Christmas : 06

Senin 24 Desember

Tokyo, Jepang.

"Aku harus cepat!"

Aku berlari di antara pejalan kaki, larian ini membuatku terkadang saling beradu bahu dengan pejalan kaki saat melintas. Aku meminta maaf berulangkali dengan kecepatan lari tidak berkurang. Sesekali kulirikkan atensi ke arah jam tangan yang melingkar manis di pergelangan tangan kiri, pukul 05:45 P.M.

"Kumohon semoga tiba tepat sebelum misa dimulai," mohonku dengan terus memacu kecepatan lari. Flared skirt yang kukenakan selalu berkibar saat kecepatan lari dan deru angin saling bertaut, ia berkibar, melambai-lambai begitu lembut.

Larianku mulai melambat dan berhenti saat sudah berada di luar gedung gereja, peluh keringat yang sedari tadi mengucur deras kuseka dengan lembut. Sejenak kulirikkan kembali ke jam tangan, pukul 06:00 P.M.

'Tepat waktu,' batinku bersyukur.

Sebelum masuk, aku membenahi seluruh pakaian yang kukenakan, sling bag yang tersampir di bahu bahkan rambutku yang tergerai, aku tak boleh tampil berantakan saat misa dan berhadapan dengan Tuhan. Seusai itu, kulangkahkan kaki, menaiki satu persatu anak tangga lalu masuk ke dalam gereja untuk mengikuti misa natal.

🕊

Dua jam telah kulalui begitu khidmat, pelaksanaan misa natal berjalan begitu lancar. Aku masih duduk di bangku bagi para jemaat, seorang diri dengan atensi menatap sebuah salib besar yang terpasang di panti Imam. Tatapanku begitu datar, pikiranku melalang buana, menjelajahi setiap memori yang bersemayam di dalam ingatan. Memori sukacita, kekesalan bahkan memilukan mulai bermain, mereka secara bergantian memutar kilas balik milikku selayaknya kaset film.

Tiap jatuh bangun, sedu sedan yang telah kualami berputar, pemutaran kilas balik ini membuat emosiku kembali tidak stabil. Emosi kebahagiaan, marah bahkan sedih bercampur menjadi satu, membentuk sebuah emosi besar yang siap ditumpahkan melalui tangisan. Sejenak aku menggeleng pelan, meminta diriku untuk tidak menangis. Dalam lubuk hati, aku terus memohon, mengucapkan 'selamat atas kerja keras yang telah dilakukan selama ini' dan pujian untuk diriku sendiri karena telah bertahan hingga di titik ini.

"Tuhan, aku berterima kasih kepada-Mu karena terus berada bersamaku, di manapun aku berada. Terima kasih telah membuatku berada di dunia ini, memperlihatkan kepadaku hal-hal yang sudah biasa terjadi di sini." Aku mulai berkata tanpa emosi, begitupula dengan tatapanku. "Engkau telah memperlihatkan dua sisi yang dimiliki dunia maupun kehidupan, sisi menyenangkan, kebahagiaan dan sisi memilukan, menyedihkan. Aku juga berterima kasih telah membuatku terlahir dan menjadi bagian dari keluarga Narita, meski hanya sebentar," lanjutku dengan nada pelan.

"Saat aku berada di sini, di dunia ini, aku banyak belajar mengenai arti saling percaya satu sama lain, menyayangi, arti sesungguhnya dari pertemanan dan lainnya. Selama aku masih bernapas, berada di dunia ini, Engkau telah menghadirkan sesosok teman yang sangat berarti untukku, teman yang masih peduli padaku, mengingatkanku untuk terus berjuang dan bertahan di dunia ini dengan untaian kalimat berarti." Kedua tangan menyatu dengan jari jemari saling bertautan, kedua tanganku berada di atas pangkuanku.

"Dia selalu memberitahuku, memberitahu apa yang diketahui dirinya. Ia pernah berkata, sebuah perjuangan akan begitu berarti untuk diri sendiri suatu saat nanti, perjuangan hasil jerih payah yang sudah dilakukan dengan sungguh-sungguh dan optimis. Tuhan, bolehkah aku meminta beberapa permintaan? Aku ingin orang-orang yang telah peduli padaku diberi keberkahan selama mereka hidup, diberi kebahagiaan dan pengampunan dari-Mu. Aku ingin melihat mereka bahagia, tabah dan sabar saat melalui setiap lika-liku kehidupan." Aku menghela napas panjang, setiap helaan dipenuhi rasa sesak yang merelung di dalam sukmaku. Aku pun merasakan cairan hangat menggenang di sekitar pelupuk mata, sebuah senyuman gentir perlahan kuterbitkan. "Jadikan kehidupan mereka, umatmu menjadi berarti. Dan ... kumohon ... jangan kau ambil Kujo Tenn, sosok yang kukagumi begitu cepat. A-aku belum siap, belum siap jika ... ia pergi meninggalkanku ... meninggalkan teman dan keluarganya secara mendadak. A-aku sangat memohon hiks ... kabulkan permintaanku ... semua permintaan yang kutujukan kepada-Mu. Hiks ... kabulkan permintaan kecil dan sederhanaku, Tuhan," isakku memohon.

Aku menangis kecil, kedua tanganku melepaskan tautan, bergerak menuju dadaku dan meremas mantel yang kukenakan. Permohonan itu, permintaan itu kuucapkan setulus hati, permintaan sederhana yang mampu membuatku menangis tersedu-sedu. Tertunduk dengan tubuh bergetar pelan, untaian helai rambut jatuh berguguran, menutupi sebagian wajahku yang terhias kristal bening meleleh mengalir lembut. Tangisan kecilku masih terus beralun, membentuk sebuah melodi menyayat hati.

