Bagian 13: Motif
Aku duduk di samping lapangan Voli. Aku mengenakan headset dan memutar lagu kesukaanku. Ini merupakan salah satu caraku menghilangkan stress. Memikirkan Vin selama seminggu ini membuatku frustasi.
Clue yang kudapatkan sama sekali tidak membantu. Aku mengalami insomnia setelah menghilangnya Vin. Ini terdengar sedikit berlebihan. Tapi memang benar, aku sangat mengkhawatirkannya. Pikiranku selalu melayang pada pelaku sebenarnya.
Sebelumnya mungkin aku sudah terpengaruh dengan omong kosong polisi yang mengatakan Vin adalah pelakunya. Aku terlalu fokus pada orang itu sehingga aku lupa akan kemampuanku yang bisa melihat perasaan dari warna.
Melihat tidak adanya warna perasaan pada orang itu. Itu berarti hanya ada dua kemungkinan.
Kemungkinan pertama adalah orang itu merupakan seorang netral. Kemungkinan kedua adalah orang itu bukanlah manusia.
Tidak, aku tidak bermaksud mengatakan bahwa itu adalah hantu. Aku hanya mencurigai semua hal. Karena semua orang disini memiliki kemampuan. Aku berfikir tentang seseorang yang berada disekitarku. Membuat bukti palsu dan membuat saksi palsu.
Banyak sekali kejanggalan yang menurutku tidak mungkin. Bagaimana tidak? Vin sebelumnya sudah memintaku untuk mempercayainya. Dia menangis padaku lalu menghilang begitu saja. Kemudian, saat aku melihatnya di depan gerbang. Itu merupakan hal yang tidak mungkin. Jika memang dia ingin melihatku, dia bisa saja kapanpun muncul di depan kamarku, tanpa mencurigai polisi dan tanpa resiko ditangkap oleh polisi.
Kenapa pula dia harus ke sekolah mengenakan ciri khas penculik itu dan muncul di tengah-tengah kemungkinan bisa terlihat oleh orang banyak?
Dia seolah muncul untuk menguatkan kesaksianku dengan ciri khasnya.
Ini cukup menganggu pikiranku selama ini. Sebenarnya apa yang diinginkan penculik itu? Kenapa aku yang dibiarkan untuk melihatnya? Apa dia mencoba mempermainkanku?
Ahh! Aku sangat benci situasi ini!
"Teya?" Panggil Reva samar dari balik Headset yang kupakai.
Aku melepas headset yang kukenakan.
"Eh.. Ada apa Va?" tanyaku kanget dengan kemunculan Reva.
"Kenapa Tey? Kamu belakangan ini kayaknya rada diem dari biasanya. Masih mikirin Vin?" ucapnya.
"Entah lah Va, aku hanya banyak pikiran." Tukasku.
Dia mengernyitkan dahinya. "Sabar ya Tey. Gue juga ga percaya dia pelakunya. Bukti polisi pasti hanya bohongan." Ucapnya menenangkanku.
"Makasih ya Va, lo udah nenangin gue dan udah nemenin gue selama gue kesepian." Ujarku sambil tersenyum padanya.
"Sebenarnya gue cuman ikut prihatin aja sama lo, soalnya lo kan udah deket banget sama Vin sejak kecil. Pasti mengejutkan kan ketika teman terdekat kita itu dituduh sebagai pelaku kriminal." Ucapnya dengan ekspresi teduh yang tulus.
"Ya, makasih ya Va" Ujarku.
"Kalau gitu gue duluan ya Tey, ada Rapat Osis hari ini. Kalo lo mau pulang, lo duluan aja soalnya gue juga ga bisa mastiin kapan kelarnya." Ucapnya.
Ya, kami belakangan pulang bareng karena menaiki Bus yang sama.
"Oke, Va." Balasku.
Setelah kepergian Reva, aku mengenakan kembali headset yang ku lepaskan tadi. Menutup mataku, berusaha mendengarkan pada musiknya, daripada mendengarkan kepalaku.
