II - The Man With A Cigarette
PRIITT...
Suara peluit itu membangunkanku dari tidur yang sangat amat tidak nyenyak. Bagaimana tidak? Hanya karena sandiwara Sophia, aku dikurung Liam tanpa makan malam, padahal aku sudah kerja keras seharian.
"Sleep well, huh?" Liam berdiri di ambang pintu kamar, sudah berpakaian formal menggunakan kemeja, dasi, juga jas yang menggantung di pundaknya. Meski masih terlihat urakan.
Ia lalu berjalan ke arah tempat tidurku, menyunggingkan senyum licik terbaiknya.
"Di surat wasiat ibu, dia tidak menuliskan kalau aku harus tinggal dengan kakak tiri kejam sepertimu"
"Di surat ayahmu juga tidak tertulis aku harus mengurus adik lemah sepertimu" Itu benar-benar menyayat ku. Omongannya pedas, seperti biasa.
Aku bangun dari posisi berbaring, mengelus-elus perutku yang semalaman penuh terus berbunyi. "Bisa ku dapat sarapanku sekarang? Aku tidak makan semalaman. Please Liam.."
"Benar kan, kau ini adik yang lemah" cibirnya, melipat kedua tangan di depan dada. "All right, aku sudah menyuruh Mary untuk mengantarkan mie instan. Tapi setelah itu, kau harus kembali bekerja"
"Tapi kerja apa lagi?"
Liam memutar kedua bola matanya, berjalan ke arah gulungan kertas yang tertempel di tembok. Ia membentangkannya. "Ini, adalah daftar tugas yang harus kau kerjakan setiap harinya. Apa kau tidak melihatnya dari kemarin?"
"APA?! Tiap hari?" Liam mengangguk. "Ku kira itu untuk kemarin saja. Kau gila? Panjang kertas ini bahkan melebihi tinggiku sendiri. Aku manusia, Liam. Bukan robot!"
"Masa bodoh." Ia berjalan ke arah pintu. "Aku akan berangkat kerja sekarang. Jangan protes dan membuat ulah lagi jika kau tidak mau hukuman yang lebih berat. Kerjakan tugasmu dengan benar!" Liam keluar dan membanting pintu.
Kerja? Aku berani taruhan yang ia lakukan di kantor hanya menaikkan kaki ke atas meja dan berleha-leha, atau tidak berduaan dengan Sophia. Yaa, mungkin saja wanita itu membawakan makan siang untuknya.
"Selamat pagi.." Mary masuk dengan membawa nampan di tangannya, ia menaruhnya di atas meja berlaci samping tempat tidur. Aku melongo melihat apa yang dia bawa.
"Smoke Beef? Sandwich keju? Lemon tea?" Aku mengerutkan alis bingung. "Tapi kata Liam hanya mie instan?"
Mary berdeham pelan, "Saya memang sengaja membuatkan Smoke Beef untuk anda dan sarapan Sandwich saya. Saya tahu Nona Arianne belum makan" Ia kemudian tertunduk menatap sepatu ber-sol-nya, seolah aku akan marah seperti Liam. "Tapi tolong jangan beritahu Tuan Liam.."
"Terimakasih, tapi ini berlebihan. Ku rasa aku cukup makan mie instan saja" Aku mengembalikan sandwich kepadanya. "Lagipula ini sarapanmu"
"Tidak" Ia menolak. "Nona Arianne seharusnya mendapat makanan yang setara dengan Tuan Liam. Nona bukan pembantunya, tapi adiknya. Terlebih, Nona adalah anak kandung Tuan Simon" Astaga, dia baik sekali.
Aku menaruh kembali sandwich itu dan menyuruhnya duduk di sampingku. Tanganku merangkulnya akrab. Aku menyunggingkan senyum tipis, "Ari saja. Bukan Nona Arianne."
"Tapi Non—"
"Ari."
"..Ari.."
