Panacea
(n). a solution or remedy for all difficulties or diseases.
A Bokuto Koutarou x Reader songfiction based on
Halsey - Control
.
.
―
They send me away to find them a fortune
A chest filled with diamonds and gold
―
Aku terkesiap. Mataku mengerjap. Akaashi menyadarkanku dari lamunan dengan tepukan pelan pada bahu sebelah kiriku. Ia membuka suara, memecah keheningan malam pada jalanan yang sepi ini.
"Bokuto-san, kau baik-baik saja?" Aku hanya bisa mengangguk lemah dengan kepala menunduk. Pikiranku masih penuh akan memori jalannya pertandingan perempat final voli turnamen Spring Interhigh tingkat SMA se-nasional tadi sore.
Kacau.
Seperti diriku kini.
"Yang sudah berlalu tidak usah dipikirkan, Bokuto-san." Aku mendengus mendengar perkataannya. Kalaupun bisa, aku ingin berhenti memikirkannya. Namun, bagian lain dari diriku selalu mengungkitnya, membuat sang otak kembali memutar reka ulang kejadian dengan tampak nyata di kepala.
"Akaashi, katakan dengan jujur, aku ini payah ya kan? Padahal aku seorang ace, dan kapten. Bagaimana bisa---"
Akaashi memotong ucapanku dengan tenang, "Kau itu tidak hanya payah, Bokuto-san. Kau itu merepotkan. Apalagi ketika kau sedang dalam mood swing, kau jadi orang yang menyusahkan."
Rasanya diriku seperti tertusuk panah imajiner.
Tidak hanya payah. Merepotkan. Menyusahkan.
Kutekuk mukaku dalam-dalam, mungkin sekarang lebih terlihat kusut daripada sepersekian detik yang lalu. Bibir pun mengerucut, pandanganku tak teralihkan dari aspal jalan. Melihat kaki sendiri yang melangkah perlahan di tengah gelapnya malam. Akaashi yang ada di sebelahku, kembali melanjutkan ucapannya. "Tapi toh kenyataannya, kalau tanpa dirimu kami mungkin tidak bisa melangkah bahkan sampai perempat final. Kita hanya sedang tidak beruntung karena harus melawan tim juara bertahan di perempat final. Itu saja."
"Akaashi, kau bisa berkata begitu karena santai, masih bisa mengikutinya di tahun depan," ujarku sewot. Kudengar ia menghela napas. "Kau kan masih kelas 2, aku sudah kelas 3, kesempatan seperti itu tidak akan datang lagi." Lanjutku.
Dia tidak menggubris. Membiarkan hanya suara hewan-hewan malam berdengung di telinga, pun juga dengan suara langkah kaki kami sendiri yang bergesekan dengan jalan. Udara dingin menyapa, membuatku menggigil tertahan.
"Tetapi Bokuto-san, sebenarnya kami selalu bisa mengatasi mood swing-mu yang merepotkan setiap waktu. Entah mengapa yang tadi---berbeda. Tak seperti biasanya. Seperti bukan dirimu saja." kata Akaashi, membuatku mendongakkan kepala sambil membelalakkan mata. "Dan yang membuatku heran, kau tadi bahkan mendorong Onaga hingga terjatuh saat aku memberikan toss padanya. Kau juga membentak, bilang kalau itu operan untukmu, padahal jelas bukan." jelasnya lagi dengan begitu panjang.
"Benarkah?"
Akaashi hanya mengangguk dan kembali terdiam.
Ketahuilah, meski aku bisa mengingat dengan baik jalannya pertandingan tadi, namun seolah terdapat potongan kecil yang tak mampu kuingat saat ini. Saat aku mencoba menatap lamat-lamat Akaashi---meminta penjelasan lebih, ia bersikap acuh. Dadaku bergemuruh, entah ada apa gerangan.
"Ha'i Bokuto-san, kita berpisah dulu di sini. Sampai bertemu esok di sekolah." tukasnya, saat kami sudah sampai pada persimpangan jalan. Aku tak menjawab, dan melanjutkan perjalanan menuju apartemen yang arahnya berlawanan dengan jalan yang diambil Akaashi. Sendiri. Ditemani lampu yang menyala temaram, dan bayangan diri seolah menjadi pengiring.
