Christmas : 05
"Apa kabar, Kujo Tenn?" tanyaku sekadar basa-basi.
Kami masih di tempat yang sama, area Zero Arena dengan aku masih duduk manis di pagar pembatas dan ia berada di sebelah kiriku, menjaga jarak.
"Aku baik." Ia menjawabnya dengan singkat.
"Syukurlah." Aku berkata demikian seiring dengan gerakan mata melirik ke arahnya. "Lalu apa kabar dengan adik dan pekerjaanmu itu? Sama baiknya dengan kabarmu?"
Kujo Tenn mengangguk pelan dalam lirikanku lantas ikut melirik ke arahku. "Mereka semua baik, sama baiknya dengan kabarku," sahutnya membuatku mengangguk paham.
"Bagaimana denganmu?"
"Cukup baik," jawabku seadanya.
"Apa tidak ada sesuatu yang membuatmu berada di titik terendah?"
"Ppfft ...." Aku menahan derai tawa yang akan keluar sebentar lagi, punggung tangan kanan menutup mulutku dan berharap ia tidak mendengarnya.
"Kenapa kau tertawa? Apa ada hal yang lucu?"
Oh, sepertinya aku kurang beruntung. Ia mendengar tawaku meski tertahan, aku menoleh ke arahnya dengan punggung tangan masih menutup mulut.
"Kenapa?" tanyanya dengan raut wajah datar.
Aku menurunkan tangan dari mulut sembari menggeleng samar. "Tidak biasanya seorang Kujo Tenn menanyakan hal sedemikian rupa untuk teman lamanya, terlebih lagi seorang gadis," celetukku membuatnya mengernyitkan dahi.
"Apa itu salah?" tanya laki-laki itu begitu datar. Aku menggeleng pelan sembari mematrikan senyuman tipis, "Itu sama sekali tidak salah, Kujo Tenn. Hanya saja ... kau jarang menanyakan hal tersebut kepada siapapun, terlebih adikmu sendiri." Terdiam sejenak untuk mengolah kalimat agar tidak terjadi kesalahpahaman saat kulontarkan nanti. "Aku bukan bermaksud menyinggung perasaanmu atas perkataanku tadi, maaf ...."
Kujo Tenn terdiam sejenak lantas menggeleng pelan, "Tidak, itu sama sekali tidak membuatku tersinggung."
"Apa kau yakin?"
"Hm." Ia berdeham sebagai jawaban, arah mata tak lagi melirikku melainkan menatap ke depan.
Sekian kalinya aku mematrikan senyuman tipis, kedua iris silver-ku menatap ia lamat-lamat, menatap tiap lekukan wajah dan ekspresinya. Entah kenapa pesona yang dimilikinya memancar begitu kuat, pesona atas sikap tegas, disiplin dan pekerja keras menguar begitu saja seakan tidak ada yang menghalanginya. Selain itu, aku merasa ada secercah aura hangat dari dalam dirinya, berbaur di antara sikap-sikap yang dimilikinya. Perfect, satu kata dariku untuknya.
"Sepertinya kau sangat suka menatapku, ya." Kujo Tenn berkomentar demikian dengan sedikit melirik ke arahku, membuatku mengganti senyuman menjadi kikuk. Dalam benak, kubertanya pada diri sendiri, apa dia risih karena aku terus menatapnya tanpa mengalihkan pandangan barang seinchi pun?
Seolah tahu apa yang kutanyakan pada diri sendiri, ia menjawab tanpa ragu. "Aku sama sekali tidak risih, lakukan sesukamu, Nathalia."
"Thank you, Kujo Tenn. Sorry for making you feel uncomfortable," kataku merasa bersalah.
"Sudah kukatakan, bukan, kalau aku sama sekali tidak merasa risih?" ulangnya dibalas anggukan penuh dariku. "Iya, kau sudah mengatakannya. Meski begitu ...." Aku memberi jeda sejenak pada kalimat yang akan kuucap. "... aku tetap meminta maaf padamu," lanjutku membuatnya mengembuskan napas pelan. Hening setelah itu, kami sama-sama terdiam dan menikmati suasana seperti ini, suasana yang jarang kami temukan kala aktivitas mengepung tanpa henti.
