Liam mengapit pulpen di antara hidung dan mulut sambil membaca kontrak yang seharusnya sudah Ari tanda tangani. 5 jemari tangannya mengetuk-ngetuk meja kerjanya yang sudah penuh dengan berkas. Tak lama, mengambil mug berisi kopi untuk menelan satu teguk. Ia mengusap dagunya setelah menaruh mug kembali, matanya masih tak lepas dari perjanjian-perjanjian yang tertera. Perjanjiannya simple, kenapa Ari tidak mau tanda tangan?, pikirnya.
Memang perjanjiannya sama seperti kontrak lain. Berkutat seputar royalti dan sebagainya. Kecuali yang terakhir. Sebenarnya bukan Liam yang mau, tapi Harry memaksa. Disitu tertulis bahwa Ari bersedia menerima lamaran serta menikah dengan Harry nantinya. Liam meletakkan surat tersebut di atas tumpukan kertas lain, kembali meneguk kopi sambil memijat pelan keningnya.
Sepertinya tidak mungkin Ari menanda tanganinya, apalagi dia bergaul dengan lelaki miskin sembarangan.
Tok.. tok..
"Masuk" suaranya sedikit kencang agar si pengetuk pintu bisa mendengar. Ternyata bawahannya. Seorang pria yang berusia sekitar 30 tahunan masuk tanpa membuka pintu lebar-lebar. Tangan kirinya menjinjing tas—bersiap pulang—sedang tangan kanannya memegang sebuah amplop coklat.
"Selamat sore, pak." Ia sedikit membungkuk. "Saya mau mengantarkan ini" Berjalan lurus ke depan meja Liam, menyerahkan amplop tersebut.
Liam menerimanya. "Terimakasih, kau boleh pulang sekarang."
"Permisi" ucapnya sebelum keluar lagi dari ruangan Liam.
Liam memperhatikan amplop tersebut. Sangat tipis, juga tidak ada nama pengirimnya, hanya ada alamat tujuan dan nama penerima, yaitu Liam dan alamat gedung Syco. Ia memutuskan untuk membukanya. Ternyata isinya hanya selembar kertas. Dengan potongan huruf koran yang disusun, membentuk kalimat,
AKU MASIH TIDAK MENYERAH.
Mata Liam serasa dibuat keluar karena isi pesan hitam tersebut. "Grrr" Dengan geram, Liam merobeknya hingga menjadi serpihan kecil sebelum membuangnya sembarangan. Ia bangkit dari kursinya. Meninju 2 kepalan tangannya ke atas meja dengan napas memburu. Seakan tidak peduli pada tulang-tulangnya yang kesakitan, mata Liam masih memelototi serpihan yang sekarang sudah menjadi sampah. Dia benar-benar murka saat ini—karena Liam tahu siapa si pengirim.
Hanya satu-satunya di dunia yang dari dulu terus mengganggu nya—juga Simon.
"Dasar pria brengsek!" umpatnya. "Aku pasti sudah membunuhnya jika saja dia bukan—AARGGH" Liam menendang kursi sampai terpental ke dinding ruangan.
.
.
Ari dan Zayn bersembunyi di balik pohon, diam-diam memperhatikan gerak-gerik di dalam mobil putih tersebut. Di dalam, Sophia terlihat sedang berargumen dengan seorang pria yang hampir sebaya. Pria itu sesekali menggerakan tangannya seperti sedang membicarakan masalah serius. Apa iya wanita itu selingkuh?
Samar-samar, suara mereka terdengar ke luar. Namun tidak terlalu jelas di telinga Ari. Tapi sudah jelas kalau mereka berteriak-teriak di dalam.
Ari menoleh Zayn dengan alis berkedut. "Mereka sedang bicara apa sih?" Lelaki itu hanya mengangkat bahu. Kepala Ari cepat berputar saat Sophia keluar dari mobil. Lelaki yang sedang bersamanya pun mengikuti gerakannya. Ia menahan Sophia yang hendak pergi. Mereka berdiri di depan pintu mobil sekarang.
"Smith.." Ari kembali menoleh Zayn begitu dirasa lelaki itu bergumam sesuatu. Sekarang menatapnya dengan heran.
"Kau kenal Sophia?" tanyanya dengan nada pelan agar Sophia dan lelaki itu tidak mendengar. Bisa gawat kalau mereka tertangkap basah. Sophia pasti akan mengadu pada Liam, dan lelaki itu... bisa saja memukuli Zayn dengan badannya yang besar dan penuh tatto.
"Tidak." jawabnya pendek sembari menggeleng.
"Sophia!" jerit lelaki itu tepat di wajah Sophia. "Kau ini adik tidak berguna!" Kata terakhir yang diucapkan berhasil membuat Ari terlonjak. Adik?
"Itu kakak Sophia?" Ia memicingkan matanya tak percaya. "Ku kira selingkuhannya." Zayn menempelkan telunjuk di mulutnya sendiri, menyuruh Ari untuk diam.
"Aku tidak peduli lagi. Kau selalu memperbudakku, Vin! Aku capek!" Dengan inisiatif sendiri, Ari bergegas mengeluarkan ponselnya, merekam mereka berdua kalau-kalau ada sesuatu menarik untuk ditunjukkan pada Liam.