Tak seperti biasanya. Seperti bukan dirimu saja.
Aku meringis, lalu mendecih.
Mungkin, saat itu aku begitu tertekan. Pukulanku selalu terkena block, kami dapat mencetak angka pun kebanyakan lantaran kesalahan lawan sendiri. Tentu saja saat itu diriku begitu tertekan. Apalagi aku yang sudah terlalu mengacaukan, akhirnya ditarik dari lapangan dan duduk di bangku cadangan. Menyaksikan timku sendiri dibabat habis oleh tim lawan.
Aku bahkan masih mengingat wajah pelatih setiap kali mencoba mencuri pandang ke arahnya dan bangku penonton. Wajah kaku, dan keras. Aku sendiri jadi takut saat melihatnya. Dan lagi, ketika mata kami bertemu, tatapan beliau seakan menohokku dalam. Pandangan yang menuntutku lebih. Demikian pula seluruh pendukung SMA Fukurodani yang sedang duduk di bangku penonton. Wajah mereka tegang, tak sedikit yang sedang menggigit jari serta menggeretakkan gigi. Sorakan penuh semangat pun hampir tak terdengar disuarakan lagi.
Aku, Bokuto Koutaro, ace dan kapten tim voli Fukurodani, yang dielu-elukan sebagai pemilik spike terkuat di peringkat kelima tingkat nasional. Semua orang menumpukan harapannya pada tim kami untuk meraih kemenangan. Tak perlu diragukan lagi, timku juga mengandalkanku. Tetapi aku malah... menghancurkan semua pengharapan itu. Begitu mudahnya. Kurasakan rasa sakit mengiris hati, kepalaku bahkan mendadak pening.
Mencoba menyipitkan mata dan memandang jalanan di depan sana, mengabaikan suara-suara dalam kepala yang bergema. Aku lantas tersadar---mendapati diriku sudah terjerembab dalam lubang penyesalan tak berdasar, kelam dan lebih gelap dari gelapnya jalanan malam di depan sana yang mampu ditangkap oleh sang netra.
Aku mengacak rambutku frustasi. Rambut yang biasanya menjabrik ke atas sudah seolah terkalahkan oleh gravitasi, begitu aku usai mengacaknya.
―
The house was awake, the shadows and monsters
The hallways, they echoed and groaned
―
"Tolong!"
Kutolehkan kepala begitu cepat saat mendengar teriakan berupa rintihan itu pada sebuah rumah yang diapit taman dan lahan kosong di kanan-kirinya. Rumah tak begitu besar juga tak berpagar. Aku meneguk ludah, bertengkar dengan diri sendiri dalam batin.
"Mama!"
Kulirik jam tangan, angkanya menujukkan pukul sebelas malam. Pantas udara malam sudah begitu dingin, terlebih lagi suasana di sini begitu sunyi senyap. Tak ada satupun yang melengang. Di pinggir jalan sepi ini, hanya rumah itu yang berdiri dengan gagah.
Pencurian? Penculikan?
Tidak ada waktu lagi untuk berdebat. Kulangkahkan kaki ke arah rumah yang semua lampunya sudah dimatikan, memasukinya hati-hati.
Dan benar saja, yang kutemukan di sudut ruangan adalah seorang berpakaian serba hitam, membekap dan memojokkan seorang wanita yang sedang tak berdaya namun masih hidup---terisak dan merintih pelan---dengan sebuah pisau di genggaman orang pakaian serba hitam. Ada seorang anak kecil yang menangis sesenggukan di lantai, menatap kengerian di depannya sambil terpekur. Orang berpakaian serba hitam itu berujar dingin, "Harta atau nyawa?"
Mataku memicing tajam. Tubuhku melesat dengan cepat, meringkus orang itu sebelum semua terlambat.
Namun, setelah itu, yang kudengar hanya sebuah teriakan yang makin keras, disusul bisikan lirih.
