Zombie Ant
"Gong, kamu tahu nggak ... kalau ada jamur yang bisa necromancy?" celetuk Si Alpha pada suatu waktu. Kami memang sedang belajar Biologi—atau tepatnya: aku mengerjakan soal-soal latihan, sementara Si Alpha tidur-tiduran di karpet perpustakaan kota dengan buku teks Biologi sebagai bantalnya.
"Soal dari Biologi bab berapa, ya ... itu?" Aku balik bertanya, tentu saja sepenuhnya bercanda.
Mendengar itu, Si Alpha mengeluarkan suara seperti bersin—yang merupakan usaha payahnya untuk menahan tawa.
"Coba, lihat ... ulat mungil kita sudah bisa ngasih guyonan, sekarang!" komentarnya dengan nada bangga.
Aku tidak setuju. Mungkin bila dibandingkan dengan si Alpha yang bengal dan berani, aku masih ulat. Namun dari segi ukuran badan, aku sangat jauh dari sebutan: mungil. Apa dia lupa selama ini memanggilku dengan sebutan apa?
"Bukan dari pelajaran sekarang, Gong! Aku pernah baca artikelnya di majalah. Ada jamur yang sporanya bisa masuk ke badan serangga, lalu mempengaruhi perilakunya."
Rasanya aku memang pernah membaca artikel sejenis, tentang zombie semut. Bukan betul-betul mati lalu hidup kembali, tetapi jaringan otak semut itu dalam kendali jamur.
"Serangga yang kemasukan spora jamur itu, bakal meninggalkan sarangnya lalu pergi mencari tempat yang ideal untuk menumbuhkan jamur dalam badannya. Begitu sampai di lokasi, capitnya bakal dia tancepin kuat-kuat ... lalu badannya bakal kaku, jadi kayak pot tempat tumbuhnya jamur sampai dengan dia mati. Cadas banget, nggak ... sih?"
Matanya terlihat berbinar-binar saat menjelaskan semua itu. Bahkan lebih hidup dari saat dia mulai memikirkan ide-ide jahilnya yang biasa. Si Alpha sering tiba-tiba membicarakan topik acak apa pun yang terlintas dalam benaknya. Namun hanya saat membicarakan soal hal serangga dan hal-hal lain yang berkaitan dengan itu sajalah dia terlihat paling bersemangat.
"Aaahhh ... sayang banget pelajaran di sekolah udah nggak ngebahas soal yang asyik seperti ini lagi," keluhnya seraya berguling-guling di karpet perpustakan sembari membawa serta bantal buku biologinya.
Kudengar, sampai dengan SMP nilai-nilai akademis Si Alpha bersaing dengan ketua kelas. Entah apa penyebabnya, suatu hari dia berhenti berjuang mengumpulkan nilai seperti sebelumnya. Aku tidak mungkin mencari tahu lebih lanjut pada sekelompok rekan sekelas yang asyik menggosipkan Si Alpha, seolah-olah aku tidak pernah ada di situ.
"Kamu sendiri, gimana ... Gong? Masih jadi zombie?"
Pertanyaan yang dia cetuskan sambil lalu itu awalnya kuabaikan, tapi kemudian dia berganti posisi menjadi duduk bersila dan mengulang pertanyaannya seraya memandang lurus padaku yang duduk di kursi perpustakaan. Soal-soal biologi yang sedari tadi kukerjakan kemudian menjadi sulit sekali masuk ke dalam kepalaku.
"Selama spora jamurnya tidak kamu enyahkan, semua keputusanmu bakal terus disetir oleh jamur di rumahmu yang galak itu-...."
"Brak!!!"
Kursi perpustakaan terguling. Lalu dengan memecahkan rekor kecepatan gerak selama di sekolah, jemari gemukku tiba-tiba saja sudah mencengkeram kerah kaus polo Si Alpha.
"Jangan pernah ... ngata-ngatain Emak!" geramku dengan nafas memburu.
Berbeda dengan ekspresi wajahku yang sudah berubah jadi seperti Oni merah—sejenis jejadian dari cerita rakyat Jepang di buku dongeng yang pernah kubaca waktu kecil, Si Alpha tetap terlihat tenang. Bahkan tersenyum dengan salah satu sudut bibirnya naik.
"Heh ... siapa yang ngatain emakmu?" timpal Si Alpha seraya menepis cengkeraman tanganku. "Aku justru mengaguminya, tahu! Kau nggak denger omonganku dari tadi? Emakmu itu suuuper cadas!"
Dia ada benarnya juga.
"Aku justru ngata-ngatain KAMU," tambahnya sambil menudingkan telunjuknya ke dadaku. "Patuh sama orang tua, wali, you name it, lah ... itu emang bagus, sih. Tapi kalau cuma nurutin gitu aja, apa bedanya hidupmu dengan zombie semut?
Tanpa menunggu kata-kata balasan dariku, Si Alpha melenggang pergi meninggalkan perpustakaan.dengan membawa serta buku-buku dan tasnya.
Tatapan mencela petugas perpustakaan, membuatku merasa tidak enak untuk tetap berada di situ lebih lama lagi. Tidak ada pilihan lain, buru-buru kubereskan barang-barangku. Pada saat itu, aku menemukan ada satu buku milik Si Alpha yang tercampur di antaranya. Sebuah buku ensiklopedia bergambar, tentang serba-serbi serangga.
***
Keesokan harinya, di sekolah sudah ada kabar menghebohkan yang menungguku. Si Alpha berhenti sekolah. Kurang jelas apakah dia sekadar pindah ke sekolah lain, atau betul-betul berhenti sama sekali. Walinya yang datang ke sekolah untuk menyelesaikan urusan administrasi.
