My Precious Time - Hoyu-Sora
[Name] menghela napas sambil menyapu keringat dari pelipisnya. Usahanya membuat mesin waktu tidak sia-sia. Kini, mahakarya terbesar miliknya berada tepat di depan matanya. Sebuah mesin waktu yang ia buat sendiri.
Selama bertahun-tahun ia meneliti tentang mesin waktu hingga harus mengemban ilmu ke universitas terbaik di Jepang untuk mempelajari mesin waktu. Bahkan, ia telah mengalami ribuan kali kegagalan saat mencoba membuatnya, tetapi hebatnya semangat [Name] tidak luntur.
Kini usianya sudah hampir menginjak dua puluh satu tahun. Ia yang harusnya kini memikirkan pernikahan dan memiliki anak dari seseorang yang dicintainya malah sibuk mendedikasikan hidupnya pada mesin waktu yang ia impikan.
Mungkin sebagian besar orang bertanya-tanya, mengapa ia sangat terobsesi dengan mesin waktu?
Sebenarnya alasannya hanya satu. Ia sangat merindukan ayahnya. Ia hanya ingin menemui laki-laki yang paling ia sayangi di hidupnya. Laki-laki yang kini telah pergi bersama dengan Tuhan, kini sangat ingin [Name] temui.
[Name] tersenyum, menatap bingkai kecil yang berada di atas meja yang tak jauh darinya. Di sana, terdapat foto sepasang suami istri dan seorang anak kecil yang memancarkan aura kebahagiaan. Foto itu adalah foto keluarganya. Dan [Name] sudah tidak sabar untuk bertemu dengan ayahnya.
[Name] kembali melakukan pengecekan terakhir pada mesin waktunya, berharap tidak ada yang kurang dan dapat segera digunakan. Jujur saja, [Name] tidak tahu apa efek samping dari mesin waktunya ini. Mungkin saja percobaannya kali ini bisa gagal dan merenggut nyawanya jika mesin waktu ini tidak berjalan dengan baik, tapi [Name] tidak memiliki waktu panjang untuk memikirkan apa efek terburuk jika mesin waktu ini tidak bekerja dengan semestinya. Apapun akan ia lakukan demi memenuhi keinginannya, menemui sang ayah tercinta.
Persiapan terakhir, [Name] mengeluarkan foto keluarganya dari bingkai yang tidak jauh dari meja kerjanya dan meminum ramuan racikannya sendiri untuk mengurangi efek samping dari mesin waktunya yang berbentuk kapsul.
[Name] menarik napas sebelum akhirnya melangkah mendekati mesin waktu tersebut. Ia mulai menekan tombol-tombol pada pengendali mesin waktunya dan setelah itu membaringkan diri pada kapsul mesin waktu tersebut.
'Kita akan segera bertemu, ayah,' [Name] tersenyum senang ketika merasa impiannya sebentar lagi akan terwujud.
[Name] bisa merasakan suara-suara mesin di telinganya, pertanda mesin waktunya sedang bekerja.
Sekarang yang bisa [Name] lakukan hanya menutup mata dan berdoa agar semuanya berjalan lancar. Bisa saja mesin waktunya mengalami kerusakan yang tak terduga, menyebabkan tubuhnya hancur akibat himpitan dimensi ruang dan waktu karena ia mencoba kembali ke masa lalu, masa dimana dirinya bahkan belum dilahirkan.
Saat mesinnya bekerja, kepala [Name] terasa berputar, ia merasa kepalanya seperti bisa meledak kapan saja, isi perutnya seakan ingin keluar, nafasnya terasa sesak, seperti ribuan oksigen telah direnggut oleh dimensi ruang dan waktu yang ia lewati. [Name] memegangi dadanya yang terasa sakit, ia tidak tahu kalau efeknya akan semengerikan ini, rasanya bagaikan di ambang kematian.
[Name] semakin menutup rapat matanya, menahan rasa sakit yang menimpa di sekujur tubuhnya.
Apakah ini adalah sebuah kegagalan?
