XLVII - A Swallowed Pride

Ari dan Zayn berpegangan tangan menyusuri koridor. Mereka berjalan menuju ruangan pintu yang paling ujung dari semua ruangan yang ada di sini. Zayn membukakan pintu agar Arianne masuk. Seseorang yang sudah berada di ruangan itu menyadari kedatangan mereka dan langsung berdiri untuk menyapanya.


"Oh, kalian sudah datang!" Manajer Ashton memeluk mereka berdua, "Arianne, aku sungguh lega saat mengetahui kau selamat dari penculikan itu. Dan aku tambah lega kini Vincent juga seluruh kaki tangan imigran gelapnya sudah diadili oleh polisi dan dideportasi ke negara asal mereka."


Ari tersenyum, "Yah, seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja sekarang."


Saat ini Zayn dan Ari sedang berada di New York, tepatnya di rumah sakit tempat Harry dirawat. Semenjak insiden kecelakaan sound system itu, Harry masih tidak terbangun juga. Bahkan Syco harus membatalkan sisa konser tur Amerika yang ada demi kesehatan Harry. 


Arianne mendekati Harry yang terbaring lemah. Sudah lama semenjak ia melihatnya, Harry terlihat lebih kurus karena sakit. Mereka bertiga memang masih dapat melihat dadanya bergerak naik turun secara teratur dan lemah, tetapi mata pria itu tidak kunjung terbuka juga. Kepala dan badannya masih dibalut oleh perban.


"Sound system itu menimpanya dari belakang. Tulang kepala belakangnya retak, tulang punggungnya juga cedera, dan beberapa tulang rusuknya patah. Dokter mengatakan, kemungkinan Harry akan membutuhkan waktu lama untuk sembuh total. Setidaknya ia menunjukkan perkembangan baik, tetapi.. ya, dia masih tidak membuka matanya."


Ari menghela napas berat. Tangannya menyentuh tangan lelaki itu dan menggenggamnya erat. Ia tidak menyangka Harry mengalami kejadian seperti ini. Apa mungkin saat itu pikirannya menjadi kacau mengetahui ia diculik oleh Vincent Smith? Apapun alasannya, ia ikut merasa sedih melihat keadaan Harry saat ini. Bagaimanpun juga Harry adalah teman baiknya, meskipun ia selalu bertengkar karena sama-sama keras kepala.


"Harry.." panggilnya pelan, "Bangunlah, ku mohon.."


Ia tahu Harry tidak akan mendengarnya.

.

.

Matanya perlahan terbuka.


Ia mengerjap-ngerjap dengan gerakan yang masih lemah. Pupil matanya masih harus beradaptasi dengan penerangan yang ada di ruangan itu. Alisnya berkerut samar menyadari ia tidak mengenali ruangan apa ini. Ia merasakan sebuah masker oksigen menempel pada wajahnya. 


"Oh, kau sudah sadar?" Seseorang yang tadinya tertidur di sisi ranjangnya menyadari pergerakan kecil jemarinya yang ternyata menyentuh jemari orang itu. Ia terus menggenggam tangannya selama ini, "Biar ku panggilkan dokter, Sophia."


Liam hendak beranjak dan meninggalkannya, namun Sophia berusaha sekuat mungkin menggerakkan tangannya untuk menahan Liam. Liam berhenti dan menoleh tangannya sendiri. Sepertinya wanita itu tidak ingin ditinggal untuk saat ini, jadi Liam kembali duduk di sampingnya. Saat ini Sophia sudah berada di rumah sakit di Manchester. Ia dipindahkan ke rumah sakit yang lebih lengkap dibanding rumah sakit di Haworth.


"Are you feeling better?" tanyanya lembut, lalu mencium punggung tangan Sophia yang ia genggam.


Sophia belum bisa menggerakkan mulutnya, apalagi mengeluarkan suara untuk menjawab pertanyaan Liam. Tetapi dalam hatinya, ia mengangguk karena terbangun dan mendapati Liam berada di sisinya, menggenggam tangannya selama ia tak sadarkan diri. Betapa merasa bersalahnya ia karena sudah mengkhianati pria ini dengan cara yang sangat kotor.


