XLIV - The Throne

Liam sengaja mempercepat kecepatan mobilnya agar ia bisa memberhentikan mobilnya jauh dari dua mobil yang mengikutinya. Ia turun dari mobil dan melihat ke sekelilingnya. Hampir tidak ada orang di sini. Tentu saja karena ini sudah lewat tengah malam. Toko-toko dan restoran bertuliskan huruf Hanzi sudah tutup. Liam merapatkan mantelnya dan berjalan lurus ke perempatan, mungkin orang yang ia akan temui menunggunya di sisi lain.


Ia melihat ke kanan dan ke kiri. Tempat ini benar-benar sepi. Liam bersandar di salah satu dinding restoran Cina. Ia tidak tahu apa yang Vincent inginkan darinya, tapi apapun itu, ia siap untuk menghadapinya. 


'Aaakhh!!'


Liam membelalakan matanya begitu mendengar suara teriakan laki-laki. Ia seperti kenal dengan suara itu, "Apa jangan-jangan.." Ia berpikir sejenak. Matanya membelalak untuk kedua kalinya, "Oh, tidak! Tidak! Tidak!" 


Ia beranjak dari sana untuk mendekati sumber suara, tapi baru beberapa langkah ia berjalan, tengkuknya diserang dari belakang dengan sikut seseorang. Liam terjatuh. Ia meringis memegangi tengkuknya seraya melihat siapa yang di belakangnya. Liam membelalak mendapati seorang pria bersiap untuk memukulnya dengan linggis. Ia buru-buru berguling ke samping sehingga linggis tersebut hanya beradu dengan trotoar. Pria itu menggeram kesal. Liam dengan susah payah bangun untuk lari darinya, namun pria yang berpakaian serba hitam itu lebih dulu menendang kakinya hingga ia terjatuh lagi. Pria itu tidak segan menendang wajah dan perutnya sampai Liam hampir setengah mati menahan sakitnya. Terlebih, pria itu memakai sepatu berhak tebal yang dengan mudah dapat membuat Liam memuntahkan darahnya. Hhh.. Liam memang tidak pandai berkelahi.


Pria itu tidak lagi berniat untuk memukulnya dengan linggis. Justru ia menarik kerah belakang Liam untuk bangun, kemudian menyeretnya ke sebuah mobil limousine hitam di sisi lain gedung tempatnya diserang. Pria itu membuka pintu mobil dan mendorongnya masuk dengan kasar hingga Liam tergeletak di lantai mobil yang luas tersebut. Mobil tetap berhenti, tidak melaju. Sepertinya Liam tidak akan dibawa kemana-mana. Ia terbatuk-batuk untuk bangun. Ia menyadari ada seseorang yang duduk di depannya. Ya, siapa lagi kalau bukan Vincent?


Pria tua itu hanya duduk santai tersenyum melihat keadaan Liam sekarang. Jika ia tidak bisa membunuh Liam, melihatnya hampir sekarat seperti ini saja sudah membuatnya lebih baik. 


"Apa kau baik-baik saja, Payne?" Vincent menyeringai, "Berterima kasihlah padaku karena aku menyuruhnya untuk tidak membunuhmu. Anggap saja yang tadi sebagai perkenalan anak buah baruku padamu."


"Bajingan!" Liam mendesis geram, "Apa yang kau mau dariku?"


Vincent tersenyum, "Aku tidak suka basa-basi. Jadi aku akan langsung saja," Ia merubah posisi duduknya lebih dekat dengan Liam, "Ambil surat itu dari safe deposit box dan pindahkan kekuasaan Syco kepadaku. Aku sudah repot-repot menyuruh anak buahku untuk memberantaki rumahmu dan ternyata kau menyimpannya di sana. Cih." Vincent menendang wajah Liam.