"Sejauh ini aku belum menemukan sesuatu yang membuatku berada di titik terendah, Kujo Tenn." Aku bercakap demikian, bermaksud untuk menjawab pertanyaan yang belum terjawab. "Sama sekali belum dan kuharap tidak akan ada lagi sesuatu yang membuatku berada di titik terendah. Aku mengatakan hal ini untuk menjawab pertanyaan sekaligus kekhawatiranmu," lanjutku dibalas lirikan sengit darinya.
"Aku sama sekali tidak khawatir!" bela Kujo Tenn dengan lirikan sengitnya. Aku terkekeh pelan, ternyata dirinya masih sama saat pertama kali bertemu. "Kau khawatir, tersirat begitu jelas dari pertanyaanmu. Semua orang tahu kalau kau menunjukkan rasa kekhawatiran melalui pertanyaan dan nada bicaramu," tandasku membuatnya memalingkan wajah. Aku tersenyum miring melihatnya, merasa menang dalam perdebatan sepele ini.
"Omong-omong ... apa yang kau lakukan selama berada di Tokyo selain menjadi seorang idol?" tanyaku sembari membenarkan posisi duduk.
"Hanya pemotretan, konser dan sejenisnya."
"Apa kau tidak kuliah seperti kebanyakan orang?"
Ia menoleh ke arahku, menatapku dengan tatapan tajam khasnya. "Tidak."
Sedikit menelengkan kepala dan mengernyitkan dahi sebagai responku, tidak kuliah katanya?
"Apa alasanmu, Kujo Tenn?"
"Privasi, Nathalia. Aku harap kau mengerti dengan kata tersebut," balasnya dengan atensi mulai teralih ke depan, Zero Arena.
"Aku mengerti, takkan kuulangi pertanyaan tersebut untukmu." Aku menjawabnya begitu pelan, atensiku ikut teralihkan ke arah lain.
Hening setelahnya, suasana hening mulai menyelimuti atmosfer di sekitar kami dengan perlahan. Kami terhanyut dalam pikiran dan dunia masing-masing, deru napas dan angin sebagai peneman di antara kami.
"Nathalia."
Kujo Tenn memanggilku sekaligus memecahkan kesunyian yang terjadi selama beberapa menit.
"Iya." Aku menjawab tanpa menatap ke arahnya.
"Apa yang kau lakukan di sini? Terlebih kehadiranmu secara tiba-tiba tanpa mengabarkan siapapun," selidiknya membuatku kembali terkekeh pelan.
"Aku dapat waktu berlibur dari universitas, jadi aku memilih untuk berlibur sekaligus mengerjakan paper kuliah di sini. Anggap saja sedang merindukan masa-masa saat SMA dulu meski seharusnya bukan berlibur di sini tetapi di Hokkaido. Dan ... memang aku tidak mengabarkan kepada siapapun termasuk kau karena tak berniat untuk mengabarkannya, lagipula tujuanku datang ke sini untuk berlibur."
Aku terdiam sebentar, menggerakkan tubuh untuk turun dari pagar pembatas. Tetapi karena tidak hati-hati, kedua kakiku tergelincir sehingga tubuhku oleng dan siap terjatuh ke danau. Namun dengan sigap tangan kiriku memegang pagar pembatas, menahan tubuhku agar tidak terjatuh ke danau. Aku melongok ke bawah, menatap riak air begitu tenang dan dalam. Tak hanya itu, aku merasa suhu danau sedang turun akibat musim dingin.
"Tak kusangka kau bisa seceroboh ini." Suara yang sedaritadi mengajakku berbual terdengar kembali dengan nada penuh sindir, hal itu membuatku membulatkan kedua mataku.
Bayangan kami terpantul di atas riak air danau, aku melihat ia memegang lengan kiriku begitu kuat. Pegangannya mulai kurasakan, rasanya begitu hangat, kuat namun lembut. Tiba-tiba dalam diriku bergemuruh hebat, bergemuruh laksana diterjang badai dahsyat. Gemuruh ini bukan gemuruh amarah yang kurasakan, melainkan suatu perasaan yang tak mampu kudeskripsikan. Entahlah, mungkin sebuah perasaan malu karena telah bertindak ceroboh tepat di depannya.