Tap! Tap!

Derap kakiku terdengar begitu lemah, seperti tidak ada rasa semangat untuk menjalani hari. Aku sedikit tertunduk dengan beberapa anak rambut menutupi salah satu mataku yang sembab. Aku berjalan begitu gontai dengan tangan kanan memegang lengan kiri yang berada di samping tubuhku,

Setiap jalanan yang kulalui, banyak orang mampir ke toko untuk membeli hadiah agar bisa bertukar hadiah antar anggota keluarga maupun teman. Seketika kilasan lama sebelum kejadian berputar di ingatanku, membuatku menanggung rasa rindu amat berat terhadapnya. Kilasan di mana aku saling bertukar hadiah bersama keluarga dan para pembantu, tertawa riang dengan euforia menggembirakan. Euforia yang selalu kurindukan, yang selalu kuinginkan terjadi setiap malam natal. Namun sekarang tinggallah kenangan, kenangan yang selalu menghantuiku di masa sekarang hingga senja nanti.

"Berbahagialah kalian untuk merayakan malam natal," lirihku ditelan riuh rendah kendaraan. "Kuharap kalian selalu berbahagia dan berdamai, jangan seperti aku, sang gadis yang dibenci keluarganya sendiri," harapku sembari menggigit bibir.

"Dan aku juga mengharapkan hal yang sama untukmu ...."

Suara mengisyaratkan harapan membuatku tersentak kaget, suara yang amat kukenali kembali menegurku. Kedua tanganku mengusap pipi yang sekiranya menyisakan air mata di sana, setelah yakin sudah tidak ada lagi, aku berbalik dan menatapnya dengan mata masih sembab.

"Happy merry christmas, Nathalia." Ia mengucapkan hal yang biasa diucapkan saat merayakan malam natal padaku.

"Happy merry christmas too, Kujo Tenn." Aku kembali memberikan ucapan padanya dengan suara pelan, tujuannya untuk menghindari kericuhan bila ia berada di sini.

"Apa yang kaulakukan di sini?" tanyaku sembari melihat penampilannya dari atas bawah, ia mengenakan mantel musim dingin pink pucat, sebuah topi dan kacamata sebagai penyamarannya. "Apa kau ingin mengunjungi adikmu?"

"Aku ingin mengajakmu pergi merayakan malam natal," jawabnya membuatku mengernyitkan dahi. "Merayakan malam natal?" ulangku dibalas anggukan singkat darinya.

"Kau sudah berdoa di gereja, bukan?" Anggukan singkat menjadi jawaban atas pertanyaannya.

"Kalau begitu, lekas ikut aku pergi ke suatu tempat untuk merayakannya." Kujo Tenn mengajakku untuk mengikutinya, kulihat ia melirikkan matanya mengisyaratkan untuk segera ikut dirinya.

Sekali lagi aku ingin menolak, kubuka mulutku untuk menyampaikan sebuah penolakan.

"Maaf, aku-"

"Aku tidak mau menerima penolakan darimu," potongnya membuatku berdecak pelan.

"Menyebalkan," makiku dengan suara amat pelan.

"Ayo, Nathalia." Ia kembali mengajakku, berbalik dan meninggalkanku yang masih berdecak pelan.

"Deep River?" tanyaku sembari melihat sebuah papan nama di depan sebuah bangunan asing.

Aku melihatnya berjalan menuju pintu besi, meraih gagang pintu lalu membukanya sehingga menimbulkan sedikit decitan.

Kriet!

Ia membuka pintu begitu lebar, menoleh ke arahku dan memberi isyarat untuk aku lekas masuk ke dalam.

"Deep River, tempat apa itu?" Aku bertanya kepadanya sebelum memantapkan diri untuk masuk ke dalam. "Kau tidak mengajakku masuk ke tempat klub malam, bukan?" tanyaku sembari memicingkan mata, menatapnya penuh selidik.

"Kaupikir aku pria macam apa sampai mengajak seorang wanita pergi ke tempat klub malam?" ketusnya dibarengi tatapan dingin. "Deep River bukanlah tempat yang kau maksud. Jadi, cepatlah masuk sebelum udara dingin membuatmu sakit."

Aku mengembuskan napas pelan, memilih melangkah masuk ke dalam tempat tersebut. Sejenak aku berhenti melangkah tepat di depannya, menoleh ke arahnya dan menatap dengan datar.

"Aku pikir kau pria baik yang sangat disayangkan bila disia-siakan," tandasku segera berlalu darinya, meninggalkan tubuhnya yang mematung.

Aku menuruni setiap anak tangga, tangan kananku menyentuh dinding bangunan, merasakan teksturnya.

"Ryu, gantungkan ornamen kepingan salju di sana."

"Baik!"

Dua buah percakapan menyapaku, aku mengernyitkan dahi, merasa kenal dengan dua suara itu dan apakah ada orang lain di sini? Berapa jumlahnya?

Tap!

Langkah terakhirku mendarat di atas lantai keramik cokelat, netraku menatap dua orang sebagai objek penglihatan saat ini. Seorang pria berperawakan tinggi dengan kulit dan juga rambutnya berwarna cokelat sedang menyusun ornamen kepingan salju di setiap bagian pohon natal, seorang pria lagi dengan perawakan kulit sebening susu dan rambut keabu-abuannya menatap pekerjaan yang dilakukan temannya dengan saksama. Dua orang tersebut yang kukenal sebagai teman satu grup Kujo Tenn, TRIGGER. Aku mengenali mereka karena suka melihat perform TRIGGER di website resmi.

