I - The New Beginning
Aku tercekat begitu masuk ke dalam. Tak ku sangka ayahku sekaya ini, tapi aku dan ibu tidak pernah mencicipi sedikit pun uangnya. Setiap sudut rumah ini dipenuhi barang-barang mewah, awards, piagam, plakat, dan segalanya yang berbau musik.
Aku menaruh tas gitar, serta koperku di lantai, memandangi apa yang ada di depanku. Baru ku sadari, Liam sudah tidak di belakangku lagi. Tak lama, lima wanita muda berpakaian seragam datang menghampiriku, melepas backpack-ku, dan membawa koperku entah kemana.
"Hey, tasku!" Aku baru mau mengejarnya saat salah satunya berdiri di hadapanku. Dia memberikanku senyuman hangat, "Kau siapa?" tanyaku, sedikit mengerutkan dahi.
"Saya kepala pembantu disini, izinkan saya menunjukkan ruangan-ruangan yang ada di rumah ini." ucapnya dengan aksen British yang tebal. Aku mengikutinya ketika ia berjalan mendahuluiku.
"Ini galeri mendiang Tuan Julian saat ia masih memimpin Syco Music."
Aku memperhatikan foto-foto ayahku dengan sejumlah penyanyi terkenal, menandatangani kontrak, dan menjadi judge di salah satu ajang pencarian bakat.
Dari dulu, aku ingin sekali bergabung dengan perusahaan rekaman ini, atau setidaknya ikut ajang pencarian bakat yang ia naungi. Tapi ibu melarangku. Sangat konyol jika tersiar kabar Simon Julian ternyata memiliki anak perempuan yang publik tidak ketahui. Memang saat itu Syco Music sangat berjaya, sampai akhirnya ayah meninggal.
"Omong-omong, kemana mereka membawa tasku pergi?"
"Mereka membawanya ke kamar anda."
"Oh, baiklah."
"Nah, ini adalah pintu menuju garasi mobil," Ia membuka sebuah pintu geser besar yang terbuat dari kayu. Begitu semuanya terbuka lebar, mataku hampir dibuat keluar.
Ini yang namanya garasi? Seriously? Ruangan ini lebih terlihat seperti showroom! Ada belasan mobil dan motor mewah terparkir disana.
Belum selesai aku menikmatinya, ia sudah menutup pintunya lagi.
"Jangan terlalu lama, takut ada debu berterbangan ke sana." candanya. Aku tertawa kecil dan kembali mengikuti langkahnya.
Kali ini ia berhenti di sebuah pintu putih besar. Ia membukanya lagi. Ternyata itu sebuah kamar. Kamar luas bernuansa putih bersih.
"Dan akhirnya, ini salah satu kamar yang ada di rumah ini."
Right, ini pasti kamarku. Kamar ini begitu besar dan unik dengan atap kaca yang menutupi sebagian langit-langit. Home theatre yang lengkap mempercantik kamar mewah ini. Persis seperti keinginanku selama ini.
Tapi aku tidak melihat tasku disini. Oh, mungkin sudah dimasukkan ke dalam lemari?
"Kamar ini bagus, aku suka."
"Memang bagus, tapi sayangnya, itu bukan kamarmu," Aku berbalik begitu mendengar suara berat di belakangku. Lagi-lagi, aku berhadapan dengan Liam, "Orang sepertimu tidak pantas menempati kamar itu."
"Jadi ini bukan kamarku?"
"Mary," Liam beralih pada pembantu di sebelahku, "Lain kali biarkan dia bawa tasnya sendiri. Memangnya siapa dia seenaknya dilayani." Ucapannya terdengar pedas.
"Oh, baik Tuan."
Tangan Liam mengambil sebuah peluit dari sakunya. Ia meniupnya, membuatku menutup kedua telinga. Dan saat itu, datang belasan bodyguard dan pembantu ke hadapan kami. Mereka sangat banyak. Itu membuatku panik dan bersembunyi di belakang Liam.
"Semuanya dengar!" serunya lantang, "Ini adalah adik tiriku, Arianne Julian. Mulai hari ini sampai seterusnya, dia ikut mengurus rumah ini. Dan besok, kalian ku liburkan. Dia yang akan menyelesaikan semua pekerjaan rumah."