"Aku.. hanya ingin kau tahu, aku tidak akan menyalahkanmu atas apa yang terjadi," Liam menggeser bangkunya lebih dekat dan mengelus kepala Sophia, "Dibanding mengetahui fakta bahwa kau memutuskan untuk mengkhianati keluargamu sendiri demi aku, aku justru lebih kagum bahwa kau masih tetap melindungi kakakmu dari tembakan meski ia sudah berlaku kasar padamu. Kau sangat berani, you're an amazing woman."


Sophia merasakan air mata turun mengalir dari sudut matanya. Liam tidak merasa marah atau benci sama sekali kepada dirinya, justru tersenyum tulus kepadanya dan mengatakan bahwa ia bangga padanya. Rasa bersalah itu seolah semakin besar di hatinya.


"Tidak usah merasa bersalah." Liam seolah dapat mengetahui apa yang ia pikirkan, "Tetapi jika kau masih merasa bersalah, aku sudah memaafkanmu dari jauh hari. Akan lebih baik jika kau menebus kesalahanmu dengan tetap bersamaku untuk 10 tahun, 50 tahun, bahkan 100 tahun ke depan. Ku mohon tetaplah di sisiku. Aku sudah tidak bisa berpura-pura membencimu dan berakting seolah kita tidak pernah saling mengenal. Will you do that for me?"


Sophia berusaha keras untuk mengangguk yang akhirnya ia berhasil melakukannya. Liam menyeringai senang melihat responnya. Jari telunjuknya  mengusap air mata yang hampir mengalir turun dari sudut matanya. 


"Ahah, sial, kenapa aku jadi emosional begini?"


Liam beranjak dari bangkunya dan mendekatkan wajahnya ke arah Sophia. Ia mendaratkan ciuman ke kening wanita itu dengan sangat lembut.

.

.

Ari masih setia duduk di sisi ranjang Harry dengan masih menggenggam tangannya. Ia percaya tangan yang ia genggam itu cepat atau lambat akan menunjukkan pergerakan kecil dan Harry terbangun dari tidurnya. Saat ini di ruangan itu hanya ada mereka berdua. Manajer Ashton sedang mengurus sesuatu di bagian administrasi, Zayn sedang membeli makanan untuk mereka bertiga dan mungkin sebentar lagi kembali.


"Bangunlah, Harry.." ucapnya pelan, sekali lagi ia tahu ucapan itu hanya sia-sia, "Aku sudah bebas dari penculikan itu, jadi ku harap kau mau membuka matamu," Ari menatap jendela ruangan itu. Ia samar-samar bisa mendengar keramaian dari luar sana. Tentu saja, karena para penggemar Harry setia mununggunya 24 jam hingga mereka mendengar kabar baik dari pihaknya, "Dan para penggemar merindukanmu."


Pria itu masih tetap diam. 


"Arianne."


Ari menoleh ke belakang saat namanya dipanggil. Ia bahkan tidak menyadari bahwa Zayn masuk ke ruangan ini. Pria itu menaruh satu kantung plastik di atas meja. Itu makanan yang baru saja ia beli di salah satu restoran cepat saji dekat rumah sakit. Zayn menghampiri Ari dan menyentuh kedua pundaknya.


"Ku rasa kau harus berjalan-jalan sebentar. Sudah berjam-jam kau terus duduk di sini."


Ya, bahkan matahari sudah tenggelam sekarang. Semenjak kedatangan mereka tadi siang, Ari tidak pernah meninggalkan bangku di samping Harry kalau-kalau lelaki itu bangun.


"Ayo kita keluar sebentar." ajaknya.


"Harry sendirian, Zayn."


"Ashton sudah di sini. Aku tadi bertemu dengannya di lift, tetapi ia ke toilet sebentar."


Ari mengangguk, "Baiklah."


