Bagian 4: Masa Lalu
Setelah sekolah selesai.
Aku dan Vin tanpa basa-basi sudah sampai di area rumah kami. Rumahku dan rumahnya hanya berjarak 2 rumah saja. Dia tinggal dengan ayahnya yang juga merupakan seorang Teleport. Ibunya meninggal karena kecelakaan Lalu-lintas saat umurnya masih 4 tahun.
Ayahnya sangat shock saat itu. Sehingga dia mengurung diri selama berhari-hari di dalam kamarnya.
Vin yang masih kecil itu hanya menangis sejadi-jadinya menanyakan dimana ibunya.
Saat usianya 5 tahun dia baru pindah ke rumah yang berjarak hanya 2 rumah dengan rumahku. Saat itu aku hanya tahu ada tetangga baru yang pindah.
Tapi kami tidak terlalu tahu-menahu soal siapa itu. Kami hanya kenalan saat kami masih duduk dibangku TK.
Meskipun kami kenalan, kami tidak tahu bahwa rumah kami sebelahan. Sampai suatu ketika aku mengikuti les pianoku hingga larut malam. Aku pulang ke rumah bersama ibuku. Aku melihat Vin tergeletak di tanah di depan rumahnya. Saat itu hujan deras sedang berlangsung. Ibuku yang kaget segera menelepon ambulance.
Sebelum ambulance datang. Kami membawanya ke rumah kami. Mengganti pakaiannya yang basah dan memberi kompress air hangat.
Saat itu karena ibuku tidak punya pakaian anak laki-laki. Ibuku terpaksa memakaikannya pakaianku.
Aku ingin sekali tertawa ketika melihatnya memakai pakaianku. Tapi tidak baik jika menertawakan orang yang terkena musibah.
Setiba ambulance di rumahku. Vin segera dibawa oleh ambulancenya. Aku dan ibu ikut menaiki ambulancenya sebagai walinya.
Sebenarnya saat itu ibu ingin aku tetap dirumah. Tapi saat aku mengaku dia teman sekelasku, ibu mengijinkanku ikut.
Ketika sudah diberi perawatan yang benar. Vin bangun setelah 2 jam. Vin sangat kaget ketika melihat dia bangun di ruang yang tidak dikenalinya. Dia ingin bangkit dari kasurnya tetapi tubuhnya masih lemah sehingga membuatnya terbaring lemas dikasurnya kembali.
Aku yang melihatnya terbangun memanggil ibu. Selagi menunggu ibu datang saat itu, aku bertanya padanya "kenapa kau bisa pingsan di depan seperti itu?" tanyaku prihatin.
Dia terlihat kikuk dan bingung saat itu. Jadi karena melihatnya seperti itu, aku mulai memberinya pertanyaan yang baru yang mungkin bisa dia jawab.
"Jadi kau tinggal disana? Kaukah tetangga barunya?" tanyaku penasaran.
"I-Iya" jawabnya kikuk.
"kau ingat aku kann? Aku Teya teman sekelasmu" tanyaku memastikan sambil memberinya senyum termanis milikku.
Dia mengerutkan dahinya seperti sedang mengingat-ingat siapa aku. Hingga akhirnya berkata
"I-ingat kokk. Hmm.. kalau boleh tahu, kira-kira sudah berapa lama aku disini?" tanyanya.
"Kurang lebih sudah 2 jam kau terbaring disini, kami tidak bisa menghubungi ayahmu. Jadi kami membawamu tanpa ijin darinya, apa kau bisa meneleponnya agar dia bisa membawamu pulang?" tanyaku sopan.
"aku tidak bisa menghubunginya juga." ucapnya putus asa.
"Ohh, yasudah. Tidak apa-apa. Jika kau tidak punya tempat untuk tidur, kau bisa tinggal dirumah kami untuk sementara." Ucapku sambil memberikan senyum terbaikku.
Dia terdiam cukup lama sampai akhirnya dia menganggukan kepalanya padaku.
Saat ibuku tiba di kamarnya, aku mulai menceritakan apa yang kuketahui. Lalu, ibu juga mengangguk setuju dengan ajakanku untuk menginap di rumahku hari ini.
