XL - Wounded Hand

Entah kenapa aku jadi ngeship Diana x Zayn, ada rencana sih pengen buat prequel.

***


Harry membuka pintu suite room. Tidak ada siapapun di sana kecuali Mrs.Swan yang sedang duduk di bangku menghadap ke jendela hotel. Wanita itu hanya menatap kosong keluar jendela tanpa menyadari seseorang masuk ke kamar hotel ini. Pakaiannya masih sama dengan yang ia kenakan di pernikahan Elizabeth karena sebenarnya acara belum selesai. Elizabeth menyarankan ibunya untuk beristirahat saja di kamar hotel setelah kejadian tadi.


Harry berjalan perlahan mendekatinya. Ia menyentuh kedua pundak Mrs.Swan hingga wanita itu tersadar dari lamunannya, "Oh, Harry." Ia hanya tersenyum tipis mengetahui Harry lah yang berada di belakangnya.


Keluarga Swan tidak pernah membenci Harry. Mereka masih berhubungan baik dengannya. Berbanding terbalik dengan sikap mereka yang berubah terhadap Zayn. Mereka menutup semua kontak dengannya, ditambah Zayn kabur meninggalkan ayahnya tanpa jejak yang membuat mereka semakin kehilangan kontak.


Harry menarik bangku lain untuk duduk di sebelahnya. Ia mengusap punggung tangan Mrs.Swan dengan lembut dan ikut menatap keluar jendela.


"Harry," panggilnya, membuat lelaki yang terpanggil menoleh. "Apa dia sudah pergi?"



Harry menghela napas dan mengangguk pelan. Jawabannya itu membuat Mrs.Swan ikut menghela napas lega, kembali menyandarkan punggungnya. Kemudian keadaan menjadi hening. Mrs.Swan terlihat masih menenangkan diri dan pikirannya, Harry hanya bisa diam di sampingnya.


Ia tidak bisa membaca pikiran orang, tapi ia yakin bahwa yang sedang ada di pikiran Mrs.Swan saat ini adalah anak keduanya, Diana. Wanita itu sudah lama 'melupakan' Diana, pasti rasanya sakit sekali jika ia membuka luka lama seperti ini.


"Apakah kau pernah memiliki seorang anak dan kehilangannya di usianya yang masih sangat muda?" tanyanya dengan suara pelan, sangat pelan bahkan terdengar seperti lirihan.


Harry dapat melihat satu tetes air mata jatuh ke pipi Mrs.Swan. Ia segera mengambil sapu tangan dari saku jasnya untuk diberikan kepadanya.


"Dan kau tidak pernah melihat anakmu bersedih. Ia terlihat ceria bahkan ketika orangtuanya memaksa untuk segera bertunangan dengan pacarnya dalam usia muda. Ia bahkan tidak terlihat memiliki beban apapun saat berselingkuh dari pacarnya. Dan tiba-tiba saja kau mendapat kenyataan bahwa anakmu begitu putus asa terhadap laki-laki lain hingga mengorbankan dirinya sendiri."


Dan jika saja Mrs.Swan tahu bahwa Diana sering berlari ke pelukan Zayn menangisi segala beban di punggungnya. Namun sayang, tidak ada yang mengetahui hal itu kecuali Diana dan Zayn sendiri. Tidak siapapun termasuk Harry.


"Apa kau pernah kehilangan anakmu dengan cara seperti itu?" tanyanya sekali lagi.


Harry diam. Tentu saja dia tidak pernah merasakan hal itu. Alih-alih merasakannya, ia tidak akan pernah membiarkan anaknya terpuruk seperti itu.


"Tidak,"


Ia akhirnya menjawab.


"...tapi aku pernah kehilangan seorang teman. Teman yang sangat berharga."


Pikirannya kembali ke masa lalu. Ia pernah kehilangan seorang teman. Ia berpikir bahwa kehilangannya tetap akan membuat dirinya merasa baik-baik saja. Namun tiba-tiba saja temannya itu secara misterius menghilang tanpa jejak selama bertahun-tahun. Saat itu ia menyadari ia salah. Ia tidak merasa baik-baik saja.