Berita simpang-siur mengenai fakta penyebab Si Alpha berhenti terdengar dari segala penjuru sekolah—tanpa perlu mencari tahu, para ahli gosip itu menyebarkan berbagai informasi terkini yang mereka dapatkan selayaknya minstrel di Eropa zaman medieval.
Ada yang mengatakan kalau Si Alpha dikeluarkan, karena kasus sengaja minta dihukum pada Pak Su'eb—jelas-jelas hoax, karena kasus itu sudah nyaris setahun berlalu. Aneh sekali bila baru diangkat lagi. Apa lagi setelahnya Pak Su'eb tetap bekerja seperti biasa, sama sekali tidak ada sanksi soal itu.
Beberapa mencoba berspekulasi bahwa Si Alpha menerima beasiswa untuk sekolah di luar negeri. Ini masih bisa dimaklumi, karena bukan hanya Bahasa Inggris Si Alpha memang cas-cis-cus. Dia juga pernah beberapa kali mendapat peringkat dalam lomba karya ilmiah yang mengharuskan pesertanya menulis dalam Bahasa Inggris.
Yang paling konyol adalah sekelompok anak yang dengan semangat menggebu-gebu menyebarkan gosip bahwa Si Alpha berhenti sekolah karena harus menikah. Keluarganya pailit, hingga Si Alpha harus menikahi anak orang kaya untuk menyelamatkan bisnis keluarganya. Entah dari sinetron mana mereka mendapat ide gosip itu.
Ajaibnya tidak ada seorang pun dari mereka yang langsung konfirmasi padaku. Mungkin di mata mereka posisiku tak lebih dari sekedar pengikut Si Alpha. Tidak tahu apa-apa tentang urusan majikannya.
Namun tak seorang pun mencegahku ketika melangkahkan kaki besarku meninggalkan kelas, untuk mengejar wali Si Alpha. Buku ensiklopedia serangga miliknya ikut berayun bersama lenganku. Biarpun dengan nafas terengah-engah, akhirnya terkejar juga, sebelum wali si Alpha melintasi gerbang sekolah.
Awalnya perempuan yang terlihat terlalu muda untuk jadi ibunya Si Alpha itu memandangku dengan heran. Apalagi aku masih harus mengatur kembali nafas yang putus-putus karena memaksakan diri berlari. Namun ketika matanya tertuju pada buku ensiklopedia di tanganku, senyumnya merekah.
"Kau pasti sahabat Si Alpha yang sering dia ceritakan itu, ya?" Perempuan muda itu menyapa lebih dulu, tetapi aku lebih heran pada fakta bahwa Si Alpha menceritakan tentang aku pada orang rumahnya.
"Terimakasih sudah menemani Si Alpha selama di sini. Berkat kau, bulan-bulan terakhirnya di sini jadi lebih menyenangkan ... Oh, nyaris saja aku lupa. Dia menitipkan ini padaku, seharusnya kuberikan lewat wali kelas kalian...."
Sembari mengatakan itu, perempuan muda itu meraih tanganku yang tidak memegang buku dan menyerahkan sebuah dompet buatan tangan yang manis. Tidak merasa pernah memiliki benda seperti itu, juga tidak pernah melihat Si Alpha membawanya, aku memandang perempuan muda itu dengan penuh tanda tanya.
"Itu untukmu. Si Alpha yang membuatnya."
Pastinya wajah melongoku terlihat lucu di mata perempuan muda itu karena tawa renyahnya meledak. Bukan meremehkan atau apa, Si Alpha dalam bayangan kami sama sekali tidak cocok dengan kerajinan tangan yang manis. Mencoba membayangkan tampangnya ketika sedang menjahitkan korsase bunga di dompet itu saja sudah membuatku harus mengerahkan segenap kemampuan berimajinasi.
"Mungkin sekarang sulit dibayangkan, tapi anak itu dari dulu suka mengerjakan handycraft semacam ini, lho...," tambah perempuan muda itu di sela-sela tawanya.
"Kenapa malah aku yang dikasih? Eh, bukan. Seharusnya aku datang untuk mengembalikan bukunya yang tertinggal kemarin,"
"Ah, buku itu untukmu juga. Si Alpha berpesan untuk menolakmu kalau kau bersikeras mau mengembalikan buku itu padanya. Anggap saja hadiah perpisahan."
"Jadi ... Si Alpha beneran pindah ke tempat lain, di kota mana? Gimana cara aku bisa menghubunginya lagi, Tante?"
Perlu diingat, ini adalah kisah masa sekolahku dulu, ketika ponsel masih berupa barang mewah dan tidak semua orang memiliki akses untuk memilikinya. Cara untuk mengontak temanmu adalah dengan menghubunginya melalui telepon rumah—bila rumahnya dilengkapi pesawat telepon, atau dengan menulis surat fisik yang dikirim lewat pos.
"Hmm ... susah juga. Dia tidak begitu ingin alamat barunya diketahui oleh orang lain. Ah, tapi kalau mau kau bisa kirim surat ke alamatku saja. Nanti akan kusampaikan pada Si Alpha, bagaimana?"
Ada sedikit rasa pedih dalam benakku karena aku termasuk dalam kelompok "orang lain" bagi Si Alpha. Sempat terbersit keinginan untuk meluapkan kemarahanku melalui perempuan muda itu, walau akhirnya kuputuskan untuk menyetujui tawarannya.
Perempuan muda itu segera mengeluarkan setumpuk post-it warna cerah dari tas tangannya, lalu mencatatkan sebaris alamat, dan namanya sendiri di situ. Dengan satu gerakan cepat, dia menyobeknya dan menyerahkan lembaran teratas padaku.
"Tunggu kabar dari kami, ya!"
Kemudian perempuan muda itu berlalu setelah melambaikan tangan padaku.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top