XLV - The Good Traitor

Duh, maapin kalo absurd deh ya.

***


Liam baru akan menjalankan mobilnya ketika tiba-tiba Zayn masuk ke mobilnya. Pria itu terperangah dengan kedatangannya. Zayn hanya duduk diam tanpa berbicara apapun, "Ku kira kau sudah duluan pulang dengan mobilmu." Liam menatapnya heran.


Mereka memang masih berada di kawasan rumah Vincent Smith dan sang empunya rumah sudah pergi dengan mobil polisi untuk menjalani pemeriksaan. Zayn yang emosinya sedang naik memilih untuk masuk ke dalam mobil duluan setelah bertengkar singkat dengan Vin Smith. 


"Jangan banyak bicara. Jalankan saja mobilmu."


"Bagaimana dengan mobilmu?"


"Sopir pribadiku sudah ku suruh datang untuk membawanya pulang. Jangan khawatir mobilku akan hilang, banyak polisi di rumah tua bangka brengsek itu sekarang."


Liam memutar kedua matanya dan menjalankan mobilnya pergi. Ia masih tidak mengerti apa tujuan Zayn naik ke mobilnya, jadi ia berjalan saja menuju apartemennya yang sementara ia tinggali. 


"Aku melihatnya." ucap Zayn memecah suasana hening, "Aku melihat Vincent menyelipkan sesuatu di tanganmu."


Hal itu membuat Liam menginjak rem mendadak. Untung saja jalanan sedang sepi dan tidak ada mobil di belakang mobilnya. Ia tidak mau berisiko membuat kecelakaan beruntun dengan perkataan Zayn tersebut. Liam segera menepikan mobilnya.


"Apa yang dia berikan?" tanya Zayn.


Liam mengeluarkan kertas kecil tersebut dan menunjukkannya pada pria berwajah campuran tersebut. Sama seperti Liam, Zayn juga mengernyitkan dahi ketika melihatnya. Kertas itu hanya menunjukkan nama tempat dan jam, tidak ada penjelasan lebih lanjut.


"Sudah jelas ia menginginkanku untuk menyerahkan surat itu. Ku rasa dia tidak mencantumkannya karena aku pasti sudah mengerti."


"Tidak." Zayn menggeleng, "Jangan berikan dia malam ini. Datanglah dengan tangan kosong. Biarkan dia yang meminta dulu, Liam. Lagipula kita sudah menguasai surat berharga itu, bukan?"


"Tapi aku benci menjadi orang bodoh jika mengikuti permainannya."


"Kau selalu mengatakan agar tidak mengambil keputusan yang salah kepadaku, kalau begitu kau harus begitu juga kali ini." Mungkin hal yang langka Zayn berbicara kepadanya dengan tenang di situasi seperti ini. Biasanya ialah yang berbicara dengan emosi, "Aku akan mengikutimu dari belakang malam ini."


"Apa kau yakin akan mengikutiku?"


"Aku akan mengikutimu bersama Kepala Polisi Brown."


Dan Liam hanya tersenyum licik ketika melihat mobil Zayn dan Kepala Polisi Brown dari balkon apartemennya. Ia tidak menyangka Zayn bersungguh-sungguh akan membuat kepala polisi itu ikut mengikutinya. Di mobil belakang, polisi itu bersama 3 polisi lainnya, sementara Zayn hanya sendiri di mobil depan.


Liam bergegas meninggalkan balkon apartemen dan keluar dari unit apartemennya, "Dasar penguntit." Liam bisa melihat kedua mobil itu berada terus di belakang mobilnya. Ia sengaja menambah kecepatan, lalu memberhentikan mobilnya jauh dari mereka agar mereka tidak ketahuan.


Zayn dan keempat polisi tersebut turun dari mobil. Mereka sengaja tidak memakai pakaian mencolok agar tidak dikenali oleh siapapun. Polisi yang ikut bersama Zayn tidak bertujuan untuk menangkap Vincent, mereka hanya bertujuan untuk menambah bukti baru dan tidak mengganggu apa yang Liam dan Vincent akan lakukan di sana. Bahkan salah satu dari mereka sengaja membawa kamera.


"Lebih baik kita berpencar." ujar Kepala Polisi Brown. Keberadaan mereka yang bergerombol seperti ini justru akan lebih mudah untuk dikenali. 


Maka Zayn menurunkan topinya agar lebih menutupi wajahnya dan berjalan-jalan di sekitar Chinatown. Dari sepenglihatannya, Liam juga masih menunggu kehadiran Vincent. Zayn mengambil rokok dari sakunya. Sial, dia bahkan menyentuh rokok lagi karena stress dengan situasi ini. Zayn mengeluarkan asap dari mulutnya. Asap rokok itu bercampur dengan asap dingin yang keluar dari mulutnya.