Penelitiannya selama bertahun-tahun adalah sebuah kegagalan? Apakah ia benar-benar tidak dapat bertemu dengan ayahnya untuk terakhir kali?
#*#*#*#*#
Sudah lebih dari sepuluh menit [Name] berdiri mematung di tempat yang tidak ia kenali. Berkali-kali [Name] mencoba menerka-nerka di mana ia sekarang, namun tetap saja, semuanya terasa asing. Seperti mobil yang masih berjalan menggunakan ban karet dan berjalan di atas tanah, padahal teknologi sudah mengembangkan mobil yang bahkan sudah bisa mengudara. Atau orang-orang yang membeli sesuatu dengan uang kertas, sedangkan di tempat tinggalnya, semua pembayaran diselesaikan dengan uang elektronik.
Tunggu dulu, apakah ini... jangan-jangan ia berhasil kembali ke masa lalu?
Bodohnya [Name] karena membutuhkan waktu lebih dari sepuluh menit untuk menyadarinya.
"Akhirnya!" teriaknya girang dan membuat orang-orang di sekitarnya menjatuhkan pandangan ke arahnya.
[Name] tidak peduli dengan pandangan aneh yang ditujukan kepadanya, melainkan sekarang ia sedang berpikir, ini tahun berapa? Ada di mana ia sekarang? Ia mendadak lupa dengan pengaturan mesin waktunya sendiri.
Merasa tidak bisa menyelesaikan pertanyaannya sendiri, akhirnya [Name] memutuskan untuk bertanya pada salah seorang siswi yang lewat, "Permisi," kata [Name] menepuk pundak siswi itu, "Apa Anda tahu sekarang tanggal berapa? Saya juga lupa aku sedang berada di daerah mana," [Name] berusaha menunjukkan senyum kikuknya, agar siswi itu yakin bahwa ia sedang tersasar.
Gadis itu tertawa sejenak, "Cara bicaramu terlalu formal untuk ukuran gadis berusia enam belas tahun," ungkap gadis itu, "Sekarang tanggal 13 Juli, dan kita berada di prefektur Kanagawa, bahkan kau bisa melihat dengan jelas di papan SMA Kaijo di belakangmu," tunjuk sang gadis.
[Name] berbalik, menatap gedung sekolah elit di belakangnya. Sekolah yang bahkan lebih luas dari gedung-gedung lain yang berada di daerah ini. Sekolah yang akan menjadi sekolahnya di masa depan dan menjadi sekolah ayahnya di masa lalu.
"Terima kasih!" kata [Name] sambil berbalik menatap siswi yang tadi ditanyanya tadi.
Siswi itu tersenyum, "Terima kasih kembali," balasnya lalu pergi.
[Name] tersenyum, ia mengetahui daerah ini. Ini adalah daerah SMAnya sendiri di masa depan, ia akan mencoba berkeliling membandingkan masa ini dengan masa depan.
[Name] melihat toko roti di seberang jalan, ia ingat saat SMA toko roti itu akan menjadi toko roti yang sukses karena bitter sugar serta pillow cheese bread milik mereka. Di sebelahnya ada kedai ramen yang akan pindah ke prefektur lain nantinya.
Banyak hal yang terlihat berbeda, tentu saja, tahun ini jauh sebelum ia menyentuh bangku SMA.
Tanpa sengaja, [Name] melihat bayangan dirinya di salah satu kaca etalase sebuah toko. Matanya terbelalak, penampilannya jauh lebih muda dari usia sebenarnya di masa ia berasal, mungkin empat tahun lebih muda.
'Pantas saja orang tadi bilang umurku enam belas tahun,' [Name] membatin.
Ia masih melihat dirinya di pantulan dirinya di kaca, 'Apa mungkin ini juga efek dari mesin waktunya?' tanya [Name] dalam hati.