Salah seorang dari mereka yang merasakan kehadiranku, menatapku terkejut, pupil mata keabuan membesar yang sepertinya menatap tepat di mataku. Aku menyunggingkan senyuman samar untuknya, "Konbanwa, Yaotome Gaku."

Yaotome Gaku, nama pria itu menampilkan wajah terkejutnya. Kutebak ia merasa heran, bagaimana bisa seorang gadis asing berada di Deep River, menyapanya dengan tenang tanpa ada unsur fangirl?

Lalu aku melihat seorang pria menatapku sama terkejutnya dengan Yaotome, hanya saja ia sedikit membuka mulutnya. "Konbanwa, Tsunashi Ryunosuke."

"K-konbanwa mo," jawabnya sedikit tergagap. Aku mengangguk pelan dengan senyuman samar masih di sana. Mataku menatap mereka secara bergantian, melihat perubahan ekspresi mereka dengan jeli. Salah seorang dari mereka membuka mulut, menyampaikan pertanyaan untukku.

"Siapa kau?" tanya Yaotome dengan tatapan menyelidik.

Saat ingin menjawab pertanyaannya, sebuah suara interupsi membuat semua pandangan kami menuju anak tangga.

"Gadis itu temanku," interupsi Kujo Tenn dengan tatapan khasnya. "Aku yang mengajaknya kemari, kuharap kalian tidak keberatan," tukasnya membuat kedua temannya paham.

"Souka ...."

"Kenapa kau tidak memberitahu kami terlebih dahulu, Tenn?"

Ia mengangkat bahunya, acuh tak acuh. "Sengaja."

'Jawaban menyebalkan,' pikirku.

"Ck, apa kau tidak khawatir bila akan terjadi skandal lagi, huh?"

"Gadis yang kubawa tidak akan pernah melakukan hal demikian," kata Kujo Tenn sembari melirikku. "Aku mempercayai Nathalia tidak akan melakukannya."

Tatapanku beralih ke dua orang temannya, melihat respon dari gestur tubuh mereka. Yaotome terlihat mengembuskan napas pelan, sedangkan Tsunashi seperti tersenyum lega.

"Yokatta, semoga ini benar adanya, Tenn." Tsunashi memberi respon cukup baik diikuti anggukan pelan dari Yaotome.

"Akan sangat merepotkan bila terjadi skandal lagi, Tenn." Yaotome berkomentar demikian.

"Aku tahu itu, Gaku."

Aku merasa mereka masih mengingatnya tanpa ingin melupakannya. Aku memakluminya karena bisa merasakan bagaimana rasa terpuruk, sakit saat mengetahui berita tersebut meski hanyalah gosip belaka, meskipun aku belum pernah mendapatkan berita semacam itu dan berharap tidak akan pernah.

"Maaf telah membuat kalian merasa gelisah karena kedatanganku secara tiba-tiba," celetukku meminta maaf. Enam pasang mata menuju ke arahku, memandangku dengan tatapan menenangkan.

"Daijoubu desu, etto ... namae wa?"

"Nathalia Adelle desu, yoroshiku onegaishimasu."

"Yoroshiku onegaishimasu, Nathalia Adelle?"

Aku tersenyum geli saat mereka begitu ragu menyebutkan namaku, sepertinya takut salah dalam pengucapannya.

"Sepertinya kalian kesulitan dalam pelafalan namaku, ya?" tebakku dibalas senyuman kikuk sekaligus malu dari mereka.

"It's okay, aku paham." Mataku menatap intens ke arah Yaotome dan Tsunashi, tentu dengan senyuman geli di wajahku. "Panggil saja Natha atau Nathalia bila kesulitan memanggil nama panjangku," lanjutku memberi izin.

"Bolehkah?" tanya Tsunashi ragu, aku mengangguk pelan. "Tentu, ini mempermudahkan kalian untuk memanggilku. Lagipula ada beberapa orang memanggilku dengan dua panggilan yang kusebutkan tadi," tukasku membuat mereka mengangguk mengerti.

"Baiklah, kalau begitu aku memanggilmu Nathalia," putus Yaotome tersenyum kecil.

"Aku memanggilmu Natha-chan," putus Tsunashi membuatku sedikit mengernyitkan dahi.

"Natha-chan?" ulangku memastikan.

"A ... etto, apa kau tidak menyukainya?" tanya Tsunashi panik.

'Apa nadaku terdengar seakan tidak menyukai, ya?' pikirku setelah mendengar responnya.

"Ka-kalau begitu, aku memanggilmu Natha-san!" putusnya masih panik. Ia terlihat seperti gelisah dengan keputusan terbarunya, berdiri tidak tenang, takut jika aku tidak menyukainya sama seperti keputusan pertama.

"Kenapa kau mengganti keputusanmu, Tsunashi?" Aku bertanya sembari menatap datar padanya. "Apa kau sama sekali belum bisa berpegang teguh dengan keputusanmu? Merasa gelisah bila orang lain tidak menyukai keputusanmu?"

"Bu-bukan begitu maksudku!" Ia menjawabnya dengan raut wajah panik. "Aku merasa kau tidak menyukai panggilan yang telah kuputuskan pertama," paparnya membuatku menaikkan sebelah alis.