"Aku juga dikecewakan sepertimu. Memang sakit membuka luka lama kembali, tapi percayalah, setelah bertahun-tahun, jika kau sungguh sudah menerima keadaan, kau akan bisa memaafkan."


Harry menatap kosong keluar jendela. Ia bahkan tidak menyadari apa yang ia katakan. Semuanya meluncur begitu saja secara natural. Mrs.Swan tentu tahu siapa yang dimaksud. Bagaimana ia bisa lupa bahwa dirinya dan Harry sebenarnya berada di posisi yang sama?


"Kenapa.. kau membelanya tadi?" Pertanyaan kedua itu terdengar straight-forward. "Dia sudah merebut kekasihmu dan mengkhianatimu sebagai teman."


"Karena aku sudah menerima keadaan," jawabnya. "... aku sudah memaafkannya."


Mrs.Swan terperangah ketika tiba-tiba saja Harry berlutut seraya menyentuh kedua tangannya di hadapannya. Lelaki itu seperti seorang anak yang sedang memohon kepada ibunya.


"Jika kau tidak bisa memaafkannya secara langsung, ku mohon, ku mohon dengan sangat, dari perantaraku ini, maafkanlah dia."


Harry menatapnya dengan sungguh-sungguh. Ia melakukan semua ini dengan tulus dan atas dasar keputusannya sendiri.


"Mrs.Swan, dialah yang membuat anakmu ceria. Dialah yang membuat anakmu tetap tertawa meski kau memaksanya untuk segera memantapkan hubungannya denganku. Kau pernah mengira bahwa Diana sangat senang sepulang makan malam denganku di kapal yang sudah ku sewa, tapi tidak. Dia sebenarnya tidak datang. Dia justru makan malam bersamanya di sebuah restoran Cina kecil tetapi ia tetap merasa senang. Aku tidak pernah melihat Diana tersenyum secerah itu ketika pergi diam-diam ke Maldives bersamanya. Meski ia sudah membuat anakmu kecewa, tolong maafkanlah dia, karena dialah orang yang membuat Diana bahagia," Tangannya semakin erat menggenggam tangan wanita di hadapannya, "... bukan aku."


Jika Harry bisa memutar balik waktu dan mengubah keadaan, ia sangat ingin dapat mengubah perasaan Zayn terhadap Diana. Ia akan mengubah lelaki berhati batu itu untuk membalas cinta Diana, sehingga ia akan ikhlas untuk melepaskannya. Ia tahu Zayn hanya melakukan itu untuk balas dendam. Itu mengapa Harry tidak rela melepaskan Diana kepadanya.


Mrs.Swan masih bergeming di tempatnya. Ini pertama kalinya ia mendengar hal itu. Selama ini yang ia tahu memang Diana berselingkuh dengan Zayn, tapi hanya itu. Ia menyentuh pundak Harry agar ia berdiri. Lelaki ini bahkan bersedia berlutut untuk orang yang dulu telah mengkhianatinya, batinnya.


Mrs.Swan ikut bangkit dari duduknya, kemudian memeluk Harry.


"Sampaikan ucapan terima kasihku padanya. Terima kasih karena sempat hadir dalam hidup Diana dan membuatnya bahagia."


***


Arianne melihatnya dengan tatapan kebencian, sementara Liam melihat ke arah lain seolah menganggapnya tidak ada. Tidak ada dari mereka yang mengharapkan kedatangannya. Mereka sudah menyuruh para pengawal untuk menolaknya jika ia datang, tetapi ia nekat menerobos para lelaki bertubuh besar itu.


Ari bersumpah jika ia tidak bisa mengontrol emosinya, orang ini sudah mati di tangannya saat ini. Tangannya hanya bisa terkepal di bawah ranjang. Bagaimana pun juga, ia masih memikirkan kesehatan Liam. Ia tidak boleh membuat keributan lainnya setelah semua yang terjadi.


