada rembulan yang saat ini berwarna kebiruan. Beberapa awan samar-samar menutupinya dan makin membuatnya indah. Entah perasaanku saja atau memang lama kelamaan tergambar wajah ibu disana. Mungkin ibu sedang memperhatikanku dari sana? Dulu kami berdua memang senang melihat langit di malam hari. Itu kenapa aku senang sekali saat melihat bulan dengan Zayn di rumah pohon. Mengingatkanku pada ibu.
"Night mom.." gumamku, menarik selimut sampai menutup bahu.
Aku berguling ke kiri, masih tak lepas memandang bulan sebelum mataku benar-benar tertutup.
Baru beberapa menit terpejam, telingaku menangkap suara-suara bising. Sepertinya Liam belum tidur. Tapi.. astaga, suara itu aneh dan mengganggu sekali. Seperti suara derap kaki yang tidak kunjung berhenti. Liam itu sedang latihan baris-berbaris atau bagaimana?
KLANG..
"HAAAA" Mataku kembali terbuka begitu mendengar ketukan di kaca jendela. Dan saat itulah aku melihat sosok tinggi gelap—menjadi gelap karena menghalangi sinar bulan—berdiri di depan jendela. Dia membawa sebuah tali dan linggis. Dengan mudah, ia mencongkel jendela kamarku memakai linggis itu. Jendela pun terbuka.
Sumpah demi Tuhan aku takut. Aku takut dia penculik atau bahkan pembunuh. Mungkin aku tidak akan setakut ini kalau kakiku baik-baik saja. Tapi dengan keadaan kakiku yang begini, pasti susah untuk melawan kalau dia macam-macam. Rasanya aku ingin menutup mataku dan memilih untuk pura-pura tidur. Tapi entah kenapa tidak bisa. Mataku justru mengikuti gerakan sosok tersebut yang melangkah masuk—disamping aku sudah teriak tadi.
Sosok yang wajahnya masih tak bisa ku lihat itu sekarang berdiri di samping kasur—di hadapan wajahku. Tangannya perlahan bergerak membuka risleting jaket yang ia pakai, sedangkan yang satunya membuka masker yang menutupi setengah wajah.
"AAAAAAA"
-bersambung-
Joe Jonas ganteng as Vin Smith, kawans. Ini udah lama banget ga nge-post karena kemarin uts dan TO. Gils. Btw, selamat untuk emak ane yang udah melahirkan Doris-Ernest. Oom ane juga baru punya dedek namanya Eric Cowell.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top