TIGA: Custom Made Ring

"Terus, si Mas Bimo yang baru bangun tidur dengan entengnya bilang ..." Karina berhenti bercerita ketika menyadari jika Gayatri tidak memperhatikannya. Ia mendaratkan cubitan di lengan kirinya keras-keras hingga Gayatri mengaduh kesakitan. Untungnya Gayatri bukan tipe cewek yang bereaksi keras ketika mengalami sesuatu. Dia hanya mendesis seraya mengusap lengannya yang sakit bekas cubitan.

"Kok aku dicubit, sih?" protesnya.

"Oke, ngaku aja sekarang, sebelum aku interogasi." Karina menyandar kursi seraya bersedekap. Gayatri tahu dia sedang amat serius, karena seluruh otot wajah Karina tampak kaku. Ia pernah melihat ekspresi tersebut beberapa tahun silam, saat Karina hendak sidang skripsi. Ia tahu Karina yang sering meledek dan suka bercanda sedang tidak bisa diajak kompromi.

Gayatri menghela napas panjang lalu memasukkan tangan ke dalam tas, meraba-raba ponselnya. Setelah menemukan benda tersebut, ia menelusuri galeri kameranya-yang didominasi foto kucing liar di sekitar kantor dan hampir jarang ada foto selca-lalu meletakkan ponselnya di meja agar Karina bisa melihat dengan jelas.

"Arin inget nggak sama cincinku yang ini, warisan dari almarhumah Nenek Soetanti?" tanya Gayatri hati-hati. Ia pernah bercerita pada Karina tentang cincin warisan tersebut, dan sahabatnya itu sempat meledek jangan-jangan cincinnya bertuah, seperti cincin Tom Riddle. "Aku tahu kamu anaknya peka sama detail dan teliti. Coba kamu amati baik-baik cincin itu, lalu kamu nengok ke kanan. Ke jari manis cowok di meja sebelah yang tadi kamu bilang 'ada monyetnya' itu."

Karina meraih ponsel Gayatri, membuat gerakan mencubit di layarnya, pertanda dia sedang memperbesar foto, lalu diam-diam mencuri pandang pada jemari lentik Niko yang sedang menggulung spaghetti dengan elegan. Gayatri menghela napas panjang. Semakin diamati, Niko semakin terlihat sempurna di matanya. Tampan, sopan, pakaiannya sangat trendi, dan punya etika di meja makan. Manner maketh man. Mau tidak mau, Gayatri jadi teringat pada kutipan terkenal dari salah satu film favoritnya itu.

"Oke ..." Karina meletakkan ponsel Gayatri di meja lalu mendorongnya kembali ke arah sang pemilik. "Memang sekilas sama, sih. Kamu kepikiran cuma gara-gara cincin ini doang?"

Gayatri mengangkat bahunya. Tidak semestinya ia memikirkan seseorang hanya karena mereka kebetulan memiliki cincin yang sama. Memang benar, tetapi ini pertama kalinya sejak dua bulan terakhir, ia menemukan sesama pemilik cincin batu zamrud lain. Dan benda itu tentu berusia jauh lebih tua dari Gayatri karena pemilik sebelumnya lebih tua dua generasi darinya. Sempat terbersit pikiran bahwa mungkin warisan yang diterimanya tidak hanya sekadar cincin kuno.

"Lupakan aja." Gayatri menyimpan ponselnya kembali ke dalam tas lalu melanjutkan makan seiris opera cake-nya. "Mungkin aku kurang tidur."

"Kamu nggak berpikir apa yang aku pikirkan, 'kan?" Karina memicingkan mata. Gayatri menatapnya lekat. Mungkin mereka sedang memikirkan hal yang sama, mengingat bertahun-tahun waktu yang mereka habiskan bersama sebagai sahabat.

"Udahlah, kayaknya kita kebanyakan nonton Netflix."

Karina melirik ke sebelah sekali lagi, tepat saat Niko tengah melontarkan sesuatu yang lucu dan kekasihnya tertawa mendengar banyolan tersebut. Mereka berdua terlihat begitu serasi. Jika memang ini seperti yang Gayatri pikirkan, alangkah tidak eloknya jika dia sampai merebut kebahagiaan wanita lain hanya karena sebuah cincin yang tidak jelas asal-usulnya.

"Iya." Karina mengangguk setuju. "Nggak baik jadi perusak hubungan orang, Ya. Jangan jadi orang yang seperti itu."

Lalu mereka melanjutkan makan seolah topik pembicaraan barusan tidak pernah ada. Selesai makan dan membayar semuanya, Karina menyeret Gayatri ke lantai dua, tempat toko pernak-pernik serba ada. Karina ingin segera mentraktirnya keyboard dan mouse nirkabel yang Gayatri butuhkan, tetapi mereka malah nongkrong berlama-lama di lorong parfum, mencoba berbagai macam wewangian keluaran toko tersebut.