Sophia masih berdiri kaku di sebelah ranjang rumah sakit. Ia tahu dirinya tidak diharapkan di sini, tapi ia harus melihat keadaan Liam, sampai-sampai ia berani melawan para pengawalnya, bahkan tangan pengawal itu masih menahan lengannya. Dan saat ini ia mendapati keadaan Liam sudah baik-baik saja. Yang berbeda hanyalah, lelaki itu tidak mau lagi berurusan dengannya.


"Liam.."


"Pergi." sergah Liam langsung. Perkataannya itu membuat pengawal yang menahannya bereaksi untuk menarik Sophia keluar, tetapi Sophia masih pada pendiriannya untuk berada di sini.


"Hey, apa lagi yang kau tunggu?" tanya Ari dengan intonasi tinggi. "Kami tidak menginginkanmu di sini. Pergilah."


Jujur, Ari benar-benar menyesal kenapa waktu itu ia menghiraukan Harry untuk berhenti melabraknya. Wanita ini pantas untuk mendapat balasan yang setimpal. Bahkan pukulannya terhadapnya waktu itu masih tidak sebanding dengan apa yang ia lakukan pada Liam. Wanita gila ini sudah keterlaluan, batinnya geram.


"Apa kau benar-benar menyalahkanku atas ini? Bagaimana bisa kau menuduhku seperti itu?!" serunya tidak terima. Ia masih terus memberontak di tangan sang pengawal.


Ari hampir saja berdiri dari duduknya untuk memberinya pelajaran jika saja Liam tidak lebih dulu menahan tangannya. Menurut lelaki itu, akan sia-sia jika ia bahkan menguliti Sophia hidup-hidup. Ari mengembuskan napas kasar dan kembali duduk.


"Cepat bawa dia keluar!" perintahnya tidak sabar. "Liam butuh istirahat. Kenapa kau begitu payah untuk menahan parasit seperti dia?!"


Sophia membelalakkan matanya tak percaya. Ia justru semakin memberontak setelah dihina sebagai parasit olehnya, "Apa katamu? Parasit? Apa kau sungguh baru saja menyebutku parasit?! Oh, apa kau tidak takut dengan pembalasan yang akan datang, hah?!"


Dan dengan kemarahan wanita itu, sang pengawal segera menariknya keluar dari ruang rawat VIP tersebut. Kaki wanita itu masih saja berusaha bertahan pada lantai rumah sakit, namun sang pengawal lebih cekatan untuk mengangkat tubuhnya duluan keluar ruangan. Ia bahkan tidak segan untuk melemparnya begitu saja ke koridor rumah sakit.


"Sialan!" umpatnya pada pengawal itu. Ia terkapar di lantai rumah sakit seraya memegangi kakinya. Beruntung kakinya tidak terkilir meski hak sepatunya sedikit rusak. Sebenarnya ia masih ingin menghujani para pengawal dengan kata umpatan lainnya, tapi ia tahu itu akan sia-sia. Mereka sudah sangat terlatih hingga perkataan menyakitkan seperti itu tidak akan mempengaruhi mereka.


Ia bersusah payah bangun dan mengumpulkan tasnya. Dengan sedikit terseok, ia berjalan pergi meninggalkan tempat itu. Sophia menekan tombol turun ketika sudah sampai di depan lift. Sembari menunggu pintu lift terbuka, ia mengeluarkan ponselnya. Sebuah penghinaan besar baginya telah diusir bagaikan sampah. Dia tidak bisa menunggu lama lagi.


Saat itu lah bunyi dentingan terdengar menandakan pintu lift terbuka. Ia melangkah masuk sambil sibuk mencari kontak seseorang di ponselnya. Sophia tersenyum ketika menemukannya. Ia menekan nomor tersebut untuk menelponnya. Namun tiba-tiba saja saat ia hendak mendekatkan ponsel ke telinga, ponselnya dirampas oleh seseorang yang ada di belakangnya.


"Hey, siapa kau?!" Hal itu membuatnya langsung menoleh ke belakang, "Kembalikan ponselku!"