Saat [Name] masih sibuk menerka-nerka, sebuah bayangan laki-laki bersurai pirang membuatnya langsung berbalik dan memegang tangannya, "Tou—"
[Name] terpaku, manik sewarna emas milik laki-laki itu menatapnya dengan tatapan bertanya, "Ada apassu?" tanya laki-laki itu, "apa kau butuh bantuan?"
Rasanya [Name] ingin menangis saat ini juga, laki-laki di hadapannya ini benar-benar ayahnya, Kise Ryouta. Ia ingat benar bagaimana ayahnya itu berbicara dengan aneh, ia ingat benar manik yang selalu menatapnya dengan lembut, dan ia sangat ingat suara dari laki-laki yang paling ia sayangi di dunia.
Mungkin karena [Name] terlalu lama memandang, laki-laki melepaskan tangan [Name] dari lengannya dan mulai tersenyum, "Aku tahu kau salah satu fanskussu, tapi aku ada pemotretan sebentar lagi."
"Maaf," kata [Name] spontan.
[Name] ingat, dulu ayahnya selain menjadi pilot juga menjadi seorang model majalah. Senyum di wajah [Name] mengembang, ia mulai mengikuti sosok ayahnya—di masa depan nanti—menelusuri jalan.
Mereka berjalan cukup lama hingga sampai di sebuah gedung yang [Name] yakini sebagai gedung agensi model, mungkin gedung ini juga berfungsi sebagai tempat pemotretan.
"Astaga! Kau masih mengikutikussu!?" teriak Kise—ayahnya—dengan tatapan terkejut, "Apa kau tidak tahu hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk?"
[Name] memiringkan kepala, "Ini pertama kalinya aku ke sini," jawab [Name] dengan jujur. Tentu saja pertama kali, di masa depan tempat ini sudah berubah menjadi lahan pembangkit listrik tenaga surya.
[Name] melihat Kise menghela napas, "Baiklahssu, karena tidak ada fans lain di sini, aku akan membiarkanmu masuk dan melihatku pemotretan," kata Kise, "tapi jangan sebar di communitymussu!"
[Name] mengangguk patuh tanpa mengerti maksud Kise sedikitpun.
Ah~ [Name] tidak sabar melihat betapa keren ayahnya saat pemotretan nanti.
#*#*#*#*#
Kise menatap gadis yang mengikutinya sedari tadi dengan tatapan curiga. Bisa saja kan gadis itu adalah seorang stalker fanatik yang berpura-pura polos kan? Tapi saat pertama kali bertemu, gadis itu langsung memegang tangannya dan seperti ingin mengatakan sesuatu. Apakah mereka pernah bertemu sebelumnya?
Kise lagi-lagi menatapnya gadis ketika seorang staff memoles makeup di wajahnya. Rambut gadis itu [Hair Colour] tetapi memilik manik sewarna emas yang begitu familiar.
"Take selanjutnya Kise-kun!" suara seorang staff membuat Kise tersentak.
"Baiklah~" balas Kise.
Setelah beberapa kali berganti pose, Kise disuruh oleh staffnya untuk beristirahat dan Kise memilih untuk duduk di samping gadis yang mengikutinya tadi.
Kise duduk di salah satu kursi kosong di samping gadis itu, Kise menatap gadis itu yang menatapnya dengan berbinar-binar dan senyum yang selalu menghiasi bibirnya.
"Kau ini sebenarnya siapa sih?" tanya Kise langsung, "kalau kau stalker yang berpura-pura, aku benar-benar akan memanggil security sekarangssu."
Gadis itu langsung mengembangkan senyum, "Namaku [Name], hanya [Name], jadi panggil saja aku [Name]! tenang saja, aku bukan stalker Tou—Kise-kun kok," balasnya.
Lihat, lagi-lagi gadis itu ingin mengatakan sesuatu kan?
Kise menghela napas, "Baiklah, [Name]," kata Kise.
[Name] hanya tersenyum, matanya masih berbinar-binar menatap Kise.
Setelah mereka berdua terdiam beberapa lama, seorang staff memanggil Kise. Padahal istirahat masih ada lima belas menit.