Apa?
Tunggu sebentar.
Aku harus membersihkan rumah ini sendirian?
"Dan, jika salah satu dari kalian lancang membantunya, aku tak segan-segan memecat kalian semua. Paham?"
"PAHAM!"
"Sekarang, bubar!" perintahnya, yang lalu dipatuhi oleh mereka.
"Hei, itu tidak adil!" protesku.
"Tidak adil apanya?"
"Kau seenaknya mengancam untuk memecat mereka, cari pekerjaan itu susah, kau tahu?"
"Kau terlalu banyak bicara."
Liam membuka sebuah pintu kayu kecil yang sudah sangat berdebu. Bahkan bagian dalamnya lebih berdebu lagi.
"Aku persilahkan kau menikmati hari pertamamu di kamar."
Kamar? Maksudnya kamarku?
Aku melihat ke sekitar dan menemukan tas beserta koperku di sudut ruangan. Gosh, kamar ini bahkan lebih buruk dari kamar lamaku. Kamar ini lebih terlihat seperti gudang dengan kasur yang lapuk dan lemari tua. Kaca jendelanya juga sudah berdebu.
Liam meninggalkanku begitu saja, membiarkan diriku menikmati kamar baru yang menyedihkan ini. Aku berkacak pinggang dengan masih melihat-lihat sekitar. Mataku menangkap sebuah gulungan kertas yang tertempel di dinding. Aku memutuskan untuk berjalan ke sana.
Gulungan kertas ini menjadi sangat panjang ketika aku membukanya. Rupanya hal ini adalah 'To-Do List' -ku yang diberikan oleh Liam.
---
Rambutku sudah terikat. Aku menggulung lengan kaosku sampai siku dan sengaja memakai celana denim selutut. Tanganku yang sudah terbalut sarung tangan plastik mulai menyikat lantai kamar mandi. Setelah ini, kerjaanku selanjutnya adalah menyapu rumah, mengepel, dan mencuci mobil Liam yang baru saja ia pakai.
Priiit..
Suara peluit yang sudah pasti ditiup oleh Liam terdengar. Ini sudah kesekian kalinya lelaki itu meniup peluit hanya untuk memanggilku. Peluit itu benar-benar membuatku gila. Aku terpaksa menunda pekerjaanku dan cepat menemui Liam di kamarnya.
Sebenarnya aku tidak terlalu hapal ruangan di sini, tapi semalam aku sempat melihat Liam masuk ke ruangan yang berada di ujung, jadi ku rasa di sanalah kamarnya.
Ketika aku masuk, rupanya ia sedang bersama seorang perempuan brunette.
"Ada apa?" tanyaku dengan nada malas.
"Cepat buatkan kami makan siang. Jangan lama."
"Kau mau makan apa?"
"Apapun. Kau ini terlalu banyak bertanya."
Aku mendengus sebal mendengar respons sengitnya. Aku baru bertanya sekali dan ia mengatakan aku terlalu banyak bertanya? Lelaki aneh.
Meski hatiku terasa berat, aku memilih untuk patuh saja, "Baiklah."
Setelah itu, aku meninggalkan kamarnya dan berjalan menuju dapur. Aku membuka lemari makanan, mencari-cari sesuatu untuk dimasak, dan ku putuskan untuk membuat spaghetti agar lebih cepat.
.
.
.
"Spaghetti macam apa ini? Kau mau membunuhku ya?!" seru perempuan brunette itu. "Aku tidak suka!" Kemudian melemparkannya begitu saja ke bajuku.
Perlakuan itu membuatku kaget dan marah, "Beraninya kau mengotori bajuku!" seruku tak kalah lantang darinya, "Awas kau!"
Aku hendak menarik rambutnya yang tertata rapi, berniat untuk mengacak-acaknya seperti dulu aku bertengkar dengan teman SMP. Namun hal itu tidak terjadi karena Liam sudah lebih dulu menepis tanganku.
"Jangan pernah menyentuh Sophia!"
