XLIII - Dearest Stranger
DUSK DREAMING (PREQUEL CINDERELLA CONVERSE) udah diupdate ya<3
Aku bakal update tiap CC update juga.
***
"Menurut rekaman CCTV yang kami kumpulkan, mobil yang membawa Tuan Louis mengarah menuju Yorkshire Barat. Mobil mereka terakhir kali terlihat berada dekat pedesaan Haworth, ada kemungkinan mereka berada di sana karena pedesaan itu memiliki akses CCTV yang terbatas."
"Astaga, bukankah itu jauh?" Liam mengerutkan dahinya.
"Tolong," Zayn memasang wajah memohon, "Izinkan kami ikut dengan kalian agar kami dapat melihatnya secara langsung. Kami tidak akan tenang jika berdiam diri di rumah menunggu kasus ini selesai. Kami berjanji tidak akan mengganggu proses penyelidikan."
"Kita dapat membicarakan hal itu nanti, tetapi," Sang ketua tim investigasi menggeser sebuah plastik bening kecil yang di dalamnya terdapat sebuah benda ke hadapan Zayn dan Liam, "Kami menemukan barang bukti dari tempat kejadian itu. Setelah melihat lebih jelas dari rekaman CCTV, benda ini sepertinya terjatuh dari saku baju salah satu dari mereka yang memaksa Tuan Louis untuk keluar dari mobil. Kami juga mendapati ini di saku imigran gelap bernama Murray Liu yang berhasil kami tangkap. Kalian tentu bisa melihat di atasnya terdapat sebuah nama."
Zayn dan Liam sama-sama memperhatikan benda di hadapan mereka. Bisa jadi ini adalah bukti terkuat dalam kasus penculikan Arianne dan ayah Zayn. Mereka berdua, sebagai pebisnis dan anak dari seorang pebisnis, tahu benar bahwa ini bukan barang murahan yang hanya bisa dibeli oleh orang-orang yang rela menghabiskan uang banyak untuk benda sederhana namun berharga fantastis. Sebuah merek pulpen eksklusif yang dimiliki oleh..
".. Smith Company." Zayn dan Liam mengucapkannya bersamaan.
Rasanya sangat tidak mungkin jika seorang imigran gelap mampu membeli barang semahal ini. Well, kecuali jika seseorang yang kaya memberikan pulpen itu kepadanya.
"Sudah kubilang untuk kesekian kalinya, dialah orangnya!" seru Zayn pada Liam.
***
"Ayah!"
Sophia membuka pintu ruangan ayahnya dengan kasar tanpa mengetuk terlebih dulu. Perhatian Vincent dan Vin yang saat itu sedang mengobrol menjadi teralih kepadanya. Sophia berdiri di depan meja kerja ayahnya, ia berusaha mengatur napasnya yang masih terasa berat, sementara ayahnya menatapnya dengan bingung. Sophia menelan ludahnya sendiri sebelum akhirnya membuka suara.
"Apa benar kau menyuruh orang-orangmu untuk menyuntik mati Liam?"
Vin mengerutkan dahinya, ia menatap ayahnya yang juga terlihat kaget dengan pertanyaan tiba-tiba itu, namun pria tua tersebut justru terkekeh dan menggeleng pelan. Vincent memajukan bangkunya agar sedikit lebih dekat kepada Sophia. Wanita itu masih menegang berdiri di depan ayahnya dengan raut wajah yang tak bisa dijelaskan.
"Kau datang dengan cara seperti itu hanya untuk menanyakan hal tidak penting ini?"
"CEPAT JAWAB!" Sophia berteriak tidak sabar. Air matanya turun begitu saja karena terlalu lama menahan emosi. Ia bahkan menahan dirinya sendiri dengan mengepalkan kedua tangannya.
"Hey, Sophia! Sopanlah sedikit kepada ayah!" Vin berdiri dari bangkunya. Ia geram melihat adiknya yang tiba-tiba masuk dan sekarang berteriak-teriak kepada ayahnya.
Vincent masih duduk dengan tenang meski ia tidak menyangka Sophia sampai menangis seperti ini. Ia mengira Sophia tidak akan peduli jika mengetahuinya. Lagipula dengan memberitahu Sophia, menurutnya tidak akan berpengaruh apa-apa pada apa yang ia lakukan.
"Apa anak perempuan Simon yang memberitahumu?"