"Ada apa Rie-san?" tanya Kise pada staff yang memanggilnya.
"Begini, apa gadis itu kerabatmu?" tanya Rie—sang staff.
Kise mengerutkan alis, kerabat? Bertemu saja baru kali ini, "Tidak, bukan. Memangnya ada apassu?" tanya Kise.
"Benarkah? Sejenak kukira dia saudaramu," ujar Rie, "kau tahu, badannya sangat bagus seperti terbentuk, lalu matanya itu daya tarik tersendiri, senyumnya manis—"
"Jadi Rie-san mau dia menjadi model?"
Rie tersenyum, "Kau bisa mengetahui maksudku ternyata," kata Rie, "bagaimana untuk permulaan, dia foto menggunakan dua jenis baju hari ini?"
Entah apa yang Kise harus lakukan sekarang, ia baru bertemu dengan [Name] dan [Name] sudah diminta untuk menjadi model.
"Kau tanya saja padanya, Rie-san," ujar Kise pasrah. Sungguh, ia hanya mengetahui nama gadis itu.
#*#*#*#*#
Pemotretan sudah selesai beberapa menit yang lalu dan [Name] mendapatkan upahnya menjadi model untuk pertama kali. Tetapi, ia tidak tahu akan ke mana setelah ini, ia hanya berfokus untuk menemui sang ayah.
[Name] tidak ingat mengatur waktunya untuk berada di masa ini berapa lama, yang ia ingat ia memang ingin pergi ke masa ayahnya masih SMA. Tetapi, ia lupa dengan alasan apa.
[Name] menatap laki-laki yang berjalan tak jauh di depannya, langkahnya memang pelan, tetapi sebagai laki-laki yang jangkung [Name] tidak bisa menyamai langkah ayahnya itu.
[Name] tahu ayahnya itu kesal karena kehadirannya, ia bisa tahu dari raut wajahnya yang sama sekali tidak bersahabat.
"Kise-kun?" panggil [Name], sebenarnya lucu memanggil marganya sendiri.
Laki-laki itu tidak menghentikan langkahnya maupun berbalik, [Name] tetap mengikutinya, "Sebenarnya ada yang ingin kubicarakan."
Langkah Kise terhenti, lalu menatapnya, "Apa?"
[Name] terdiam, ya, dia harus mengatakan ini sekarang juga, "Kau tahu," kata [Name] gelagapan sembari menunduk, "sebenarnya aku berasal dari masa depan."
Tak ada jawaban sama sekali, [Name] masih menunggu respon dari ayahnya.
"Kau pasti gilassu," kata Kise kemudian kembali berjalan.
Harusnya [Name] tahu, respon itulah yang akan keluar, bahkan dari ayahnya sendiri.
Semua orang terdekatnya selalu mengatainya gila karena terobsesi dengan mesin waktu dan kembali menemui ayahnya. Tapi, apa salahnya [Name] ingin memenuhi keinginannya? Apa salah seorang putri jika menginginkan kasih sayang dari ayahnya? Apa salah jika ia yang kehilngan ayahnya di umur enam tahun menginginkan kembali ayahnya sebentar saja?
Air mata mengalir di pipi [Name], ia tidak tahu jika rasanya akan sesakit ini. Ah, meskipun ia bertemu ayahnya, ia tidak akan mendapatkan kasih sayang yang selama ini ia dambakan.
Saat [Name] mulai terisak, sebuah tangan menyentuh kepalanya, "Jangan menangis."
[Name] terkejut, ayahnya memegang puncak kepalanya, rasanya sangat nyaman, 'Aku merindukan kenyamanan ini,' pikir [Name].
Ia ingat, dulu ketika ia menangis, ayahnya akan selalu memeluknya dan mengusap pelan kepadanya mengatakan hal-hal yang membuatnya tenang. [Name] merindukannya.
"Ayo kita ke apartemenku, lalu ceritakan semuanya."
#*#*#*#*#
Kise mengajak [Name] masuk ke dalam apartemennya, jika boleh jujur, [Name] adalah satu-satunya orang non-keluarga yang mengunjugi apartemennya.