Orang itu dengan santai memutus sambungan telepon bahkan saat seseorang yang ia telepon belum menerimanya. Ia mengangkat ponsel Sophia setinggi mungkin agar wanita itu tidak dapat meraihnya.


"Lancang sekali, kau pikir kau siapa?!" Sophia tak segan membentak orang asing yang tak ia kenal ini.


Zayn melangkah melewati dirinya untuk menekan lantai paling atas, lantai yang berada paling jauh dari tempat mereka saat ini. Awalnya ia berniat untuk menjenguk Liam, namun melihat sosok Sophia tepat ketika pintu lift terbuka membuatnya lebih tertarik untuk mengikutinya.Sophia membelalakkan matanya. Apa orang ini pembunuh yang akan membunuhnya di rooftop? Dia bahkan tidak mengenalnya.


"Apa yang kau lakukan?!"


Zayn memutar badannya dan melangkah mendekat, membuat Sophia mundur seiring dengan bertambahnya langkah Zayn hingga akhirnya ia tersudut. Sophia memperhatikan wajahnya dan sekarang ia baru menyadari siapa orang aneh ini.


"Kau anak Louis Walsh," Wanita itu tersenyum licik, "Yang membawa kabur Arianne dari pertunangannya." Sophia tidak lagi merasa takut setelah mengenalinya. Setidaknya dia bukan pembunuh atau rapist.


"Bagus jika kau menyadarinya," Zayn menguncinya dengan kedua tangannya, sementara lift masih berjalan jauh ke lantai atas, "Berhentilah mengganggu keluarga Julian. Ini ancaman, bukan permintaan."


Zayn menatap intens ke kedua mata Sophia. Sebenarnya ia benar-benar geram dengan wanita ini. Dia bisa saja nekat menyeretnya ke rooftop dan mendorongnya begitu saja selagi mereka hanya berdua.


"Apa kau pikir aku tidak tahu siapa yang mengganti botol Wine dan minuman lain di acara ulang tahun ayahku? Bilang pada kakakmu Vin Smith, pintar-pintarlah jika melakukan kejahatan hingga tidak ada saksi mata dan barang bukti yang tertinggal."


Tawa Sophia pecah saat itu juga. Ia tidak habis pikir jika ancaman lemah itu dikira dapat membuatnya kalut. Ia pun tahu jika yang dilakukan Vin Smith waktu itu hanya sebagai tanda bahwa semuanya baru dimulai. Dan ya, Vin Smith lah orang dibalik kejadian itu, "Kau pikir aku akan takut? Bukankah kau--kalian--yang seharusnya merasa terancam saat ini?" Sophia masih menyunggingkan senyum liciknya. "Mengetahui keadaan Liam yang masih hidup dan sehat-sehat saja, kau pikir aku akan tinggal diam? Bagaimana jika kau yang berhenti menyudutkanku seperti ini dan mengkhawatirkan Arianne saja? Kau tidak pernah tahu apa yang akan terjadi padanya."


Brengsek, batinnya geram.


Di samping kepala Sophia, kedua tangannya sudah terkepal kuat. Ia menjauhkan dirinya dan memutar badannya sehingga membelakangi Sophia, namun tak lama ia kembali berbalik dan meninju keras dinding lift tepat di samping kepala Sophia hingga meninggalkan bekas tangannya yang masih berada di sana. Sophia memejamkan matanya karena ia mengira tinju itu mengarah ke wajahnya, namun begitu ia menyadari tangan Zayn berada di samping kepalanya, ia kembali membuka mata. Untuk beberapa saat mereka saling menatap intens, saling membunuh dalam pikiran masing-masing.


"Aku.." Sophia bahkan harus menelan ludah untuk mulai bicara, "Aku tidak sabar melihat amarahmu ini berubah menjadi tangisan."