Liam masih menatapnya tajam. Vincent menekan sebuah remote untuk menyalakan monitor yang ada di mobil tersebut. Di monitor itu, terlihat Arianne dan Louis yang diikat di sebuah kursi dengan 4 buah pistol mengarah ke leher mereka berdua. Namun tidak ada yang memegang pistol-pistol tersebut, melainkan terhubung dengan tali ke sebuah timer digital yang menunjukkan sisa waktu tinggal 11 jam 5 menit 40 detik lagi. Liam membelalak. Ia bersumpah matanya bisa keluar kapan saja. Vincent menarik rambut Liam.


"Apa kau bisa lihat? Adikmu dalam bahaya. Kau punya waktu kurang dari 12 jam lagi. Jika kau masih menimbang-nimbang untuk menurut atau tidak, lebih baik kau ingat keadaan adikmu ini baik-baik. Siapa pihak yang dirugikan di sini? Bukan aku. Jika kau tidak setuju, Arianne dan Louis akan mati bersamaan, jika kau setuju untuk memindahkan kekuasaan Syco padaku, kau akan untung adikmu selamat dan aku pun juga untung mendapatkan Syco. Simbiosis mutualisme. Bagaimana?" Vincent terkeheh, "Atau aku harus membiarkan kalian hidup dan melihat kalian jatuh miskin secara pelan-pelan? Sebagai balasan atas apa yang ayah tirimu lakukan. Tidakkah kau merasa terhina terlihat menderita di depan lawanmu?"


Detik itu, Liam bersumpah ia sudah membunuh Vincent dan mencabik-cabik jantungnya di dalam pikirannya. Jika saja masih tersisa sedikit tenaga atau Liam punya seseorang untuk mem-back up-nya, ia tidak segan melakukan apa yang ada di pikirannya itu di mobil ini. 


Liam menatap lirih ke monitor. Di sana Arianne terlihat memberontak ketika salah satu anak buah Vincent menarik rambutnya ke belakang. Gadis itu mendapat pukulan sebagai hukumannya. Ari bahkan tidak bisa berteriak karena mulutnya ditutup. Liam kembali menatap Vincent. 


"If it makes you stop doing all this bullshit, then fine."


Liam tahu, jika ia setuju, maka ia dan Arianne memang akan jatuh miskin perlahan-lahan. Vincent dengan kekuasaannya pasti dapat mengacak-acak saham yang ia punya dan memblokade para mitra perusahaan untuk menerima Liam. Itu bahkan sudah terlihat bagaimana media memberitakan kehancuran Syco dan turunnya saham karena kasus penculikan ini, seolah-olah Liam terlihat tidak profesional. Tapi dia tidak peduli jika dengan begitu hidupnya akan tenang dari keluarga Smith juga kelicikan Vincent.


"Baguslah, kau menjadi penurut. Urusi semua itu pagi ini juga. Lebih cepat, lebih baik, bukan?" Vincent tersenyum licik, "Ku harap kau ingat bagaimana kondisi adikmu jika kau berniat untuk mengelabuiku."


Dan dengan begitu, anak buah Vincent  kembali menyeretnya keluar dan melemparnya begitu saja ke trotoar. Liam meringis memegangi bagian badannya yang sakit-sakit. Ia bahkan tidak punya tenaga untuk kembali ke mobilnya apalagi menyetir pulang. Liam bernapas dengan terengah-engah. Tangannya perlahan mengambil ponsel yang ada di saku bajunya. Ia menekan kontak seseorang. Namun belum sempat orang itu mengangkatnya, kedua matanya tertutup dan semuanya menjadi gelap.

.

.

Liam mengerjapkan matanya berkali-kali. Seluruh tubuhnya masih terasa nyeri karena kejadian semalam. Ia melihat ke sekelilingnya, ia sudah berada di apartemennya sendiri. Ia menoleh ke arah jendela yang tidak bertirai, ternyata di luar sana masih gelap. Mungkin tidak sampai 3 jam ia tak sadarkan diri. Ia mengembuskan napas lega. Setidaknya ia masih punya banyak waktu untuk membereskan urusan yang belum selesai.