"Tolong kerjasamanya, aku akan membantumu berada di pijakan yang tepat." Kujo Tenn mengharapkan sebuah kerjasama dariku agar bisa membantuku untuk berada di pijakan yang tepat, sesuai perkataannya. Aku mengangguk akur, melemaskan tubuh dengan tangan kiri memegang pagar besi begitu kukuh. Berusaha membalikkan tubuh dengan hati-hati agar tidak terulang hal yang sama lagi, saat berhasil langsung tangan kananku memegang pagar tersebut dengan kuat. Laki-laki berparas rupawan masih senantiasa membantuku, ia menarik daksaku dengan hati-hati diikuti aku mendorong diri sendiri sampai berhasil berada di depannya.
"Terima kasih, maaf telah membuatmu kerepotan karena tindakan cerobohku tadi." Aku berterima kasih sekaligus meminta maaf kepadanya, menunduk sedikit sembari merutuki diri sendiri karena telah membuatnya kerepotan saat pertama kali bertemu setelah lama tak berjumpa.
"Bukan masalah," sahutnya sembari melepaskan genggaman pada lengan kiriku.
"Kuharap kau tidak merutuki dirimu sendiri karena tindakan tadi agar aku merasa lega padamu."
Samar-samar aku mendengar sebuah kalimat yang kurasa tersirat rasa cemas entah ditujukan kepada siapa, seketika aku mendongak sembari mengernyitkan dahi setelah mendengar kalimat tersebut.
"Maaf, kau mengatakan apa tadi?" celetukku membuatnya terkesiap.
"Bukan apa-apa," jawab sang center TRIGGER dengan ekspresi wajah kembali datar.
"Sepertinya kau sedang mengelak, ya," tebakku sembari menaikkan sebelah alis.
"Tidak," elaknya seraya melihat jam tangan di pergelangan tangan kanannya. "Sudah malam, apa kau masih ingin berkeliling sekitar kota Tokyo atau ingin pulang ke tempat penginapan?" tanya Kujo Tenn membuatku berpikir.
"Aku ingin pergi ke perpustakaan kota atau toko buku jika masih buka," ucapku dengan mata menerawang ke belakangnya.
"Untuk apa kau ke sana?"
"Mencari sejumlah buku untuk tugas paper kuliah."
"Souka ...." Dengan suaranya begitu lirih nyaris tak terdengar, ia mengucapkan sepatah kata. Untunglah aku masih bisa mendengarnya meski samar. Menganggukkan kepala sebagai balasan dariku, tangan kananku mulai bergerak membenahi sling bag yang berada di antara bahuku.
Saat membenahi sling bag, aku merasa sebuah kehangatan mengalir dari telapak tangan kiri. Sontak saja aku melirik ke telapak tangan kiri dan melihat sebuah tangan menggenggamku dengan lembut serta hangat. Mataku mengikuti tiap lekukan tangan hingga melihat sang pemilik tangan yang ternyata ....
"Kujo Tenn ...," panggilku pelan. "Kenapa kau ...." Aku menggantungkan beberapa kalimat, menahan detakan jantung yang secara tiba-tiba berdetak begitu cepat. "... menggenggam tanganku?" tanyaku nyaris berbisik.
"Aku melihat tanganmu gemetar pelan seperti orang kedinginan, jadi langsung saja kugenggam tanganmu." Ia memberikan penuturan singkat untukku, raut wajahnya perlahan menjadi hangat. "Tak apa, bukan?" lanjutnya dibalas gelengan singkat dariku. "Tak apa, terima kasih, Kujo Tenn."
Ia mulai menerbitkan lengkungan tipis selayaknya bulan sabit di wajah tampannya, membuatku nyaris terpana melihatnya. "Ikou, kita pergi ke perpustakaan favoritku."
✼
"Bagian sini khusus biografi," gumamku dengan tangan memegang salah satu buku biografi.
"Sekarang bagian buku berkaitan dengan sistem saraf pusat berada di mana?"