Bunyi dentingan terdengar. Lift sudah sampai di lantai paling atas rumah sakit. Sophia merebut kembali ponselnya dari tangan Zayn lalu keluar untuk turun dengan lift lain. Sementara Zayn hanya menatap sosok gadis itu yang buru-buru menjauh. Napasnya bahkan masih memburu setelah melampiaskan emosinya. Dia bersumpah tidak akan membiarkan wanita itu lolos. Ia melepaskan tangannya dari dinding lift dan menekan tombol lantai dimana Liam di rawat.


Kedatangan Zayn ternyata mengejutkan Liam. Liam justru menyuruh Ari untuk menyiapkan minuman untuk Zayn layaknya seorang tamu. Tentu saja karena ini pertama kalinya ia bertemu dengannya setelah Zayn kembali kepada ayahnya. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa orang miskin yang selama ini diperlakukannya seperti sampah dan pencuri yang tertangkap basah ternyata adalah Joe, anak dari Louis Walsh, sahabat ayah tirinya, yang sudah lama menghilang tanpa jejak. Dunianya seperti diguncang sedahsyat mungkin atas kenyataan itu. Ia harap Louis Walsh tidak mengetahui perbuatan buruknya kepada anaknya.


"J-Joe--"


"Zayn." Ia segera mengoreksi, "Panggil aku Zayn saja."


"A-ah, begitu.." Liam tertawa canggung. Jujur, ia sangat ketakutan kalau-kalau Zayn mau membalas dendam kepadanya karena ia sudah kembali kepada ayahnya dan kembali memiliki kekuasaan yang juga dimiliki ayahnya. Namun sebenarnya, Zayn sudah menganggap kejadian dulu sebagai masa lalu. Ia tidak mengingat-ingat perlakuan buruk yang ia terima karena sekarang dirinya pun sudah berubah kembali.


Ari hanya dapat menahan tawa melihat Liam yang gelagapan. Bayangkan jika kau baru dua hari terbangun dan menghadapi kenyataan bahwa orang yang dulu kau perlakukan seperti sampah sekarang ada di hadapanmu, dengan penampilan yang sudah berubah.


"Um, wow, aku sama sekali tidak mengenalimu dulu. Bahkan penampilanmu saat ini sudah berbeda dari orang yang dulu pengawalku usir dari rumah. Sungguh aku benar-benar tidak tahu kalau itu kau dan aku minta maaf atas perlakuan burukku. Kau pasti mengalami cedera fisik yang cukup parah, bukan?"


Zayn hanya tersenyum dan mengangguk pelan, "Ya, memang. Tapi tidak apa-apa. Aku sudah melupakannya dari jauh hari. Dan tenang saja, ayahku tidak tahu apa-apa tentang itu. Tidak perlu khawatir."


Raut wajah Liam berubah lega dan saat itulah Ari tertawa senang. Jika ia kembali ke masa lalu maka ia tidak akan pernah menyangka keadaan berbalik menjadi Liam yang kalut berhadapan dengan Zayn, "Kau mendapat pelajaran bahwa kau harus berbuat baik kepada siapapun, Liam." ujarnya sembari menyikut pelan kakaknya.


"Omong-omong, bagaimana keadaanmu? Apa kau merasa sudah sembuh total sekarang?"


"Yah, ku rasa begitu. Tapi terkadang masih terasa pusing dan mual. Mungkin karena terlalu lama berbaring seperti ini."


"Bagaimana pun itu bagus." Zayn mengangguk dengan masih tersenyum.


"Oh ya, Zayn, kau tentu tahu Sophia, kan?" tanya Liam tiba-tiba, "Apa kau bertemu dengannya di luar? Dia baru saja datang."


"Sophia?" Zayn mengerutkan dahinya. Ia menatap Liam dan Ari bergantian, kemudian terkekeh, "Tidak, aku tidak bertemu dengannya." Ia menggeleng pelan.


Ari menghela napas lega, "Baguslah. Ku kira daritadi dia masih berada di depan meraung-raung kepada pengawal untuk diperbolehkan masuk. Ternyata dia langsung pulang."


Zayn kembali mengerutkan dahi, "Meraung-raung? Ada apa dengannya?"