Baru ia akan mengarahkan rokok ke mulutnya lagi, seseorang melingkarkan tangannya di sekitar leher Zayn dan menyeretnya ke belakang, ke gang gelap di antara gedung.


"AAAKKHH!!" 


Ia refleks berteriak dan menempelkan bagian panas dari rokoknya ke tangan yang terasa halus tersebut. Tangan itu dengan asal melempar Zayn hingga terjatuh dan menarik sendiri tangannya karena panas oleh sundutan api.


"Panas! Panas! Sialan!"


Zayn buru-buru bangkit. Ia menatap tajam pada sosok yang wajahnya tertutup oleh hoodie dan topi, kemudian mengernyit curiga. Suara orang itu seperti tidak asing baginya. Dan terlebih... kenapa itu terdengar seperti suara perempuan?


Orang itu masih meniup-niup tangannya yang terkena sundutan, Zayn memanfaatkan kesempatan itu untuk menarik paksa topi yang menutupi wajahnya. Topi tersebut jatuh ke tanah dan menunjukkan wajah dari orang yang menyeretnya ini.


"Sophia Smith?!"


Sophia membelalak, langsung membekap mulut Zayn dengan tangannya. Bahkan sepertinya ia langsung lupa dengan tangannya yang kepanasan. 


"Diam! Jangan sampai mereka mengetahui keberadaanku!"


Zayn yang tentu saja lebih kuat darinya dengan cekatan melepas tangan Sophia dan memutarnya ke belakang punggung sehingga wanita itu merasa terkunci. Inilah yang dari kemarin ingin Zayn lakukan pada wanita yang ia benci langit dan bumi ini. Benar-benar, ingin rasanya ia langsung menyerahkannya pada polisi sekarang juga.


"Please, lepaskan, Joe! Aku tidak akan berbuat macam-macam! Tapi jangan sampai mereka melihatku!"


"Kenapa? Apa kau takut akan ku serahkan pada polisi sekarang juga?"


"Aku bukan berbicara tentang polisi!" Sophia hampir berseru frustasi, "Jangan sampai orang-orang suruhan ayahku melihatku di sini!"


Zayn mengernyit heran, "Apa?" Cengkramannya pada tangan Sophia melonggar, wanita itu memanfaatkan kesempatan itu untuk melepaskan diri dari Zayn. Malam ini ia sudah kena sial dua kali, terkena sundutan dan tangannya diplintir ke belakang punggungnya.


"Joe, aku ingin membantu kalian!"


"Panggil aku Zayn. Jangan pernah panggil aku Joe." Ia langsung mengoreksi.


"Apa? Memangnya kenapa? 'Zayn'? "


"Tidak usah banyak bicara," sergahnya tajam. Zayn terkekeh, "Apa kau bilang? Kau ingin membantu kami? Apa ini? Jika ini salah satu rencana jahat keluarga Smith, ku sarankan kau kabur sekarang sebelum aku menghabisimu di gang gelap ini. Aku bahkan tidak peduli kalau kau perempuan," Zayn berjalan mendekat dan membuat Sophia melangkah mundur, "Kau pasti tahu, bukan, bahwa aku--tidak, kami: aku, Liam, dan Arianne--benar-benar muak denganmu dan semua yang berhubungan dengan keluarga Smith. Bahkan ayahku, Louis, dan mendiang Simon juga."


Punggung Sophia kini sudah mentok pada dinding. Tangan Zayn perlahan bergerak menuju lehernya dan sedikit mengencangkan cengkraman namun tidak sampai mencekiknya.


"Aku serius ingin membantu kalian!"


"Apa alasan logismu?"


"Aku mencintai Liam!"


"Cih." Zayn lagi-lagi terkekeh dan menggeleng pelan, "Apa itu cukup masuk akal?"


"Aku serius! Aku serius, Jo--Zayn! Apa kau tahu aku hampir mati begitu mengetahui ayahku ingin menyuntik mati Liam?! Aku tidak tahu menahu soal itu! Aku tidak mau ayahku melakukan hal buruk lebih jauh lagi terhadap Liam! Maka dari itu aku ingin berpihak kepada kalian!"