"Aku menyukainya, kok. Menyukai panggilan 'Natha-chan' yang kauberikan tadi," jujurku sembari berkacak pinggang. "Aku tidak akan protes dengan panggilan nama yang kalian berikan untukku, selama kalian merasa nyaman dengan nama panggilan tersebut dan aku tidak tersinggung karenanya."

"S-souka ...."

Sekali lagi aku mengangguk, meyakinkan kepada mereka bahwa aku mengizinkan dan tidak akan protes masalah hal tersebut.

"Percayalah padaku, TRIGGER."

̷̷̷ °

"Natha-chan, apa yang biasa kaulakukan saat malam natal?"

Aku menghentikan kegiatan memasang hiasan pohon natal kala Tsunashi mengajukan pertanyaan untukku. Kepala kutolehkan menuju meja bar, menatap tiga orang pria berbeda usia sedang duduk di kursi sembari melihat apa yang kulakukan. Ini kemauanku untuk melanjutkan menghias pohon natal sendiri, meminta mereka untuk melihat saja.

"Biasanya aku berkumpul bersama keluarga, saling bertukar hadiah, bercerita mengenai santa claus dan bernyanyi bersama," ungkapku.

"Terdengar seru," komentar Yaotome sembari berpangku dagu. "Ja ... apa kau masih melakukannya sampai sekarang?"

Aku terpaku sebentar dengan pertanyaannya lalu tersenyum tipis, "Tidak, Yaotome. Kegiatan itu sudah lama tidak kulakukan karena suatu hal."

"Suatu hal apa yang kau maksud?"

"Jangan menanyakan hal begitu privasi, Gaku."

Kujo Tenn menyubit pipi kiri Yaotome sembari berkata demikian, matanya melirik ke leader dengan kesal. Cubitan yang ia berikan membuat sang empu nama meringis kesakitan, sesekali menepuk tangan laki-laki bernetra dark pink dengan maksud lepaskan cubitannya.

Kujo Tenn melepaskannya, tatapan malas ia perlihatkan. Yaotome mengelus pipinya sedikit memerah, mulutnya bergerak pelan entah apa yang diucapkannya. Aku melihat Tsunashi tertawa kikuk, tangannya menggaruk pipinya.

"Gomennasai untuk pertanyaannya," maafnya dibalas kibasan tangan dariku. "Tak perlu meminta maaf, aku memakluminya."

Aku melanjutkan kegiatan yang tertunda, sekarang hanya memasang sebuah hiasan bintang di puncak pohon natal. Sedikit berjinjit karena perbedaan tinggi antara aku dengan pohon natal, berusaha meletakkan bintang tersebut tanpa membutuhkan bantuan orang lain. Karena usahaku, aku berhasil melakukannya. Memang benar kata orang, usaha tidak akan mengkhianati hasil.

"Otsukaresama, Nathalia."

Aku tersenyum kecil sebagai tanggapan, tatapanku masih ke arah pohon natal yang telah kuhias sebelum beranjak ke arah lain, lebih tepatnya ke arah mereka.

"Apa kalian selalu merayakannya?" Aku menatap satu persatu member TRIGGER, kedua tanganku berada di kantong mantel. "Merayakan natal tanpa memiliki jadwal tampil di acara manapun."

"Tidak terlalu." Kujo Tenn menjawab dengan kepala seakan menggeleng. "Jika ada waktu saja kami merayakannya, benar-benar jika ada waktu."

Aku mengangguk paham, "Apa kehidupan menjadi idol menyenangkan?"

"Tergantung bagaimana sudut pandangmu menilai."

"Apa kalian merasa senang, mencintai pekerjaan yang sedang ditekuni hingga sekarang?"

"Kalau soal itu, aku merasa senang dan mencintai pekerjaanku sekarang." Tsunashi menjawabnya sembari terkekeh pelan diikuti terbitnya sebuah lengkungan nipis di wajah Yaotome. "Ya, aku juga."

Sudah dua orang yang menjawabnya, tinggal sang center dengan perkataan setajam pisau yang belum menjawab. Netraku menatap setiap gestur tubuh yang dilakukan olehnya, mencoba menelaah arti dari gestur tubuh tersebut.

"Omong-omong ...." Tatapanku beralih ke salah seorang temannya dengan menaruh sebait pertanyaan yang tersirat dari tatapanku.

"Duduklah di kursi ini, Nathalia." Yaotome menepuk kursi yang berada di kirinya, memberi sinyal padaku agar duduk di sana. Aku tersenyum simpul, tangan kananku membenahi mantel yang kukenakan sebelum melangkah ke sana.

Sret!

Aku menarik kursi lalu mendudukinya, kedua tangan putihku berada di atas pangkuan milikku. Hening mulai tercipta di dalam ruangan, tatapan kami berada di satu titik yang sama, pohon natal. Tiap tarikan napas milik kami dapat didengar karena keheningan tersebut.

"Kau bilang setiap hari natal suka bernyanyi bersama dengan keluarga, bukan?"

Kepala kutolehkan menuju sumber suara, menatapnya dengan tatapan bertanya. "Iya."

"Apa kau masih melakukan kegiatan tersebut meski bukan di hari natal?"

Anggukan pelan sebagai responku, "Jika ada waktu senggang. Why, Kujo Tenn?"

"Tidak ada, hanya ingin tahu saja." Ia menjawabnya tanpa beban. Aku sedikit menaikkan satu alis, hanya ingin tahu katanya? Apa dia agak tertarik dengan pernyataan yang telah kubuat tadi?

"Apa maksudmu-"

Perkataanku terpotong begitu saja dikarenakan sebuah suara interupsi mengajukan ajakan untuk kami.