"Oh, tidak ada apa-apa. Dia hanya ditolak di sini tetapi tetap memaksa masuk, jadi kami berdua menyuruh pengawal untuk menyeretnya keluar." Ari menjawab dengan senyum bangga. Tentu saja, kapan lagi dia bisa mempermalukan Sophia seperti itu? Bahkan sekarang Liam berpihak kepadanya.


Zayn mengangguk-angguk mengerti. Ia baru mengetahui bahwa rupanya Liam dan Ari juga sudah tidak mau berurusan dengannya lagi. Itu bagus karena sekarang Sophia tidak sedekat dulu dengan keluarga Julian. Setidaknya ia bisa mengawasi wanita itu tanpa dihalangi oleh Liam.


Zayn tidak berlama-lama di sana. Setelah mengobrol tentang topik lain dengan Liam, ia pamit untuk pulang karena mengatakan akan makan malam bersama ayahnya. Ari hanya bisa mengantarnya sampai ke depan lift. Ia menurunkan tangannya dari pinggang Zayn ketika lelaki itu menekan tombol lift. Ia ingin sekali berjalan-jalan sebentar dengan Zayn, tapi tidak ada yang menemani Liam di sini selain dirinya.


Zayn menyingkirkan beberapa helai rambut Ari yang menghalangi wajahnya, "Berhati-hatilah."


Ari terkekeh dan memukulnya pelan, "Bukankah aku yang seharusnya mengatakan itu?"


Zayn hanya tersenyum. Dari jarak yang sedekat itu, barulah Ari menyadari ada sesuatu di wajah Zayn. Pipinya sedikit berwarna kebiruan. Meskipun tidak terlalu tampak, tapi ia bisa pastikan bahwa itu semacam memar. Ia menyentuh kedua pipinya untuk memastikan, dan benar, Zayn meringis kesakitan.


"Ada apa dengan wajahmu?"


Zayn tidak menjawab. Lelaki itu hanya menyentuh salah satu pipinya kemudian sedikit menjauh. Zayn tidak sadar kalau tamparan Mrs.Swan meninggalkan bekas hingga Ari dapat melihatnya. Bekas tamparan itu pun masih terasa perih di wajahnya mengingat Mrs.Swan menamparnya berkali-kali dengan sangat keras.


"Siapa yang memukulmu? Apa kau habis bertengkar?"


"Tidak." Zayn menggeleng, menghindari kontak mata dengannya.


"Jangan bohong," Ari menyipitkan matanya dengan curiga, "Apa kau bertengkar dengan ayahmu lagi? Iya?"


"Bukan! Bukan siapa-siapa, Ari. Mungkin tanpa sadar pipiku terbentur sesuatu saat tidur," sergahnya langsung, masih memegang pipinya sendiri untuk menutupi itu tapi tentu saja ia tahu itu sia-sia.


Kini Ari menyadari ada yang berbeda dari tangannya juga. Punggung tangan kanan Zayn terlihat membiru, bahkan lebih biru dari yang ada di pipinya. Ia dengan paksa menarik tangan kanannya untuk melihat lebih jelas memar tersebut, "Kau tahu, kau ini pembohong yang payah. Katakan padaku, dengan siapa kau bertengkar?"


Sial, Zayn bahkan lupa bahwa dia baru saja menghantam dinding lift dengan tangannya sendiri. Zayn cepat-cepat menarik tangannya ketika pintu lift terbuka. Ia menyempatkan diri untuk mencium puncak kepala gadis itu dan masuk ke dalam lift sebelum dicecar lebih banyak pertanyaan, "Mengkhawatirkanku bukanlah yang terpenting saat ini. Lebih baik kau tetap berada di sisi Liam. Aku juga tidak akan kemana-mana."


Gadis itu masih penasaran dengan memar tersebut, namun ia tahu ia tidak bisa berlama-lama meninggalkan Liam. Jadi ia hanya menghela napas panjang dan menyerah, "Ingat, aku akan menanyakanmu lagi nanti dan kau tidak akan bisa berbohong," ancamnya.