"Apa kau sudah merasa baik?" Suara seseorang dari ambang pintu mengalihkan perhatiannya. Di sana ada Zayn, "Berterimakasihlah padaku. Aku yang membawamu kemari."


"Terima kasih." ucapnya singkat. 


Saat itu Mary masuk ke kamarnya dengan segelas air putih. Raut wajahnya menunjukkan bahwa ia juga khawatir dengan kondisi Liam.


"Liam, hari ini aku harus pergi ke desa Haworth. Ku harap kau jangan sampai terdampar seperti itu lagi," ujar Zayn dengan tangan terlipat di depan dada, "Dan juga, kita baru saja mendapat sedikit bantuan." Zayn mengerlingkan matanya dan menyeringai sebelum pergi dari sana. Sementara Liam mengernyitkan dahi karena tidak mengerti apa yang lelaki itu bicarakan.


"Tuan, sebaiknya Tuan minum dulu." Mary menyodorkan gelas air putih padanya. 


Liam menerimanya dan hanya meminum setengah gelas saja. Ia lalu mengambil ponselnya dari nakas untuk menelepon seseorang. Dia tidak punya banyak waktu. Ia harus menelepon bawahannya untuk melaksanakan rapat petinggi perusahaan, "Halo, Pete, aku ingin kau kumpulkan para pemegang saham dan dewan direksi siang ini. Secepatnya! Urgent." Ia bahkan hampir berseru, "Ah, dan juga.." Liam mengeraskan rahangnya. Sial, ia akan bertemu tua bangka sialan itu lagi, "... Vincent Smith harus datang." Dan dengan begitu ia mematikan ponselnya begitu saja.


Mary mengernyitkan dahi menguping pembicaraan itu. Ia tidak menyangka Liam baru saja sadar dari hampir sekaratnya, tapi pagi ini ia akan menghadiri rapat. Bagaimana reaksi rekan-rekannya melihat wajah Liam yang sudah tidak berbentuk seperti itu? Mary menggeleng-gelengkan kepalanya ketika Liam selesai menelepon. Ia sangat mengkhawatirkan keadaan tuannya itu, "Maaf, Tuan, tidakkah Tuan Liam sebaiknya istirahat saja?" Ya, hanya bertanya dengan sesopan mungkin yang bisa ia lakukan, ia tidak bisa mencegahnya.


Liam menatapnya tajam, "Hey, apa kau tidak tahu Arianne dalam bahaya?! Kau mau aku beristirahat sementara adikku bisa saja mati kapan saja?!" Liam beranjak dari tempat tidur menuju walk-in closet-nya, "Aku tidak peduli dengan keadaanku. Siapkan saja sepatuku dan katakan untuk menyiapkan mobilku sekarang."


Mary menghela napas. Ia hanya menurut dan keluar dari kamar Liam.


Liam sebenarnya tidak bermaksud untuk kasar. Ia hanya kesal dengan keadaannya sekarang. Dan mendengar seseorang menyuruhnya istirahat benar-benar menaikkan emosinya.

.

.

Zayn baru saja sampai di rumahnya. Ia cepat-cepat naik ke kamarnya untuk membawa barang-barang yang ia kira perlu. Ia tidak suka dengan polisi yang bergerak lambat, jadi ia berniat untuk mendatangi tempat itu secepatnya. Ia tidak tahan dengan ayahnya yang menjadi sandera di sana. Ia bahkan tidak tahu hal-hal buruk apa yang telah mereka lakukan kepada ayahnya dan Arianne. Lagipula Zayn sudah mendapat sebuah bantuan.


Ia baru saja akan kembali turun ketika teringat sesuatu. Dengan perlahan ia melirik kamar ayahnya di seberang sana. Zayn cepat-cepat berlari ke sana dan masuk ke dalam. Ia ingat ayahnya menyimpan semuanya di kamarnya.