Mereka hanya berjalan-jalan di sekitar halaman rumah sakit. Hanya itu tempat teraman karena penggemar dan media memenuhi bagian depan rumah sakit. Beruntung tidak ada yang mengenali Zayn karena ia memakai topi dan mantel yang menutupi setengah wajahnya. 


"Kau begitu khawatir pada Harry, ya?" tanya Zayn seraya mereka berjalan di taman rumah sakit, "Dulu kau bahkan langsung naik pitam melihat wajahnya." Ia terkekeh.


"Well, semakin lama aku mengenalnya, aku semakin mengerti dirinya. Jadi dia adalah teman baikku sekarang." Ari mengedikkan bahunya, "Bagaimana denganmu? Apa kau khawatir padanya? Bagaimanapun dia dulu sahabatmu."


Zayn menghela napas pelan. Ia masih ingat betul bagaimana hatinya terasa mencelos begitu mendapat telepon bahwa Harry mengalami kecelakaan di atas panggung. Ia tidak bisa langsung terbang ke New York saat itu karena urusan Ari dan ayahnya belum selesai.


Ari diam menunggu jawaban Zayn. Lelaki itu hanya menatap kosong ke depan tanpa ada niatan untuk menjawab pertanyaannya, "Jadi.. masalah kalian belum selesai sampai sekarang?" tanyanya hati-hati.


Zayn hanya mengedikkan bahu sebagai jawaban. Itu setengah benar. Mereka masih saling mendiamkan dan bersikap acuh tak acuh satu sama lain. Juga sebaliknya, mereka jadi lebih sering berinteraksi dibanding sebelumnya. Namun Zayn tidak menganggapnya sebagai kemajuan antara mereka.


Ari menarik tangan Zayn ke bangku terdekat. Ia mengeluarkan ponsel dari saku mantelnya, "Zayn, aku baru ingat aku memiliki sesuatu untukmu."


Gadis itu menekan layar ponselnya beberapa kali, kemudian menyodorkannya pada Zayn ketika layar ponsel menunjukkan sebuah file rekaman suara.


"Bukalah, file ini sudah lama sekali aku rekam. Aku akan memberikanmu waktu sendirian untuk mendengarkannya." Ia menepuk pundak Zayn sebelum beranjak dan berjalan meninggalkannya.


Zayn mengernyitkan dahi bingung. Sebenarnya rekaman suara apa ini yang ingin Ari tunjukkan padanya? Ia akhirnya membuka file tersebut.


"Dia mengambil hati Diana setelah ayahnya menawarkan kontrak menyanyi untukku dan Diana juga tega membohongiku terus menerus." 


Zayn terperanjat kaget mendengar suara Harry di sana. Ia buru-buru menekan pause untuk mencerna apa maksud dari semua ini. Ari ingin dia mendengarkan rekaman ini? Bagaimana pula dia mendapatkan rekaman suara Harry yang membicarakan tentang Diana?


Zayn kembali melanjutkan rekaman tersebut.


"Diana mengatakan kalau dia pergi dengan ibunya, tapi tak lama ibunya menelponku bertanya apa Diana bersamaku. Diana melewatkan janji makan malam padahal aku sudah menyiapkan dari jauh hari dan menunggu selama dua jam di kapal. Aku sudah menegurnya berkali-kali, tapi dia sudah bukan Diana yang dulu. Diana jatuh ke perangkap Zayn. Ini semua salahku Ari."  


"Kenapa?"  Kali ini terdengar suara Ari di sana.


"Zayn tidak memiliki hubungan baik dengan ayahnya, dan aku sudah berjanji padanya akan menolak tawaran itu karena akan membuatnya tersinggung. Tapi aku justru menerimanya, dan menurutku cukup adil kalau Zayn ingin melakukan balas dendam. Padahal kalau dia mau, aku bisa berjuang mati-matian membatalkan kontrak jika saja Louis tidak mengancamku. Satu hal yang kau tidak tahu, ayahku dulu adalah asisten Louis, yang akhirnya mempertemukanku dan Zayn. Dia mengancam akan memecatnya karena pekerjaan itu satu-satunya sumber kehidupan keluargaku. Orangtuaku bercerai, ibuku menikah lagi dan tinggal di luar negeri, sampai sekarang aku tidak tahu bagaimana kabarnya. Louis memberiku dua pilihan: terima atau ayahku harus meninggalkan pekerjaan asisten."