"Ah, saatnya kita pergi, Tenn, Ryu." Yaotome menginterupsi mereka untuk bergegas pergi ke suatu tempat, ketiga member bangkit dari duduknya lalu mengenakan mantel musim dingin berbeda warna.

Aku senantiasa mengamati mereka tanpa ada niatan untuk ikut bangun dari duduk, memilih diam tanpa berkata sepatah katapun terlebih bertanya pada mereka ingin pergi ke mana. Itu urusan mereka ingin ke mana, dan aku hanyalah seorang gadis penggemar mereka bukan manajer, jadi aku tidak perlu tahu ingin pergi ke mana mereka.

Mataku melirik ke arah jam tangan, melihat dua buah jarum menunjukkan angka berbeda, 09:00 P.M.

'Waktuku untuk pulang,' putusku dalam benak. Tubuhku mulai bergerak bangun, memperbaiki sampiran sling bag lalu mendekati mereka meminta izin untuk pulang.

"All," panggilku membuat mereka menoleh. "Terima kasih banyak sudah memperbolehkanku untuk berada di sini dalam jangka waktu cukup lama, aku pamit pulang," pamitku membuat mereka terkejut.

"Eh, kau ingin pulang?"

Aku mengangguk pelan, "Hum, aku ingin pulang. Lagipula kalian akan pergi, bukan?"

"Memang benar, kami akan pergi." Kujo Tenn menjawabnya disertai anggukan pelan. "Tapi pergi bersamamu," tandasnya membuatku mengernyit heran.

"Untuk apa aku ikut dengan kalian?" Aku mengeluarkan pertanyaan kebingunganku. "Bukannya kalian akan pergi ke tempat kerja?"

"Oh ... jadi kau mengira kami akan pergi ke tempat kerja?"

Aku mengangguk pelan sebagai jawaban, Kujo Tenn terlihat menghela napas pelan lalu menoleh ke Yaotome dan Tsunashi. "Kalian duluan saja, kami akan menyusul setelah selesai membincang sesuatu."

Tatapanku beralih ke mereka, melihat mereka memberikan respon anggukan mengerti. "Jangan lama-lama berbincangnya," saran Yaotome sembari berlalu dari sini diikuti dengan Tsunashi dan seulas senyum tipisnya. Mereka menaiki satu persatu anak tangga dengan derap kaki menggema, beberapa menit kemudian, derap kaki tersebut menghilang pertanda mereka telah keluar sepenuhnya.

"Perkiraanmu salah, Nona sempurna." Suaranya memecah keheningan membuatku kembali menaruh sepenuhnya atensi ke dirinya. "Salah?" ulangku.

"Ya. Kami tidak pergi ke tempat kerja karena tidak ada jadwal tampil malam ini," jelasnya membuatku paham.

"Lantas kalian akan pergi ke mana, terlebih lagi mengajakku untuk ikut?"

"Kau akan tahu jika ikut bersama kami, Nathalia."

Kujo Tenn mendekatiku dan berhenti tepat 40 cm dariku, tatapan tajamnya membuatku seakan tidak berkutik sama sekali. Kami saling bersitatap beberapa waktu ke depan sampai aku memutuskan kontak mata di antara kami lalu mundur beberapa langkah darinya.

"Kenapa kau tidak menatapku?" tanyanya dengan nada tidak mengenakkan. Aku menghela napas, sedikit melirik ke arahnya lalu menjawab, "Kita sudah melakukannya tadi, apa itu belum cukup?"

"Menurutku, itu lebih dari cukup." Ia menjawab pertanyaanku seadanya. "Untuk aku melihat dan mengetahui keadaanmu hari ini," lanjut Kujo Tenn membuatku sedikit mengulum senyum.

"Kita terlalu lama di sini, lekas kita menyusul mereka." Kujo Tenn mengajakku, melangkahkan kakinya diikuti langkahku. Aku berusaha menyamakan langkahnya yang begitu cepat, mengambil langkah agak besar agar sama dengan langkahnya. "Aku tidak ingin anak-anak menunggu terlalu lama di sana," tuturnya membuatku kebingungan lagi.

'Anak-anak?'

Klek!

Tap!

Aku memijakkan kaki di sebuah halaman gedung tak terlalu megah, halaman yang sebelumnya penuh dengan warna hijau khas rumput berubah menjadi putih bersih. Mengedarkan pandanganku dan yang kudapati hanyalah keheningan. Keheningan ini membuat naluriah keinginantahuanku terbangun dan mulai menjalankan tugasnya, menanyakan keberadaan aku sekarang dan tempat apa yang kudatangi.

"Ano ... Natha-chan."

Sebuah suara memanggilku begitu ragu, membalikkan daksaku dan menatap Tsunashi yang sedang membawa beberapa hadiah di genggamannya. "Iya, Tsunashi." Aku menyahutnya dengan pandangan tertuju pada hadiah-hadiah itu.

"Bolehkah kau membantuku menutup bagasi mobil? Tanganku terlalu penuh untuk melakukannya," pinta Tsunashi seperti tak enak hati.

"Tentu, akan kulakukan, Tsunashi." Aku tersenyum simpul lalu berjalan menuju bagasi mobil dan menutupnya dengan kencang.

Brak!

Aku menutupnya terlalu kencang membuat ia menimbulkan suara begitu keras, meringis pelan karena telah melakukannya tidak pelan-pelan.