"Dan bagaimana jika aku masih berbohong?"


"Dasar bodoh. Kau sudah membohongiku berkali-kali, apa kau pikir aku masih naif tidak tahu gerak-gerikmu yang mencurigakan?" Ari terkekeh, "Daripada kau masih di sini denganku, lebih baik cepat pergilah, ayahmu menunggumu."


"Ku anggap itu sebagai ungkapan cemburu. Jangan begitu, sudah ku bilang aku tidak akan kemana-mana, Ari." Zayn terkekeh.


Ia lalu menekan tombol lift agar pintu tertutup dan menekan tombol lantai paling bawah, sementara Ari kembali masuk ke ruang rawat Liam.


Zayn bergegas pergi ke toilet pria sesampainya di lantai satu. Ia buru-buru melihat wajahnya di cermin terutama kedua pipinya. Ia menghela napas ketika melihat pipinya memang benar memar. Bahkan tanpa menyentuhnya pun bekas tamparan itu masih terasa perih. Zayn menumpu kedua tangannya di wastafel. Pikirannya kembali teringat dengan perkataan Sophia tadi. Ia tidak menyangka ada wanita segila itu di dunia ini. Dia tidak terima jika wanita itu akan menyakiti Ari juga.


Zayn mengeluarkan ponsel dari sakunya. Tidak ada pesan apapun dari ayahnya karena ayahnya itu sedang sibuk mengurusi cabang perusahaan baru di Liverpool. Dia memang berbohong soal makan malam. Sebenarnya hari ini dia hanya sedang tidak dalam mood bagus untuk mengobrol banyak dengan Liam--dengan siapapun. Salahkan jalang bersepatu hak itu yang menghancurkan moodnya. Jadi saat ini dia bingung harus pergi kemana.


Ari menguap beberapa kali seraya menggonta-ganti channel televisi. Ini sudah jam 11 malam dan Liam sudah tertidur dari tadi. Ia baru saja selesai menonton ajang pencarian bakat di televisi dan sekarang acara-acara menjelang tengah malam ternyata tidak ada yang bagus. Ari baru akan mematikan televisi saat pintu ruangan terbuka. Ia mengira itu adalah salah satu pengawal, ternyata seorang dokter yang akan mengecek Liam. Ari bergegas beranjak dan duduk di samping ranjang Liam yang terlelap.


"Jadi kapan kakakku boleh pulang,Dokter?" tanyanya sembari memperhatikan sang dokter serius mencatat sesuatu di kertas yang ia bawa.


Dokter tersebut tersenyum di balik maskernya. Ia tidak menjawab dan justru beralih ke kertas di baliknya.


"Tapi kakakku sudah sehat-sehat saja, bukan?" tanyanya lagi.


"Mengingat keadaannya yang sudah membaik, seharusnya ia boleh pulang besok," Saat itu masuk lagi dua orang perawat laki-laki yang menyusul sang dokter. Perawat itu juga memakai masker yang menutupi wajah mereka, ".. jika ia masih hidup."


Salah seorang perawat laki-laki itu segera membungkam hidung dan mulut Ari dengan sapu tangan berisi obat bius, sementara yang lainnya menahan tubuhnya agar tidak memberontak. Ari benar-benar terkejut akan hal itu. Ia berteriak meski dalam keadaan terbungkam dan berkali-kali berusaha untuk melepaskan tangannya dari mereka, namun tidak butuh waktu lama sampai ia tidak sadarkan diri karena efek obat bius. Teriakan Ari tadi membangunkan Liam. Matanya langsung terbuka sempurna begitu menyadari sang dokter hendak menyuntikkan sesuatu pada dirinya. Ia dengan sigap menendang dokter tersebut. Kedua perawat membawa Ari keluar ruangan dan membaringkannya di ranjang beroda yang sudah disiapkan, menutupnya dengan selimut, dan membawanya menuju lift, sementara sang dokter masih sibuk berurusan dengan Liam.