"Oh ya, jangan pakai saya-anda lagi ya. Aku-kamu saja. Tidak akan ku adukan Liam kok" Aku tersenyum, mengambil salah satu makanan yang ada di nampan dan mencium aromanya sejenak.
"Harum. Kelihatannya enak, bagaimana kalau kita makan berdua? Kau belum sarapan kan?" Aku menyerahkan salah satu garpu kepadanya.
"Tapi Ari—"
"Mau ku adu kan Liam?"
"Tidak" Ia menggeleng cepat, menerima garpu itu. "Baiklah, aku juga makan" Mary melahap sesuap makanan.
Aku memperhatikannya. Kalau dilihat-lihat, dia ini cantik. Matanya biru kehijauan, apalagi rambutnya blonde. Tidak pantas jadi pembantu.
"Mary, sudah pernah dimarahi Liam?"
"Sering"
"Dia menyeramkan, bukan?" Ia hanya mengedikkan bahu. Dan pertanyaan ini pun terlintas di pikiranku, "Kalau begitu kenapa masih bertahan?"
Dia diam, menaruh garpunya di atas piring. "Aku.. aku" Tergagap. "Ibuku dulu bekerja disini, jadi, ya, kau paham kan?"
"Oh, kau meneruskan ya?"
"Uhm, well, ya, begitulah. Itu yang namanya kesetiaan.."
.
.
.
Dengan mulut yang sibuk mengunyah permen karet, aku melaju dengan skateboard ku menuju supermarket. Stok gula baru saja habis. Dan ini merupakan tugasku untuk bepergian kesana-kemari.
Sore ini terlihat mendung. Angin yang berhembus terasa sangat dingin. Untung saja aku pakai jaket tebal. Orang-orang juga sudah sedia payung di tangannya. Bodohnya aku, lupa membawa payung.
Mataku tertuju pada seorang lelaki muda seumuranku. Dia duduk di pinggir jalan, menyandar pada sebuah tembok rumah besar. Wajahnya bisa dibilang cukup tampan, hanya saja penampilannya lusuh dan lebih urakan dari Liam, juga terdapat rokok di mulutnya.
Tangan kirinya berada pada fretboard gitar akustik tua yang sudah lecet-lecet, sedangkan tangan kanannya menulis sesuatu di kertas. Tak lama, ia memainkan gitarnya sejenak, lalu menulis lagi. Begitu seterusnya.
Entah kenapa mataku tak lepas darinya. Sepertinya ada yang... aneh?
Lelaki itu mengangkat kepalanya dan balas melihatku, awalnya dia diam, tapi kemudian tersenyum tipis padaku, sedikit melambaikan tangannya.
Aku mengalihkan pandangan dan mempercepat lajuku.
.
.
.
"Shit!" umpatku untuk yang kesekian kali tiap melihat jam tangan.
Ini sudah lewat dari jam 5 dan Liam pasti sudah pulang. Semoga saja dia masih mengizinkanku masuk ke rumah. Maksudku, come on! Aku sampai basah kuyup begini menerobos hujan, padahal sudah memakai skateboard ku sebagai payung, apa tidak ada rasa kasihan pada adiknya sendiri?
Saat ku lihat tembok rumah besar tadi, pria itu sudah tidak ada. Hanya ada 2 batang rokok sisa yang ku yakin miliknya. Ha, tentu saja dia tidak ada. Hujan begini. Ck.
Mataku membulat melihat mobil Range Rover Liam begitu sampai di depan gerbang rumah. Aku buru-buru masuk dan lari ke depan pintu. Sayangnya, saat membuka pintu, aku langsung berhadapan dengan tubuh tinggi besar.
Para pembantu, pelayan, dll. berkumpul di belakang mereka. Menatapku dengan harap-cemas seolah akan terjadi sesuatu.
"Oops.." Aku berusaha untuk tersenyum pada Liam. Ia membalasnya, tapi kemudian mengambil satu langkah ke depan, membuatku ikut mengambil langkah mundur.
