ENAM: Yakin, Bukan Beli dari Loakan?
"Yakin, dia pemilik cincin warisannya yang sah? Bukan beli dari loakan?" Karina yang sedang melakukan panggilan video dengan Gayatri malam ini terlihat mengerutkan kening, meski wajahnya tertutup oleh selembar sheet mask. Setelah memastikan semua orang beristirahat di kamar masing-masing, Gayatri memberanikan diri memberitahu Karina hasil investigasinya di kamar almarhumah Nenek Soetanti. Beberapa orang sepupunya yang telah berkeluarga datang sore ini bersama pasangan dan anak mereka, hingga rumah ini menjadi ramai. Bude Herlina yang sehari sebelumnya menginap di rumah Mbak Sheila Ayu juga sudah kembali ke rumah ini sambil menggendong cucunya.
"Arin, mereka keluarga bangsawan, lho." Gayatri merebahkan tubuh di ranjang setelah selesai mengaplikasikan serum dan krim malam ke wajahnya. "Berbeda dengan keluargaku yang rakyat biasa, kurasa kalau bangsawan gitu lebih ketat lagi dalam mengawasi barang-barang berharga mereka dan perilaku anggota keluarganya."
Karina mengangkat bahu, ia memindahkan posisi ponselnya dan kini mereka sama-sama berbaring di ranjang. Hari ini hari terakhir Gayatri bisa menguasai kamar ini sepenuhnya, karena besok pagi dia harus berbagi kamar dengan sepupunya Zarina dan Dhatri yang posisi mereka saat ini sedang transit di Bandara Internasional Changi di Singapura. Zarina bekerja di Dubai sebagai perawat, sedangkan Dhatri sekolah pascasarjana di Belanda. Mereka berdua sudah dua tahun lebih tidak pulang ke Indonesia. Kebetulan pada pertemuan keluarga tahun ini Dhatri sudah menyelesaikan pendidikannya. Jumlah saudara sepupu Gayatri tidak terhingga jumlahnya, jika memperhitungkan sepupu dari saudara Yangti yang jumlahnya 8 orang itu. Bahkan kadang dia lupa dengan saudara sendiri, terutama ketika mereka sering absen pertemuan keluarga dan halalbihalal keluarga besar. Sepertinya dalam acara keluarga kali ini akan lebih banyak orang yang berpartisipasi, mengingat beberapa orang tidak sempat hadir untuk berbelasungkawa ketika Nenek Soetanti meninggal.
"Ya terus kenapa sama keluarga bangsawan?" balas Arin dengan bersungut-sungut. "Memangnya kalau darah biru ada jaminan mereka nggak teledor? Kali aja cincinnya jatuh di jalan terus ditemuin sama pemulung dan diloak karena dikira cincin biasa. Atau bisa jadi waktu Haryo meninggal, cincinnya ikut terkubur sama dia waktu dimakamkan terus dicuri maling kuburan?"
Gayatri tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa mendengar analisa Karina. Memang tidak ada yang salah dari semua kemungkinan tersebut, tetapi jika melihat betapa perlente sosok Niko dan sikapnya yang seperti baru keluar dari buku dongeng Disney, agak sulit dipercaya jika dia ternyata orang yang hobi berburu barang antik di pasar loak. Bahkan rasanya orang seperti Niko tidak tahu apa itu pasar loak.
"Menurutmu Niko tipe orang yang nongkrong di pasar loak terus ngopi di warung sambil ngerokok?"
"Niko siapa?" bibir Karina terbuka lebar hingga Gayatri khawatir mulutnya nanti kemasukan nyamuk. "Ooh, namanya Niko? Kok kamu tahu namanya Niko?"
"Tunggu dulu, Sherlock, memangnya aku belum cerita kalau sebelum kamu datang, aku sama Niko sempat debat soal Haruki Murakami?"
"Hah? Dia baca Haruki Murakami?" Karina mengelupas paksa maskernya yang tidak mau menempel lagi karena dia terus-menerus menggerakkan otot wajah. "Bentar, kayaknya aku kelewat satu bab deh dari ceritamu ini."
Gayatri memutar bola matanya dengan gemas, "Itu karena kita nggak sempat bahas soal dia lagi. Obrolan tentang Niko ditunda sampai kita dapat petunjuk yang jelas tentang cincin misteriusnya."
"Oke, sekarang setelah kita tahu ada apa sama cincin itu, kamu ceritakan semua yang kamu ketahui soal Niko. Aku tunggu, cepetan."