"Ayah! Ayah mengatakan hanya akan membuat Liam tidak sadarkan diri! Ayah bilang Ayah tidak akan membunuhnya! Aku memberitahu Ayah bahwa dia sudah baik-baik saja bukan untuk kau membunuhnya!!" Sophia kali ini tidak bisa menahan tangis. Mengetahui ayahnya menyuruh orang lain untuk membunuh Liam dengan keadaan yang masih lemah benar-benar membuatnya sesak. Apalagi ia tidak tahu apakah Liam masih hidup atau tidak, "Dendammu ada pada Simon Julian dan keturunannya, bukan Liam!"
"Sophia!" Vincent kini ikut berdiri, "Karena dialah kita bertiga melakukan ini! Dengan hadirnya Arianne, Syco akan jatuh ke tangan Liam, bukan ke tangan kita!"
"Tidak, bukan kita yang melakukan ini. Tapi Ayah lah yang melakukannya. Ayah yang menyuruh orang lain untuk menyabotase mobil dan membuat Simon dan ibu Liam mengalami kecelakaan, Ayah yang memaksaku mendekati Liam di masa berdukanya, Ayah yang membuat semua ini terjadi! Ini semua keinginan Ayah yang terobsesi dengan balas dendam! Itu kenapa ibu meninggalkan Ayah dulu. Kau egois!"
"Sophia! Bukankah kau sudah keterlaluan--"
Dan perkataan Vin itu terpotong ketika Vincent mendaratkan tangannya ke pipi Sophia. Vin bergeming di tempatnya melihat kejadian itu. Adiknya masih tidak bergerak dengan memegang pipi kirinya. Ia rasa tamparan itu berhasil membungkam mulut Sophia.
"One question," ujar Vincent dengan intonasi dingin, "Do you love him?"
Keadaan menjadi hening setelah Vincent melontarkan pertanyaannya. Vin menatap ke arah adiknya dengan kening berkerut menunggu jawaban, begitu juga Vincent yang bahkan daritadi tidak mengalihkan pandangannya dari Sophia. Sophia menurunkan tangannya dari pipinya. Ia memberanikan diri menatap balik ayahnya yang telah melayangkan tangan kepadanya.
".. More than you can imagine.."
Sophia berbalik dan keluar dari ruangan ayahnya. Vincent melempar tumpukan buku yang ada di atas meja kerjanya. Sophia benar-benar jatuh cinta pada Liam, ia sudah memperkirakan ini akan terjadi.
"Vin," Ia beralih pada anak pertamanya, "Awasi Sophia, jangan sampai dia bertindak bodoh." Vin pun mengangguk.
.
.
"Kami sudah mendapat izin untuk menggeledah rumah ini."
"Ma-maaf, pak, tetapi Tuan Vincent belum pulang. Tuan Vincent melarang siapapun masuk ke rumahnya selagi ia tidak ada." Sang pelayan rumah berusaha menjelaskan meski dengan grogi.
"Astaga, apa kau tidak lihat bahwa yang di hadapanmu ini polisi?" seru Zayn tidak sabar.
Para polisi tersebut mengabaikan perkataan sang pelayan dan hendak masuk ke rumah besar tersebut. Namun sang pelayan perempuan itu justru menahan pintu dengan tangannya yang lain.
"Anda dapat dikenakan pasal karena dianggap menghalangi proses penyelidikan."
Perkataan polisi itu membuatnya kalut. Dengan berat hati, ia menurunkan tangannya, membiarkan tim tersebut masuk untuk melakukan penggeledahan. Zayn menatap sang pelayan dari atas sampai bawah dengan pandangan kesal. Ia tidak habis pikir berapa gaji yang ia terima sampai berani melawan polisi seperti tadi. Sementara mereka berada di sini untuk memeriksa rumah keluarga Smith, beberapa polisi lainnya sudah berada di Yorkshire Barat untuk menelusuri jejak Ari dan Louis.
Tepat saat itu, sang pemilik rumah baru saja datang. Ia melihat mobil-mobil polisi terparkir di area rumahnya dan itu membuatnya curiga. Mereka tidak mungkin melakukan penangkapan, bukan? Ia rasa pemeriksaannya waktu itu tidak terlihat mencurigakan. Vincent, Vin, dan Sophia bergegas keluar dari mobil dan menaiki tangga rumahnya. Sang kepala tim penyelidik masih berada di teras rumahnya bersama beberapa polisi lain juga Zayn dan Liam.
"Ada apa ini?"
Perhatian mereka teralih pada Vincent yang memang kedatangannya ditunggu sejak tadi. Zayn mengembuskan napas dengan kasar. Jika Liam tidak di sampingnya untuk meredam emosi, laki-laki itu pasti sudah menikam Vincent ke tanah dan justru ialah yang ditangkap oleh polisi karena telah melakukan pembunuhan.
