IV - The Man Who Makes A Song

Aku berbelok arah saat melewati rumah besar itu lagi. Pria itu ada disana, bersama dengan gitar tuanya dan sebatang rokok. Dia terlihat cuek dan masa bodoh dengan orang-orang yang lewat.

Aku menyeberangi jalan. Niatku ingin mengucapkan terimakasih sekaligus minta maaf atas kelakuan Liam kemarin. Semoga kali ini dia mau bicara.

Kepalanya menengadah begitu aku sampai di hadapannya.

"Hai" sapaku. Dia hanya tersenyum seperti saat pertama kali aku melihatnya. "Kau masih ingat aku?" Ia mengangguk. "Um, boleh ku duduk di sebelahmu?"

Ia memindahkan bungkus rokoknya. Tangannya kemudian menepuk tempat kosong di sampingnya, mempersilahkanku untuk duduk.

Aku duduk di sebelahnya dan bersandar pada tembok sambil bersidekap, sejenak memperhatikannya menulis-nulis. "Namaku Ari." Aku mengulurkan tangan, ia menjabatnya tanpa memberitahu balik namanya. "Aku mau berterimakasih dan minta maaf soal kemarin, um...?" Aku mengerutkan dahi.

"Zayn." jawabnya. "It's Zayn Malik." Jadi namanya Zayn.

"Yeah, Zayn. Kakakku memang temperamental"

"Tidak apa-apa, aku sudah biasa" Dengan pengakuan seperti itu saja dia masih bisa tersenyum. Kelihatannya dia baik hati.

Aku mengulum senyum lirih.

Author's Pov

"Omong-omong, kau sedang apa? Aku sering melihatmu menulis di kertas itu" Memilih untuk mengganti topik. Ia melongo melihat beberapa helai kertas di hadapannya. Isinya satu bait tulisan dan terdapat kunci gitar di bawah tiap baris. Terlihat seperti sebuah lirik lagu. "Boleh ku lihat?"

Zayn menyerahkan salah satu helai. Menunggu Ari membaca.

"Kau membuat lagu?" tanyanya setelah membaca lirik lagu yang belum jadi, berjudul 'Little Things'. Zayn mengangguk pelan. "Hebat juga, kau bisa membuat lagu sendiri."

"Aku hanya amatiran" elaknya.

"No, Zayn. Lagumu punya arti yang mendalam. Menurutku bagus" pujinya sekali lagi. "Bisa kau nyanyikan satu bait ini?"

"Oh, boleh"

Zayn menaruh rokok di mulutnya lagi dan mulai memetik senar gitarnya.

" Your hand fits in mine
Like it's made just for me
But bear this in mind
It was meant to be
And I'm joining up the dots with the freckles on your cheeks
And it all makes sense to me "

Ari bertepuk tangan. "Aku suka nadanya, suaramu juga bagus. Kalau kakakku dengar, mungkin kau sudah diajak rekaman olehnya"

Senyum Zayn memudar. "Aku tidak akan mau"

"Kenapa?"

Zayn tidak menjawab, hanya tersenyum lirih. Dan itu membuat Ari mengerti untuk tidak membahasnya.

"Oh, okay sorry." ucapnya. "Bisa mainkan gitarmu lagi?"

Sementara itu, di seberang jalan, tidak jauh dari mereka berdua, Harry Styles menepuk bahu supirnya dari belakang saat menangkap wajah gadis yang sudah tidak asing lagi.  Ia membuka kaca mobilnya setengah.

"Itu Arianne?" Tangannya melepas kacamata hitam yang sedang dipakai, mencoba melihat jelas wajah Ari. "Masa sih?" Harry merogoh sakunya, mengambil ponsel untuk menelepon Liam.

Ari sendiri juga tidak sengaja melihat mobil Harry. Kepalanya setengah terlihat di balik kaca film mobil mewah tersebut.

Yang paling membuatnya merinding, Harry seperti menatapnya tajam, apalagi pria itu sedang memegang ponsel. Dia takut kalau Liam tahu ia bergaul dengan Zayn alias gembel yang waktu itu diusir.