Aku meletakkan kembali buku biografi yang kuambil, berjalan mengitari beberapa lemari perpustakaan kota, memilah buku yang kuinginkan. Sesekali mengambil sembarang buku, melihat judul lalu membaca sekilas, sedetik kemudian meletakkannya kembali. Aku terus melakukan gerakan sama berulangkali sampai ia, Kujo Tenn menghampiriku dengan sejumlah buku di tangannya. Kehadirannya dapat diketahui olehku dari derap kakinya yang menggema dan saat aku menoleh untuk melihat siapa yang datang.
"Apa kau sudah menemukannya?"
Aku menghela napas pelan sembari menggeleng singkat. Belum, sedaritadi aku belum menemukannya.
"Akan kubantu, kau tunggu saja di sini." Ia menawarkan bantuannya membuatku menatapnya dengan lamat. "Bukan maksudku menolak bantuanmu, Kujo Tenn. Aku tak mau diperlakukan seperti seorang gadis manja, tidak mandiri dan hanya menunggu bantuan dari orang lain. Jadi, aku akan ikut bersamamu, mencari buku yang kuinginkan."
Laki-laki teman lamaku mengangguk pelan, mengerti apa yang kukatakan. "Baiklah, ayo kita pergi mencarinya sebelum waktu perpustakaan tutup tiba!" ajaknya sembari melenggang pergi dari tempat awalnya diikuti olehku.
Kami masih sibuk mencari buku mengenai sistem saraf pusat, berkelana dari satu lemari buku ke lemari buku lainnya, mengambil sembarang buku untuk mengetahui benarkah ini buku yang kuinginkan atau bukan?
Sudah satu jam namun masih belum membuahkan hasil, aku menghela napas pelan sembari tersenyum meringis karena tidak ditemukan buku yang kuinginkan, tidak ada satu pun. Sejenak kulirikkan ke arah jam tangan untuk melihat pukul berapa sekarang. Pukul 22:30 P.M, sudah larut dan kami masih di sini.
"Kujo Tenn, lebih baik kita pulang saja," ajakku dengan suara pelan. "Ini sudah larut malam, aku yakin kau pasti ada jadwal padat esok hari. Aku tak ingin kau kelelahan hingga jatuh sakit karena membantuku," lanjutku sembari menatapnya yang masih fokus dengan sebuah buku begitu lembut.
Aku melihatnya sedikit melirik ke arahku, meletakkan kembali buku yang dibacanya lalu atensinya tertuju ke arahku dengan sempurna. "Aku sama sekali tidak keberatan membantumu," jawabnya membuatku menggeleng pelan.
"Ini bukan masalah keberatan atau tidaknya, aku mengerti kau akan membantuku apapun kesulitannya. Tapi kau juga harus merehatkan diri sejenak, menyayangi dirimu sendiri. Aku tahu jadwalmu esok hari akan padat, jadwal yang begitu padat butuh energi juga. Kumohon, lebih baik kita pulang saja. Masalah buku untuk kepentingan paper kuliahku bisa di lain waktu," bujukku bersungguh-sungguh. "Aku tak ingin membuatmu jatuh sakit karena kurang istirahat, terlebih karena telah membantu teman lamamu mencari buku di perpustakaan kota."
Kujo Tenn membalas tatapanku dengan lamat, seakan mencari sebuah jawaban dari tatapanku, sesuatu yang diinginkannya. "Kumohon, Kujo Tenn."
Tampak ia menghela napas pelan lalu mengangguk, menyetujui perkataanku. Segera aku tersenyum lega karena jawabannya sesuai ekspetasiku, kedua tanganku meraih buku yang digenggamnya lalu mengambil alih sejumlah tumpukan buku dari tangannya. Saat sudah memegang tumpukan buku yang ingin dipinjamnya, aku melihat ekspresi terkejut darinya, ekspresi itu seolah-olah menanyakan apa yang telah kulakukan.
"Anggap saja sebagai balas budiku atas kebaikan yang telah kaulakukan terhadapku hari ini," ungkapku sembari berlalu dari hadapannya.
╰ೃ
"Sebentar lagi natal, bukan?"
Atensiku yang semula menatap jendela mobil teralihkan menuju ke arahnya, "Benar, ada apa?"
