DUA: Too Bad, He's Taken!
"Sori ya, Yaaa.... Sori banget aku telat. Parah nih, di Margo Mulyo macet berat. Mana banjir lagi. Rumahku juga banjir sampai gang masuk, jadi aku terpaksa harus bawa mobil, karena kalau motor pasti mogok, mana motorku matic, ribet kalau ada apa-apa ntar." Karina menyerocos panjang lebar soal alasan keterlambatannya ketika ia tiba satu setengah jam lebih lambat dari waktu yang dijanjikan. Gayatri bukannya baru pertama kali menghadapi keterlambatan tukang ngaret satu ini-mereka sudah bersahabat lebih dari sepuluh tahun, jadi dia hanya membalas dengan senyum simpul.
"Santai aja, Rin. Kan aku udah biasa juga nunggu lama," sindirnya. "Nih, minum dulu."
Gayatri sodorkan cangkir tehnya yang langsung diteguk habis oleh Karina. Meja yang Gayatri pilih awalnya terdiri dari empat kursi-sekarang tinggal tiga, karena diambil satu oleh Niko. Di sisi meja tempat Karina berada, ia menjatuhkan tote bag besarnya yang selalu penuh printilan-printilan berbagai rupa di kursi kosong yang tidak diduduki. Pada saat itu, Karina baru menyadari keganjilan yang terjadi.
"Lho, kursinya cuma ada tiga, ya?" Karina celingukan ke sekeliling mereka.
Gayatri memberi isyarat dengan tangan, "Dipinjam sama mas-mas di sebelah. Kafenya penuh, dia nggak kebagian kursi. Lagian buat apa juga pakai kursi banyak-banyak? Kita 'kan cuma berdua."
Sambil menyeringai jahil, Karina mencondongkan tubuhnya dan berbisik, "Biar aku bisa selonjoran ke kursi kosong yang seharusnya ada di sebelahmu."
Gayatri memutar bola matanya. Bukan Karina namanya jika tidak selonjoran. Zaman mereka masih sekolah atau kuliah dulu, mereka tidak pernah duduk sebangku atau bersebelahan. Gayatri selalu duduk di bangku depan Karina agar sahabatnya bisa diam-diam meluruskan kaki di bangkunya. Karina memang jangkung dan dia sering sekali merasa kesulitan meletakkan tungkainya yang semampai, terutama saat duduk bersila ketika mereka mengunjungi rumah makan lesehan. Keinginan untuk menjitak Karina dengan stylus tabletnya begitu kuat, tetapi ia urungkan karena menurutnya harga stylus jauh lebih mahal dari biaya restorasi batok kepala Karina.
"Udah pesan makan?" tanya Karina berbasa-basi. "Hari ini jadi kamu yang traktir, 'kan? Cie cie, gajian pertama sebagai budak korporat, nih."
Setahun setelah Gayatri lulus kuliah, dia cukup kesulitan menemukan pekerjaan yang cocok dengan bidangnya. Memang banyak tawaran kerja di sana-sini, tetapi tidak banyak pilihan yang bisa Gayatri ambil. Ia sempat menjadi penerjemah lepas di lingkungan terbatas untuk tesis atau jurnal ilmiah. Kliennya rata-rata orang dengan teman yang sama, karena informasi tentangnya hanya tersebar dari mulut ke mulut. Sementara itu, Karina yang sebelumnya telah melalui masa magang selama masih menjadi mahasiswa, langsung bekerja di salah satu stasiun televisi sebagai reporter berita hiburan. Barulah setelah ada info lowongan pekerjaan di majalah remaja BELIA yang sangat terkenal bahkan sejak Gayatri masih SMA, dia mencoba melamar ke sana, dan diterima dengan lancar. Saat ini posisinya di kantor sebagai asisten editor. Baru satu bulan bekerja, masih banyak penyesuaian yang harus dia lakukan agar bisa membiasakan diri di tempat baru.
"Jangan minta yang mahal-mahal ya," ancam Gayatri. "Aku ada keperluan lain yang cukup mendesak, soalnya."
Karina memicingkan mata, "Hm, hm, misalnya beli lanyard Coach biar makin kelihatan kayak budak korporat sejati?"
"Servis laptop," potong Gayatri cepat. "Laptopku kan udah cukup tua dari zaman kita skripsian, jadi baterainya mulai aus dan perlu diganti. Ada bagian yang perlu upgrade juga, dan aku juga butuh beberapa piranti lunak baru untuk memperlancar kerjaan. Dan nabung buat biaya nikah."
Karina hampir saja menyemburkan cappuccino dalam mulutnya ketika mendengar pernyataan terakhir Gayatri. Sejak mereka lulus kuliah tahun lalu, nabung buat biaya nikah sudah menjadi internal dark jokes mereka untuk menyindir diri sendiri, karena mereka sama-sama masih lajang sampai sekarang.
Waktu SMA kelas 2 hingga kuliah semester 3, Karina pernah punya pacar teman seangkatan mereka di sekolah, tapi beda jurusan. Karina dan Gayatri jurusan IPS, sedangkan pacar Karina, Istar, jurusan IPA. Istar diterima di institut teknologi di luar kota jurusan arsitektur sehingga dia dan Karina harus LDR. Rupa-rupanya, jarak membuat mereka menyerah juga dalam mempertahankan hubungan, sehingga menjelang ujian akhir semester 3, Karina dan Istar putus.
"Iya deh, iya. Aku dulu InDesign dapat dari kantor sih awalnya, tapi habis itu orang-orang pada beralih ke Affinity Publisher, akhirnya aku ikutan juga."