Oh, jadi nama wanita menyebalkan ini Sophia?
"Lagipula rasa makananmu memang aneh! Seperti rasa selokan. Kau sengaja ingin meracuni kami?"
Aku berkacak pinggang, "Tentu saja, karena aku sedang membersihkan kamar mandi, saat kau memanggil. Jadi jangan salahkan aku jika lidahmu menangkap rasa kotoran di sana."
Benar-benar pasangan menyebalkan!
Sebelum mereka sempat berkata apapun lagi, aku lekas berlari keluar kamar. Hal terakhir yang ku ingat adalah wajah wanita bernama Sophia itu yang melihatku horor.
.
.
.
Berkali-kali aku menyeka keringat dengan punggung tanganku sambil mengepel lantai lorong galeri ini. Aku memperhatikan satu persatu foto yang terpajang. Masih tak percaya kalau ayah lebih hebat dari yang ku kira, bahkan sampai bisa membeli rumah sebesar ini.
Rumah yang seharusnya jadi milikku dan tempat dimana ibu menghabiskan sisa hidupnya sebelum penyakit membawanya pada maut. Yah, itulah yang seharusnya terjadi jika saja dulu ayah tidak pergi meninggalkan kami.
Suara heels tertangkap oleh gendang telingaku dan memecah lamunanku. Ketika aku menoleh, Sophia rupanya sedang berjalan ke arahku. Aku tak terlalu memedulikan kehadirannya, jadi aku kembali mengepel lantai. Yang menyebalkan adalah high heels-nya mengotori lagi bagian yang sudah ku bersihkan.
Ada apa dengan wanita ini? Kenapa dia menyebalkan sekali?
Sophia berhenti di hadapanku dan berkacak pinggang. Ia menatapku tidak suka. Apa lagi yang dia inginkan?
Tiba-tiba saja, tanpa ku duga, ia menendang ember berisi air yang ku gunakan untuk mengepel. Air itu basah membanjiri lantai dan tentunya membuat pekerjaanku sia-sia.
"Gosh! What have you done?!" seruku kesal.
Ia tak berkata apapun, hanya memasang senyum licik di bibir tebalnya.
Belum selesai urusan ini, ia tiba-tiba saja berteriak sendiri.
"Oow!! Apa salahku, Ari?!" Suaranya yang melengking memenuhi ruangan ini.
Aku mengernyit heran. Ada apa dengannya? Apa dia mendadak gila?
"Berhenti mendorongku!" Kali ini ia menjatuhkan dirinya sendiri.
Aku membulatkan mataku dan melangkah mundur. Wanita ini benar-benar sudah gila rupanya? Kenapa ia terus berteriak seakan sedang dipukuli? Atau jangan-jangan di rumah ini ada hantu?
"Soph?! Dimana kau?"
Suara Liam terdengar dari luar, diikuti suara langkah sepatu yang terdengar buru-buru.
"Liam, tolong! Adikmu menyakitiku!" serunya lagi.
Apa? Apa-apaan dia? Aku tidak melakukan apapun padanya. Meski begitu, aku menangkap sebuah senyuman licik tersungging di mulutnya.
Belum sempat otakku mencerna apa yang terjadi, Liam sudah datang dan segera menolong Sophia untuk bangun. Lelaki itu mendelikkan matanya kepadaku.
"Kau apakan pacarku?!"
"Aku tidak melakukan apa-apa. Dia saja yang bersandiwara!"
"Oh ya? Lalu apa yang baru saja ku lihat? Sophia jatuh didorong dan kau hendak memukulnya?"
"Aku tidak mendorongnya!"
"Tutup mulutmu, orphan!"
Orphan? Liam baru saja memanggilku yatim piatu? Apa dia tidak sadar kalau dia juga yatim piatu?
Benar-benar keterlaluan. Kenapa bisa lelaki menyebalkan seperti Liam bertemu dengan ratu drama seperti si Sophia ini? Belum lama aku tinggal di rumah ini tetapi rasanya aku sudah ingin kembali ke rumah lamaku.
"Aku akan memberimu pelajaran." ancam Liam.
-bersambung-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top