Zayn melihat ke sekeliling ruangan. Ruangan ini benar-benar menjadi dingin karena ayahnya sudah lama tidak pulang ke rumah. Zayn mengeluarkan beberapa buku dari rak yang ada di sana, namun ia tidak juga menemukannya, "Sial, dimana tombol itu?" Ia menggaruk tengkuknya.


Zayn kembali mencari-cari ke sekitar ruangan. Hingga akhirnya ia menemukan sebuah tombol tipis di balik tempat tidur. Ia menyeringai dan lantas menekannya.


Saat itu lukisan yang ada di atas tempat tidur bergeser dengan sendirinya menampilkan sebuah brankas. Zayn tersenyum puas. Ia senang ia masih mengingat brankas ini. Padahal hanya sekali ia menemukannya saat masih kecil sekali, itu pun tidak sengaja karena sedang bermain petak umpet dengan pelayannya. Zayn kecil begitu penasaran sehingga menekan tombol itu dan menemukan brankas tersembunyi.


Di sana Louis menyimpan beberapa senjata api seperti pistol dan senapan angin. Ia memang senang mengoleksinya karena saat muda hobi berburu dengan teman-temannya. Zayn menatap angka-angka yang di sana. Kalau tidak salah, ayahnya menggunakan tanggal ulang tahun ibunya sebagai password. Zayn menekan beberapa angka. Namun brankas itu tidak terbuka juga. Zayn kembali mencoba dengan tanggal ulang tahun ayahnya, namun tetap saja brankas tidak mau terbuka. Ia berpikir sejenak. Apa mungkin tanggal ulang tahunnya? Ah, rasanya tidak mungkin. Untuk apa ayahnya dulu repot-repot menyimpan tanggal ulang tahun Zayn sebagai password?


Zayn menghela napas pelan. Setidaknya ia akan mencoba dulu.


"12011993."


Terbuka.


Zayn membelalak. Jadi ayahnya sudah mengganti password itu?


Lelaki itu segera mengambil pistol-pistol yang ada di sana dan memasukkannya ke dalam saku jaket dalam. Sebenarnya ia tidak pandai dalam menggunakan senjata api, namun dulu Harry, Thomas, dan Luke sering mengajaknya ke shooting range.


Setelah selesai, Zayn buru-buru menutup kembali brankas dan turun menuju mobilnya. Seseorang sudah menunggu di jok depan mobilnya. Zayn memasukkan asal barang-barangnya ke jok belakang, lalu naik ke kursi pengemudi. Ia mendelik pada seseorang di sebelahnya, "Kalau kau sampai macam-macam, aku tidak segan membunuhmu." Ia mengancam pedas, "... meski kau seorang perempuan."


Sophia menghela napas pelan dan hanya mengangguk. Lalu Zayn pun menjalankan mobilnya.

.

.

Liam sampai di depan bank. Ia sengaja pagi-pagi sekali sudah datang ke bank ini saat bank baru saja dibuka. Mungkin ialah nasabah pertama yang datang. Ia menghela napas melihat sebuah mobil lagi-lagi mengikuti mobilnya di belakang. Orang-orang suruhan Vincent itu pasti ingin memastikan bahwa Liam menepati janjinya. Liam turun dari mobilnya dan masuk ke dalam gedung. Hari ini ia akan memakai masker seharian untuk menutupi wajahnya yang hampir tidak berbentuk lagi. 


Seorang pegawai bank mengantarkannya ke tempat safe deposit box. Liam menghela napas pelan. Sehabis ini ia harus ke kantor untuk rapat dan langsung mengalihkan kekuasaannya kepada Vincent. Terkesan sangat buru-buru namun situasi memang mengharuskannya untuk secepatnya bergerak.


Dengan berkas yang sudah di tangannya, ia keluar dari gedung bank. Ia menengadahkan kepalanya ke atas dan untuk yang kesekian kalinya menghela napas. Ia menatap layar besar yang ada di dekat gedung perkantoran di tempat itu. Layar besar itu sedang menampilkan acara berita dari televisi.


