Meiseki Yume - NnaSora
Keseharian wakil kapten Karasuno boleh dikata sangat riang sebagai Mr. Refreshing. Tapi siapa yang tahu menahu jika dia memiliki semacam gangguan atau entah disebut keistimewaan atau apalah ini.
Lucid dream
Dimensi waktu yang dia miliki adalah seseorang di dalam mimpinya. Mimpi bagi seorang Sugawara ialah berpindah ke dunia lain di mana hanya ada satu sosok teman di sana dengan berbagai tempat ditemani berlainan masa.
Dia, Sugawara Koushi, mengakui adanya rasa berbeda kepada sosok tepatnya teman gadis di dalam mimpi. Tapi apa boleh buat, peran kalian di situ hanya ilusi dalam delusi.
Di balik sifat Suga yang ceria dan dewasa, hanya lah karena keberadaan (Y/n). Dia yang mengenal siapa Koushi, bagaimana Koushi, bahkan hingga bersikap pada Koushi yang asli.
Suga, ya memang ceria, namun ia juga memiliki sisi cengeng.
Suga, ya memang seolah dewasa, tetapi adakalanya dia bisa rapuh. Toh, ini manusiawi, bukan?
Tak ada manusia yang sempurna dan mampu mempertahankan sisi kuat, pasti mereka perlu dan butuh membangun kembali sisi baik dalam individu.
-13 Juni 10.49 PM-
Hiks..
Tersedu pada keheningan malam nan dingin,
Hiks..
Gelapnya kamar yang menemani seakan mendukung untuk menyesapi kesedihan kali ini,
Huwee..
Kesendirian tanpa kehadiran tawa ramai umur sebaya saat usia yang telah genap 5 tahun. Pecah bersuara menyayat hati semakin larut dalam lelahnya, meraup jatuh menuju kantuk, dan sesenggukan hingga mengantar pada kembang tidur.
Silau dan sejuk.
Aroma bunga musim semi menyeruak.
-Haru-
Serpihan kelopak yang rontok pun berterbangan sesuka hati. Mencium embun basah di sekitar rumput nan hijau. Terduduk sendiri dalam kesunyian pasti, namun ketenangan yang sangat berarti. Menutup mata, menghirup dalam, sampai udara luar nan segar memasuki rongga dalam dada.
"Hiks.. hiks," isakan seseorang.
Kau terbuyar dari ketenangan, menyelisik keadaan sekitar. Siapa gerangan tangisan? Terpampang punggung nan tegak namun mungil, tidak lebih mungil dibanding dirimu jua.
"Hei, mengapa kau menangis?" kalimat tanya yang terlontar dari bibir manismu.
Mengarah bingung pada eksistensi yang kini di depanmu, kakimu refleks mendekatinya tanpa perintah otak tengahmu. Berjongkok, menyejajarkan posisi. Lutut kalian saling bersentuh, kau usap rambut sosok yang bisa jadi seumuran denganmu atau tepatnya lebih muda darimu. Lembut, sangat cocok dengan warna abu terang khasnya. Wangi terawat, bau sampo yang tidak begitu kau kenali merknya.
"Huweee..," keras, hingga kau sedikit terlonjak kaget namun tetap pada posisi karena dia, mendekapmu, membuatmu terjatuh duduk ke belakang sambil ikut memeluknya.
"Daijobou, kau tidak sendiri. Ada aku di sini, ne?"
"Hiks.. A,aku, hiks, di mana?"
"Hm? Di mana ya? Menurutmu? Kau menginginkan ini di mana?"
Dibingungkan dengan apa yang kau lontarkan padanya, ia pun menengadah menatap padamu, menampilkan manik cokelat-hazel nan sembap. Tangisan yang keras terhenti seketika. Kebingungannya memenangi ketakutannya.
"Aku (F/n), namamu?"
"Koushi."
"Ne, Koushi-chan, boleh aku memanggilmu begitu?"
"U-um. Onee-chan ini di mana?"
"Bukankah kau tau?" Lawan bicaramu hanya menggeleng polos yang malah menambah kesan imut pada wajahnya. "Emm, mungkin ini dunia mimpimu."
"Tapi kenapa Onee-chan bisa di sini?"
"Untuk menjadi temanmu, mungkin, hehe. Koushi-chan mau kan jadi temanku?"
"Teman? Mau aku mau, -nee," jawabnya cepat.
Girang, iya begitu girang padahal kau tak menjanjikan permen. Senang, iya begitu senang sampai ikut trenyuh kau rasakan dalam hati. Sudah bisa kau pastikan, dia, seorang anak laki-laki tanpa teman pada kesehariannya. Kau hanya bisa berinisiatif untuk selalu ada bersamanya kendati pertemuan dunia mimpinya.