Saat ini kami sedang dalam perjalanan menuju apartemen, tempatku menginap selama beberapa hari menggunakan mobil milik keluarga angkatnya. Sebenarnya aku tak ingin merepotkan Kujo Tenn lebih jauh, memilih menolak saat ia menawarkan tumpangan. Tetapi tetap saja ia kukuh menawarkan tumpangan agar aku menerimanya, tentu dengan alasan klasik namun benar adanya.
'Tidak baik seorang gadis pulang sendirian di larut malam.'
Itulah yang dikatakan olehnya membuatku mau tak mau menerima tawarannya, sejenak aku berpikir sudah berapa banyak dia membantuku baik di masa lalu sampai masa kini? Apa yang harus kulakukan untuk membalas kebaikannya?
"Aku ingin tahu, apa yang biasa kaulakukan saat perayaan natal tiba?" tanyanya sembari menatapku dengan keinginantahuan tinggi.
"Biasanya pergi ke gereja untuk berdoa lalu pulang dan merayakannya sendiri di rumah," tuturku seadanya,
Terlihat ia mengernyitkan dahi, kurasa dirinya merasa heran dengan jawabanku.
"Merayakannya sendiri?" ulangnya dibalas anggukan lemah dariku.
"Kau tahu bukan, keadaanku saat berumur 12 tahun?" tanyaku dibalas anggukan singkat darinya. "Di saat berumur 12 tahunlah, aku merayakan natal sendiri di sebuah rumah reyot tak berpenghuni. Awalnya aku merasa kesepian, karena sebelumnya selalu merayakan dengan keluarga di sebuah hunian luas dan nyaman." Terdiam sejenak sembari mengatur deru napas karena tiba-tiba merasa sesak saat bernapas. "Tapi kini tidak lagi, aku sudah terbiasa, sangat terbiasa merayakannya sendiri," lanjutku membuatnya diam bergeming.
"Kau tak perlu mengasihani diriku, aku sama sekali tidak menyukai rasa belas kasihan dari khalayak umum saat mendengar cerita memilukan mengenaiku. Aku tak apa," pintaku dengan memalingkan wajahku ke arah lain.
"Kau masih sama saja saat kita bertemu pertama kali," komentarnya. "Tak suka dengan rasa belas kasihan dari khalayak umum, bertindak seolah kau baik-baik saja tanpa ada rasa sakit di dalam diri."
"Lantas apa bedanya denganmu?" Aku kembali menatapnya tepat di kedua mata dengan datar. "Kau juga sama, kan? Bertindak seolah-olah kau kuat dan baik-baik saja saat menghadapi kerasnya dunia, tidak ingin berbagi apa yang telah kaurasakan selama ini ke rekan kerjamu. Menganggap mereka, terutama teman satu grupmu hanyalah rekan bisnis semata padahal lebih dari itu," lanjutku tepat sasaran. Ia terhenyak, tatapan yang semulanya tajam dan menusuk berganti dengan tatapan lemah. Helaan napas kecil keluar dari mulutnya, halus kedengarannya.
"Kita sama, Kujo Tenn. Antara kau dan aku memiliki kesamaan, tidak ingin dikasihani, ingin terlihat baik-baik saja padahal tidak, setiap kalimat yang seringkali diucapkan menimbulkan rasa ketidaksukaan bagi lawan bicara, memilih memendam apa yang telah dirasakan selama ini dibanding menceritakannya." Aku tertunduk sembari menautkan jari jemari tanganku sendiri, menggigit bibir pelan untuk menahan sebuah rasa sakit yang muncul tiba-tiba. "Lagipula aku ... tak pantas dikasihani, tak pantas memiliki teman, tak pantas memiliki keluarga yang menyayangiku. Akan sangat pantas aku dibenci, dianggap sebagai pencuri, dianggap sebagai penjahat. Ya ... aku pantas mendapatkan sandang seperti itu," kekeh piluku.