"Ini demi kepentingan bersama. Dan jika gagal, semua akan menyalahkanmu" Lelaki yang dipanggil 'Vin' oleh Sophia itu meninju pelan pintu mobil. Alisnya mengkerut jelas dan rahangnya mengeras. Matanya daritadi tak pernah lepas dari mata adik di hadapannya.
"Kau kira membongkar rahasia perusahaan itu gampang hanya dengan mengencaninya? Dia-tidak-sebodoh-itu." Sophia tak mau kalah. "Kalau mau, kau saja yang turun sendiri ke 'lapangan'. "
Lagi, Ari dan Zayn saling lirik. Ari membuka mulutnya seolah berkata, 'rahasia perusahaan?'.
"Dengar ya," Vin menarik rambut Sophia bagian samping yang menghalangi telinga, mendekatkan mulutnya pada telinga adiknya, namun berkata dengan suara kencang. "Kau kira aku mau susah-susah begini?! Kan 'dia' yang memaksa kita untuk ikut campur dalam urusan'nya'. Mentang-mentang dia itu—"
Perkataan Vin terhenti begitu mendengar suara ranting patah yang tak sengaja Ari injak. Perhatian mereka berdua teralih pada pohon besar tidak jauh dari mobil. Mata Sophia dan Vin sama-sama memicing dan sedikit menjinjit untuk melihat siapa di balik sana.
"Ouch, sh1t." Ari dan Zayn sama-sama jongkok merunduk. Debaran jantung mereka meletup-letup sekarang. Dan bagaimana bisa Ari begitu ceroboh?
Zayn mengintip sedikit dari balik semak, kembali menundukkan kepala saat menemukan Sophia dan Vin melihat ke arah mereka. Beruntung rambut Zayn berwarna hitam, jadi dapat mengelabui mata mereka di kegelapan—berhubung matahari sudah benar-benar tenggelam sekarang. "Matilah kita."
Vin dan Sophia saling lirik curiga. Terlihat dari ekor mata mereka yang menyipit. "Dasar penguntit." Lelaki besar itu memutuskan untuk mengecek, memastikan tidak ada siapa-siapa disana. Kalau ada pun, tentu saja dia akan membereskannya. Sampai di depan pohon, Vin mencondongkan kepalanya untuk melihat ke balik pohon...
Kosong.
Vin celingak-celinguk dengan mata tajam. Memastikan kalau benar-benar tidak ada orang sebelum kembali ke sebelah Sophia. "Lebih baik kita pergi dari sini." ucapnya seraya membuka pintu mobil.
"Ini konyol, Zayn." Ari memutar matanya sambil terus merangkak mengikuti Zayn dari belakang. "Serasa berlatih di sekolah militer."
"Daripada tertangkap?"
Mereka mempercepat merangkak sampai ke bangku taman lagi. Terduduk lemas begitu berhasil kabur. Mengipas diri masing-masing dengan tangan. Napas keduanya masih belum teratur. Karena itu tadi menegangkan. Beruntung Zayn cerdik, mengusulkan untuk merangkak serendah mungkin menjauh dari pohon.
"Omong-omong, kenapa kau takut dengan si Vin-Vin itu? Biasanya kau melawan" Terdengar sedikit nada ledekan dalam perkataan Zayn, tapi Ari hanya mengedikkan bahu.
"Ah, kau juga." cibirnya balik.
"Oh ya, Sophia itu benar pacar kakakmu?" Zayn mengerutkan dahi. Ari mengangguk—sedikit tidak ikhlas mengakuinya. Kini giliran alis tebal Zayn yang berkerut. Seolah sedang berpikir, matanya terarah pada tanah yang berada di bawah. ".. bagaimana bisa..? "
"Hah?"
"Tidak" Zayn tersenyum. Ia berdeham membersihkan tenggorokannya yang tidak gatal, "Tapi sepertinya si Vin itu bukan orang baik-baik. Lebih baik kau sedikit berjaga jarak dengan mereka. Aku tidak mau kau kenapa-napa."
"Tentu saja. Aku bahkan tidak setuju Liam pacaran dengan Sophia. Dia itu jahat sekali pada Mary"
"Ya bagus. Tetap berjaga jarak lah" pesannya.
Ari mengeluarkan ponsel dari saku. Me-replay video yang baru saja direkam. Sebuah smirk menghias wajahnya. Dia berniat memberikan video itu pada Liam dengan syarat, kontraknya dengan Harry dibatalkan.
"Kenapa senyum-senyum?"
"Aku akan menunjukkan pada Liam supaya dia tahu sebenarnya Sophia itu jahat! Dan kontrakku dengan Harry—"
"Tunggu sebentar. Kontrak?" Zayn menyipitkan sebelah mata sembari mengerutkan alis. "Kontrak apa?"
"Kontrak duetku dengan Harry. Tadinya aku mau meminta izinmu dulu untuk menanda tanganinya, tapi aku akan memaksa untuk membatalkannya sebelum Liam lihat video—"
"Wait—izinku?" Sekarang raut wajah Zayn makin sulit dimengerti.