"T-tolong.. hentikan hiks. Kau membuatku..hiks..takut."
Aku terperanjat. Teriakan yang tadi begitu keras ditambah suara lirih berisi rintihan itu membuatku tersadar. Entah bagaimana bocah cilik tadi sudah berada dalam genggamanku, tanganku mencengkram lehernya. Aku buru-buru melepaskan, ia terbatuk, lalu menangis lagi. Dengan tubuh gemetaran, matanya menatap pada arah belakangku. Aku menoleh, dua orang tergeletak di lantai, bersimbah darah.
Jantungku berdegup kencang. Aku lantas berlari keluar dengan cepat, bersembunyi di balik kabut malam, bersama bayang-bayang.
Tidak mungkin. Kenapa ini terjadi lagi? Padahal aku, hanya berniat menolong mereka.
―
I sat alone, in bed till the morning
I'm crying, "They're coming for me"
And I tried to hold these secrets inside me
My mind's like a deadly disease
―
Bunyi jam menemani malam yang panjang. Suara jarum jam yang bergerak setiap detiknya memenuhi seluruh penjuru ruangan apartemen. Air conditioner menyala, dan menghantarkan hawa dingin menyejukkan mengitari udara. Malam semakin larut bahkan sudah beranjak hingga dini hari, tetapi aku masih terjaga---duduk di kasur sambil tak melakukan apa-apa. Tubuhku gemetar, bukan hanya karena kedinginan. Aku menatap telapak tanganku yang terdapat bercak merah kering, lalu menggigit bibir kuat-kuat.
Aku sudah lelah. Namun, suara-suara di kepalaku kembali mengusik, tak membiarkanku istirahat barang sejenak. Bahkan aku mulai mendengar langkah-langkah gaduh dari lorong apartemenku di kepala. Aku menggeleng kuat, menampar wajah, kemudian meringis.
"Mereka datang." gumamku pada diri sendiri. Mereka pasti datang, untuk menanganiku, mengadiliku, pasti. Hati kembali berkemelut. Sampai tak terasa, sebulir kristal bening menumpuk di ujung pelupuk mata. Jujur saja, aku merasa takut. Tetapi aku hanya bisa memeluk tubuhku sendiri.
Tak lama kemudian, suara langkah-langkah di lorong mendadak menghilang. Aku bernapas lega, ternyata bukan mereka. Lagi-lagi, hanya efek dari pemikiranku yang berlebihan.
Ya, pikiranku ini, memang seperti sebuah penyakit yang mematikan.
―
I'm well acquainted with villains that live in my bed
They beg me to write them so they'll never die when I'm dead
―
"Koutarou!" Pintu apartemenku dibuka dengan keras. Menampakkan seorang gadis dengan baju tidurnya dan raut wajah khawatir begitu terlihat jelas, meskipun ruangan ini gelap akibat semua lampu yang sudah kupadamkan. Ia terhenyak, dan langsung berlari menerjangku.
"A-apa yang kau lakukan?!" Gadis itu mendesis, tangannya langsung merampas serpihan kaca besar yang berada di genggamanku. Ia lalu membuangnya dengan tenaga kuat.
"[Name]?"
Dia adalah gadis sebaya yang tinggal di apartemen sebelah, yang selalu menjadi teman berbagi di kala nasib harus tinggal sendiri. Kehadirannya, selalu ada untukku. [Name] menatapku nyalang, namun terdapat setitik kesenduan dari tatapannya itu.
"Aku terbangun karena mendengar suara kaca dipecahkan dari apartemenmu. Aku khawatir ada apa-apa, kukira itu kaca jendela. Dan yang benar saja! Aku langsung kemari, mendapatimu hendak bunuh diri?!!"
Napas [Name] tersengal-sengal setelah berkata demikian. Sepertinya ia begitu marah. Aku menunduk, tak berani menatapnya. Tak berlangsung lama, akupun mengalihkan pandangan pada kaca di depanku yang sudah tak berbentuk akibat kuhancurkan dengan pukulan tangan. Kaca tersebut masih membiaskan bayangan diriku meskipun tak begitu jelas. Aku menatap geram pada kaca itu.