"Kasihan adik kecilku," Ia berdecak. "Kehujanan sampai basah kuyup begini" Aku cepat menampis tangannya begitu hendak menyentuh jaketku.
"Do not touch!"
"Begitu ya?" Aku mundur lagi begitu dia maju. Kening kami bersentuhan dan dia lebih terlihat seperti memojokkan ku. "Btw, darimana saja kau?"
"Aku hanya ke supermarket" Aku menunjukkan kantung plastiknya. "Itu saja."
"Uh-huh?" Liam maju lagi, aku mundur. "Sampai kerjaanmu belum beres?"
"Sudah ku bilang, aku bukan robot. Tugas yang kau berikan terlalu banyak!" protesku. "Please, izinkan aku masuk sekarang. Aku benar-benar kedinginan" Aku memeluk tubuhku sendiri lebih erat.
"Boleh tidak ya?" Liam mengusap dagunya sambil menatapku yang penuh harap. "Baiklah," YES! "Setelah kau berhasil menjalani hukumanmu"
"Apa?"
"Menguras kolam renang." Nafasku tercekat.
Bagaimana caranya? Aku belum pernah menguras kolam renang sebesar yang ada di rumah ini. Apalagi mengerjakannya sendirian..... di tengah hujan deras begini.
"Cepat masuk, orphan. Sebelum kau mati menggigil" Liam menyeret tanganku ke dalam rumah. "Dan kalian," Ia menunjuk 2 bodyguard di belakangnya. "Usir gembel yang ada di depan gerbang. Sepertinya dia mengintip kita terus daritadi. Takutnya pencuri"
"Siap tuan"
Gembel mana? Baru aku mau melihat ke depan gerbang, Liam sudah menyeretku lagi.
.
.
.
"Uff," dengusku sambil masih berusaha mengeluarkan air yang ada di kolam dengan satu buah gayung. Sementara tangan kiriku memegang payung. "Liam, airnya tidak habis-habis!"
"Coba lagi, orphan!" sahutnya dari ambang pintu, kemudian menyeruput segelas cokelat hangat.
Sial, aku sedang susah begini, dia malah asik minum cokelat? Sudah setengah jam lebih aku berusaha mengeluarkan air kolam. Tapi yaa, karena hujan begini, air terus bertambah banyak. Belum lagi tangan kiriku pegal menahan payung dari angin kencang.
Kenapa sih ibu harus mengirimku pada kakak tiri seperti dia?
Dan benar saja, tak lama setelahnya, angin kencang menerpa payungku, membawanya terbang entah kemana.
"Argh, Liam, payungnya terbang!!" jeritku.
"Kenapa malah protes padaku?!"
"Aku kehujanan!! Aku harus bagaimana?!"
"Tidak mau kehujanan? Cepat kejar lah, orphan!"
"Berhenti memanggilku orphan!"
"CEPAATT!"
"IYA IYA!"
Aku langsung lari mengejar payung itu, mumpung belum terlalu jauh. Aku membuka pintu gerbang dengan kasar karena jalannya payung itu lama-lama semakin cepat.
Aku menggeram kesal begitu kehilangan jejaknya. Payung plastik bening itu sudah terbang terlalu tinggi dan jauh. Dan aku basah kuyup lagi sekarang.
"Oh, c'mon, this ain't funny, umbrella!" seruku pada langit keabuan.
Aku berbalik arah dan berjalan gontai kembali ke rumah. Tamatlah sudah hidupku, kalau sampai aku gagal menguras kolam renang, Liam pasti tidak mengizinkanku masuk sampai... entah kapan.
Aku menunduk menatap kedua kakiku. Bahkan aku tidak sempat memakai sepatu demi mengerjar payung terkutuk itu.
Tapi tiba-tiba saja aku merasakan air hujan tidak lagi membasahi tubuhku. Padahal di sekitarku masih hujan.
Aku memutar kepalaku dan mendapati seseorang memayungiku.
Ternyata itu adalah pria di jalan tadi, berdiri memegang payungku.
"I got it."
-bersambung-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top