Maka Gayatri pun menceritakan semua interaksi yang terjadi antara Niko dan dirinya sebelum Karina dan kekasih Niko datang. Karina menyimak semuanya dengan antusias, meski jam menunjukkan waktu menjelang tengah malam. Besok Gayatri sudah mulai cuti untuk membantu persiapan acara keluarga, sehingga dia bisa tidur larut malam. Biasanya Karina selalu mengeluh jika dia tidak mendapatkan cukup istirahat sesuai yang disarankan dokter kecantikan, tetapi saat ini dia begitu tertarik mendengar sedikit informasi yang Gayatri ketahui tentang seseorang bernama Niko.
"Sejujurnya, aku salut sama Niko." Karina mengusap-usap dagunya dengan ujung jari. "Udah ganteng, kelihatannya sopan dan berpendidikan dari caranya bicara, dan dia tahu Kafka on the Shore, pula. Bahkan temen sekelas kita sendiri aja belum tentu tahu judul-judul buku Haruki Murakami selain Norwegian Wood."
"Ya, kan?!" Gayatri mengangguk setuju.
"Bentar." Karina memicingkan mata. "Kenapa sekarang kita sibuk memuji Niko, sih? Bukannya harusnya dia seburuk yang Yangti kamu bayangkan?"
Gayatri menghela napas berat. "Aku juga nggak tahu kenapa Yangti nggak suka sama pihak keluarga sana. Tetapi mungkin ini semacam pola pikir yang ditanamkan dari generasi ke generasi, jadi kurasa Yangti hanya memupuk subur kebencian di masa lalu. Maksudku ... manusia itu makhluk dinamis, 'kan? Mereka senantiasa berubah—dengan catatan, cuma berlaku buat orang yang mau introspeksi dan belajar dari kesalahan. Kenapa Yangti nggak bisa jadi legawa dan ..." Gayatri mengangkat bahunya. "Melanjutkan hidup dengan berdamai."
"Mungkin ..." Karina mengoleskan krim malam pada beberapa titik di wajahnya dengan menggunakan pantulan kamera depan ponsel sebagai cermin, lalu mengusap rata pada seluruh bagian tubuh. "Seseorang dari keluargamu perlu memberikan closure—semacam salam perpisahan—buat keluarga mereka. Alasan pertama, kamu nggak diizinkan pakai cincin itu di tempat umum, 'kan, sama Yangti. Tapi kalau di acara-acara internal keluarga, kamu wajib pakai cincin itu. Sedangkan pihak mereka—ini aku berasumsi kalau Niko benar-benar pewaris resmi cincin itu, bukannya cowok yang koleksi barang antik dari pasar loak. Pihak mereka pakai cincin itu di tempat umum. Bahkan Niko sudah punya cewek yang cantik dan kelihatannya tajir dilihat dari suara ketukan sepatu mahalnya, tapi dia masih pakai cincin warisan zaman dahulu. Mungkin nggak sih, kalau dia pakai cincin itu di tempat umum karena keluarga mereka masih berharap buat ketemu keluarga kalian sekali lagi?"
"Buat apa?"
"Mana kutahu. Mungkin mau minta maaf?"
"Bisa jadi ..." Gayatri bergumam, mencoba mencerna kembali ucapan Karina. "Alasan berikutnya?"
"Nah ... alasan kedua. Ini aku melihat dari sudut pandang perempuan seperti Yangti. Mungkin memang apa yang terlihat di luar nggak sesempurna apa yang tersimpan di balik topeng seseorang. Mungkin dulu ketika Ayuning meninggal, mereka nggak satupun yang bersimpati, bahkan dalam hal sekecil mengirim ucapan belasungkawa. Kamu tahu para bangsawan itu, mereka punya beberapa orang selir. Memang nggak semuanya sih, tapi citra yang umum tergambar dari mereka memang kurang bagus."
"Aku jadi kepikiran sesuatu deh, Arin." Gayatri memilin rambutnya yang menjuntai dengan jari telunjuk kiri yang terbebas dari memegang ponsel. "Gimana kalau aku kasih closure ke pihak mereka, sekaligus kembalikan cincinnya? Bukannya seharusnya seperti itu ya, kalau satu pasangan batal menikah, pihak perempuan harus mengembalikan barang yang sudah diserahkan?"
"Ide cerdas, Aya! Yuk, Aya bisa, yuk. Aku bisa bantuin cari orang yang namanya Niko, dan akhiri semua pertikaian antara keluarga kalian sejak beberapa ratus tahun yang lalu. Sudah saatnya kalian melanjutkan hidup masing-masing, tanpa harus terus-menerus menyimpan dendam."
Seulas senyum mengembang di wajah Gayatri. Mungkin saja jika dia bisa mengakhiri semua ini, almarhumah Nenek Soetanti akan bangga padanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top