"Dia.. mengacaukan pertandingan. Tidak hanya itu! Dia bahkan.. membunuh orang lagi. Dengan tangan ini, saat aku berniat menyelematkan orang." ungkapku pada akhirnya, dengan suara serak parau. [Name] meraih tubuhku lalu menuntunku untuk duduk di pinggiran kasur. Kali ini, aku bisa melihat jelas wajah [Name] yang nampak sendu.
"Koutarou, kau sudah tahu sendiri kan.. jangan memaksakan diri. Jangan terlalu banyak memikirkan hal yang bisa membuatmu tertekan." Ia terisak, aku terkesiap. "Kau sudah berjanji. Tetapi kenapa kau ingkari? Lihat, kau jadi begini lagi."
Kuraih helaian rambutnya yang tergerai acak-acakan, mungkin karena baru saja bangun tidur. Mengelusnya lembut, berusaha menenangkannya, meskipun aku sendiri masih gemetaran. Namun, hanya dengan kehadirannya di sini, sudah mampu membuatku cukup tenang. Diiringi desiran hati yang sangat kukenal.
"Kau seharusnya sudah tahu... kalau kau tertekan, membuat dirinya kembali datang." Isakan itu berangsur mereda. [Name] mengusap air matanya. Aku masih terdiam, tatkala ia sudah beranjak dan berjalan menuju dapur. Hanya sebentar, kemudian ia kembali dengan tangan memegang segelas air dan tempat obat.
"Koutarou.. kau pasti lupa meminum obat dari doktermu." katanya tajam. Aku menyengir kecil saat menerima air dan pil dari [Name], dengan jitakan di kepala sebagai bonus. Setelah meneguknya, aku sudah merasa jauh lebih baik. Akupun menatap [Name] lamat-lamat, menyunggingkan senyum kecil untuknya, namun wajahnya masih terlihat sedih.
Aku terperanjat saat ia merengkuh tubuhku dalam pelukannya. Dia kembali menangis dalam diam, di bahuku. "Jangan ulangi itu lagi, Koutaro. Aku tak ingin melihat dia dalam dirimu."
"Aku berpikir bahwa harus mengakhirinya [Name], agar dia tidak berulah lagi. Tetapi sepertinya salah. Bahkan meskipun aku mati, itu tak akan mengubah apapun menjadi lebih baik. Aku... tak tahu harus bagaimana lagi. Mengerikan sekali rasanya, ketika tersadar dan tidak mengingat apa yang baru saja kulakukan, membayangkan apa yang telah terjadi.. aku tidak tahan."
Kepribadian ganda ini sungguh menyiksa.
Tak sempat ku berkeluh kesah lagi, perlahan, mataku mulai terasa berat. Dan lambat laun membuatku terpejam. Aku sudah hampir hilang kesadaran, ketika telingaku mendengar [Name] berbisik. "Maafkan aku Koutarou. Aku.. hanya tidak ingin melihatmu lebih menderita. Aku tidak ingin... kehilanganmu."
Lalu semuanya menjadi gelap.
―
I'm bigger than my body
I'm colder than this home
I'm meaner than my demons
I'm bigger than these bones
―
Aku terbangun pada sebuah ranjang di ruangan asing. Netraku menangkap eksistensi [Name] berdiri tak jauh dariku.
Dengan kumpulan jeruji sebagai penghalang, membuatku membelalakkan mata.
Aku pun langsung melangkah ke arahnya, dengan langkah gontai dan sekujur tubuh yang lemas. Dia tersenyum, senyum yang begitu hampa.
"[Name].."
"Koutarou, maafkan aku."
Aku meringis, memegangi permukaan jeruji besi yang dingin. Ekspresiku sudah tak bisa dideskripsikan lagi dengan kata-kata, aku hanya bisa menganga. Mata sendu kami saling bersiobok, tapi kemudian ia menundukkan kepala.
"Kenapa.. kau mencebloskanku ke penjara? Aku tidak habis pikir. Aku ini sakit, kau tahu itu."