"Kalau kau tidak ingin ayahmu melakukan hal yang jauh lebih buruk, kenapa tidak dari awal saja? Kenapa di saat Liam hampir mati, kau baru ingin membantu? Dengar ya, kau tahu, ayahku, ayahmu, dan ayah Arianne pernah merasakan pengkhianatan. Aku pun pernah merasakan pengkhianatan. Dan kau secara tidak langsung telah menyatakan kalau kau berkhianat terhadap keluargamu sendiri. Maaf, kami tidak bisa menerima pengkhianat ke pihak kami yang pada akhirnya akan mengkhianati kami juga." Zayn menjauhkan dirinya dari Sophia, "Sekarang pergilah. Selagi aku memintanya baik-baik."


"Ada bom di tempat Arianne dan ayahmu!!"


Zayn yang baru melangkah pergi untuk meninggalkannya tiba-tiba berhenti. Apa yang baru ia katakan?


"Ayahku memasang bom di tempat Ari dan ayahmu! Ayahku mungkin sudah mengaktifkannya sekarang! Ia seolah menunjukkan pada Liam bahwa Ari dan ayahmu hanya akan terkena tembakan, tetapi sesungguhnya senjata api itu kosong. Mereka mempersiapkan untuk meledakkan tempat itu! Kita tidak punya banyak waktu!"


Napas Sophia bahkan sampai memburu untuk menjelaskannya pada Zayn. Ia begitu frustasi untuk meyakinkan Zayn. 


"Tempat itu sebenarnya adalah tempat penyimpanan Wine terbesar keluarga kami. Ku mohon percayalah padaku!"


Zayn kembali menghampiri Sophia dengan raut wajah yang masih tak bisa dijelaskan, "Apa kau serius?"


"Kau boleh menyundut tanganku lagi jika itu membuatmu percaya, aku tidak keberatan." Sophia mengulurkan tangannya pada Zayn.


Zayn kelihatan berpikir. Ia masih ragu untuk mempercayainya, tapi dari gelagatnya, Sophia kelihatan bicara jujur. Bahkan saat Zayn menatap kedua matanya lekat-lekat, tidak ada kebohongan di sana. Haruskah ia mempercayainya? Mungkin ia harus berpura-pura percaya dan tetap waspada terhadapnya. Bagus jika wanita itu memang tulus, namun jika ia memberikan gelagat mencurigakan, ia sudah mengawasinya.


Keadaan hening itu pecah saat ponsel Zayn bergetar.


'Liam'


Zayn menerima telepon itu, sementara Sophia melihatnya dengan antusias, "Halo?"


Tidak ada jawaban.


"Halo, Liam?"


Hening.


Yang ia dapat dengar adalah suara mesin mobil yang berangsur menghilang, sepertinya mobil tersebut pergi menjauhi Liam.


"Ada apa dengannya?" tanya Sophia khawatir.


"Seharusnya aku yang tanya, apa yang ayahmu lakukan pada Liam?!"


Mereka berdua cepat-cepat keluar dari gang gelap tersebut dan mencari keberadaan Liam. Pria itu rupanya sudah tergeletak tak sadarkan diri dengan wajah memar-memar, juga beberapa sisi wajahnya berdarah.


"Liam!"


Zayn dan Sophia berlari menghampirinya, disusul oleh empat polisi lainnya. Mereka mengangkat Liam dan membawanya ke mobil Zayn. Sophia menutup mulutnya dengan tangan melihat keadaan Liam. Pria itu benar-benar tidak berdaya. 


"Maaf, bukankah Nona putri dari Vincent Smith?"


Kepala Polisi Brown bertanya pada Sophia. Sophia hanya mengangguk kecil berharap kecurigaan polisi tidak menghambatnya untuk membantu mereka.


"Kenapa Anda ada di sini?"


Sophia hanya diam. Tetapi tak lama Zayn melingkarkan tangannya di pundak Sophia, "Sophia akan membantu kami dalam mencari Arianne dan ayahku."


***


Vin mendorong adik perempuannya dengan kasar hingga terjatuh di tengah ruangan kosong, disusul oleh Zayn yang dilempar begitu saja oleh para pesuruhnya. Zayn bahkan menabrak Sophia ketika mencapai lantai. Ruangan ini begitu berdebu. Dan ruangan ini hanya salah satu dari belasan ruangan yang ada di rumah ini. 


Vin turun satu lutut di hadapan Sophia, ia membuka paksa penutup mulut mereka hingga Sophia memekik kesakitan. 


"Brengsek!! Lepaskan aku!"


Vin hanya tersenyum licik. Ia tidak peduli jika Sophia menghinanya dengan semua sumpah serapah yang ada. Ia benar-benar geram karena tepat seperti dugaannya, Sophia akan berkhianat.


"Kau tahu, dik? Ayah sudah menyuruhku untuk terus mengawasimu. Dan benar dugaan kami, kau akan melakukan hal bodoh. Berani-beraninya kau mengkhianati keluarga kita?!" Vin melayangkan tamparan pada adiknya sendiri, Zayn yang melihat itu membelalakkan matanya. Tamparan tadi tidak main-main.