"Arigatou sudah menutupnya," ucapnya berterima kasih. Aku menatap Tsunashi sembari tersenyum simpul, berjalan ke arahnya lalu meraih beberapa hadiah di sana. "Kau kelihatan kesusahan, biarkan aku membawanya sebagian, Tsunashi."

Tatapanku tertuju ke arahnya, senyuman simpul belum kulunturkan. Tsunashi menampilkan raut wajah terkejutnya, sedetik kemudian senyuman senang merekah di wajahnya. "Arigatou, Natha-chan!"

"Douitashimashite, Tsunashi."

"Konbanwa, minna."

"Waah! Kujo-nii, Yaotome-nii dan Tsunashi-nii datang!"

Seruan kegembiraan terlantunkan di ruang kumpul, seruan tersebut berasal dari puluhan anak-anak belia yang telah ditinggalkan oleh keluarga dan kini menjadi bagian dari panti asuhan yang kami tandangi.

"Kalian terlihat gembira, ya," kekeh Kujo Tenn melihat mereka.

"Ini, kan, malam natal! Tentu saja kami harus gembira!" seru salah seorang anak laki-laki dengan helai rambut hitam sedikit bergelombang. Seruannya membuatku menyunggingkan senyuman tipis, begitu menggemaskan mendengarnya.

"Itu bagus!" Yaotome menimpali dengan semangat. "Tetaplah bergembira bagaimana pun keadaannya!"

"Baik, Yaotome-nii!" sahut mereka bersemangat dan aku terkekeh pelan dibuatnya.

"Omong-omong, kami membawa seseorang untuk menemani kalian di malam natal, lho!" Tsunashi berujar demikian, ujarannya mengundang rasa antusiasme tinggi pada mereka.

"Benarkah?!"

Tsunashi mengangguk laju, ia menoleh ke arahku dengan seulas senyuman senang.

"Dialah yang datang bersama kami!" selorohnya membuat ruang kumpul panti bertambah ramai, riuh rendah ruang kumpul disebabkan penuhnya suara riang dari anak-anak.

"Nee-san begitu cantik!"

"Cantik sekali!"

"Aku jadi ingin seperti nee-san! Seorang wanita yang cantik!"

"Nee-san! Nee-san! Boleh tidak nee-san menggendongku?"

Sebuah suara celetuk tertuju ke arahku, celetukannya berasal dari seorang anak perempuan kira-kira berumur 10 tahun dengan rambut sedikit pirang menatapku begitu teringin. Wajah bulat dan pipi tembamnya membuatku ingin mengecup pipinya, mata emerald berkilauan bagaikan permata menatapku penuh keinginan.

Aku berjalan ke arahnya, berlutut di depan dia sembari menggerakan tangan dan mengelus rambutnya begitu lembut. "Siapa namamu?"

"Namaku Hikagawa Mika!" jawabnya riang. Aku semakin menyunggingkan senyum tipis ke arahnya, tanganku masih mengelusnya. "Nama yang cantik sama seperti pemilik nama," pujiku membuatnya tersipu malu. "Ingin kugendong?" tawarku dibalas anggukan penuh darinya.

Aku merentangkan kedua tangan bermaksud menggendong dirinya, anak perempuan itu langsung menyambut rentangan tanganku dengan memelukku. Aku membalas pelukannya lalu menggendong dia hati-hati, berdiri perlahan dengan ia berada di gendonganku. Hikagawa Mika tertawa senang, ia menatap ke beberapa teman sebayanya dengan senyum meledek, merasa menang karena mendapatkan perlakuan manis yang belum tentu didapat oleh mereka.

"Kamu terlihat manis, Hikagawa-chan," pujiku sekali lagi membuat ia terpekik senang.

"Arigatou, nee-san!" Ia berterima kasih padaku dengan senyuman senang tercetak di wajah, menimbulkan lesung pipit begitu manis. Aku tertawa pelan, mendekatkan wajahku lalu mengecup pipinya lembut. "Douitashimashite, anak manis ...."

"Nee-san! Kalau aku bagaimana? Apa aku juga terlihat manis?"

"Aku juga!"

Aku kembali tertawa pelan, "Kalian juga terlihat manis, cantik dan tampan, kok."

Jawabanku mengundang pekikan sangat riang dari mereka, pekikannya lagi-lagi membuatku tertawa pelan, merasa gemas dengan sifat mereka.

"Nee-san!"

Seruan memanggil menyapa indera pendengarku dibarengi sebuah tarikan kecil di flared skirt putih yang aku kenakan, aku menoleh lalu menunduk, menatap seorang anak laki-laki belia sedang menarik rokku dengan tatapan seakan ingin sesuatu.

"Iya, ada apa?" sahutku begitu lembut.

"Aku ingin digendong sama nee-san," pintanya dibalas anggukan pelan dariku. "Baiklah."

"Saa ... Hikagawa-chan, sudah saatnya aku menggendong temanmu." Aku berujar demikian sembari menatapnya lembut. "Kamu harus turun, ya, agar aku bisa menggendong temanmu."

Hikagawa melunturkan ekspresi cerianya, ekspresi itu diganti dengan ekspresi penolakan darinya. Ia mempererat pelukannya, menggeleng cepat. "Tapi aku masih ingin digendong sama nee-san!" tolaknya terdengar menggemaskan.

"Temanmu juga ingin sepertimu, Hikagawa-chan." Aku membenarkan gendonganku sembari memberikan pengertian kecil. "Bergantian dengan mereka supaya mereka merasakan kebahagiaan yang kamu rasakan," lanjutku begitu lembut.