Tangan kecilnya meraih tanganku yang berada pada jeruji, menggenggamnya erat. Hatiku bagai dirajam saat merasakan kulitnya bersentuhan denganku.
"Aku tahu.. tangan ini bersalah. Tapi.." Akhirnya setelah sekian lama, aku sebagai lelaki dapat menangis. Pikiranku begitu linglung saat ini, mengetahui orang yang selalu dapat membuat hatiku berdesir setiap kali bersamanya, kini berubah menjadi sebuah ombak besar yang menghantam karang.
"Justru karena kau sakit, Koutarou. Kalau di sini, kau bisa sekalian mendapat rehabilitasi medik. Kau bisa sembuh, lalu---"
"Lalu apa setelah aku sembuh?! Mendekam di sini selamanya?! [Name], aku tidak tahu seberapa banyak dia membunuh orang. Aku tidak mau menghitungnya, aku selalu mencoba melupakan momen di mana aku kembali meratapi tanganku yang bersimbah darah. Kalaupun kuhitung, mungkin... hukumannya setimbal dengan aku mendekam di sini seumur hidup!"
"Koutarou.."
"Aku tidak mau! Aku tidak mau berada di sini, jauh darimu. Ketahuilah [Name], kau satu-satunya yang mampu mengobatiku, meski hanya sekedar berada di sisimu, aku tahu kau adalah obat terbaik untukku. Aku tidak bisa berada jauh darimu, aku bisa gila! jadi---"
Dia mengeratkan pegangannya pada tanganku, jauh lebih kuat. Rasanya seperti tangannya mampu merobek kulitku.
"Koutarou, dengar! Kau bisa gila karena kau tidak berada di sisiku, tetapi aku bisa gila kalau kau yang seperti itu berada di sisiku terus menerus. Kau tidak pernah membayangkan.. betapa takutnya aku ketika kau sewaktu-waktu bisa berubah menjadi dia. Aku takut. Aku juga takut kehilanganmu, karena itu, tidak ada cara lain. Bahkan psikiater handalmu tak bisa menangani. Aku hanya ingin kau sembuh. Karena aku... mencintaimu." Giginya menggertak kuat, setelah berucap, bibirnya mengatup rapat. Dadanya mengembang-mengempis, lantaran emosi yang begitu bergejolak.
Aku meneguk ludah, kupu-kupu seolah berterbangan di perutku. Ini baru pertama kalinya ia mengungkapkan perasaan, bahkan ia mendahuluiku mengungkapkannya. [Name] lantas beranjak, kakinya melangkah pergi. Tetapi kemudian, aku menginterupsi.
"Aku tidak tahu sejak kapan aku menderita ini, namun kau sudah tahu aku begini. Kau bisa gila karena aku begini, namun kenapa kau masih bisa mencintaiku, [Name]?
Wajah cantik yang terlihat kusut dan sendu itu menoleh setelah menghentikan langkah serta berbalik badan, "Cinta itu memang tidak masuk akal. Tak bisa dinalar penyebabnya. Mungkin karena itu." ujarnya, tersenyum miring kemudian berlalu pergi.
Hingga punggungnya tak tampak oleh mataku lagi.
Aku memilih untuk kembali bersidekap di ranjang pada sudut sel. Merenung di setiap sisa waktu yang kupunya, merasakan seolah waktu tak lagi berjalan. Berhenti sepenuhnya.
―
And all the kids cried out, "Please stop, you're scaring me"
I can't help this awful energy
God damn right, you should be scared of me
Who is in control?
―
Aku mendecih sambil menepuk-nepuk telapak tangan, membersihkannya dari debu. Lalu aku menarik napas dalam, menyeringai senang tatkala menghirup udara malam yang segar. Kulihat telapak tanganku yang memerah, akibat usahaku tadi membengkokkan jeruji besi. Sebenarnya mudah, tubuh ini cukup kuat, namun hatinya begitu lemah. Seperti bocah saja.
Aku juga terheran, ketika aku terbangun dari tidur mendapati diriku berada di sel tahanan. Aku lantas mencaci maki sendiri, tidak seharusnya aku berada di sini.