Zayn menguap lebar-lebar. Sejak tadi ia tetap berada di rumah sakit agar dapat menyelinap diam-diam ketika jam jenguk sudah habis. Ia tidak berniat pulang ke rumah karena rumahnya pasti akan sepi tanpa ayahnya, hanya ada para pelayan dan penjaga rumah. Saat ini ia berhasil menyelinap karena mengambil kesempatan saat penjaga di lantai bawah lengah. Ia memanfaatkan itu untuk naik ke dalam lift. Pintu lift terbuka ketika sampai di lantai yang ia tuju. Terdapat dua orang perawat laki-laki yang sedang mendorong ranjang beroda dengan ditutupi selimut di depannya. Ia keluar dari lift untuk mempersilakan mereka masuk.


Zayn berjalan di lorong rumah sakit. Aneh, tumben sekali bagian ruang VIP tidak dijaga. Ia tidak melihat ada suster sama sekali saat ini. Ah, mungkin sedang ke toilet.


Zayn berbelok menuju tempat Liam dirawat. Matanya membelalak menemukan para pengawal yang menjaga ruangan Liam terkapar di samping pintu. Ia turun untuk mengecek keadaan mereka. Tidak ada bekas pukulan, tidak ada memar sama sekali, mereka masih bernapas tetapi tubuh mereka lemas.


Sialan, sialan, sialan, umpatnya dalam hati.


Ia buru-buru masuk ke ruangan Liam dan mendapati lelaki itu sedang bergelut dengan seseorang yang memakai pakaian dokter dan sebuah jarum suntik di tangannya. Liam tidak dapat bergerak banyak karena selang infus yang masih menempel di tangannya. Dia juga belum terlalu kuat untuk dapat melawan orang itu.


"HEY!"


Zayn berlari ke arah mereka, memisahkan dokter tersebut dari Liam, dan meninju wajahnya dengan keras. Jarum suntik itu terlepas dari tangannya, Zayn menendang suntikan itu jauh ketika orang itu hendak meraihnya di lantai. Tanpa menunggu waktu, ia segera menginjak benda tersebut sampai hancur dan semua cairan tumpah. Orang itu segera bangun. Tentu saja Zayn tidak akan memberi ampun kepadanya. Ia meraih kerahnya, meninjunya sekali lagi, dan menyudutkannya ke dinding. Dengan paksa ia membuka masker yang menutupi wajahnya. Orang itu memiliki paras Asia Timur yang ia belum pernah lihat sebelumnya.


"Siapa yang menyuruhmu?!"


Orang itu tidak menjawab. Ia masih menatap geram kepada Zayn.


Zayn terkesiap ketika tiba-tiba saja Liam menendang orang tersebut dari samping karena hendak mengeluarkan sebuah pisau bedah dari sakunya.


"Beraninya kau!"


Zayn kembali meninju wajahnya sampai orang itu tidak sadarkan diri. Liam dan Zayn sama-sama mengatur napas sejenak setelah melawan orang asing ini. Mereka tidak pernah melihat orang ini. Dia pasti adalah pesuruh dari mereka-sudah-tahu-siapa-itu.


"Dimana Arianne?!" tanyanya saat menyadari Ari tidak ada di ruangan ini.


"Mereka.. mereka membawanya pergi. Ada dua laki-laki lagi dengan pakaian perawat yang datang ke sini!"


Dua orang perawat laki-laki.


Sialan!, Zayn baru menyadari bahwa dua perawat yang dimaksud adalah orang yang berpapasan dengannya di lift. Dan apakah orang yang mereka bawa adalah Arianne?


Brengsek!, Zayn meninju dinding di hadapannya.


-bersambung-


Sebenarnya cerita ini tinggal sedikit lagi. Dan sekali lagi nanya nih, mau ga ada prequel tentang cerita Zayn x Diana x Harry?

Iya sih udah bukan era 1D, tapi kepengen aja bikin mini prequel dengan chapter yang mungkin cuma belasan. Mungkin bahkan 10.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top