"Tapi aku tidak mau!" Ia merengut kesal, bibir peach dikerucutkan dengan alis sedikit menukik ke bawah. "Lagipula mereka bisa minta digendong sama Yaotome-nii, Tsunashi-nii dan Kujo-nii," rengutnya tidak suka. Aku menghela napas sejenak, memaklumi sifat anak-anak yang terkadang ingin menang sendiri. Segera aku memutar otak, mencari ide agar bisa memberikan pengertian untuknya tanpa perlu memarahi. Selang beberapa waktu, aku menemukannya, seulas senyuman tipis kembali kuperlihatkan pada mereka dengan sebuah ide menyertaiku.

"Hikagawa-chan tahu tidak, kalau santa claus akan memberikan hadiah ke anak-anak yang suka berbagi?" tanyaku dibalas raut tersentak miliknya.

"Benarkah, nee-san?" tanyanya ragu. Aku mengangguk pelan, aku menggerakkan tubuh untuk duduk di atas lantai pualam dengan Hikagawa berada di pangkuanku. Mataku menatap anak laki-laki yang telah menarik rokku, tanganku meraih dan menggenggam tangan mungilnya dengan lembut, menyuruhnya untuk duduk di pangkuanku yang kosong. Ia menurut dan duduk di pangkuanku, kini aku memangku dua orang anak manis.

"Benar, Hikagawa-chan." Aku membenarkannya, tangan kiriku mengelus rambutnya dengan lembut. "Santa claus memberikan hadiah ke anak-anak yang suka berbagi, berbuat baik satu sama lain kapanpun dan di manapun. Santa claus menyukai anak-anak seperti itu, menurutnya anak-anak dengan perilaku seperti itu sangat menggemaskan, itu sebabnya ia memberikan hadiah kepada mereka."

"Hikagawa-chan mau mendapatkan hadiah dari santa claus, bukan?" tanyaku dibalas anggukan cepat darinya. Aku semakin tersenyum tipis kala melihat respon positif dari Hikagawa.

"Jadi, Hikagawa-chan harus melakukan apa agar santa memberimu hadiah natal?"

"Aku harus berbuat baik dan saling berbagi satu sama lain!" jawabnya begitu polos. Aku terkekeh pelan dengan tangan tak henti mengelus rambutnya, "Anak pintar!"

"Jadi, bagaimana?" Aku kembali bertanya dengan nada hangat dan lembut padanya. "Apa kamu mengizinkanku untuk menggendong temanmu?"

Anak manis itu mengangguk, mengizinkanku melakukannya. Atas perizinan darinya, aku meminta Hikagawa berdiri dan dituruti olehnya. Netraku menatap anak laki-laki di pangkuanku yang belum kuketahui namanya,

"Ayo, aku akan menggendongmu," ajakku dibalas gelengan singkat darinya, responnya mengundang rasa penasaranku. Kenapa ia menolak ajakanku? Apa dia tidak ingin kugendong karena aku terlalu lama mengabulkan permintaannya?

"Ada apa? Kenapa kamu menolak ajakanku?"

"Aku tidak mau digendong," jawab anak laki-laki itu sembari mendongakkan kepala, menatapku. "Aku mau mendengar nee-san bercerita," lanjutnya membuatku tersentak kaget. Mau mendengarku bercerita, katanya?

"Aku juga mau mendengarnya!"

"Hum! Ceritakan sebuah kisah pada kami, nee-san!"

"Cerita! Cerita!"

Riuh rendah permintaan anak-anak panti memenuhi ruang kumpul, permintaan yang berisi aku menceritakan sebuah kisah untuk mereka. Sekali lagi aku terlonjak kaget merasa bingung harus berbuat apa. Aku belum pernah menceritakan sebuah kisah pada siapapun, terlebih pada anak-anak.

"Maaf karena sudah membuat kalian kecewa," lontarku begitu tegas. "Aku belum bisa menceritakan sebuah kisah pada kalian, anak-anak."

Desahan kecewa mulai terdengar, mereka mendesah kecewa karena aku tidak bisa mengabulkan permintaan mereka. Di tengah situasi ini, sebuah interupsi membuatku dan beberapa anak-anak menatap ke salah seorang anggota TRIGGER.

"Kau bisa melakukannya, Nathalia." Seorang laki-laki sebaya denganku menginterupsi, aku melihat ia memegang salah satu tangan seorang anak dan memintanya untuk duduk di pangkuannya, Kujo Tenn duduk sila dengan anak itu berada di pangkuannya dan merengkuh daksa mungil anak itu. "Ceritakan saja sebuah kisah yang kauketahui pada kami, kami akan mendengar ceritamu dengan rasa ingin tahu."

Aku menatapnya lamat, mulutku sedikit terbuka setelah mendengar perkataannya.

"Apa yang dikatakan Tenn benar, ceritakan saja kisah yang kauketahui, Nathalia. Anggap saja ini sebagai tempatmu melakukan hal yang baru."

Dorongan tersebut membuatku tertegun, tidak menyangka mereka memberikanku dorongan positif seperti ini. Mengedarkan pandanganku, menatap mereka dengan raut wajah memelas dan memohon, terlebih anak-anak.

"Kami mohon, nee-san ...."

Permohonan dengan suara memelas membuatku tidak bisa menolaknya, aku menghela napas sejenak lalu mengangguk mengiyakan. Pekikan senang terdengar setelahnya, mereka berteriak kegirangan karena aku mengambulkan permintaan mereka. Entah kenapa aku ingin merawat mereka semua, menjadikannya sebagai adik angkatku dan membiayai sekolah mereka.