Gadis itu diam. Zayn tahu Ari ingin sekali jadi penyanyi dari dulu. Tapi tentu saja lebih baik membatalkan mimpi itu dibanding harus berduet dengan Harry. Ari memilih untuk mengelak, "Yaa, tapi ku rasa tidak jadi karena video ini—"
Zayn menyentuh punggung tangan gadis itu, lagi-lagi pandangannya berhasil membuat Ari tersihir. "Aku mengizinkanmu."
Sial. Dua kata itu lah yang Ari tidak mau dengar dari mulut Zayn—setelah mendapatkan video Sophia. Dia justru menanggapnya dengan tertawa yang malah terdengar sumbang. "Tapi sepertinya Liam akan membatalkannya karena aku akan mengancam dengan video ini haha"
"Aku-mengizinkanmu." Zayn menegaskan. Matanya seolah berkata kalau ia benar-benar serius.
Ari menyandarkan punggungnya, menghembuskan napas panjang. Matanya memandangi langit berbintang di atas. Sedangkan mulutnya membentuk lengkungan ke bawah. Dia tidak senang dengan jawaban Zayn.
"Aku tidak mau"
"Kenapa? Bukannya itu cita-citamu?"
"Yeah" Mengedikkan bahu."Minus Harry." lanjutnya, alisnya berkedut sebal ketika menyebut nama Harry. "Lagipula tidak gampang juga. Di mall tadi, aku dan Harry terjebak fans dan harus menunggu lama sampai bodyguards nya datang. Pasti setiap hari nantinya, kehidupanku akan selalu begitu. Aku juga tidak berani tampil di depan umum.." Ia memanyunkan bibirnya.
Zayn tersenyum mengerti. Menggeser posisi duduknya lebih mendekat. Ia merengkuhnya, mengusap pundak Ari agar gadis itu tenang. "Aku tahu itu" katanya. "Begini saja," Tangannya meraih pergelangan Ari, tempat sport wristband pemberiannya terletak. "Mungkin aku tidak selalu bisa membantumu. Tapi kalau kau merasa gugup, takut, atau demam panggung, pakai wristband ini. Setidaknya itu bisa membuatmu lebih baik" Ia mengedikkan sebelah bahu. "Dan ku ingatkan, jangan pernah beri Liam video ini. Jika kau tidak mau hidupmu bertambah.. kacau." pesannya, kali ini dengan nada lebih serius.
"Hm.. begitu ya?" Mata Ari berpindah pada wristband abu-abu tersebut. Memandangnya lekat-lekat seraya mempertimbangkan. Kemudian berpindah lagi pada wajah Zayn, tersenyum masam.
.
.
BLAM..
Suara pintu yang tertutup kencang menggema di rumah mewah itu. Tak lama disusul dengan bunyi per kasur yang kedatangan beban berat.
"Aaahh~" Ari berguling kesana-kemari di atas tempat tidur. Sebuah seringai lebar tak lepas dari mulut merah mudanya. Pinggiran kedua matanya benar-benar menyipit saat itu, membuktikan ia benar-benar sedang dalam keadaan bahagia. Bagaimana tidak? Ari baru saja mendapat hadiah dari sahabatnya. Apakah itu Harry? Tidak, tentu saja.
Dengan mata berbinar, ia sekali lagi memandang wristband di tangannya. Seolah baru melihat benda seperti itu untuk pertama kali. Tawanya pecah ketika mengulang kembali kejadian di taman. Zayn nyaris menciumnya. "Ahahahah" Kembali berguling kesana-kemari sampai akhirnya...
BRUK..
Jatuh dari tempat tidur.
Ari mendesis memegangi bokongnya yang bisa dipastikan merah sebelum bangkit kembali.
"I'm home.."
"Liam!" jeritnya tak karuan, bergegas keluar dari kamar untuk menemui kakaknya.
Liam, dengan baju dan rambut yang sudah kusut, sedang berjalan gontai ke arah kamarnya. Menjinjing tas kerja hitam berwarna hitam seolah benda itu sangat berat. Typical Liam kalau lembur. Perhatiannya teralih saat melihat Ari berlari ke hadapannya, memberi tatapan 'jangan berulah macam-macam untuk saat ini'.
"Li—wow.. kau kelihatan... kurang baik" Begitu menyadari penampilan kakaknya.
"Minggir orphan, aku ingin istirahat" Ia mendorong Ari menyingkir dari jalannya, namun tanpa di duga, gadis itu menahan tangannya, membuatnya berbalik bertemu muka dengan muka pada Ari. "Apa sih?!"
"Aku ingin bicara sesuatu"
"Tidak untuk saat ini. Lepas!" Menghempaskan tangan Ari dan kembali berjalan menuju kamar. Langkahnya benar-benar terhenti ketika mendengar sesuatu terlontar dari mulut Ari. Sesuatu yang membuat rahangnya bisa saja lepas saat itu juga. Ari mengatakan,
"AKU MAU MENANDA TANGANI KONTRAK ITU."
-bersambung-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top