Sejujurnya Kise merasa bersalah karena membuat [Name] menangis dan mengatainya gila, tapi pasti ada alasan kenapa [Name] mengatakan ia dari masa depan.
Kise duduk di sofa dan [Name] tak jauh darinya, "Sekarang ceritakan semuanyassu," kata Kise.
Kise bisa melihat [Name] mulai menarik napas, "Sebenarnya, aku ini anakmu," kata [Name].
Kise hampir tersedak oleh salivanya sendiri, "Apa—"
"Tolong, biarkan aku menyelesaikannya," kata [Name] dan membuat Kise terdiam, "ya, aku ini anakmu di masa depan, namaku Kise [Name]. Aku kembali karena aku... aku merindukanmu Tou-chan."
Entah apa yang dirasakan Kise saat ini, perasannya kini kalut, "Jadi... apa yang terjadi padaku di masa depan hingga kau datang kemari?" tanya Kise.
[Name] tersenyum, tapi bukan senyum kagum yang ia perlihatkan selama pemotretan tadi, tapi senyum yang memancarkan kesedihan yang mendalam, "Saat aku berumur enam, Tou-chan meninggal karena kecelakaan pesawat," jelas [Name], "tidak, bukan Tou-chan yang mengemudikan pesawatnya, tapi rekan Tou-chan. Saat itu juga ada badai salju dan ya, pesawat tou-chan jatuh di air laut yang sedingin es."
"Tidak ada yang selamat, termasuk Tou-chan," [Name] mengakhiri, "dan itu sehari sebelum ulang tahun Tou-chan."
Lagi-lagi [Name] menangis dan tangisannya terdengar sangat menyedihkan di telinga Kise. Tanpa sadar Kise mendekat dan memberikannya sebuah pelukan dan elusan di kepala, "Tidak apa-apassu, aku ada di sini sekarang 'kan? Kita bisa menghabiskan waktu bersama."
Tangisan [Name] semakin menjadi-jadi, tangannya melingkar di tubuh Kise.
Ah, pantas saja warna iris mata [Name] terasa familiar. Iris mereka berdua sama.
Kise tidak tahu harus mempercayai [Name] atau bagaimana, tapi saat ini ia akan memikirkan cara untuk menghabiskan waktu dengan [Name].
#*#*#*#*#
Sudah enam hari semenjak [Name] bertemu dengan Kise yang merupakan ayahnya. Ia senang ketika dua hari yang lalu Kise mengajaknya berkeliling di daerah ini dan bahkan kemarin [Name] diajak Kise untuk ke taman hiburan yang berada di Tokyo.
Tetapi saat [Name] menghabiskan waktu bersama Kise, rasanya sangat nyaman. Seperti ada sesuatu yang menggebu-gebu di dalam dadanya, rasa yang seakan-akan ingin memiliki ayahnya sendiri. Perasaan apa ini?
[Name] membaringkan tubuhnya di sofa apartemen Kise, ia menatap langit-langit menerka-nerka apa yang dirasakannya kini.
Saat ia masih berpikir, pintu utama apartemen Kise terbuka, "Tadaima," disusul oleh suara ayahnya yang baru saja pulang dari latihan basket.
"Okaeri, Tou-chan!" sambut [Name] senang, ia lalu bangkit dari sofa dan memberikan pelukan hangat pada Kise.
Kise tertawa, "Untung saja aku mandi dulu sebelum pulangssu," ujar Kise.
[Name] masih memeluk tubuh Kise dengan sayang dan seakan-akan tidak ingin melepaskannya.
Saat [Name] melespakan pelukannya, entah mengapa ia merasa sedih yang berlebihan.
"Oh, Tou-chan!" panggil [Name], "aku ingin bertanya sesuatu."
Kise yang baru saja duduk di sofa lalu menatap [Name], "Bertanya saja."