"Nah, mulai sekarang panggil namaku saja ya, Koushi-chan, aku janji kita jadi teman dalam mimpimu."
"Ha i, (F/n), aku janji."
-Natsu-
Udara membakar, silir angin setia mengayun helai rambutmu.
Geshi, pertengahan musim panas, momen bersama sang pengisi hatimu berlalu pesat. Kau mendapati kabar darinya jika sudah Menengah Atas. Kau menemaninya begitu baik, menjadi pendengar setia, sekaligus penasihat yang apik baginya.
Dia yang cengeng, dia yang manja, dia yang tanpa kawan.
Seolah berbalik, baiknya dia yang penurut demikian menjalani saranmu di sela suka duka dunianya yang nyata. Sekarang, yang ada dia tumbuh jadi pemuda dengan senyuman lembut di wajahnya, pribadi yang terbuka jua menyegarkan, dan semua itu siapa pula jika bukan karena sosokmu.
Kini, di dalam mimpi, ya, dunia mimpi, dunia yang mana lagi?
Kalian berjanji untuk mengunjungi festival musim panas.
Aneh bukan?
Kalian yang berada di mimpi pun bisa melakukan kegiatan seperti saat di dunia nyata. Kau hanya berekspektasi, boleh jadi dia lah yang akan menjadi pemilikmu seutuhnya pada kehidupanmu nanti.
Yukata (F/c) dengan salah satu sisinya bermotif sakura yang semakin ke atas berkurang jumlah kelopaknya begitu manis dan kontras, sangat pas kau kenakan. Tak lupa, rambutmu kau tata sedemikian rupa dengan sematan jepit sakura warna senada yukata. Kau menunggu di dekat taman, ditemani kemerlap lampu aneka warna.
10 menit lebih awal cukup membuat detak jantungmu berpacu begitu jelas. Penasaran sekaligus malu bercampur menjadi satu, rasa ingin tau bagaimana sosok dia malam ini tetapi juga ingin kabur karena takut kau mendadak histeris saking senangnya.
Sela kau sibuk berfantasiria, tiba-tiba pandanganmu menggelap. Kelopak matamu begitu berat untuk terangkat. Kau sedikit terkejut, kan?
"Sudah lama menunggu, Hime-sama?"
Suara itu, kehadiran itu, dan penantian ini.
Sigap dia lepas telapak tangan yang cukup besar dibanding telapakmu, namun juga hangat dan nyaman bagimu. Membalikkan arah pandang, bertatap satu sama lain, dan berakhir saling tersenyum.
"Tidak, aku baru saja sampai, Koushi-chan."
"Hehe, yuk berangkat!"
"Umm."
Berjalan beriringan, hening suasana sekitar namun begitu ramai suasana dalam hati.
Dag dig dug, dag dig dug.
Sesekali kau mencuri pandang untuk meliriknya, yukata biru gelap dengan salah satu sisinya bercampur putih seakan memberi aksen warna ketenangan seperti menunjukkan dia telah tumbuh menjadi dewasa sekarang.
Tiba di gerbang festival. Bersama-sama takjub menyaksikan apa yang ada di depan kalian. Berbagai kios berdiri tanpa penjaga, tetapi bukan malah menimbulkan suasana seram. Berjajar tersusun setengah lingkaran, lengkap mulai dari kios permainan, kios souvenir hingga kios makanan.
"Ayo kita bersenang-senang, (F/n)!"
"Ayo!"
Menikmati satu dan lain segala yang tersedia di festival. Tawa riang terdengar begitu lepas tanpa beban antara kalian. Malam menjelang pergantian hari, bintang nampak sangat jelas.
"Duarr!"
Kalian yang duduk di balik kios-kios sambil menikmati permen apel ukuran sedang, melihat lingkaran cahaya melebar nan merekah di langit gulita.
"Kirei!" ucap Koushi.
Kau hanya memalingkan wajahmu untuk menatapnya, meneliti wajah yang sedang senang bersamamu pada malam yang sangat indah ini. Dipikir-pikir kembali kalau ini seperti kencan, lucu memang, kalian yang selalu berdua saja baru kali ini melakukan kencan.
Yah, meski dalam mimpi.
Gelap, menjadi pertanda hanabi telah habis. Entah siapa yang menyulutnya, tetapi semua yang ada terasa sangat lengkap di sini.
Kau tak habis lelah memandang kebahagianmu yang tak lain ialah Sugawara Koushi.
"(F/n)"
"Ya, Koushi-chan?"
