EMPAT: Rahasia Keluarga
Kesempatan untuk mengobrol dengan Yangti datang dua minggu kemudian, ketika acara keluarga tahunan yang rutin diselenggarakan untuk mempererat tali silaturahmi keluarga. Suatu pagi, Ibu Gayatri menyuruhnya tinggal di rumah nenek selama beberapa hari untuk membantu persiapan yang ada di sana. Bude Herlina, kakak tertua ibu, yang tinggal serumah dengan nenek Gayatri, memiliki dua orang anak laki-laki dan satu orang anak perempuan. Tetapi ketiganya sudah menikah dan berumah tangga masing-masing, sehingga di rumah tersebut hanya tinggal dua orang wanita paruh baya, Bude dan Nenek. Pakde Gayatri, suami Bude Herlina, sudah meninggal sejak Mbak Sheila Ayu, anak perempuan bungsunya, masih kuliah semester akhir. Karena jarak usia antara Mbak Sheila Ayu dan Gayatri yang terpaut cukup jauh, sekitar 10 tahun, berarti sudah lama sekali pakdenya meninggal.
Memiliki keluarga besar dengan banyak anggota keluarga memang cukup memusingkan, terutama jika diadakan acara berkumpul seperti ini dan orang-orang saling bertanya kabar. Sudah lulus sekolah? Nilainya bagus, nggak? Sudah kuliah? Sudah wisuda? Sudah punya pacar? Kapan menikah? Kok nggak segera menikah, padahal umur udah segitu? Kapan punya anak? Kapan kasih adik buat si sulung? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu tidak akan ada habisnya buat segala jenjang usia, buat semua orang yang menjadi pusat perhatian.
Gayatri sudah terbiasa pasang senyum palsu dan menjawab semua pertanyaan itu sekenanya sejak dia beranjak remaja. Ia belajar banyak dari sepupu-sepupu perempuannya dalam menghadapi segala keingintahuan dari para keluarga besar yang hanya mereka temui setahun dua kali; saat Hari Raya Idulfitri dan saat pertemuan keluarga tahunan seperti sekarang. Gayatri juga tahu jika apapun yang didengarnya dan apapun yang orang-orang coba tanamkan padanya pada acara itu hanya akan berlalu dari ingatannya segera setelah hari berganti dan para tamu undangan kembali ke rumah masing-masing setelah pesta usai.
Yangti sedang duduk di ruang tengah sambil menyulam taplak strimin, ketika Gayatri pulang dari kantor malam itu. Ia membawa satu tas besar berisi barang-barang yang dibutuhkannya dalam beberapa hari ke depan selama dia menginap di sini. Kakak sepupunya yang lain, Kamira, juga rencananya akan tinggal di sini selama beberapa hari ke depan, tetapi sepertinya dia belum pulang kerja. Sudah menjadi tradisi turun-temurun jika anak perempuan lajang di keluarga besar Yangti bakal diminta membantu di rumah utama ketika ada hajat besar. Kedua kakak Gayatri, Skolastika dan Lituhayu, beruntung mereka terbebas dari tugas ini karena Tika sedang ada pekerjaan di luar kota hingga akhir pekan ini dan Lita berprofesi sebagai dokter. Pekerjaannya tidak bisa ditunda untuk hal-hal yang remeh dan tidak terlalu darurat seperti pertemuan keluarga. Bahkan Lita tidak bisa libur saat Hari Raya Idulfitri, jika dia kalah cepat mengambil cuti dibandingkan rekan sejawatnya yang lain. Gayatri sempat berharap jika dia bisa punya pekerjaan lapangan seperti Karina yang sesekali ditugaskan ke luar kota untuk liputan, tetapi sayangnya dia lebih banyak menetap di kantor, mengerjakan pekerjaannya yang membosankan dan tidak terlalu banyak tantangan.
"Baru pulang, Aya?" tegur Yangti ketika Gayatri menghampiri sang nenek dan mencium punggung tangannya. "Kamu pulang kantor jam segini?"
"Tadi ada urusan di kantor," dustanya. Gayatri sengaja mengundur-undur waktu pulangnya untuk menghindari interaksi dengan Yangti berlama-lama. Yangti menggenggam pergelangan tangan kiri Gayatri, menyadari cincin warisan adik bungsunya tersemat di jari tengah Gayatri dengan indah dan ukurannya pas. Gayatri sudah menyiapkan benda tersebut sejak dia meninggalkan kantor, karena Yangti pasti akan menanyakan kabar benda itu setiap kali mereka berkesempatan untuk bertemu.