Sophia membelalak menyadari kehadiran Liam. Ia awalnya hendak menghampirinya, namun melihat Liam hanya melihatnya sekilas lalu memalingkan wajah ke arah lain membuatnya mengurungkan niat itu. Setidaknya ia dapat bernapas lega karena ternyata usaha ayahnya gagal, buktinya Liam baik-baik saja sekarang, justru lebih sehat daripada terakhir kali mereka bertemu.
"Kami baru saja menemukan barang bukti baru yang berkaitan dengan Smith Company sehingga Anda harus melakukan pemeriksaan kedua terkait kasus penculikan Nona Arianne Julian dan Tuan Louis Walsh."
Vincent Smith tertegun. Ia mengira-ngira kesalahan bodoh apa yang telah dilakukan oleh anak buahnya--kecuali Murray Liu. Ia yakin Murray Liu tidak akan mengatakan apapun kepada polisi karena hidup keluarganya dipegang oleh Vincent, well, semua hidup keluarga para imigran gelap itu ada di tangannya. Vincent menatap Zayn dan Liam di belakang, kemudian tersenyum.
"Baiklah, silakan geledah rumah ini dan melakukan pemeriksaan lagi di kantor polisi." ujarnya santai.
Zayn menyingkirkan tangan Liam yang daritadi menahannya, ia sudah tidak tahan dengan pria tua ini yang masih bisa tersenyum setelah semua yang dilakukannya. Zayn maju untuk mencengkram kerah Vincent dan mendorongnya ke dinding. Zayn mencengkram kerahnya kuat sampai terasa mencekik dan membuat Vincent berjinjit di hadapannya.
"You sick fuck!" serunya kesal, "Where do you hide my dad?!"
Vincent memegang tangan Zayn yang berada di kerahnya. Zayn tak tanggung-tanggung dalam mencekiknya. Bahkan Vincent hampir kesulitan bernapas sehingga ia harus megap-megap sekaligus berusaha melepas cengkraman Zayn.
Liam dan Vin melangkah maju untuk memisahkan mereka. Ketika Liam berhasil melepaskan tangan Zayn, Vin langsung mendorong lelaki berdarah campuran tersebut dengan kasar karena dianggap telah menyerang ayahnya, "Beraninya kau menghina ayahku!"
Vin hendak meninjunya, namun Zayn berhasil menahan itu dengan telapak tangannya, dan justru ia memutar tangan Vin ke belakang punggungnya sehingga Vin tidak bisa melakukan apapun. Vin mengambil kesempatan dengan memukul wajah Zayn dengan sikutnya. Ia mendorong Zayn ke tanah dengan dirinya berada di atas yang bersiap untuk memukulnya, namun pertengkaran singkat itu harus terhenti ketika polisi menahan tangan Vin yang sudah berada di udara. Dua orang polisi yang berada di sana menarik mereka bangun dan memisahkan mereka. Oh, bahkan Zayn sudah tidak peduli jika ia baru saja menyerang Vincent juga bertengkar dengan Vin tepat di depan polisi. Ia sudah muak.
"Bersikap dewasalah!" bentak salah satu polisi tersebut, kemudian melepaskan tangan mereka berdua dengan kasar.
Vin dan Zayn saling memberikan tatapan membunuh. Baiklah, untuk kali ini Zayn menyerah. Polisi sudah memberi peringatan dan sebaiknya ia tidak menambah masalah berurusan dengan polisi karena kasus penyerangan ini. Zayn pergi melewati Vin dengan sengaja menabrakan pundaknya menuju mobil. Ia memilih untuk pulang dibandingkan melihat wajah keluarga Smith lebih lama lagi.
Liam yang masih berdiri di dekat Vincent mengembuskan napas frustasi. Ia merasa sikap Zayn sama seperti Harry, sangat keras kepala. Ia sudah berkali-kali mengatakan untuk menahan emosinya, tetapi sepertinya percuma saja. Liam baru akan menyusul Zayn ketika merasakan sesuatu di tangannya. Vincent menyelipkan sebuah kertas kecil di tangannya sebelum pergi mengikuti polisi untuk menjalani pemeriksaan seolah tidak terjadi apa-apa.
Liam mengerutkan dahi dengan bingung menatap sosok pria tua itu masuk ke mobil polisi. Ia melihat isi dari kertas kecil tersebut.
Chinatown.
1 a.m.
Liam terpaku, ia sekali lagi menatap Vincent yang sudah pergi keluar dari area rumahnya dengan mobil polisi. Entah apa yang Vincent inginkan darinya atau apa yang akan Vincent lakukan padanya, ia berniat untuk tidak memberi tahu siapapun. Liam melipat kertas kecil tersebut dan memasukkannya ke saku mantel.