"Zayn, maaf, ku rasa aku harus pulang" Ari melirik jam tangannya. "Kerjaanku di rumah belum selesai"

Zayn berhenti memetik senar. "Oh, aku mengerti. Tidak apa-apa"

"Bye" Ari beranjak dan hendak pergi meninggalkan tempat itu. Tapi sebelum menyeberang jalan, ia berbalik menatap Zayn. "Apa kita akan bertemu lagi nanti? Aku masih penasaran dengan lagumu itu"

Pria muda itu tersenyum, mengangguk pelan. "Aku akan ke rumahmu nanti, kita selesaikan lagunya bersama. Janji."

Jawaban itu membuat Ari ikut tersenyum. Dia menutupi wajahnya dengan tangan, pura-pura menutupi sinar matahari yang silau. Padahal supaya tidak ketahuan Harry.

Harry kembali mematikan ponselnya. "Mungkin salah lihat" Ia menggeleng. "Jalan." perintahnya seraya menutup kaca.

---

Ari mengepel lantai kamar Liam perlahan sambil mengunyah permen karet. Sesekali mengerjapkan matanya agar tetap bangun. Entah kenapa pagi ini kepalanya terasa berat dan tubuhnya sangat panas.

Melihat kasur mewah Liam yang kelihatan sangat empuk, makin membuatnya lemas. Karena yang ia inginkan saat ini hanya istirahat. Tapi yah, bagaimana lagi? Liam pasti akan marah kalau pekerjaannya belum selesai. Apalagi sekarang hari libur.

"Nona Arianne?" Kepalanya menoleh ke pintu kamar. Salah seorang pembantu berambut hitam pekat dan berwajah oriental menatapnya penuh cemas. "Nona kuat? Wajah nona pucat"

"Aku tidak apa-apa kok"

"Sini," Ia menghampirinya dan hendak mengambil alih pel yang dipegang. "Biar saya yang meneruskan. Nona istirahat saja"

"Tidak usah, nanti kau kena marah Liam. Lagipula aku masih kuat kok"

"Maaf ya," ucapnya sebelum ia menyentuh kening Ari dengan punggung tangan. "Panas. Nona sakit."

"Mungkin karena  ruangan ini panas. I'm fine"

"Tidak, nona harus istirahat" Wanita berkuncir kuda itu menarik tongkat pel. "Saya saja yang mengerjakan"

Ari terdiam sejenak. Ia menyentuh keningnya sendiri, kemudian menghela nafas berat. Dia memang panas.

"Thanks ya.."

"Saya akan suruh Mary membawakan kompres untuk nona"

Ari hanya membalas dengan senyum, kemudian keluar dari kamar Liam.

.

.

.

"KIM?!" Mata Liam membulat begitu mendapati bukan Ari yang membersihkan kamarnya. "Kenapa kau yang membersihkan kamarku? Mana Ari?"

Pembantu yang bernama Kim itu hanya menunduk ketakutan. Tidak berani menatap wajah tuannya yang sedang murka.

"Mana Ari?!" tegasnya sekali lagi.

"N-Nona A-Ari.. sedang beristirahat"

"Istirahat? Dia enak-enak tidur sedangkan pekerjaannya diserahkan ke orang lain?" Dagu Liam mengeras, mencoba menahan emosi sampai dia bertemu langsung dengan adiknya.

Tangannya yang besar menyeret Kim menuju kamar Ari. Gadis itu masih terbaring lemah dengan kain di keningnya.

Liam menarik selimut Ari. Kemudian meniup peluitnya mamaksa Ari untuk bangun. Saat matanya sedikit terbuka, Liam langsung menarik tangan Ari untuk bangkit.

"Kenapa kau malah tidur? Kerjaanmu belum beres kan?"

"Li.. aku.." Ari mengambil nafas dalam-dalam. Bahkan untuk bicara saja lemasnya minta ampun. "Kepalaku sakit, Li.."

"Sakit atau malas?"

"Liam!"

"Well, Kim, kau tahu kan apa yang terjadi kalau ada pembantu yang membantu Ari?"

Kim membelalak. "Ku mohon jangan"

"Liam, dia membantuku karena aku sedang sakit. Jangan berlebihan" Ari menggenggam tangan Liam, berusaha membuatnya percaya. Tapi mustahil. Kakak tirinya tidak akan pernah mau mendengarnya.

"Sayangnya dia harus mengambil risiko" Liam tersenyum miring penuh kemenangan pada Ari. "Kim," Pegangan Ari di tangan Liam makin meregang. Gadis itu memegang kepalanya. "Kau di pe—"

Belum selesai Liam menyelesaikan kata-katanya, Ari sudah ambruk di tangannya.

-bersambung-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top