"Cantik cincinnya," puji Yangti. Namun, Gayatri tahu tidak ada tendensi apa-apa dari nada suara Yangti kecuali untuk berbasa-basi. "Gitu dong, dipakai. Kalau cuma disimpan terus nanti ..." Yangti mengangkat kepalanya, menatap Gayatri lekat. "Anak perempuan harus pakai perhiasan, biar kelihatan kalau kamu diperhatikan sama ibu kamu."
Gayatri tahu ke mana arah pembicaraan ini. Ibunya membesarkan tiga orang anak perempuan seorang diri setelah bercerai dari Bapak. Tidak banyak yang Gayatri ketahui tentang pria itu, kecuali dia bukan sosok laki-laki yang baik buat Ibu dan anak-anak mereka. Gayatri bahkan terlalu kecil untuk bisa mengingat keberadaan Bapak, tetapi yang didengarnya dari Tika dan Lita, orang tua mereka selalu bertengkar sebelum perpisahan itu terjadi. Jika Gayatri sudah cukup besar untuk memahami konflik orang tuanya waktu itu, ia mungkin akan mendukung perpisahan mereka berdua. Jika memang sudah tidak menemukan kecocokan, lebih baik mengakhiri saja hubungan tersebut sebelum berubah menjadi tidak sehat dan saling menyakiti satu sama lain. Tetapi, Gayatri tahu dia tidak memiliki kapasitas apa-apa untuk menjadi konselor urusan percintaan di saat dia sendiri hampir tidak memiliki pengalaman berpacaran.
"Yangti, besok apa aja yang mau dikerjakan?" tanya Gayatri hati-hati, mencoba mengalihkan topik. "Besok Aya masih ada kerjaan, tapi Aya udah izin buat ngantor setengah hari ke atasan Aya. Kalau ada yang mau dibeli di luar, biar besok sekalian Aya carikan sepulang kerja."
"Kamu sudah makan?" tanya Yangti, seolah tidak mendengar ucapan Aya barusan. "Makan dulu terus bersih-bersih badan, baru kita bahas soal acara hari Sabtu."
Gayatri menurut saat Yangti menariknya ke meja makan dan membuka tudung saji. Ada sepiring ayam goreng, sayur bening dan nasi serta kerupuk bawang dalam kaleng. Semua makanan masih hangat, karena diletakkan dalam wadah stainless steel dan ditutup rapat. Gayatri mengambil sedikit nasi dan sepotong kecil paha atas, lalu menyendok sayur. Pada saat itu, Yangti merebut sendok sayur dari tangan Gayatri dan memutuskan jika Gayatri harus makan lebih banyak sayur ketimbang nasi dan lauk.
"Kamu masih muda, harus banyak makan sayur biar kulitnya bagus dan awet muda." Gayatri terpaksa menelan semua sayuran tersebut, padahal dia tidak terlalu suka dengan labu siam. Yangti duduk di seberang Gayatri, mengamatinya saat sedang makan.
"Yangti nggak ikut makan?" tawar Gayatri. Yangti menggeleng.
"Rasanya baru kemarin kamu nangis-nangis ditinggal ibumu berangkat kerja. Kamu selalu menolak dititipkan ke sini. Kamu lebih suka dibawa ke rumah Soetanti."
Gayatri tidak ingat jika sejak kecil dia sudah memiliki kedekatan dengan almarhumah Nenek Soetanti. Yang dia ingat hanya setiap harinya, sepulang sekolah dia selalu mampir ke rumah ini sambil menunggu Tika, Lita atau Ibu pulang ke rumah. Tetapi sejak masuk SMP dan mengenal Karina, ia lebih banyak menghabiskan waktunya di sana sepulang sekolah. Kadang Lita menjemputnya karena SMA Lita dan rumah Karina searah. Kadang dia pulang sendiri naik angkutan umum dan menunggu Tika pulang kuliah di warnet depan kompleks rumah mereka. Keluarga kecil mereka bisa menemukan cara tersendiri untuk berbahagia, dan bagi Gayatri semua itu jauh dari cukup.