"Aku merasa bahwa aku pantas diperlakukan selayaknya penjahat, dituding dengan kalimat memilukan, melebih-lebihkan kejadian sehingga terdengar begitu jelas bahwa akulah si penjahat itu. Sama seperti yang dilakukan oleh 'mantan keluarga' ku dulu, hehehe ...." Aku semakin terkekeh pilu, mengucapkan hal yang memberatkan perasaan untukku sendiri. Tak terasa sebulir kristal meleleh di pelupuk mata, aku mulai menangis. Kuusapkan kristal meleleh itu dengan lembut, kembali merutuki diri kenapa mengatakan hal yang mampu siapa saja mendengarnya merasa kasihan.
"Lupakan apa yang telah kubual, itu sama sekali tidak ada hubungannya denganmu. Tolong jangan menambah beban pikiranmu dengan bualanku tadi, aku sama sekali tidak menginginkannya."
"Aku tahu. Tapi maaf, permintaanmu tak bisa kuturuti."
Aku mendongak, menatapnya tak mengerti. "Kenapa?"
"Membiarkan seorang gadis kesusahan tanpa menolongnya itu bukan tipikalku, aku sama sekali tidak bisa untuk tidak memikirkannya." Tangannya bergerak, meraih pipi kananku lalu membelainya begitu lembut. "Kau temanku, bahkan lebih dari itu. Aku tidak mau hanya mendengar, melihat apa yang telah kau alami tanpa sembarang tindakan untukmu. Apatah arti seorang teman jika bukan saling merangkul, saling mengerti, saling bersama saat suka dan duka? Aku tidak ingin seperti seseorang yang hanya menyandang kata 'teman' tanpa melakukan apa-apa, mengacuhkan segala hal tentangnya dan tidak peduli apa yang telah menimpanya. Jadi ... izinkan aku memikirkan semua bualanmu," tutupnya begitu tulus.
Aku merinding, menahan tangis kala mendengar setiap kalimat tulus yang keluar darinya. Kalimat-kalimat saling berangkaian, membentuk sebuah kejujuran dan ketulusan saat didengar. Tubuhku perlahan gemetar, tangan kananku menutup mulut, menahan isakan kecil yang bisa saja keluar tanpa permisi. Hati kecilku bergetar, menahan gejolak terharu, sedih dan bahagia yang siap tumpah ruah.
"Kau adalah orang yang kusayang kedua setelah keluargaku," terang Kujo Tenn membuatku ingin menangis saat ini juga. Menutup kedua mataku, menahan isakan kecil dengan tubuh semakin bergetar hebat. Aku ingin menangis namun sebisa mungkin menahannya hingga tiba di apartemen Sakura.
Di saat bersamaan, sebuah rengkuhan lembut menyelimuti daksaku, elusan lembut di puncak kepala pun turut ikut serta. Kedua mataku terbuka, melirik tubuh tegapnya dengan mata berkaca-kaca. Hidungku menghirup aroma khasnya, aroma stroberi. Aku ... dipeluk olehnya, dipeluk dari seorang idol terkenal dengan julukan 'Malaikat Modern'.
"Aku tahu kau ingin menangis, menangis saja. Lagipula sudah lama kau tidak menangis, bukan?"
Bodoh! Kenapa kau mengatakan hal itu?
"Membendung tangisan sama saja menyakiti diri sendiri, kau akan merasa sesak jika menahannya."
Ya Tuhan, aku memohon kepada-Mu. Tolong jangan kau ambil dia dariku, dialah yang membuatku bertahan sampai sekarang ....
Perlahan isakan tangis keluar dariku, terdengar kecil, sendu dan pilu. Aku bersedu sedan di pelukannya, disaksikan sang supir dalam diam. Kedua tanganku perlahan bergerak, membalas pelukannya sembari mencengkeram bajunya pelan. Tangannya tak berhenti mengelus kepalaku, membiarkanku menangis di dalam dekapan hangatnya sembari terus membisikan kalimat tulus dan hangat.
❝Terima kasih banyak, Kujo Tenn. Kau benar-benar seorang teman sekaligus pria baik untukku. ❞
"Terima kasih atas tumpangannya."
Aku membungkuk sejenak sembari melontarkan ucapan terima kasih di hadapannya.
"Sama-sama, senang bisa mengantarkanmu pulang."