"Aku sudah lama ingin bercerita padamu tentang ini, aku menyukai seseorang di sana."
Ctarr!
Seketika suasana sekitarmu terasa redup, luntur senyummu usai mendengarnya.
Di sana, ya di sana yaitu dunia nyata Koushi.
Harapan memang sekadar kuluman gulali sementara, nantinya jua berubah jadi pahit karena terlalu mengangankan kemanisan tiada tara. Kau hanya bisa apa yang sebagai bayang-bayang dalam Lucid dreamnya.
"Shimizu Kiyoko namanya."
Tumpah sudah air matamu, kau segera berdiri, menahan isak agar tidak begitu jelas terdengar olehnya.
"Waaah, Koushi-chan sudah besar ya, ganbatte ne. Ah, ya, sampai sini dulu ya, jaa ne."
Kau hanya bisa berbalik pergi, menyelusup ke jalan antara kios dan berlari keluar gerbang festival.
"Gomenne, (F/n)."
Musim panas, gemuruh gerah dalam dada, sama seperti cuaca yang membara.
Patah hati, respon yang wajar bukan?
Dewi batinmu seolah memberi kekuatan agar kau terus menjauh pergi dari tempat yang kini tak ingin berlama-lama di sana.
Lari..
Berlari..
Larilah, (F/n)!
Sesak, begitu sangat.
Kau abaikan langkahmu yang hampir terjatuh, paling utama adalah pergi dari tempat itu.
Terus lurus tak tau arah. Terbutakan. Gulita sebagai teman, kepedihan hati dan segala luapan menjadi pelengkap, serta bintang malam jadi saksi.
Perih, perih.
'Aaaarrghh, sakit! Dia terlalu menyakitkan untuk menjadi cinta pertamaku.'
Sampai pada ujung tebing yang kau temui di sana, begitu dalam sampai kau tak pernah mengira apa yang ada di bawah sana. Kau hanya ingin raib dari dunia mimpi ini.
Terlintas pikir bahwa kau yang menemaninya selama ini, kau yang menghiburnya sampai kini, kau yang memberi kasih nan tulus hingga sekarang.
Akan tetapi, lihatlah kau yang mendapat luka tak kasat mata.
Tidak ada lagi alasan untuk tetap tinggal dalam dunia mimpi yang busuk, benar-benar sangat busuk!
Tanpa pikir panjang kau jatuhkan dirimu ke luar batasan tebing. Biar tanah di bawah sana yang akan menelanmu, mereka yang mampu memberi reaksi sakit dan meluluhlantahkan dirimu seutuhnya.
Gelap..
Kelam..
Dingin..
Kau bukannya menemui dataran tanah dalam jurang, justru terasa begitu jauh ke bawah hingga memang tercipta tak pernah berdasar.
Sangat putih
Terang
Begitu silau dan hampa
Srakk sruuk!
Bunyi kegaduhan.
"Hime-sama sadar, segera panggil dokter!"
Kalimat yang pertama kali kau dengar.
Kau menggerakkan kelopak matamu untuk terangkat. Menyesuaikan sinar menembus masuk dalam lubang lensa. Hanya bingung yang kau dapat.
Suasana ruang putih. Aroma bubuk obat-obatan. Selang-selang penopang untuk tetap hidup yang tersalur pada tubuhmu. Di arah pintu, masuk seorang dokter dengan beberapa asistennya. Memeriksa keadaanmu.
Kau tak habis ingat apa yang terjadi. Rasanya kau begitu lemas dan kaku bersamaan.
"... siuman dari koma."
Huh?
Koma?
Ya, selama ini kau tak sadarkan diri dan terjebak oleh mimpi. Mimpi yang tidak kau tau apakah itu benar ada atau hanya dunia singgah.
Dingin, hembusan angin bertiup. Guguran merah Momiji.
-Aki-
Satu bulan telah lalu sejak puncak musim gugur, shubun no hi, atau tepatnya kau bangun dari mimpi yang sangat panjang, dunia nan menjerat, dan berbagai khayalan penuh kenang.
Kini kau membuka mata, terbangun dari tidur dengan mimpi yang menyesakkan. Kau dapati sudut di pelupuk matamu basah, mengusap perlahan bekas jalan air itu. Bersiap menjalani aktivitas keseharian pada musim gugur ini dan yang pasti berkawan rasa sakit dalam dada.
Kesepian, hening, kesendirian.
Musim gugur seakan cuaca yang mendukungmu saat ini. Terkadang kau melamun, namun intesitas kali ini lebih banyak dari biasanya setelah kau sadari.