"Sialan!!" jerit Sophia histeris, "Apa kau tidak lelah menjadi kacung ayah?! Terlibat dengan sesuatu yang tak ada kaitannya dengan kita! Terlibat dengan sesuatu yang merupakan kesalahan ayah! Apa kau tidak lelah?!"


Tamparan kedua didapatkan olehnya.


"Itu untuk menyadarkanmu bahwa kau telah berkhianat."


Tamparan ketiga ia dapatkan lagi.


"Itu karena kau sudah mengotori keluarga Smith!" Vin membentaknya, "Dasar bodoh. Ayah menyuruhmu untuk mendekati Liam untuk mengorek informasi, tapi apa yang kau lakukan? Kau justru jatuh cinta padanya dan menjadi jalang yang menghabiskan uangnya. Sangat memalukan. Sekarang kau justru berpihak pada mereka. Apa kau tidak pernah bersyukur?!"


"Kalau begitu kenapa melibatkanku dari awal?! Aku sudah mengatakan aku menolak untuk mendekatinya! Aku tidak mau melanjutkan semua ini! Seharusnya aku ikut ibu saja ke Irlandia dan membuang jauh-jauh ingatan bahwa aku punya ayah dan kakak laki-laki yang sangat jahat!"


Vin menarik rambut Sophia ke belakang dengan kasar, "Apa yang akan kau dapat jika ikut dengan ibu? Bekerja paruh waktu di KFC? Seharusnya kau bersyukur dengan melakukan semua ini, kita tetap hidup baik! Dasar tidak tahu malu!"


"Cih, aku bahkan tidak sudi hidup dengan bergelimang harta kotor!"


"Anak ini benar-benar!"


Vin menamparnya lebih kencang hingga Sophia terkapar ke lantai. Ia tidak bisa melawan karena tangan dan kakinya diikat, jadi ia hanya menangis dan meringis merasakan panas di pipinya.


"Hey! Kau tidak seharusnya berlaku kasar pada adik perempuanmu!" Zayn yang sedaritadi diam menjadi geram. Ia yang jauh lebih membenci Sophia bahkan tidak pernah memperlakukan wanita itu dengan kasar. Tapi kakak kandungnya sendiri berani berbuat seperti itu, "Pengecut."


Vin tertegun dengan teguran Zayn, "Berhenti mengurusi urusan orang lain, Zayn Malik." ujarnya, menekankan kata terakhir, "Cih, aku tahu kau adalah anak lelaki Louis yang berpura-pura menjadi orang miskin demi kabur dari ayahnya sendiri. Jadi siapa pengecut sebenarnya?"


"Kau." jawabnya, "Seperti yang adikmu katakan, kau adalah kacung ayahmu yang selalu menurut. Jadi kau lah pengecutnya."


Mendengar jawaban itu membuat hati Vin panas. Vin mengeluarkan sebuah pistol dari saku bajunya, well, lebih tepatnya pistol milik Zayn yang ia sita. Vin mengarahkan mulut pistol ke kepala Zayn, namun Zayn hanya bergeming. Ia kelihatan tidak takut. Vin tersenyum licik dan perlahan memindahkan mulut pistol itu ke kepala Sophia. Baru saat itu Zayn membelalak.


"Kau sudah gila?!" seru Zayn.


Vin menyeringai dan menarik pelatuk pistol. Sophia dan Zayn memejamkan mata erat-erat. Tetapi setelah beberapa lama, bunyi ledakan itu tidak ada. Pistol itu kosong. Vin mengosongkan pistol tersebut.


"Jangan terlalu tegang. Bom masih akan meledak 20 menit lagi." Ia melirik jam tangannya, "Itu sebabnya aku harus segera keluar dari sini." Vin berdiri dan menatapnya tajam. Ia membisikkan sesuatu kepada salah satu pengawal, lalu pengawal tersebut pun keluar dari ruangan, "Kau tahu, dibanding menunggu bom meledak, bagaimana kalau kalian mati duluan saja? Sophia, apa kau tahu ayah tidak masalah jika kau mati di tanganku?"


Pengawal itu kembali dengan membawa satu jerigen minyak tanah. Vin pun mengambil jerigen tersebut dan menyebarkannya di sekitar ruangan.


Sophia membelalakkan matanya, "Vin!! Jangan coba-coba kau berbuat gila!"


"Oh, kau sudah melakukan hal gila lebih dulu, Sophia."

.

.