Gayatri memandang lurus ke jendela yang terletak di balik punggung Yangti. Dari sana, dia bisa melihat rumah Nenek Soetanti yang kosong dan lampunya padam. Letaknya persis di sebelah rumah Yangti, hanya ukurannya yang lebih kecil dari rumah utama. Ia dengar salah seorang sepupunya yang telah menikah dan belum memiliki tempat tinggal sendiri yang akan menempati rumah tersebut, tetapi untuk sementara hingga lewat dari 100 harinya Nenek Soetanti, Yangti yang akan menjaga rumah tersebut.
"Besok mau dibantu bersih-bersih rumah sebelah, Yangti?" Biasanya setiap kali ada acara kumpul keluarga seperti ini, sebagian tamu yang tidak kebagian kamar di rumah utama akan diberikan akomodasi di sana. Sekarang, setelah pemilik rumahnya telah tiada, akan ada satu kamar lebih yang bisa ditempati oleh tamu dari jauh.
"Yangti udah suruh orang buat bersih-bersih rumah Soetanti, kamu nggak perlu repot-repot ke sana. Kamu bantu Yangti masak aja, sama bantu menata rumah biar lebih rapi."
Pandangan Yangti kembali tertumbuk pada cincin bermata zamrud di jari tengah Gayatri. Menatapnya dengan sorot yang tidak bisa Gayatri definisikan. Gayatri menghentikan makannya, mungkin sekarang saat yang tepat untuk membahas soal cincin sebelum kondisi di rumah menjadi semakin sibuk.
"Yangti ... maaf sebelumnya kalau Aya lancang, tapi Aya penasaran." Gayatri membuka obrolan. Jemarinya saling meremas satu sama lain dengan cemas, seolah dengan begitu bisa memberinya kekuatan lebih untuk mengaku. "Jadi ... beberapa minggu lalu Aya ketemu sama orang. Laki-laki. Nggak kenal sih, ketemunya juga kebetulan aja pas sama-sama lagi cari makan siang di restoran. Dia pakai cincin yang mirip dengan cincin punya Aya, warisan dari almarhumah." Gayatri merogoh kantong depan celananya, mencari-cari ponsel. Ia sudah menyiapkan semua ini dengan rapi. Berkat keahlian Karina dalam mengoperasikan aplikasi fotografi di ponsel, mereka berhasil mendapatkan foto tangan Niko yang mengenakan cincin serupa. Gayatri menunjukkan foto di ponselnya pada Yangti, membiarkan wanita paruh baya tersebut mengamati hasil tangkapan mereka hari itu.
"Kamu ketemu orang ini di mana?" tanya Yangti dengan suara bergetar.
"Di Ambarrukmo Plaza," Gayatri mencicit. "Tapi Aya nggak kenal sama orang itu, sungguhan. Nggak tahu kenapa, Aya tiba-tiba sadar aja kalau cincinnya—"
"Jangan pergi ke Ambarrukmo lagi!" bentak Yangti. Gayatri sampai berjengit saking kagetnya. Belum pernah Yangti semarah itu padanya, tidak saat Gayatri ketahuan memegang puntung rokok oleh guru BK di sekolah, padahal dia cuma memungut puntung tersebut karena dibuang sembarangan entah siapa pelakunya. "Jangan cari tahu tentang orang itu, pokoknya jangan dekat-dekat dengan orang yang punya cincin ini. Yangti nggak suka—"
"Assalamualaikum, Yangti. Kok sepi sih rumahnya?" terdengar suara centil Kamira dari arah ruang tamu. Sepertinya dia baru saja datang dan langsung masuk rumah karena di depan tidak ada siapa-siapa. Yangti terlihat menghela napas beberapa kali untuk mengendalikan emosinya, lalu menatap Gayatri tajam sekali lagi.
"Pokoknya jangan dekat-dekat orang yang punya cincin kembar seperti punya kamu. Bawa sial!" ancam Yangti terakhir kali sebelum beliau berjalan ke depan untuk menyambut cucunya yang lain. Berbeda dengan Gayatri, Kamira bisa dibilang cucu kesayangan Yangti karena dia anak bungsu dari Pakde Handoyo, anak laki-laki Yangti satu-satunya.
Namun, meski Yangti melarangnya berdekatan dengan pemilik cincin lain selain dirinya, Gayatri justru semakin penasaran dengan Niko.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top