"Kamu boleh menginap hari ini di rumah tante ya nak. Tapi sebaiknya besok kamu harus pulang ke rumah atau setidaknya menelepon ke rumah. Karena jika ayahmu mendaftarkan dirimu sebagai anak yang hilang. Tante bisa dianggap menculikmu. Maaf ya nakk. Tante cuma bisa membantu sedikit, tante harap kamu mengerti yaa." jelas ibuku.
Vin mengangguk setuju, "Baik tante, besok saya akan pulang kerumah" ucap Vin.
"Yaudah tante panggilkan dokter dulu yaa, buat nanya apakah kamu udah boleh pulang atau belum." ucap ibuku.
Aku dan Vin mengangguk bersamaan.
Keesokan harinya, saat kami mengantarnya pulang. Ayahnya terlihat sangat khawatir padanya. Ayahnya terlihat uring-uringan di depan rumahnya, mungkin karena menunggu kabar dari Vin.
Ketika dia melihat Vin pulang, dia langsung memeluk Vin. Kemudian dia pun menjelaskan bahwa dia tidak ada di rumah kemarin malam karena ada keperluan mendadak.
Sehingga saat Vin pulang, Vin tidak dapat masuk rumah. Karena tidak ada yang bisa dilakukan olehnya, dia mungkin kedinginan di depan rumah hingga akhirnya jatuh pingsan.
Ayahnya Vin mengucapkan banyak Terima kasih kepada kami.
Sejak saat itulah kami jadi sering bermain bersama.
Ayahnya terlihat sangat ramah, baik dan tegas.
Saat itu aku mengetahui bahwa Vin merupakan orang yang sangat tertutup. Itulah sebabnya aku tidak terlalu banyak menanyakan kata "Kenapa" padanya.
****
"Vin tolong yaa! Adik guee." ucapku sambil mengedipkan sebelah mataku padanya.
"Please dehh! gue bukan ojek!" Ucapnya seolah gue peduli.
"Hahahahaha. bisa aja lo"Jawabku yang mengira itu adalah sebuah candaan.
"Gue serius kalii." ucapnya tanpa ekspresi.
"Yahhh vinnn, tolong donkk. kan bentar doankk" ucapku memelas.
"Adek siapa?" tanyanya nyolot
"Gue" jawabku pasrah.
"Jadi? Urusan gue?" tanyanya dengan ketegaan diatas rata-rata.
"Yaudah dehh! Paling gantian dia aja yang naik bus" ucapku jengkel.
Setelah mendengar jawabanku. Vin menghilang dalam sekejap mata.
Dan POOOFFF! Milly muncul di depanku.
"Makasih yaa Kak Vinnn" ucap Milly padanya.
"Sama-sama" jawabnya Vin.
Aku melihat Vin dengan raut muka cemberut. Vin tertawa melihat ekspresiku. Kemudian, Milly yang mendengar Vin tertawa mulai bertanya-tanya dengan apa yang sudah terjadi.
Setelah melihat wajahku, Millylah orang yang tertawa paling keras.
"HAHAHAHAHA! Kenape muke luu?" tawa Mily geli.
Aku memejamkan mataku, mengubah perasaan Mily menjadi warna Hijau kecoklatan yang artinya adalah Geram. Dalam sekejap Mily terdiam mukanya ikut cemberut sepertiku lalu.
"Oke, lo berhasil kak!" ucapnya cemberut.
"Punya gue gak lo ubah juga?" tanya Vin sambil nyengir geli.
"Gue gak mau nyentuh perasaan lo yang gelap itu! oke bye! Gue mau masuk kerumah, makasih jekk!"
"Jekk jekkk kepale luu! Gue V-I-N.." ucapnya terputus karena bantingan pintuku.
Begitulah kami ketika kami sedang bertengkar. Bagaikan Tom & Jerry. Bahkan banyak yang bilang bahwa kami sangat akur. Para fansnya juga tidak keberatan dengan hubungan kami. Mereka mengerti bahwa kami adalah teman baiknya sejak kecil. Vin sudah kuanggap saudaraku sendiri.
Sejak aku belum mengetahui kemampuannya. Aku sudah merasa senang berteman dengannya, meskipun terkadang aku tidak mengerti dengan warna perasaannya. Aku juga tidak tahu, apakah dia bisa mengontrol perasaannya agar tidak bisa dilihat olehku? Atau memang perasaannya sebenarnya adalah warna itu?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top