"Tanda tanganilah surat ini." ujar Liam, menyodorkan dua lembar kertas ke hadapan Vincent. Satu adalah mengenai warisan dari Simon dan yang kedua adalah surat pengalihan kekuasaan yang sudah ditanda tangani Liam dan para petinggi perusahaan.


Vincent mengeluarkan pulpen hitamnya dan menarik kertas pertama. Dengan di saksikan semua orang yang ada di ruangan itu, ia akan mengambil alih Syco. Inilah yang ia inginkan sejak awal. Ia baru saja akan menorehkan tintanya pada kertas ketika pintu ruang meeting dibuka oleh petugas keamanan gedung. Perhatian semua orang yang ada di ruangan itu menjadi teralih.


"Maaf Tuan dan Nyonya telah menginterupsi meeting, tapi saya harus bertemu dengan Tuan Liam--"


"Hey!" seru Vincent padanya, "Apa kau tidak lihat kami sedang ada urusan besar?! Ini menyangkut masa depan perusahaan!" Ia benar-benar kesal. Kebahagiaannya diganggu oleh petugas keamanan itu.


"Tapi--"


"Caldwell," tegur Liam, "Maaf, tapi Vincent benar. Kami tidak bisa diganggu saat ini."


"Tuan Liam, tapi--"


"Saya tahu." ucapnya, "Biarkan saja."


Petugas keamanan gedung yang bermarga Caldwell tersebut sedikit tertegun, namun mengangguk menurut.


"Cepat keluar!" usir Vincent tidak tahan.


Pria itu pun akhirnya keluar dari ruang meeting


Vincent kembali membuka pulpennya. Ia dapat melihat di sana sudah ada tanda tangan Louis Walsh yang memang sudah lama ditandatangani. Simon menyimpan surat yang diincar Vincent bertujuan agar Vincent tidak menandatangani perjanjian tersebut: untuk mewariskan Syco kepada mereka berdua, karena Simon tahu, Vincent pasti akan menyalahgunakannya. Tanpa membaca surat tersebut, ia langsung membubuhkan tanda tangannya.


"Finally!" Ia mengembuskan napas lega, bahkan mencium kertas tersebut karena ia akhirnya menandatanganinya.


Ia baru saja hendak menarik kertas kedua ketika pintu ruangan meeting terbuka lagi. Namun kali ini bukan Caldwell lah yang masuk. Vincent baru akan berbalik ketika tiba-tiba saja ia merasakan dua mulut pistol menempel pada dua pelipisnya.


"Jangan bergerak."


Semua orang yang ada di ruangan meeting tersebut--bahkan gedung tersebut--tampak terkejut, kecuali Liam. Ia tersenyum dan mengambil kembali surat yang baru ditandatangani.


"Anda ditangkap atas tuduhan penculikan dan penganiayaan!"


Vincent Smith membelalakkan matanya. Liam menyeringai melihat pria tua itu perlahan mengangkat kedua tangannya. Liam lalu membaca keras-keras surat yang baru ditandatangani Vincent.


"'Pengalihan kekuasaan atas perusahaan Syco Company kepada Liam James Payne'"Liam tersenyum puas, "Sekarang tiga founder: ayahku, Louis, dan kau, sudah menandatangani surat ini. Perusahaan ini resmi diwariskan kepadaku. Thank you."

.

.

Vin melempar asal jerigen yang sudah kosong. Ia menyalakan pemantik api yang diberikan lagi oleh pengawal.


"Vin!! Kau sudah terlambat!" seru Sophia.


DOR! DOR! DOR!


Perhatian mereka teralih kepada suara tembakan di luar sana. Vin terlihat terkejut dan mematikan pemantik api. Ia melihat keluar melewati celah jendela kecil. Di depan sudah berjajar mobil-mobil polisi. Sial, batinnya. Vin memberikan kode kepada kedua pengawalnya untuk mengawasi keadaan di luar karena ia akan segera kabur. Kedua pengawal itu menurut dan segera keluar dari ruangan.


"Brengsek, kalian pasti sudah merencanakan ini, bukan?" Vin kembali menyalakan pemantik api. Ia membuangnya ke bagian yang sudah ditumpahkan minyak, membiarkan api cepat menjalar ke sekitar ruangan, "Matilah dengan baik di sini." 


"Vin Smith!!" seru Sophia ketika kakak laki-lakinya hendak kabur.


Namun Vin tidak menggubrisnya. Ia melepas ikatan kaki Sophia dan menyeretnya paksa keluar dari ruangan itu. Vin kabur membawa Sophia melewati pintu basement, meninggalkan Zayn sendirian di ruangan dengan api yang mulai membesar.


-bersambung-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top