"Aku akan menceritakan sebuah kisah yang kuketahui," ucapku semakin membuat mereka semakin berjerit senang.

"Kuharap kalian menyukai dan dapat memetik pesan di kisah ini."

"Terima kasih banyak telah membawa dan mempertemukanku dengan anak-anak manis itu, TRIGGER."

Aku berterima kasih kepada mereka sebelum turun dari mobil setulus hati, "Jujur, itu membuatku merasa bahagia. Sekali lagi terima kasih banyak ...."

"Sama-sama, kami turut bahagia saat mendengarnya." Tsunashi menjawab rasa terima kasihku diiringi kekehan pelan miliknya.

"Jika ada waktu, kita lakukan kegiatan seperti ini lagi." Yaotome ikut menimpali, ia tersenyum hangat yang terpantul dari kaca spion mobil. "Dan ceritakan lagi kisah-kisah yang kau tahu pada kami," ungkapnya membuatku tersenyum tipis.

"Jika Tuhan berkehendak, Yaotome."

Aku mulai membuka pintu mobil, turun lalu menutupnya. Kaca mobil perlahan turun, menampilkan ketiga idol terkenal seantero Jepang sedang menatapku.

"Selamat natal, Nathalia/Natha-chan!" ujar mereka bersamaan.

"Selamat natal juga, TRIGGER!" balasku sembari melambaikan tangan sebentar. "Sampai jumpa di lain waktu ...."

Aku berbalik dan melangkah menuju pintu bangunan apartemen Sakura, berniat masuk ke dalam dan beristirahat. Belum genap aku melangkah, sebuah suara kukenali menghentikan langkahku.

"Nathalia."

Setelah menghentikan langkah, aku berbalik dan melihat teman lamaku berjalan ke arahku sembari membawa sesuatu yang dibungkus di tangan kanannya.

"Ada apa?" tanyaku padanya.

"Aku ingin memberikanmu ini," jawabnya sembari menarik kedua tanganku begitu lembut lalu meletakkan sebuah hadiah di kedua tanganku. "Terimalah, kau sangat membutuhkan hadiah ini."

Aku mengerjapkan mata tidak mengerti, apa maksudnya aku sangat membutuhkannya dan apa isi hadiah ini sampai ia menginginkanku menerima hadiah ini?

"Maksudmu, Kujo Tenn?"

"Pokoknya terima saja," Kujo Tenn kembali mengatakan hal yang sama. "Hadiah ini adalah sebuah benda yang sangat kaucari di sini untuk keperluan kuliahmu."

'Benda yang sangat kucari?' pikirku bingung.

Netraku menangkap ia tersenyum lembut, tangan yang sedari tadi berada di kedua tanganku, salah satunya bergerak menuju kepalaku. Sesaat setelahnya, aku merasakan sebuah elusan lembut di sana. Elusan itu telah kudapatkan sebanyak dua kali di bulan Desember, dalam benak aku berpikir, ada apa dengannya sampai-sampai memperlakukanku begitu berbeda dari yang lain?

"Kau baik-baik saja, Kujo Tenn?" tanyaku dengan tatapan menyelidik. Ia terlihat mengangguk dengan tangan tidak berhenti mengelus kepalaku.

"Oi, Tenn! Bisakah kau cepat?!"

Seruan protes dari Yaotome membuat ia mengerutkan dahi dengan ekspresi wajah tidak mengenakkan, gerakan elusannya terhenti. Decakan pelan terdengar dan turut andil dalam mendeskripsikannya saat ini. Aku tersenyum simpul melihatnya, tangan kananku bergerak ke atas kepala, menyentuh tangannya lalu mengenggamnya, menurunkan dari puncak kepalaku dan menatapnya dengan dalam.

"Aku terima hadiahmu ini, Kujo Tenn." Aku berkata demikian sembari sedikit mengangkat tangan kiriku yang memegang hadiah darinya. "Thank you so much for today," tandasku berterima kasih.

Kujo Tenn perlahan tersenyum tipis, raut wajahnya pun berubah. Kemudian ia mendekatkan dirinya ke arahku, melihat tindakannya membuat aku sebisa mungkin bersikap biasa saja diiring senyuman simpul masih berada di wajahku. Kujo Tenn berhenti mendekatkan dirinya tepat di telinga kananku, aku merasakan ia mendekatkan wajahnya ke telingaku untuk membisikkan sesuatu yang membuatku bersemu merah.

"Aku sangat senang melakukannya untukmu, Nathalia." Ia berbisik dengan suara sedikit rendah, aku tanpa sadar mengenggam tangannya begitu kuat, menahan gejolak aneh di dalam diriku yang tak dapat kumengerti. "Karena kau adalah salah satu idola terbaikku, seorang idola terbaik harus diperlakukan dengan cara terbaik juga. Selamat malam, idola terbaikku. Kuharap kau selalu sabar dan kuat untuk menjalani semua rintangan yang ada. Tetaplah menjadi seorang wanita yang kukenal," lanjutnya membuat wajahku memanas.

Perlahan aku merasa genggaman kami melonggar, dengan netra silver dan rasa malu, aku menatapnya pergi menjauh menuju mobil, membuka pintu lalu masuk ke dalam bersamaan dengan tertutupnya pintu dan kaca mobil. Selang beberapa waktu, mobil itu bergerak menjauh, meninggalkanku seorang diri di sini dengan rasa malu merelung tubuhku.

"U-ugh, i-ini memalukan."

The End

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top