Aku tersenyum tipis, kembali berdiri tegap dan menatapnya tulus. "Terima kasih banyak untuk hari ini, Kujo Tenn. Maaf aku belum bisa membalas kebaikanmu," tuturku dibalas gelengan tegas darinya.
"Kau tak perlu membalasnya, Nathalia."
"Tapi aku harus!" tegasku. "Aku harus membalas kebaikanmu, aku bersedia menjadi tempatmu mengeluarkan keluh kesah, meminta pendapat atau sekadar bersandar padaku. Dan juga aku bersedia untuk memikirkan segala hal tentangmu, sama yang seperti kau lakukan untukku!"
Netraku menangkap ekspresi tertegun dari Kujo Tenn, pupilnya terlihat mengecil di balik bingkai kacamata yang dikenakannya. Beberapa waktu kemudian, laki-laki di depanku menyunggingkan senyuman tipis yang terlihat seperti senyuman jail.
"Hee ... apa kau yakin, Nona Nathalia?" ledeknya disertai kekehan geli dariku.
"Apa kau sama sekali tidak mempercayai ucapanku, Tuan Tenn?" balasku dengan nada suara terdengar seperti menggoda. Aku merasa jijik dengan tingkah konyolku beberapa detik lalu, tapi akan kupastikan ini hanya sekali seumur hidup dan takkan pernah terjadi lagi.
"Ppfft ...." Ia menahan tawanya, senyuman jail berubah menjadi seringai kecil yang membuatku jengkel. "Kau berusaha menggodaku, Nona?"
Bugh!
Aku meninju perutnya begitu keras dibalas ringisan kecil darinya. "Menyebalkan, aku sama sekali tidak menggoda, kau tahu?!" ketusku sembari membuang muka dan sedikit menggembungkan pipi.
"Baik-baik, gomenna atas ucapanku tadi." Kujo Tenn meminta maaf diiringi ringisan kecil. Ringisannya itu membuatku diselubungi rasa tak enak hati, aku kembali menatapnya dengan perasaan bersalah.
'Seharusnya aku tidak meninjunya tadi,' batinku.
"Maaf, sungguh aku minta maaf telah meninju perutmu ...."
'Dasar bodoh. Natha, kau benar-benar bodoh!'
Ia menggeleng sembari mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja, memintaku untuk tidak terus merasa bersalah. Permintaannya sama sekali tak kujalankan, perasaan bersalah masih merelung di dalam diriku, beberapa kali merutuki diri atas tindakan bodohku.
"Aku pulang, ya," pamitnya membuatku sedikit buyar. Aku menatapnya yang tak lagi meringis, melainkan raut wajah kelelahan darinya. Anggukan singkat menjadi jawabanku, "Pulanglah, kau perlu untuk istirahat. Istirahat yang cukup dan jaga kesehatan, ya."
"Hm, akan kulakukan." Anggukan mengerti dan perkataannya menjadi sahutan dari nasihatku, ia berbalik dan berjalan menuju mobilnya, membuka pintu lalu masuk ke dalam dan menutupnya kembali. Kaca mobil perlahan terbuka, menampilkan seorang figuran dari industri hiburan, sosok yang menjadi penyemangatku kala terperosok. Kujo Tenn tersenyum lembut sekaligus hangat, mulutnya bergerak, mengucapkan dua patah kalimat untukku.
"Goodbye, Nathalia. I wish you sweet dream tonight," pamitnya dibalas lambaian tangan dariku.
"I also wish you sweet dream tonight, Kujo Tenn."
Perlahan mobil yang dinaikinya bergerak, meninggalkanku dan pergi ke tujuan selanjutnya. Aku terus melambaikan tangan, mengantarkan sosok penyemangat dalam hidupku pergi. Lambaian tanganku berhenti setelah bayangan mobil telah menghilang di antara ruas jalan, helaan napas kecil keluar dari mulutku, menimbulkan kepulan asap di sana.
Udara larut malam semakin menusuk jiwa dan raga terlebih saat musim dingin, segera aku memutuskan untuk masuk ke dalam apartemen, beristirahat agar bisa melakukan aktivitas esok hari dengan energi yang baru.
To Be Continued!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top