Ia hendak menuruni tangga teras menuju mobil ketika sang kepala polisi menahan pundaknya dari belakang dan membisikkan sesuatu, "Mereka sudah menemukan tempatnya. Ada sebuah blok perumahan di desa Haworth yang mereka curigai menjadi tempat dimana Nona Arianne dan Tuan Louis berada."
Liam mengangguk mengerti. Ia yakin sebentar lagi mereka akan menemukan adik tirinya. Liam berpamitan pada polisi itu sebelum pergi. Liam menyadari Sophia yang berdiri tidak jauh darinya dan polisi tadi. Sophia tidak mengucapkan sepatah katapun semenjak ia, ayah, dan kakaknya sampai di rumahnya. Wanita itu hanya menatap Liam dengan nanar sedaritadi. Pandangannya teralih ke arah lain ketika Liam balas menatapnya. Ia tidak tahu kenapa rasanya sangat canggung walaupun dari awal ia tahu tidak seharusnya ia mendekati Sophia. Atau karena sekarang wanita itu sudah menunjukkan dengan jelas bahwa mereka berada di pihak yang berlawanan?
Liam menghela napas. Ia menggeleng pelan berusaha untuk tidak berpikir macam-macam lalu turun tangga menuju mobilnya terparkir.
.
.
Liam sudah berpakaian rapi dan siap dengan sepatunya. Namun sedaritadi ia masih saja duduk di sofa kamar apartemennya menghadap ke jendela dengan tirai yang terbuka. Ia memang tinggal di apartemennya untuk sementara waktu, sementara para pelayan dan penjaganya berada di unit yang lain. Menurutnya di sini lebih aman dibandingkan rumahnya. Lagipula rumahnya belum selesai dibenahi setelah kekacauan yang diperbuat orang-orang tak dikenal.
Liam melirik jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah satu pagi yang artinya tinggal sisa setengah jam lagi dari waktu yang ditentukan di kertas kecil itu. Liam bahkan masih memegang kertas tersebut, tidak tahu apakah ia harus berangkat atau tidak. Sebagian besar hatinya mengatakan untuk tidak mengikuti itu, namun sebagian kecil ini justru menurutnya lebih kuat untuk menyuruhnya berangkat. Ia tinggal memakai mantel dan berangkat tanpa merasa takut apa yang akan terjadi padanya, tapi ia juga berusaha mengingatkan dirinya untuk tidak mengikuti permainan pria tua itu.
Liam mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Ia memperhatikan jarum panjang di jam bergerak semakin dekat dengan angka 12. Liam beranjak dari sofa dan membuka pintu yang mengarah pada balkon apartemen. Ia bertumpu pada tangannya di balkon tersebut. Liam menunduk melihat pemandangan di bawahnya. Jalanan begitu sepi karena ini bukan hari libur dan juga waktu sudah melewati tengah malam. Tempat parkir apartemen terlihat kosong karena itu hanya diperuntukkan untuk tamu apartemen, sementara penghuni apartemen memiliki tempat parkir khusus lainnya. Tetapi di sana, di bawah pohon dekat gerbang apartemen, ada dua buah mobil hitam Range Rover yang terparkir. Mobil-mobil itu memiliki kaca film yang gelap sehingga tidak terlihat jelas siapa yang ada di dalamnya. Namun ia yakin bahwa mesin mobil itu menyala. Ia sedikit-sedikit dapat melihat bayangan yang ada di mobil belakang.
Liam tersenyum licik.
Ia bergegas meninggalkan balkon apartemen dan meraih mantelnya yang tergantung. Tidak lupa mengambil kunci mobilnya di meja ruang tengah. Ia akan berangkat sekarang. Ia memutuskan untuk mengikuti jalan permainan Vincent Smith.
Liam membuka pintu apartemen dan menutupnya lagi yang otomatis terkunci dengan kunci digital.
Liam mengeluarkan mobilnya dari parkiran menuju gerbang apartemen. Sudah ia duga, lampu kedua mobil itu langsung menyala begitu mobilnya terlihat. Liam menginjakkan pedal gasnya sedalam mungkin kemudian melihat ke kaca spion dalamnya. Tentu saja kedua mobil itu mengikutinya sampai ke Chinatown.
Dasar penguntit, batinnya.
-bersambung-
Oh ya, setelah Cinderella Converse abis, aku bakal lanjutin Dusk Dreaming. Baru setelah itu kayanya aku bakal udahan nulisnya dan mungkin nyoba untuk nulis ke penerbit dengan cerita yang berbeda dan nama pena yang berbeda.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top