"Ohayou, Hime-sama, air hangat telah siap, silahkan Anda membersihkan diri," sapa untukmu di pagi hari dari salah satu pelayan pribadimu. Kau hanya mengangguk dan melucuti yukata dibantu pelayanmu.
Kau, (Y/n), sudah mengetahui bahwa selama ini dikehidupan nyata adalah seorang pewaris sah keluarga bangsawan.
Dulunya kau sosok gadis periang dan ramah, namun sekarang kau berganti menjadi wanita misterius dan pendiam.
Sisi terang seolah terserap oleh yang terkasih ilusifmu, siapa lagi selain Koushi-chan. Akan tetapi, pelayan pribadimu dengan setia mengajak bicara walau hanya sepatah dua patah kata kau lontar. Sisanya yang lain hanya lamunan dalam diammu.
-23 Oktober 01.00 PM-
"Ne, (F/n)?"
"Ya, Koushi-chan?"
"Kenapa kau suka memanggilku sufiks -chan?"
"Karena dulu ketika kau datang sangat kawaii, tehee."
Perbincangan saat kalian duduk bersama melihat sungai dan menikmati semilir angin.
"(F/n) lihat aku membawa bola voli," sembari ia menunjukkan sebuah bola ukuran agak besar dengan warna biru berseling kuning.
"Waah, Koushi-chan sudah ada hobi, ya?"
"Benar, aku ingin perlihatkan ini kepadamu," ia pun mengambil ancang-ancang serve.
"Boleh, boleh," kau yang antusias kepadanya.
"Lihat!" dilambungkannya bola keatas, bersamaan ia melompat sesaat. Sampai pada jarak telapak mampu mencapai titik yang pas dengan bola dan saling betemu kemudian berlanjut terpantul searah dengan ayunan tangan.
Melesat cepat dan mengarah pada titik tepat.
"Waaah, sugoi!" berakhir mendapat aplaus darimu.
Bahkan hingga dialog di mana seorang Koushi, sang tuan penghibur, murung.
"(F/n)?"
"Koushi-chan?" guraumu.
"Heeeh, wajah kusut apa ini?" kau memegang pipinya gemas membentuk lengkungan senyum paksa dibibirnya dengan kedua ibu jarimu.
"Ada kouhai yang menyamai posisi denganku."
"Mmm, setter, kah? Siapa?"
"Kageyama Tobio."
"Lalu?"
"Yah, kemungkinan besar dia akan menjadi setter utama."
"Apakah kau bersedih?"
"Tentu, aku ingin memainkan banyak pertandingan."
"Bagaimana kalau kata bersedih itu kau ganti dengan arti lain?"
"Maksudnya?"
"Yah, seperti kau coba untuk berpandangan luas Koushi-chan..." kau melirik sekilas padanya dan terlihat wajahnya yang nampak siap memperhatikan untuk mendengar saranmu.
"-kalian memang memperebutkan posisi yang sama, saling ingin berebut momen pertandingan, ya 'kan?"
"Ya (F/n)."
"Poin yang kalian dapatkan ketika kau atau pun dia di lapangan, itu semua untuk Karasuno, 'kan? Bertarunglah sebagaimana kau mampu, kau hanya perlu kesempatan lebih, Koushi-chan."
"Umm, terimakasih (F/n)!" dirasa mendapat pencerahan kembali dengan lantang Koushi memelukmu.
Semburat merah di pipi, sakit sedih senang, semua rasa silih berganti, campur mengaduk setiap detik. Kini kau sedang melamun ditemani Momiji no tempura buatan koki rumah dengan rasa khasnya yang asin dan manis begitu sempurna menemani siangmu bersama tebaran daun Momiji belakang rumah.
Para pelayan termasuk pelayan pribadimu sedang sibuk menyiapkan ruang tamu dan hidangan malam. Dengar dengar ada tamu dari kolega sang ayah.
Entah urusan apa, tapi kau sibuk dengan bayangan si pemberi rasa pedih.
Malam nanti, jua malam yang paling kau suka. Di mana melihat bulan purnama, tsukimi, pada musim gugur.
-10.00 PM-
"Sayang?"
"Ya, Otou-sama?"
"Hehe, dulu kau sering memarahiku jika dipanggil begitu. Ada yang ingin Otou-sama beritahukan."
Kau hanya membalas dengan senyum ringan dan kosong.
"Baiklah, mungkin ini akan menyakiti hak bebasmu. Tetapi janji tetap janji, bukan hal yang sepatutnya kita ingkari."
"Iie, (F/n) coba untuk menerimanya."
"Otou-sama menerima pinangan dari kolega untuk menikahimu, dia telah menyelamatkanmu dari koma. Dan dia ingin meminta jaminan untuk menikahimu, bisa jadi ini berat bagimu. Tapi ini demi kebaikan bersama."