Dibalik kelopak mataku, aku melihat banyak warna. Sepertinya orang-orang berlalu-lalang. Tidak, Bukan. Ini Berlarian! Warna ini terlalu cepat bergerak. Samar-samar suara dari luar menjadi bising.
Aku membuka mataku. Melihat apa yang terjadi. Memang benar, semuanya sedang berlarian menuju ke lapangan basket dan membentuk kerumunan disana.
"Kali ini apa lagi?" Batinku.
Baru saja aku ingin pergi ke lapangan. Seseorang membekap mulutku dari belakang. Aku berusaha memberontak. Lalu, orang itu berbisik padaku.
"Kau merindukanku?" suara itu sangat Familier. Sehingga membuatku meneteskan air mata rindu.
Dia membawaku dengan Teleportasinya. Dalam sekejap, aku sudah berada di tengah-tengah hutan.
Hutan ini gelap, sepertinya di negara yang berbeda. Dia melepas bekapan tangannya dari mulutku. Melakukan teleportasinya, kemudian berpindah tepat di depanku.
Dia melepas masker pada wajahnya. Dan benar, itu Vin. Dia menunjukkan warna kesedihannya.
Meski begitu, ekspresi wajahnya sangat dingin. Matanya menatapku dengan sinis. Bibirnya menyunggikkan senyum sinis.
"Vin..." Panggilku lirih.
Dia mengambil sesuatu dari dalam tas selempang yang ia bawa. Kemudian mengeluarkan benda itu. Benda itu berkilauan terkena cahaya bulan.
Itu pisau!
Situasi ini sangat mirip dengan mimpiku waktu itu. Dari pakaian Vin, pisaunya, bahkan ekspresi wajahnya.
Kebodohanku di dalam mimpiku adalah aku lari dari Vin.
Dia menatapku tajam. Mengangkat sebilah pisau untuk dihujamkan padaku. Aku menatapnya dalam, dengan ekspresi teduh tanpa rasa takut padanya.
Dia mulai mengayunkan Pisaunya. Aku hanya tersenyum tulus padanya. Kemudian, dia melepaskan pisau itu dari genggamannya dan berlutut padaku.
Tubuhnya bergetar, seperti sedang menangis. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya. Dia terlihat lebih frustasi dariku.
Aku mengikuti posisinya yang berlutut di depanku dan memeluknya erat, menepuk pundaknya untuk menenangkannya.
"Aku merindukanmu, Vin" Ucapku Lirih.
"Kenapa?" Ucapnya parau. "Kenapa kau mempercayaiku? Kenapa kau tidak lari? Kenapa kau tidak takut padaku?" sambungnya.
"Entah lah, mungkin kau tidak cukup seram." Candaku.
Dia membalas pelukanku. "Jangan mempercayaiku Teya. Suatu saat, bisa saja aku benar-benar melakukannya."
Aku menghela nafas panjang. Mengelus pundaknya dengan sayang. "Aku yakin kau sudah tahu tentang ini Vin. Tapi sebelum kau benar-benar melakukannya. Aku ingin memberitahumu secara langsung." Jelasku.
"Sejak pertama kali aku melihatmu, aku penasaran padamu, karna kau berbeda dari yang lain. Saat aku mulai mengikutimu kemana-mana. Aku ingin menjadi temanmu. Saat dimana kau menyelamatkanku untuk pertama kali. Saat itulah aku sadar aku menyukaimu Vin. Aku tidak akan menanyakan kenapa kau begini. Kenapa perasaanmu terlihat begitu pedih. Aku percaya kau akan menjelaskannya saat kau sudah siap."
Sambungku sambil tersenyum.
Dia mengusap air matanya. Lalu, melepaskan pelukannya. Mengenggam tanganku erat. "Ayo kita kembali." Ucapnya.
"Vinn... Berjanjilah kau akan kembali." pintaku memelas.
Dia mengangguk pelan. Kemudian akupun tersenyum.