'Saham menurun drastis, inikah awal kehancuran Syco?'


Liam memejamkan matanya sejenak. Ya, dengan banyaknya tersebar berita buruk tentang Syco, Liam yakin para pemegang saham dan petinggi perusahaan lainnya akan langsung setuju untuk mengganti posisi Liam dengan orang lain. 

.

.

"Ya, memang melihat situasi Syco akhir-akhir ini, kami bisa mengerti mengapa Anda ingin mundur. Fokus Anda pasti terpecah menjadi dua antara kasus penculikan adik tirimu dan pekerjaan ini."


Liam mengangguk membenarkan, sementara Vincent Smith hanya tersenyum-senyum duduk di salah satu bangku di depan Liam.


"Saya sendiri juga sadar bahwa saya gagal meng-handle media dalam menyebarkan rumor-rumor tentang perusahaan ini. Ya, dan saya akui itu karena fokus saya terpecah antara kasus penculikan ini."


"Tapi apakah Anda sudah yakin? Ini berarti Anda juga melepas saham-saham seperti yang dinyatakan oleh mendiang ayah tirimu." tanya suara lain yang duduk berseberangan dengan Vincent.


Liam menghela napas pelan. Ia lalu menaruh amplop coklat di atas meja. Di dalam amplop itu adalah surat yang selama ini ia jaga setelah ayah tirinya tiada. Mungkin ia memang seharusnya melakukan ini semua dari awal dan tidak berurusan dengan teror-teror yang selama ini ia terima.


"Bagaimanapun juga, semua kekuasaan itu dialihkan kepada Tuan Vincent Smith, seperti yang dinyatakan juga oleh mendiang Simon. Selama ini sudah dinyatakan langsung olehnya, saya akan menerimanya. Lagipula kami masih memiliki bisnis sampingan meski tidak besar." ucap Liam mantap.


Sepertinya semua yang ada di ruangan ini mau tidak mau setuju. Melihat bagaimana keadaan Liam dan Louis yang tidak berada di tempat, pilihan yang mereka miliki hanyalah Vincent--meskipun pria tua itu sudah pernah terlibat kasus penggelapan uang. Sial, pasti pria tua bangka itu sudah merencanakannya. Namun bagaimanapun juga Syco tidak bisa menunggu lebih lama lagi.


"Anda bisa tanda tangani ini, Vincent Smith."

.

.

"Apa ini tempatnya?" Zayn mengintip dari salah satu tembok rumah di sana. Setelah perjalanan yang kurang lebih satu setengah jam, ia dan Sophia sampai di pedesaan Haworth dimana polisi mencurigai Arianne dan ayahnya disandera di sini.


Zayn melihat ke sekelilingnya. Tempat ini terlihat sangat kuno dengan perumahan yang seperti rumah Inggris lama. Tidak heran mereka membawa Arianne dan ayahnya ke tempat sejauh ini. Zayn kembali melihat bangunan yang sedikit jauh dari tempat mereka berada. Ia memang melihat tiga mobil hitam terparkir di sana dan semua pria yang berada di area itu berwajah Asia Timur. 


"Aku tahu di mana kita bisa masuk tanpa melewati pintu depan." ujar Sophia, lalu menarik lengan jaket Zayn untuk mengikutinya.


Sophia memang sengaja menghapal area ini. Ia ingat ia pernah tidak sengaja melihat sebuah pintu kecil di basement saat ia pertama kali datang ke sana dan pintu kecil itu mengarah kepada perkebunan yang tak terurus. Sebenarnya tempat dimana Arianne dan Louis disekap adalah tempat penyimpanan Wine terbesar milik keluarga Smith yang memang jarang didatangi, kecuali jika mereka ingin mengambil beberapa Wine untuk stok di rumah. Tidak ada yang mengetahui hal itu kecuali keluarga Smith.


Sophia dan Zayn menuruni lahan bertanah karena kebun yang tak terurus itu memang berada sedikit lebih turun dibanding jalanan sekitar.