Kursi Karina tiba-tiba terdorong ke depan ketika seseorang yang duduk di belakangnya berdiri mendadak hingga membuat kursinya menabrak kursi Karina. Gayatri buru-buru menahan lengan Karina agar dia tidak melakukan hal impulsif pada cowok itu. Gayatri tahu Karina biasanya tidak akan tinggal diam jika merasa terganggu, terutama jika orang tersebut bukannya minta maaf malah nyelonong pergi seolah tidak punya dosa.
"Sekarang malam mingguan, sih, jadi wajar kalau rame begini," hibur Gayatri. "Kamu mau pindah ke tempat lain aja yang lebih sepi? Beef bowl-nya Yoshinoya yuk, atau kita jajan cemilan pinggir jalan ala Korea Selatan di pujasera lantai tiga aja?"
Tersadar sesuatu, Gayatri mencoba memaklumi sendiri mengapa orang repot menghabiskan waktu di kafe dengan suasana romantis begini pada hari hujan, ketimbang berdiam di rumah. Dia sendiri, seandainya tidak ada janji untuk mentraktir Karina makan dari hasil gaji pertamanya, mungkin akan lebih memilih pesan makanan antar dan nonton serial televisi maraton. Kemarin beberapa orang teman kantornya sedang heboh karena drama Kingdom memasuki musim terbaru dan para selir Pangeran Chang-begitu mereka menyebut komunitas penggemar Kingdom di lingkungan kantor-tidak sabar menonton Ju Jihoon kembali beraksi melawan para zombie.
"Nggak ah, udah terlanjur dapat tempat di sini, masa mau pindah?"
Karina memanggil pramusaji, mereka kini sedang memilah-milah menu makanan. Gayatri hanya memesan Mac and Cheese dan berries smoothies, sedangkan Karina sepertinya sedang mengabsen daftar menu, ketimbang memesan makanan.
"Bangkrut, bangkrut deh," gumam Gayatri.
Setelah pramusaji pergi dengan membawa buku menu dan daftar makanan yang mereka pesan, Karina menggenggam pergelangan tangan Gayatri. "Budget makanku maksimal 200 ribu aja, sisanya biar aku bayar sendiri."
"Enggak lah, aku kan udah janji mau traktir." Gayatri menjentikkan jari, tiba-tiba terlintas sebuah ide brilian dalam kepalanya. "Kalau gitu, kamu kasih aku mouse sama keyboard nirkabel aja satu set yang warna biru, buat hadiah keterima kerja di korporat."
Karina terkekeh, tetapi tangannya mendaratkan cubitan kecil di lengan Gayatri. "Anak ini bisa-bisanya balik malakin orang. Apa sih yang enggak, Mama Karina bayarin semuanya buat kamu."
Gayatri begidik geli sambil menjauhkan diri dari Karina. Pesanan mereka diantar nyaris dua puluh menit kemudian. Karina makan dengan lahap, hingga semua makanan tersebut terlihat begitu lezat. Meski sudah berteman begitu lama, Gayatri selalu merasa kagum dengan porsi makan Karina yang besar, tetapi tidak membuatnya gemuk. Mungkin jika tinggi badan Gayatri mendekati 170 sentimeter seperti Karina, segala yang dimakannya akan cepat terbakar menjadi kalori juga.
Makanan penutup mereka hari itu diantar bersamaan dengan datangnya gadis cantik bersepatu Louboutin di meja Niko. Gayatri hampir saja melupakan keberadaan laki-laki tersebut selama ada Karina di sana. Niko berdiri menyambut kekasihnya. Mereka berpelukan dan Niko mendaratkan kecupan di kening gadis cantik tersebut. Tentu saja, orang seganteng dan sesopan Niko, tidak mungkin jika masih melajang. Kalau bukan dengan cewek, pasti punya cowok. Tanpa sadar, Gayatri menggigit sedotan sambil mengamati interaksi antara mereka berdua. Serasi sekali, ganteng dan cantik.
"Sudah selesai belanjanya?" lamat-lamat terdengar suara Niko bertanya. Caranya menyapa dan menatap si cantik itu terlihat jelas berbeda dengan caranya berinteraksi dengan Gayatri sebelum ini. Tanpa sadar, Gayatri menelan ludah. Beginilah nasib jomlo di malam minggu, ia tak henti-henti mengasihani diri sendiri.
"Ya! Aya, kamu dengerin nggak sih?" Gayatri tergeragap mendengar teguran Karina.
"Eh, apa? Kamu ngomong apa barusan?"
Karina mendengkus kesal saat sadar jika Gayatri sibuk memperhatikan orang lain. Matanya mengikuti arah pandangan Gayatri, lalu mendecakkan lidah. "Udah ada monyetnya, Ya. Cari cowok lain aja. Masih banyak cowok ganteng di lapangan. Atau mau aku kenalin sama anak pembaca berita? Yang modelan kayak gitu sih banyak."
Gayatri bukannya menyimpan harapan lebih pada Niko atau apa, dia bukan penganut aliran jatuh cinta pada pandangan pertama. Tapi tidak bisa ia pungkiri bahwa beberapa waktu yang lalu, sempat terbersit harapan bahwa ia mungkin sedang berhadapan seseorang yang juga menerima cincin warisan dari leluhurnya. Jika benar cincin mereka berpasangan, mungkinkah dulu leluhur keluarga Gayatri dan Niko pernah saling mengenal satu sama lain?
Namun, bisa saja ia salah. Zaman sekarang batu akik banyak digunakan kembali sebagai aksesoris. Gayatri terlalu banyak menonton drama romantis dari Korea Selatan. Kemungkinan besar, dari setiap teori probabilitas yang bisa ditarik, ia hanya bertemu seseorang dengan cincin yang mirip dengannya. Cincin warisan tersebut tentu tidak hanya diproduksi satu saja di seluruh dunia.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top