Dia membawaku dengan teleportasinya untuk kembali ke sekolah. Dalam sekejap aku sudah berada di tempat aku dibawa tadi.
Suasana di sekolah sangat sepi. Aku melihat lapangan sudah di lingkari garis polisi lagi. Tapi sepertinya ada kejadian lagi tadi.
Aku akan menanyakannya pada Reva nanti.
Aku berjalan menuju UKS. Mencoba untuk tidak masuk kelas saja. Karena masuk sekarang hanya akan membuatku dihukum saja.
Sesampaiku di UKS. Perawat langsung menyambutku dengan ramah. Menanyakan apa yang aku rasakan. Aku berpura-pura sakit perut. Tapi bodohnya aku, aku lupa perawat UKS itu pemilik kemampuan yang bisa mengecek kondisi tubuh hanya dengan melihatnya saja. Matanya sudah seperti Rontgen alami.
"Kau ingin membolos ya Teya?" tanyanya tiba-tiba.
"Biarkan aku disini sampai kelas selanjutnya dimulai. Aku sudah kelewatan pelajaran. Masuk sekarang hanya akan memperkeruh keadaan. Aku mohon." Ucapku memelas.
"Baik. Silahkan saja. Istirahatlah." ucapnya sambil mempersilahkanku pada tempat tidur yang kosong.
"Terima Kasih Bu"
Aku berbaring sebentar di kasur pasien. Memikirkan kekhawatiran tak berujungku pada Vin sudah sirna. Aku melihatnya sehat-sehat saja. Hanya stress yang melandanya sepertinya sangat berat untuk ia pikul.
[DING-DONG] Terdengar Loudspeaker sekolah yang berdenting keras. Sepertinya ada pengumuman.
"Mohon Perhatian, Kami Minta agar Theya Addilyn datang ke Perpustakaan Sekolah. Barang siapa yang melihat Theya Addilyn mohon diberitahukan tentang pengumuman ini. Terima kasih" Sepertinya itu suara pak Luis.
"Ya ampun, ada apa lagi ini." batinku.
Aku bangkit dari kasur pasien. Kemudian, bergegas pergi ke Perpustakaan.
Pak Luis dan Pak Juan sudah menunggu di depan perpustakaan. Mereka yang melihatku menatapku dengan tatapan serius.
"Masuklah Theya" Ucap Pak Juan.
Posisi duduk kami tetap sama seperti sebelumnya saat di introgasi.
"Begini nak. Kami menemukan Bukti bahwa kau dibawa oleh Nicholas Vin." ucap Pak Juan.
"Enggak tuh. Saya hanya tidak enak badan. Makannya tadi saya berada di UKS." Bohongku.
Pak Juan memutar laptopnya menjadi mengarah padaku. Kemudian, dia memutar Video rekaman CCTV. Itu adalah rekaman CCTV ketika aku dibawa oleh Vin.
"Apa bukti ini masih kurang bagimu?"
Aku terdiam dan menunduk.
"Theya, karena kau pergi dibawa olehnya. Itu artinya kau tidak tahu apa yang telah terjadi di lapangan tadi." Ucap Pak Juan.
"Maggie sudah ditemukan di tengah lapangan tadi. Karena CCTV yang mengarah di lapangan sudah dipasang. Kami melihat orang yang mengembalikan Maggie dan orang yang membawamu, memiliki ciri khas yang sama. Seolah dia mengembalikan Maggie untuk mengalihkan perhatian orang-orang. Maggie ditemukan dalam kondisi mengenaskan. Dia ditemukan sudah tidak bernyawa. Tubuhnya terdapat bekas ikatan, banyak memar pada tubuhnya. Hasil otopsi akan keluar nanti sore. Setelah hasil otopsi keluar dan terdapat sidik jari Vin di tubuhnya. Maka Surat perintah penahanannya akan keluar."
"Jika memang dia adalah seorang pelaku, maka kami pun sudah menemukan motifnya." Ucap Pak Juan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top