Deg! Kau termenung sejenak, tak mau mengabaikan maka segera saja kau membalas pembicaraan ayahmu.
"Baik, Otou-sama, ku patuhi apa yang memang sudah seharusnya."
"Hmm, terima kasih, sayang. Otou-sama hanya bisa berharap kau bahagia."
"Ya, Otou-sama."
Kau pun ditinggal sendiri di kamarmu, hatimu culas. Bersyukur bahagia atau sedih menyesal, tak tau arah mana harus kau pilih, terlebih ada hal mengganjal batin.
Aliran air mata mengalir tanpa kau kira maupun duga. Tanpa isakan hanya mengalir begitu saja. Kabur menatap pancaran rembulan purnama sebagai saksi nyata tangisanmu.
-Fuyu-
24 jam yang satu dengan yang lain, esok lusa terlampau cepat jadi kemarin yang lalu. Kau sibukkan diri sebagai sosok calon istri, membaca tata cara berbagai hal yang perlu kau lakukan dalam membangun rumah tangga.
Hingga tak terasa waktu yang tidak kau sangka tiba di depan mata.
Cepat, cepat, begitu cepat.
Tidak ada akhir yang berlama-lama, semua terkesan ingin berlalu. Kau seperti harus berlari dikejar menyudahi ceritamu, menghentikan ingatan delusif dengan dirinya, sudah cukup tak perlu lagi sebut namanya karena kau hanya perlu menikmati detik demi detik pernikahanmu bersama sang penyelamat koma.
Pernikahan ritual Shinto.
Kau yang sudah siap mengenakan wata boushi. Wajah terpoles riasan, bibir berbalut gincu, menambah anggunnya dirimu.
Yah, meski tanpa dandanan kau sudah naturalnya cantik secara lahiriah. Yang ada sekarang kau digiring menuju kuil Shinto yang masih satu halaman dengan rumahmu, keluargamu adalah pemilik tanah dari kuil itu.
-02 Februari 09.13 AM-
Sabar tak sabar, henti menjadi angan.
Kau takut tapi juga harus untuk menemui siapa pendampingmu.
Pernah kau ketahui siapa namanya, -shi, Hanashi. Begitu sayang kau lupa nama marga karena sibuk meresapi impian yang remuk. Berharap panggilannya lah yang menjadi pendamping.
Tiba di altar suci kuil, kau sudah dinanti olehnya yang sedang menghadap kepada Gūji. Tampak dari punggungnya, dia memiliki tinggi rata-rata dengan tubuh ramping.
Sibuk sertai gugup tertuju pada prosesi sampai akhirnya pembukaan tudung oleh sang mempelai pria. Kau pun hanya bisa pasrah dan melempar pandang ke bawah, tak ada rasa sesal atau bahagia terbersit dalam dada.
"Sudah lama menunggu, Hime-sama?"
Suara itu, kehadiran itu, dan penantian ini.
Kau membelalakkan mata bersamaan dengan menaikkan pandang kepada suamimu.
Alis sedikit tebal, mata cokelat-hazel dengan sebuah tanda lahir atau mol di bawah mata kirinya. Lengkap jua senyuman lembut di wajahnya.
Dia yang di depanmu, wujud asli dia yang di mimpimu. Tampak lain karena warna rambutnya hitam.
Tak pernah menduga. Bahagia atau haru.
"Ore wa anata ga natsukashii, Sugawara (F/n)."
Dia merindukanmu, (Y/n). Kau juga begitu, bukan?
"Watashi mo." Sigap kau memeluknya erat, dia membalas dengan dekapan sangat hangat.
Berbahagia?
Tentu.
Salju yang tidak begitu lebat di sekitaran, hangat bersamaan pancaran sinar mentari. Bersorak sorai menentramkan kedua hati pernah melewati rindu nan menyesak. Cinta yang murni bertaut tanpa memperumitkan perpisahan yang lalu.
Dimensi waktu yang kau miliki adalah pergantian musim. Musim bagi dirimu ialah berpindah pesat dari cuaca satu ke yang lain tanpa kau sadar dan duga, mulai dari dunia mimpi memasuki dunia nyata yang mana mereka seolah mewakili setitik suasana hatimu.
Dari musim yang kau nanti hingga yang kau coba hindari, setiap harinya yang terisi bingkisan berbagai kisah suka duka untukmu. Mereka ialah ruang waktu paling dekat dalam kehidupan manusia yang seringkali tanpa kita sadari.
Bagaimana pun juga kau tetap harus mensyukurinya, ya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top