"Kau memilih menerimanya?"


"Kalau kau jadi aku, yang mana yang akan kau pilih? Anggap saja kau masih tinggal dengan ibumu." 


"I'm sorry."  


"Zayn melakukannya terlalu jauh. Dia mengajaknya pergi ke luar negeri selama berhari-hari disaat aku dan Diana baru saja bertunangan dua hari sebelumnya! Aku tau semuanya tapi aku memilih untuk diam. Aku ingin membiarkan Diana senang disamping Zayn juga senang. Sungguh, dibalik emosiku setiap bertemu dengan Zayn, aku masih menyalahkan diri sendiri."  


Zayn terlalu larut dalam mendengar audio tersebut.


"Ku kira Zayn juga menyukai Diana, ternyata dia memang mendekatinya hanya untuk balas dendam. Dia mengakui semua pada Diana. Itulah yang menyebabkannya memilih untuk menabrakan diri di jalan. Aku tentu sangat marah. Kami bertengkar di rooftop rumah sakit sampai akhirnya aku melakukan sesuatu yang di luar kendaliku."


"Apa itu..?"


"Aku memukul wajahnya dengan botol kaca."  


Mendengar jawaban Harry tersebut, membuatnya tanpa sadar menyentuh bekas luka yang masih ada di rahangnya. Bekas itu masih ada di sana.


"Dia sudah meminta ampun tapi aku masih tidak bisa memaafkannya. Akhirnya Zayn sendiri yang berjanji akan menebus kesalahannya dengan mencari gadis pengganti, lalu aku setuju."


"Gadis pengganti? Apa kau pikir kita ini barang yang bisa digantikan seenaknya? Apa kalian sadar kalian menyeret-nyeret orang yang tidak tahu apa-apa dalam masalah masa lalu kalian? Kalian juga menyeret seluruh dunia yang tidak paham apa-apa untuk mengkritik kita bertiga, Liam, dan Louis karena insiden pertunangan." 


"I wish I knew what I know now. Karena itu aku menyesal, Ari. Jika saja aku tidak dalam keadaan mendesak saat menerima tawaran kontrak atau mencoba membunuhnya, semua ini tidak akan terjadi dan masalahnya hanya di antara aku dan Zayn. Kau tidak akan terseret."


Zayn menghela napas berat.


"Aku sangat ingin memaafkan Zayn saat itu, tapi lagi-lagi aku terlalu bodoh untuk berpikir kesalahan yang ia perbuat tidak pantas untuk dimaafkan. Kalau aku bisa memutar waktu, aku ingin kembali pada saat aku dan Diana masih berteman. Mungkin kalau aku tidak begitu egois ingin memilikinya, menyadari kalau yang dia mau adalah Zayn, aku tidak akan memintanya menjadi pacarku. Aku masih ingin berteman dengan Zayn. Aku ingin meminta maaf padanya."


Aku masih ingin berteman dengan Zayn. Aku ingin meminta maaf padanya..


Aku ingin meminta maaf padanya. .. 


Kalimat yang terngiang-ngiang itu membuat Zayn mengencangkan rahangnya. Ia mematikan rekaman suara itu dan memasukkan ponsel Arianne ke saku mantelnya. Dia sudah mendengar semuanya. Semua yang Harry katakan, semua bagian yang Zayn tidak ketahui selama ini. Zayn memasang raut wajah dingin dan mulai beranjak dari sana. Tidak, dia tidak akan membiarkan itu terjadi. 


Karena ialah yang akan meminta maaf duluan kepada Harry.


Seperti saat ini, di ruang rawat Harry, hanya ada mereka berdua. Ari belum kembali, sementara Ashton sedang menerima telepon penting dari agensi. Ya, hanya ada Zayn dan Harry di sini.