"Ah, tunggu, sepertinya aku menginjak sesuatu." ujar Zayn seraya melihat ke bawah. Ia menginjak sebuah tali tambang yang sudah kotor karena tanah.


"Ah, maklum saja, tempat ini dekat dengan pembuangan sampah besar tidak jauh dari sini."


Mereka kembali berjalan perlahan ke arah pintu basement tersembunyi. Semakin dekat dengan pintu itu, ternyata ada satu orang yang berjaga di depannya. Sophia tanpa ragu mendekati pria tersebut. Pria yang berjaga tentu saja mengenali Sophia.


"Oh, Nona Sophia? Kenapa ada di sini? Tidak lewat pintu depan?"


"Karena aku tidak bisa lewat pintu depan, Yi Fan."


"Dan juga bukankah Tuan Vincent melarang Anda dan Tuan Vin untuk datang hari ini? Anda tahu, kan, waktu kita tinggal sedikit lagi?"


Sophia terkekeh, "Bukankah itu sudah jelas? Aku dilarang datang, maka dari itu aku tidak bisa lewat pintu depan."


Pria di hadapannya mengerutkan dahi sedikit bingung, tetapi saat itu juga, Zayn menyerangnya dari belakang setelah Sophia berhasil mengalihkan perhatiannya. Zayn mencekik lehernya dengan tali tambang yang tak sengaja ia injak tadi. Pria bernama Yi Fan itu terlihat tak siap dan kini kesusahan untuk bernapas. Ia baru saja akan menyerang balik Zayn ketika Sophia menendang perutnya kencang bersamaan dengan Zayn yang semakin menarik tali ke belakang. Pria itu pun tak sadarkan diri dan jatuh ke tanah.


Sophia baru akan membuka pintu saat Zayn menahan tangannya, "Apa di basement ini terdapat CCTV?"


Wanita itu menggeleng. Ia yakin benar ayahnya tidak memasang CCTV di basement karena hampir tidak pernah ada yang turun ke sini. Sophia lalu masuk duluan, disusul oleh Zayn. Keadaan basement gelap, tapi ia masih bisa melihat sekelilingnya. Sophia dapat melihat bayangan penjaga lainnya yang berada di tangga basement dan memunggunginya. Wanita itu mengambil botol wine kosong yang tergeletak di lantai basement lalu  berjalan santai mendekatinya. Sophia menepuk pundaknya, membuat pria itu memutar badan dan langsung terkena pukulan keras botol Wine kosong sampai botol tersebut pecah. Pria itu oleng dan terjatuh menuruni tangga hingga tergeletak di lantai basement. Zayn menendang kepalanya asal karena menghalangi jalannya.


Sophia lalu mendekati penjaga lainnya yang sama-sama berdiri memunggunginya. Ia menepuk pundak pria tersebut agar berbalik, bersiap untuk melayangkan botol Wine-nya yang sudah pecah. Namun pria itu dengan sigap memutar posisi dan merampas botol Wine itu sehingga kedua tangan Sophia terkunci ke belakang dengan bagian tajam botol Wine yang menempel ke lehernya, tepat di urat leher. Sementara Zayn yang melihat kejadian itu menjadi terkecoh dan 5 orang penjaga yang memang sudah siap di sana menangkapnya, menghajarnya tiada ampun agar Zayn menjadi lebih mudah untuk dibawa.


"AARRGH!" Sophia berusaha memberontak di dekapan orang itu.


Pria di belakangnya justru terkekeh dan mendekatkan mulutnya ke telinga Sophia, "Sudah ku duga kau akan berkhianat, adik kecil." bisik Vin dengan seringai jahat.


-bersambung-



HAHAHA HAYOO SIAPA TUH JADI CAMEO.

Anyway, maaaaf banget Dusk Dreaming harus aku unpublish. Bukan karena silent reader kok, tapi aku ga ada feel buat nulisnya. Untung masih chapter 1 kan ya haha



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top