Sudah kukatakan kalau hatinya sangat lemah. Pikirannya pun juga mudah diusik.
Kelemahan itu, adalah sebuah penyakit bagiku.
Aku butuh hal yang dapat mengobati ini. Membuang jauh-jauh sisi lemah ini. Di mana aku bisa menemukannya?
Sang hati menjawab, dengan sebuah nama.
Jadi dia sudah bisa menemukannya. [Name] ya? Entah kenapa jantungku mendadak berdegup kencang. Hanya dengan mengingat sebuah nama. Sialan. Kenapa dia terbawa kemari?
"K-K..Koutarou?!!" Gadis itu memekik tertahan, sesaat setelah aku berhasil memasuki apartemennya. Namun ia tak lagi bisa berteriak lantaran dirinya yang sudah kuikat dan kubekap, lalu membopongnya dalam gendongan.
Ah, pantas saja dia jatuh hati pada gadis ini.
Lihat, bahkan ketika sedang menangis dalam diam, wajah cantiknya tak luntur oleh deras air mata.
Aku memutar otak, sepertinya sudah tak ada tempat lagi untuk aku tinggal. Dunia sudah tak aman, tidak ada yang mau menerimaku.
Aku berlari menjauh, di tengah gelapnya malam.
Kehidupan normal bukanlah milikku lagi sekarang. Jika ditanya bagaimana nanti aku bertahan hidup tanpa pekerjaan, bukan suatu permasalahan yang sulit bagiku. Meskipun tubuhku ini anak SMA, yang belum bisa mendapat pekerjaan, tidak masalah.
Aku bisa mencuri, menjarah, apapun itu. Akan kulakukan. Lagipula sepertinya, harta benda di apartemenku dan gadis ini... sepertinya terbilang cukup untuk bekal kami.
Aku berhenti sejenak. Memainkan rambutnya dengan lembut, kemudian menghirup aroma rambutnya. Ku gerakkan jemariku pada wajahnya, mengelus lembut setiap inci permukaan. Rasanya begitu menenangkan.
Dia kembali memekik tertahan, menggumamkan kalimat yang samar. Namun, sepertinya aku bisa mengetahuinya. Ia memekikkan nama Koutarou.
Aku tersenyum. Sayang sekali, aku bukan dirinya lagi.
Kudekatkan wajahku pada telinganya, aroma tubuhnya menguar, membuatku candu. Dia memberontak ketakutan, ingin dilepaskan, tetapi aku tak ingin melepaskannya. Air matanya tak berhenti mengucur. Aku menarik napas, mencoba menahan rasa sakit yang datang di dalam dada kala melihat wajahnya, sebelum membisikkan kata.
"Kemana kita selayaknya pergi dear? Kita bisa tinggal bersama sekarang, di manapun, asal denganmu. Karena aku membutuhkanmu. Kau adalah obatku, bantu aku terbebas dari penyakit ini. Dear, bagiku, dan juga mungkin bagi dia, kau memang adalah panasea terbaik."
―
Aku gila bila jauh darimu. Kau gila bila terus menerus bersamaku yang seperti ini. Kau gila, karena masih bisa ada untukku yang gila ini.
Lalu mengapa, kita tidak satukan semua kegilaan ini.. melebur menjadi suatu perasaan yang utuh, untuk saling memiliki?
Tidak ada yang menghalangi kita lagi, dear. Karena sekarang, kita bersama-sama akan pergi ke tempat di mana dunia seakan hanya milik kita berdua saja.
―
End
(A/N)
Apaan ini ya gusti /nangis kejer
Aku berusaha bikin darkro, entah ini termasuk fail apa enggak:")) adakah yang gagal paham? Atau adakah yang dapat feelnya? /G
Silahkan coret-coret pendapat kalian di komentar
Well, penampakan di atas itu anggap aja kepribadian lainnya Bokuto.
Untuk selanjutnya, kuusahakan bikin lebih baik lagi. Thanks yang udah baca! :) /kabur
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top