Bagian Satu : Luck of The Sea
Apakah kalian termasuk dalam orang yang beruntung atau tidak beruntung?
Bagaimana kalian menggolongkan sesuatu sebagai kesialan atau keberuntungan?
Ketika mengantar almarhumah Nenek Soetanti ke tempat peristirahatan terakhirnya, aku merasa sebagai orang yang paling sial di dunia. Bagaimana tidak, satu-satunya orang yang mendukung keputusanku untuk kuliah di jurusan sastra dan menentang pilihan jurusan dari Mama, kini telah berkalang tanah. Meski beliau bukan nenek kandungku—beliau adalah adik nenek kandungku, yang berarti bibi Mama—tetapi Nenek Soetanti selalu memperlakukanku seperti cucu kandungnya sendiri sepanjang hayatnya.
Beliau adalah anak bungsu dari keluarga besar pihak Mama. Belum pernah menikah hingga sepanjang hayatnya, yang juga berarti beliau tidak memiliki keturunan. Bahkan anak angkat atau anak adopsi pun tidak ada. Mungkin alasan itulah yang membuat beliau cukup dekat dengan Mama, anak perempuan bungsu di keluarga Nenek, lalu denganku, anak perempuan bungsu Mama.
Di dalam keluarga ini, menjadi anak perempuan bungsu rasanya seperti sebuah kutukan yang selalu jadi topik paling dihindari setiap kali acara pertemuan keluarga. Tidak ada yang tahu alasannya mengapa. Bahkan saudara sepupuku yang paling mutakhir soal gosip keluarga pun tidak tahu mengapa. Barulah setelah lewat 40 hari meninggalnya Nenek Soetanti, nenek kandungku sendiri—ibunya Mama—memanggilku ke kamar yang dulunya ditempati Nenek Soetanti semasa hidup. Di atas pangkuan beliau terdapat sebuah kotak perhiasan kuno berbahan kayu sonokeling yang keras dan kokoh, sebuah media yang cocok digunakan untuk menyimpan barang-barang berharga. Aku sering melihat kotak tersebut tersimpan rapi di dalam lemari pakaian Nenek Soetanti, khususnya ketika almarhumah diam-diam menyelipkan uang simpanannya ke telapak tanganku untuk tambahan uang jajan, tetapi belum pernah melihat benda tersebut sedekat ini. Beliau menepuk samping kanannya yang kosong, mempersilakanku duduk di sebelahnya.
"Nduk," sapa nenekku lembut. "Ada hal yang Yangti mau kamu tahu dari keluarga ini, terutama karena kamu sekarang anak perempuan paling muda di keluarga kita." Jemari Yangti—Eyang Putri—bergetar hebat ketika membuka kotak perhiasan tersebut. "Ini adalah perhiasan yang diwariskan secara turun-temurun di keluarga kita sejak lama. Tujuannya untuk perlindungan dari petaka buruk yang bisa saja mengancam anak perempuan bungsu di keluarga ini, juga sebagai pengingat bagi kita para perempuan untuk tidak memercayakan kehidupan kita di tangan laki-laki sepenuhnya."
Tanganku ditarik perlahan, lalu Yangti meletakkan sebuah cincin emas bertakhta batu zamrud yang cantik dalam genggaman. Aku mengamati cincin tersebut dari dekat. Meski usia benda ini jelas lebih tua dariku, tetapi aku bisa melihat desainnya yang elok dan tidak lekang dimakan waktu. Bahkan jika aku memakainya di zaman seperti sekarang, aku mungkin akan terlihat seperti gadis-gadis di situs Pinterest yang selalu tampil estetik. Aku coba selipkan benda tersebut di jari tengah tangan kiriku dan secara mengejutkan ukurannya pas untukku. Beruntung sekali aku mendapatkan benda secantik ini, pikirku.
"Jaga baik-baik, ya, Aya. Jangan sampai hilang atau rusak. Semoga kamu selalu dilindungi oleh Gusti Allah dan tidak terjadi apa-apa padamu."
Aku tidak mengerti mengapa Yangti berkata seperti itu padaku, tetapi belum sempat bertanya, Yangti sudah mengusirku secara halus dari kamar itu agar bisa bergantian dengan saudara-saudaraku yang lain.
Selang beberapa minggu kemudian setelah obrolan cukup panjang di grup gosip antarsepupu tanpa orang tua, aku mengetahui bahwa kakak sulungku, Skolastika, mendapatkan dua batang logam mulia yang masing-masing seberat 5 gram. Kakak keduaku, Lituhayu, mendapatkan kalung mutiara dengan liontin perak bakar berbentuk bunga. Sepupuku, Kamira, mendapatkan gelang emas setebal satu ruas jari orang dewasa, dan sepupuku yang lain, Rasmini, mendapatkan dua pasang anting serta satu cincin emas. Saudara-saudaraku yang lain mewarisi perabot lain milik Nenek Soetanti, seperti seperangkat cangkir minum teh porselen dari Eropa, tembikar kualitas tinggi dari Kasongan, bahkan kendaraan pribadi beliau.
Tetapi di antara semua itu, entah mengapa, cincinku terlihat paling biasa dan tidak cukup berharga jika dibandingkan dengan barang-barang lain.
Jadi, menurut kalian, cincin ini bawa keberuntungan atau malah kesialan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top