[Name] duduk di samping Kise, "Menurut Tou-chan, kenapa ada perasaan aneh di dadaku pada seseorang, maksudku rasa senang yang berlebihan, bahkan aku ingin mengklaimnya untuk diriku sendiri."
[Name] melihat Kise mengerutkan alis dan telihat berpikir, "Aku pernah dengar ini dari Moriyama-senpaissu," kata Kise, "itu jatuh cinta."
Wajah [Name] merona, ia menunduk menghindari pandangan Kise yang merupakan ayahnya sendiri, 'Mana mungkin aku...' ia mendengadah sejenak mendapati Kise yang tersenyum manis padanya, 'jatuh cinta pada Tou-chan?'
"Ngomong-ngomong," ujar Kise, "bagaimana kalau kita pergi ke taman bunga terdekatssu?"
[Name] langsung mengangguk tanpa berpikir terlebih dahulu. Ia tidak tahu sampai kapan ia akan berada di masa ini dan ia hanya ingin menghabiskan waktu dengan ayahnya. Memonopoli ayahnya sendiri tidak salah kan?
#*#*#*#*#
Kise menatap [Name] yang kini bergelayut manja di tangannya, sebenarnya mereka lebih terlihat sebagai sepasang kekasih daripada ayah dan putrinya.
Kise tidak keberatan, toh dia sudah memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan [Name].
Hari sudah sore dan [Name] terlihat masih bersemangat untuk mengelilingi tempat ini lebih lama dan lagi, Kise sama sekali tidak keberatan.
"Aduh," rintih [Name] tiba-tiba, ia memegangi kepalanya.
Kise menatap [Name] dengan khawatir, "Ada apassu?" tanya Kise.
[Name] menatapnya dan Kise malah semakin khawatir, "Tubuhku," kata [Name] dengan nada pelan, "seperti mati rasa."
Kise panik, ia menatap tubuh [Name] yang semakin lemah dan juga terlihat semakin transparan, "Apa yang terjadi padamu!?" tanya Kise.
Banyak orang yang berlalu-lalang, tetapi tidak memperdulikan Kise yang panik bukan main.
"Ah," suara [Name] yang parau merambat ke telinga Kise, "aku ingat sekarang."
Napas Kise terasa berat, ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya, tubuh [Name] semakin lama semakin menghilang.
"Aku ke masa ini untuk menemui Tou-chan," ujar [Name] pelan, "dan juga melihat Tou-chan bertemu dengan Kaa-chan di festival musim panas."
Kise mengerutkan kening, ia tidak mengerti.
"Pasti Tou-chan tidak mengerti," kata [Name] seakan-akan mengetahui isi pikiran Kise, "harusnya Tou-chan dan Kaa-chan bertemu, tapi mungkin karena Tou-chan masih berada di sini... masa depan akan berubah," jelas [Name], "Tou-chan dan Kaa-chan tidak bertemu, berarti di masa depan aku tidak ada."
Kise mulai mengerti, ia harus segera ke festival musim panas, apakah mungkin di festival musim panas yang tidak jauh dari sini? Ya mungkin, karena sebenarnya ia memiliki rencana untuk ke festival musim panas bersama dengan anggota tim basket yang lain.
"Apa kau punya foto ibumussu?" tanya Kise, "supaya aku bisa betemu dengannya lebih cepat."
[Name] tersenyum, ia mengeluarkan foto keluarganya dari saku, "Aku selalu membawanya," kata [Name] lalu mengembangkan senyum lemahnya.
Kise memandang foto itu sejenak, ia sudah hapal wajahnya, "Apa kau masih bisa berjalanssu?" tanya Kise, karena tidak mungkin ia meninggalkan [Name] di sini.
"Kurasa bisa."
#*#*#*#*#
Sudah dua jam setelah [Name] memperlihatkan foto keluarganya pada Kise. Kise belum juga menemukan perempuan yang sama dengan yang berada di foto.
Di tambah, [Name] yang mengikutinya dari belakang semakin lemah dan tubuhnya semakin transparan, Kise semakin panik.