"Yang Virgo wanginya paling enak menurutku." Karina menyodorkan punggung tangan kirinya ke arah Gayatri agar dia bisa mencium juga.

"Favoritku tetap British Pear," Gayatri mengambil sekotak parfum yang dimaksud, dan memasukkan ke keranjang belanjaan mereka. "Cari sheet mask, yuk?"

Karina mengambil dua kotak parfum varian Virgo dan Pisces, lalu menambahkan ke dalam keranjang mereka sebelum mengikuti Gayatri ke lorong kosmetik. Ada promosi beli 2 gratis 1 untuk pembelian sheet mask semua varian. Karina mencomot masing-masing 3 bungkus untuk segala varian yang bisa diraihnya.

"Tapi Ya, aku masih kepikiran terus, deh." Karina sedang menimbang-nimbang hendak membeli spons make-up segitiga atau kotak, tetapi Gayatri memasukkan keduanya dalam keranjang.

"Soal apa? Mas Bimo yang pura-pura nunggu di mobil padahal cuma mau nyolong waktu buat tidur?" Gayatri sedang mengamati penjepit bulu mata, tetapi ia meletakkannya kembali karena ia punya trauma dengan benda tersebut. Waktu ia dan Karina masih SMA dan sedang coba-coba belajar make-up dari tutorial YouTube Michelle Phan, ia pernah menjepit kelopak matanya sendiri hingga nyerinya baru hilang dua hari kemudian. Sejak hari itu Gayatri tidak pernah memakai jepit bulu mata lagi. Bahkan setelah dia bertambah dewasa dan lebih memahami teknik penggunaan kosmetik, jepit bulu mata masih menjadi musuh besarnya.

"Bukan, cincin warisan itu."

Gayatri hampir menjatuhkan satu set botol-botol kecil kemasan kosmetik untuk bepergian, jika saja Karina tidak refleks menangkapnya dengan cepat. Karina mengembalikan benda tersebut ke rak semula lalu menyandar dinding yang dilapisi oleh kertas bermotif.

"Kupikir kita udah sepakat buat nggak bahas ini?" tanya Gayatri.

"Ada yang mengganjal pikiranku." Karina menerawang ke arah lorong barang-barang elektronik tepat di hadapan mereka. "Kayak ... cincin warisan dari keluarga gitu biasanya memang dibawa turun-temurun gitu nggak sih? Kamu dulu pernah cerita kalau cincin itu dibawa oleh para anak perempuan bungsu di keluarga buat sebagai jimat gitu, nggak sih?"

"Bukan jimat juga sih ..." Gayatri berpindah ke lorong sebelah tempat buku catatan dan pulpen-pulpen lucu. "Yangti bilangnya buat melindungi keturunan keluarga ini dari petaka buruk, tapi nggak spesifik juga. Dan nggak boleh terlalu percaya sama laki-laki, tapi kita semua udah tahu itu, 'kan."

Tentu saja, Karina cukup aktif soal gerakan kesetaraan perempuan dan feminisme, bahkan sejak mereka masih kuliah. Dia menulis banyak artikel tentang toxic relationship semasa menjadi pemimpin redaksi majalah kampus dulu, dan meminta Gayatri untuk menjadi editor pribadinya. Mereka menonton seri Mrs. Amerika di kanal Disney+ Hotstar secara maraton untuk mengetahui pergerakan feminisme di barat, serta membaca buku Mona Eltahawy. Jika seseorang memberitahu mereka untuk berhati-hati terhadap laki-laki, Karina sudah beberapa langkah lebih depan soal itu.

"Gimana kalau kamu coba tanya dulu ke nenek kamu itu sebenernya barang apaan gitu, biar lebih yakin. Aku khawatir kalau ternyata cincin akiknya ada isinya sesuatu gitu, terus kamu kena kutukan atau malah kesurupan aing maung." Karina begidik ngeri. Ia mencomot boneka beruang warna putih lalu memasukkan ke dalam keranjang.

"Mungkin aku bakal coba tanya." Gayatri mengangkat bahunya, seolah tak yakin dengan keputusan tersebut. "Tapi Yangti orangnya keras, aku nggak terlalu akrab sama beliau juga, buat ngomongin hal-hal kayak gitu."

"Kalau gitu kamu bilang aja yang sebenernya, kalau kamu ketemu cowok yang pakai cincin yang mirip dengan punya kamu. Misalnya nanti nenek kamu tahu kenyataan kayak gitu, kali aja kamu dikasih bocoran soal benda itu."

Gayatri mengangguk setuju. Sepertinya bertanya langsung kepada Yangti adalah solusi terbaik untuk semua kegelisahannya hari ini. Mungkin keadaannya akan berbeda jika Yangti mengetahui jika ada cincin lain yang serupa dengan miliknya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top