Zayn melangkah perlahan mendekati lelaki yang terbaring masih menutup matanya. Ia menarik bangku di sebelah ranjang, kemudian duduk di sana. Ia tidak melakukan apapun selama beberapa menit. Hanya diam menatap Harry tanpa ekspresi apapun. 


"Should I... confess my mistake now?"


Zayn berdeham untuk mencairkan suasana yang membuatnya canggung sendiri.


"Baiklah, aku mengaku salah. Aku memang memanfaatkan Diana untuk balas dendam. Aku tidak memungkiri bahwa aku tertarik dengannya selama dekat dengannya. Aku dapat melihat kenapa kau begitu tertarik padanya, begitu menyayanginya. Tapi jika kau tanya apa aku mencintai Diana.. tidak. Aku tidak pernah mencintai Diana karena apa yang ku rasakan tidak pantas disebut cinta dan disamakan dengan cintamu kepada Diana. She was an amazing girl and you deserved her more than I did."


Zayn menghela napas. Itu benar. Zayn memang tertarik kepada Diana karena gadis itu dulu membuatnya nyaman sebagai sahabat, sebagai orang yang dapat diandalkan. Tapi itu tidak bisa disebut cinta jika ia tertarik pada seseorang tetapi hanya memikirkan dirinya sendiri. 


"Alasanku mengakui bahwa aku hanya memanfaatkan Diana kepadanya, karena aku merasa bersalah. Setiap ia terlihat senang dan bahagia bersamaku, aku merasa bersalah. Semakin dia berpikir bahwa aku mencintainya, aku merasa bersalah. Aku merasa bersalah kepadanya dan juga padamu, Harry. Diana tidak seharusnya merasakan kebahagiaan semu itu bersamaku. Aku tidak bisa menyakitinya lebih dalam lagi, jadi aku memutuskan untuk mengakui semua itu. Tapi.."


Diana menabrakkan dirinya ke jalan.


".. dia melakukan sesuatu di luar dugaanku."


Zayn menghela napas. Sampai sekarang, mengingat bagaimana gadis itu memutuskan untuk bunuh diri dengan mata kepalanya sendiri masih membuatnya sesak. Tentu saja ia sedih karena kepada Dianalah ia melampiaskan keputusasaannya setelah ia tak lagi dekat dengan Harry. Bagaimanapun juga gadis itu adalah sahabatnya, salah satu orang terdekatnya.


"Aku yang pengecut memutuskan untuk pergi meninggalkan semuanya karena lelah berhadapan dengan tekanan sana-sini. We could've sorted it out sooner if I had swallowed my pride and apologized to you instead of running away from it."


Tangan Zayn perlahan bergerak menyentuh tangan Harry. Ia menghela napas pelan.


"Forgive me, Harry." ucapnya sungguh-sungguh, "I would like to go back to those days when you would show up out of nowhere in my room right when I just got back home, when you would stand by me during my difficult phase of my life, supporting me everytime I had to deal with my father. I cherish it all until now."


Dan semua yang Zayn ingin katakan selama ini sudah dikatakannya. Ada rasa lega sekaligus canggung yang ia rasakan. Mengakui sesuatu yang ia rasakan selalu terasa canggung baginya, mungkin karena ia adalah orang yang tertutup. Tapi ia berharap Harry dapat mendengar permintaan maaf tulusnya. Ia ingin Harry menerima maafnya dan hubungan mereka kembali seperti semula. Namun jika itu terdengar muluk, Harry menerima maafnya saja sudah cukup.


Jarum jam dapat terdengar jelas di ruangan yang sunyi itu. Matanya hanya bisa melihat ke kedua lututnya sembari diam menikmati suasana hening tersebut.


Namun tanpa ia sadari, sepasang kelopak mata lainnya mulai bergerak pelan. Kelopak mata itu bergerak mengerjap-ngerjap beradaptasi dengan cahaya di ruang rawat VIP tersebut. 


Dan saat dua kelopak mata tersebut sudah sepenuhnya terbuka,


Sepasang mata hijau lah yang menggantikan posisinya. 


-bersambung-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top