Harusnya ia mengajak [Name] berkeliling festival saja, bukan ke tempat lain. Kini Kise benar-benar menyesalinya.
Kise sudah hampir di ambang batasnya, ia benar-benar frustasi saat ini. Apa yang harus ia lakukan?
Karena tidak melihat jalan di depannya, Kise menabrak seseorang dan tanpa sengaja memeluknya agar tidak terjatuh, "Gomennasai aku—"
Kise tidak mampu melanjutkan perkataannya, matanya terlalu terpaku pada sosok gadis yang kini berada di dalam pelukannya. Surai [Hair Colour]nya yang digerai serta manik cokelat tua yang menatap tepat ke manik emasnya. Jantung Kise berpacu dua kali lebih cepat.
Gadis yang ditabraknya adalah ibu [Name], yang berarti calon istrinya. Meskipun Kise sudah melihatnya di foto, tapi Kise tetap saja terpana akan keindahan gadis itu, gadis paling indah yang pernah ditemuinya.
Di sisi lain, [Name] bersandar pada pohon yang tak jauh dari tempat ayah dan ibunya bertemu, tubuhnya sudah sangat lemah dan seakan-akan bisa menghilang kapan saja.
[Name] tersenyum, ia ingat mengapa ia kembali ke masa ini, masa SMA ayah dan ibunya. Selain bertemu ayahnya, ia juga ingin melihat pertemuan ayah dan ibunya.
Dan ketika ia telah memenuhi apa yang diinginkannya, ia akan segera kembali ke masa depan. Ia mengatur mesin waktunya seperti itu.
Mungkin ia melupakan bagian terpenting ini juga efek samping dari menggunakan mesin waktunya. Ia melupakan hal terpenting, bahkan sampai jatuh cinta pada ayahnya sendiri.
Cahaya putih kini mulai memenuhi penglihatan [Name], 'Ini saatnya pulang, ya?' tanyanya dalam hati. Ia melihat ayah yang tersipu malu karena menabrak ibunya. [Name] tersenyum, ia tidak mengacaukan masa depan.
'Sayonara, sampai jumpa di masa depan.'
#*#*#*#*#
[Name] membuka matanya, ia kini berada di dalam kapsul mesin waktunya di masa depan. Airmata mengalir dari matanya.
Ia merasa senang, tetapi ia juga sedih disaat yang sama.
Ia senang tidak mengacaukan masa depan, tetapi ia juga sedih mengetahui cinta pertamanya adalah ayahnya sendiri.
Sepertinya [Name] akan menenangkan dirinya sejenak. Ia akan mandi dan akan berkeliling kota.
Setelah beberapa lama, ia telah siap dan segera keluar dari rumah sekaligus laboratoriumnya.
Udara hangat dari musim panas menyentuh kulitnya, orang-orang sibuk berlalu lalang dengan urusan mereka masing-masing, dan [Name] sendiri masih merasakan sebuah kesedihan di dalam dirinya.
Saat ia berjalan tanpa tujuan, ia melihat sekeliling tanpa adanya rasa minat, seperti toko robot rumah tangga di depan sana atau laki-laki pirang yang sedang berdiri sambil membersihkan meja café—
Mata [Name] terbelalak seketika, laki-laki itu terlihat seperti ayahnya.
Dengan cepat ia berlari memasuki café, saat sudah berada di belakang laki-laki itu [Name] memegangi pundak laki-laki yang tengah membersihkan itu, "Tou—" perkataannya terhenti karena terpanah akan tatapan laki-laki itu.
[Name] tahu jika laki-laki ini bukan ayahnya dilihat dari umurnya pasti satu atau dua tahun lebih tua dari [Name] sendiri, tapi entah mengapa rasanya begitu familiar.
"Ada yang bisa kubantu?"
Tanpa sadar, [Name] mengembangkan senyum, "Ya, aku ingin memesan satu choco frappuchino," kata [Name] spontan.
Sepertinya, [Name] juga akan menemukan masa depannya sendiri setelah ini.
[end]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top